; Maplekyuu - 𝙩𝙨𝙪𝙠𝙞𝙢𝙞
Kedua insan yang merupakan sepupu berjalