Maplekyuu! - Can it be me?
Saat itu, ingin sekali bibir terbuka mendorong pita suara mengeluarkan suara dibantu oleh lidah.
Angin berembus pelan, suhu udara masih mendekati suhu dingin di tengah musim semi. Dinginnya suhu bahkan menusuk kulit memaksakan penghuni negara bernaung dalam empat musim mengenakan pakaian semi-tebal untuk menjaga kehangatan. Dedaunan berwarna merah jambu perlahan jatuh berhasil menghiasi tanah teritorial Jepang. Seperti warna gadis yang mampu memekarkan hati di tengah merah jambu. Aroma memasuki indra penciuman membuat hati kembali merasakan hari indah. Walau demikian, musim ini terkadang membawakan tangis bagi murid-murid yang siap menaiki jenjangan.
Salah satu sekolah menengah pertama di distrik Miyagi, sukses menjadi salah satu lokasi pengisi tangis oleh beberapa orang. Air mata mengalir dari pupil indah membasahi pipi, sentuhan lembut berupa pelukan antar sesama teman terasa begitu mengharukan mata. Tiga tahun lamanya masing-masing siswa lalui bersama. Baik suka maupun duka telah membekas, mereka harus tetap melangkah untuk menuju ke jenjang selanjutnya. Tidak heran, setiap acara kelulusan seperti saat ini, mereka mengeluarkan air mata membuktikan kasih yang dirasakan.
"Selamat atas kelulusanmu, Keishin." Suara seorang gadis terdengar lembut memasuki indra pendengaran sang empunya. Sang empunya, Ukai Keishin, menoleh dan melepas cengiran halus sebelum mengambil langkah mendekati sosok gadis yang menjadi pengisi harinya. Mendapatkan ucapan selamat dari sosok gadis adalah sebuah suka.
Di bawah pohon sakura bermekaran, dua insan berbeda gender itu saling memandang. Samar, rona merah tipis menghiasi pipi mereka. Angin berembus tenang memicu suasana nyaman. Kala pupil indah saling bertemu, di situlah sengatan listrik ada untuk getaran hati.
"Kau akan berlanjut ke SMA Karasuno?" tanya sang gadis sembari melepas senyuman tipis. Dia memiringkan kepala sedikit dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan untuk memandang lelaki itu lebih dekat. Pupil mata berhasil menangkap sang lelaki menggaruk leher tidak gatal berhasil membuat sang gadis terkekeh pelan.
Keishin mengangguk. Dia melepas senyuman lebar memperlihatkan deretan gigi putih. "Iya, aku yakin SMA Karasuno bisa membawaku menuju ke pertandingan nasional!"
Wajah berseri, senyuman lebar dengan deretan gigi putih. Imajiner cahaya muncul di sekitar sang lelaki membuat sang gadis tidak berkomentar lebih banyak. Tidak heran, lelaki itu memiliki cinta terhadap bola voli. Jikalau bola voli adalah seorang gadis, mungkin, [Name], semakin menjadi tokoh figuran dalam hidup sang lelaki itu.
"Saat aku sampai ke lapangan Tokyo nanti, kau harus datang, [Name]!" Keishin menunduk sedikit, meminimkan jarak antar wajah. Bibir masih mengulum senyuman, kentara mata menunjukkan keyakinan diri pada sang gadis. Lantas ketika menyadari jarak, dia memundurkan tubuhnya. Tanpa dia sadari, jantung berdegup kencang tak karuan, sang lelaki melepas kekehan canggung sejenak. Aneh, ini seperti perasaan ketika dia memasuki lapangan. Membuat debaran tak nyaman, tetapi dia menyukai itu.
Gadis dengan nama [Name] tersebut melepas kekehan geli setelah jarak diberikan. Dia menaruh pandang pada Keishin, memandang lurus ke arah mata. Lelaki dengan iris tajam, bahkan memiliki tampilan seperti anak nakal. Entah sejak kapan, [Name], sudah menaruh hati pada lelaki yang botak tersebut. "Nee, Keis—"
"Ukai! Kemarilah! Berhenti berpacaran!" seruan itu berhasil menutupi suara [Name] dan menarik perhatian Keishin. Wajah sang lelaki sukses memerah ketika mendengar kata terakhir, lantas dia membalas dengan teriakan, "Siapa yang pacaran?!"
Tanpa diperintah, kaki Keishin membalik dan melangkah. "Sampai jumpa, [Name]! Aku akan menghajar mereka dulu!" ucapnya. Jelas, wajahnya merona hingga kuping memerah seperti kepiting rebus. Ukai Keishin yang saat ini, tidak mampu memperlihatkan raut wajah itu pada sosok gadis dengan mahkota [hair colour].
Sayonara, Keishin.
Pupil mata Keishin mengecil ketika dia mendapati teman dan mendaratkan jintakan pada kepala temannya. Wajah yang sebelumnya merona tiba-tiba menunjukkan kekakuan. Samar tetapi jelas dia dengar, suara gadis dengan mahkota [hair colour] itu terdengar lirih dan bergemetar. Segera, dia menoleh ke arah pohon sakura yang menjadi saksi bisu akhir masa kehidupan sekolah menengah akhir. Gadis itu, tidak ada lagi berdiri di sana.
Kala bibir sudah siap terbuka, pita suara siap mengeluarkan suara emas, semua itu tertutup kembali. Berkat lelaki yang tak memberi kesempatan baginya.
---
Maplekyuu!
Can It Be Me?
Fandom: Haikyuu!
Character: Ukai Keishin
Genre: Fluff, Romance
Word: 3k
---
"Aku kira kau tahu, Ukai! Soalnya kalian terlihat seperti pacaran, haha!"
Sepasang pupil cokelat indah itu mengecil, sedikit bergemetar tak karuan. Jantung berdegup pelan seolah-olah hidup baru saja dicabut atau mungkin pipinya telah ditampar akan realita. Bahu menegang tanpa dia sadari, tangan mengepal erat. Bibir yang hendak dia buka kembali tertutup guna mengurungkan niat untuk membalas. Panas, dia, Ukai Keishin, merasakan hati panas dan membara akan perasaan marah.
Keishin mendengus. Kedua alis mengernyit mencoba menahan amarah. Selama ini, dia sangat yakin bahwa dia adalah lelaki yang paling dekat dengan sosok gadis bermahkota [hair colour]. Tetapi, di hari pertama dia memasuki sekolah menengah atas, dia terkejut mendapatkan sebuah informasi mengenai sang gadis dari orang lain. Bukan dari mulut gadis itu sendiri.
Lantas, dia kembali tidak paham, mengapa dia merasakan perasaan seperti ini?
Langkah kaki membawa sang empunya mengambil langkah demi langkah menuju ke tempat naung. Kedua alis masih berkedut selama perjalanan pulang, sesekali dia menendang batu kerikil yang seharusnya tidak mengganggu langkah jalan. Amarah dalam diri tak berkunjung pandang semenjak mendengar kabar dari teman-temannya. Harusnya hari ini menjadi hari semangatnya karena telah berhasil memasuki tim bola voli yang dia diidamkan sejak SMP. Walau pelatihnya adalah kakek galaknya sendiri. Hal yang menyenangkan justru teralihkan dan membuyar fokus.
"Aku pulang!" Suara Keishin mengisi ruangan. Tak lama, dia mendapatkan balasan berupa sambutan 'okaeri' lembut. Tak perlu menebak, itu adalah ibu yang mengandung dirinya selama sembilan bulan dan merawatnya sampai saat ini walau dipadu dengan omelan karena kebandelannya.
Omelan adalah tanda kasih sayang, bukan?
Iris cokelat tertuju pada ponsel lipat yang menyala. Cahaya berhasil memasuki indra penglihatan dan menangkap nama '[Name] di sana. Keraguan mendominasi diri, antara iya dan tidak ingin mengganggu waktu sang gadis untuk memastikan suatu hal. Dia bangkit dari kasur dan mengambil langkah dekat ke arah jendela. Dia menaruh atensi pada langit yang menunjukkan senja. Kemudian memejamkan mata singkat sembari melepas helaan napas halus. Jemari ibu jari kini menekan panggilan. Keishin, memandang sesaat sebelum mendekatkan ke telinga. Tangan satu yang bebas dia masukan ke dalam saku celana sport kasualnya.
Suara dari ponselnya memasuki indra pendengaran membuktikan bahwa panggilannya telah masuk ke tujuan. Pupil mata berkeliaran untuk menghilangkan rasa bosan menunggu. Setelah mendengar bunyi cukup lama, akhirnya dia mendengar suara seorang gadis. Suara itu terdengar lembut dan begitu tenang, berhasil membuat Keishin melepas senyuman secara tak sadar.
Moshi-moshi?
Marah. Bibir itu berhenti melepas senyum, amarah kini meluap-luap kembali setelah dia teringat akan apa yang membuat dirinya harus menghubungi gadis tersebut. Keishin melepas dengusan kasar dan menjawab, "moshi-moshi, [Name]."
Keishin sangat yakin, suaranya terdengar sangat menekan dan mencoba tenang untuk tidak mengeluarkan suara yang tinggi. Hati panas dan kepala yang tidak dingin jika tidak dia rendahkan mungkin dia akan merusak hubungan pertemanan ini. Tangan dikeluarkan dari saku, menyapu kepala yang tak berambut.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?" tanya Keishin, tidak memberi kesempatan bagi sang lawan bicara membalas lebih dahulu. Dia menggigit bawah bibirnya guna melampiaskan amarah sesaat sekaligus menahankan diri untuk mengalihkan pikiran untuk dingin.
Keheningan melanda. Jeda lama sang gadis tak segera menjawab, meninggalkan suara udara yang terdengar memasuki pendengaran. Napas Keishin tertahan, ketidaknyamanan dalam keheningan ini membuatnya merasa terganggu. Ketika sang lelaki ingin membuka suara kembali, dia berhasil mendengar jawaban dari [Name].
Kau tidak memberi aku kesempatan untuk berbicara, Keishin, balas [Name]. Terdengar sang gadis melepas kekehan pelan sebelum menghela napas pelan secara berhati-hati, terasa jelas niat untuk menutupi rasa lega itu dari sang lelaki.
Pupil mata mengecil, Keishin mengernyit sebelum akhirnya dia membalas dengan meninggikan suara, "Apa?! Sejak kapan aku tidak memberimu kesempatan?!"
[Name] terdengar melepas kekehan geli singkat dan menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang, saat upacara kelulusan, kau meninggalkanku setelah dipanggil oleh teman-temanmu.
Pegangan pada ponsel mengerat, lelaki botak tersebut teringat seketika momentum dia mendekati teman-temannya dan mendengarkan kata 'sayonara'. Hatinya terasa terbakar, ekspresi Keishin berubah, jelas mencetakkan rasa bersalah di sana. Bibir kembali terbuka untuk menjawab tetapi terpotong oleh lawan bicara.
Tidak apa-apa, Keishin. Jangan minta maaf ataupun merasa bersalah, aku akan kembali, kok. Aku akan menantikan kau datang hingga ke nasional! Melihatmu, di lapangan Tokyo! [Name] melepas tawa, berhasil menjadi alunan musik bagi indra pengdengaran Keishin. Sang gadis memiliki suara manis dan lembut, terutama saat mengambil alih pihak pendengar dan penasihat.
"Pastikan kau datang saat itu!" Bibir Keishin melebar menunjukkan kurva, deretan gigi putih terlihat jelas. Jemari dia gunakan untuk mengusap bawah hidungnya. Kini dia tak lagi diselimuti oleh amarah melainkan kelegaan terlepasnya kesalahpahaman. Rona merah tipis menghiasi pipi, padahal baru beberapa bulan tak bertemu, sang lelaki sudah menaruh rasa rindu. "Apakah aku boleh menelponmu sesekali?" tanya Keishin pelan dan berhati-hati.
Hening.
T-TENTU SAJA! KEISHIN BEBAS MENELPONKU, KOK! Suara itu terdengar panik dan melibatkan kesenangan. Respon positif sukses membuat bibir Keishin semakin melebar dan tertawa. Lantas, dia mendengar suara asing dari ponsel tersebut.
Senang berupa hal yang sementara, itu sudah menjadi fakta bagi dunia. Hanya dengan sambungan teknologi pengantar suara ini menjadikan momentum senang dua insan berbeda gender tersebut. Setiap kata per kata diloloskan dari bibir ditangkap oleh indra pendengaran dan disalurkan ke otak, meninggalkan jejak kenangan. Hati yang diam tak mampu bersuara itu, menjalarkan kasih dan cinta, mereka semakin larut dalam hubungan kasih itu.
Benang merah menyambung, tetapi tidak tahu apakah takdir akan membuka jalur atau tidak. Mereka hanya terlarut, dalam hubungan tidak pasti dengan perasaan tetap.
Lawan bicaranya tidak akan tahu, seorang Ukai Keishin, tanpa sadar mendaratkan kecupan lembut pada ponsel tak berjiwa itu.
---
"Listen! The wind is rising, and the air is wild with leaves, we have had our summer evenings, now for October eves." - Humbert Wolfe
---
Ricuh menjadi satu-satunya kata yang mampu mendeskripsikan suasana saat ini. Kedai makan diisi oleh sekitar 20 orang, ditemani oleh daging, sayur, serta bir sebagai salah satu hidangan ternikmat di kegiatan reuni ini. Di bawah cahaya terang memantul dinding kecokelatan hingga berdampak pencahayaan semi-terang ditemani oleh kawan lama serta bir dan canda tawa menjadi momentum yang diidamkan selama bertahun-tahun.
Tuangan bir pada masing-masing gelas, gas naik dan menunjukkan busa putih hingga kembali larut menunjukkan cairan kekuningan idaman para penikmat alkohol. Tidak berbeda dengan Ukai Keishin yang kembali mengangkatkan gelas dan bersulam dengan teman-teman lainnya. Wajah sudah merona merah akibat minuman beralkohol tersebut. Dia melirik ke arah botol-botol yang sudah habis dan tergeletak tak rapi sebelum tertuju pada seorang gadis bermahkota [hair colour] di sampingnya. Samar menaruh senyuman bahagia sebelum menaruh atensi kembali kepada temannya.
Menikmati minuman favorit dengan seorang gadis di samping, tidak mampu membuat Keishin berdusta lagi. Waktu telah berlalu hingga mereka lulus kuliah dan menempuh jalan profesi masing-masing, Keishin sudah menyadari perasaan yang tertuju pada sosok gadis tersebut. Hingga saat ini, mereka masih menjalin sebuah hubungan yang ingin diputuskan oleh dua belah pihak, hubungan pertemanan. Sedihnya, tidak ada satupun dari mereka melakukan pergerakan untuk memutuskan hubungan tersebut.
Mungkin, yang sekarang adalah pilihan terbaik.
"Berhenti minum terlalu banyak, Kei," tegur [Name] sembari melepas kekehan kaku. Dia meneguk kembali jus jeruk yang menjadi pesanannya. Di saat orang-orang meminum minuman beralkohol, seorang [Full Name] hanya mampu menikmati jus jeruk layaknya seorang anak-anak. Bukan karena dia tidak bisa, melainkan Keishin yang sengaja menggantikan jus jeruk untuknya beralasan bahwa [Name] tidak kuat pada alkohol. Setidaknya sebagian alasan Keishin ada benarnya.
Keishin melepas tawa dan menjawab, "Tenang saja, [Name]. Ini hanya sedikit. Ayo, bersulam lagi!" Semangat yang keluar dari tubuh Keishin benar-benar membuat [Name] harus menggeleng-geleng kepalanya. Lantas sang lelaki mengangkat gelas tinggi untuk bersulam.
"Kalian terlihat seperti sepasang kekasih saja," komentar salah satu teman lama mereka, hal itu berhasil memunculkan rona merah di pipi dua insan berbeda gender.
"Benar juga! Ukai, bukannya kau sekarang masih lajang dan dijodoh-jodohkan oleh keluargamu? Kenapa tidak dengan [Surname]-san saja?" lanjut yang lainnya.
Komentar per komentar dilontarkan, membuat dua individu tersebut merasakan tekanan. Senyuman kaku terlihat jelas dari ekspresi. Keishin menggaruk belakang leher sembari memalingkan wajah ke arah lain. [Name] mendekatkan gelasnya kembali ke mulut untuk menghindari tatapan berbinar dari teman-teman. Kericuhan itu semakin diperjelas, mereka tak berhenti mengomentari dan mengungkit masa lalu asmara Keishin dan [Name]. Semakin diperjelas, semakin memerah pula dua wajah itu.
"Tidak mungkin aku bersamanya sekarang." Tegas dan tidak bergetar. [Name] merasakan tubuhnya menegang dan genggaman pada gelas mengerat. Mata terasa mengumpulkan elemen air yang akan jatuh jika dia tidak berhati-hati. Hati terasa teriris-iris secara kasar. Sudah sejak SMP perasaan ini dia ditaruh, dia juga sangat yakin lelaki itu membalas perasaannya, lantas mengapa lelaki itu berkata demikian? Apa yang salah dengan gadis sepertinya?
Canggung. Keheningan mendadak menghampiri dan mengisi suasana. Semua orang segera menelan kembali kalimat selanjutnya dan menggantikan pengahlian topik. Keishin melirik ke arah sang gadis pujaan sebelum akhirnya mendengus kasar sekilas. Secara sengaja, dia membiarkan tubuhnya jatuh ke arah samping sembari berkata, "Kepalaku sedikit sakit."
Berkat tindakan demikian, [Name] melepas senyuman tipis kembali. Baik itu kesempatan dalam kesempitan pun,[Name] tidak keberatan. Berkat alkohol pula, rona merah di wajah Keishin tidak akan terkuak karena rasa malu.
Tidak apa-apa kau berkata demikian, sebab di musim gugur yang berjatuhanpun, masih ingin aku lalui bersama walau tak berstatus kekasih.
Angin berembus membentuk polusi suara, menggoyang lemut dahan pohon guna menjatuhkan dedaunan cokelat yang akan berganti. Di mana musim sudah akan menyambut musim dingin. Aroma alkali menusuk indra penciuman berhasil meninggalkan ciri khas kenyamanan pada musim ini. Suhu di antara panas dan dingin membuat orang-orang nyaman menikmati musim ini sembari memandang daun jatuh.
Mengambil langkah berdampingan di salah satu tempat wisatawan yang sangat diidamkan oleh orang asing di musim gugur benar menjadi momentum indah terutama saat berdampingan dengan sosok pujaan hati. Aroma tanah alkali berpadu dengan tanaman Kochia di Hitachi, Jepang, sungguh membekas hingga membuat orang merasakan aroma jatuh cinta. Tanaman yang berukuran 70-80 cm itu berbaris panjang dan terlihat luas membentuk sebuah jalan mempermudah para wisatawan mengeksplor dan memandang pemandangan melalui lensa. Sesekali orang berhenti dan mengeluarkan ponsel menangkap potret pemandangan tersebut.
Helaian rambut [hair colour] ditiup lembut menyapu seperbagian wajah. Bibir mengulas senyuman lembut ketika melihat Kochia bergoyang mengikuti arus angin, memperlihatkan seolah-olah seperti rambut badai yang tertiup angin. Lantas, dia menoleh, mendapati Keishin berdiri sedikit jauh dari dirinya dan sedang berbicara melalui ponsel. [Name] sampai saat ini tidak menyangka, dia akan datang ke kota Hitachi bersama sang pujaan hati dan menginap di sebuah hotel tak jauh dari sini untuk melakukan refreshing serta menghabiskan waktu bersama.
"Ya, ya, sudah kubilang aku sedang di Hitachi. Tidak usah repot untuk mencari pendamping untukku," gerutu Keishin. Tangan bergerak menggaruk kepala dengan helai rambut pirangnya. Dia mendengus kesal kembali, mengingat ini sudah bukan pertama kali dirinya dihadapi oleh ocehan keluarga dalam mencari pendamping. Bayangkan, dia bahkan pernah dijodohkan ke kakak dari salah seorang murid di klub volinya. Benar-benar konyol. Padahal, saat ini, dia sudah menaruh perasaan pada sosok gadis yang menjadi pendorong cintanya.
Pandangan mereka bertemu. Iris cokelat dan iris [eye colour] saling menangkap paras indah milik lawan. Tak lama, [Name] melempar senyuman lembutnya pada Keishin, membuat sang lelaki melambai ke arahnya sebelum mematikann ponselnya, "Iya, iya, aku tahu."
"Dicarikan jodoh lagi?" tanya sang gadis ketika Keishin mendekati. [Name] sudah tidak heran lelaki itu sering ditelpon hanya untuk menanyakan kabar sudah mendapatkan pasangan atau belum. Tampaknya keluarga dari Ukai sudah tidak sabar untuk mendapatkan cucu manis. Ya, kadang [Name] berpikir, dia tidak keberatan memiliki anak manis yang akan menjadi anaknya dan Keishin. Tetapi dia kembali urungkan niat itu agar pemikirannya tidak menerjun kotor.
Keishin yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangguk kecil dan melepas kekehan geli, "Ya, begitulah. Mereka ingin aku segera menikah."
"Lantas mengapa kau tidak mencari orang? Apakah kau sedang menunggu seseorang?" [Name] memberanikan diri memandang iris cokelat milik Keishin. Begitu dalam dia lihat, begitu bingung dia sadari. Selama ini, [Name] cukup yakin bahwa Keishin memiliki perasaan yang membalasnya. Tetapi di satu sisi terkadang dia meragukan kenyataan itu. Apakah dia belum cukup terlihat bahwa dia sangat menyukai seorang Ukai Keishin? Seorang pria mapan dengan paras tampan, memiliki lahan, toko warung, serta seorang pelatih voli di Karasuno. Apa lagi yang kurang? Atau mungkinkah yang kurang adalah [Name] sendiri?
Yang ditanya mengernyit. Kemudian menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Begitulah, aku menunggu kapan aku sudah cukup baik untuk meminangnya," jawabnya sembari membuang wajah. Dia rasakan wajah memerah tanpa dipinta. Dia sangat yakin, jantungnya berdegup kencang tak karuan.
Tak lama Keishin menjawab, ponselnya kembali berbunyi membuat Keishin mengerang kesal. Dia mengangkat ponsel itu lagi dan menjawab dengan ketus, "Apa lagi? Sudah aku bilang aku akan menguru—"
"Bolehkah aku yang menjadi pendampingmu, Kei?"
Pupil mata Keishin mengecil. Ucapannya terputus, dia tidak tahu lagi apa ocehan yang diberikan dari benda mati tersebut. Pandangannya kini tertuju pada [Name] sepenuhnya. Rona merah berhasil mendominasi wajah sepenuhnya. Di lapangan luas dikelilingi oleh Kochia indah, gadis pujaannya menarik ujung bajunya hanya untuk melakukan lamaran?
Jantung berdegup kencang tak karuan. Pupil mata menunjukkan pantulan wajah sang gadis. Lihatlah gadis itu, paras manis dan cantik. Keishin sangat yakin banyaak lelaki berebutan untuk mendapatkan hati [Name]. Di satu sisi, dia belum mendapatkan keberanian untuk mengambil langkah. Menginjak umur 26, dia masih kalah pada sang gadis.
Kali ini, dia tidak akan melepas. Dia sudah terlalu malu pada dirinya sendiri.
Di atas teritorial pembukti keindahan musim gugur, Keishin terlarut akan paras indah itu kembali. Jantung yang berdegup seolah membawa sang lelaki kembali jatuh cinta pada sang gadis. Di tengah tanaman Kochia, Keishin terlarut ingin mencumbui bibir manis itu. Mengatakan cinta pada sang gadis.
"Aku akan menikah secepat mungkin, jaa." Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dapat didengar oleh [Name]. Tanpa dia sadari, dia sudah merasakan tangan menggenggam tangannya. Selain itu ada dorongan pada belakang kepala membuatnya maju ke depan. Jelas, dia merasakan bibir berbentur lembut milik sang lelaki.
Bibir itu kasar, tetapi juga lembut. Aroma nikotin khas dari Keishin tidak membuat [Name] merasa terganggu, justru menjadi salah satu aroma yang membuat sang gadis terlarut akan pesona. Di bawah terik petang jingga, angin berembus pelan, tidak peduli orang yang menaruh atensi pada mereka. Keduanya memejamkan mata, menikmati kecupan lembut penuh akan cinta dan kasih sayang itu.
Musim gugur, menjadi musim saksi bisu terhubungnya cinta mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top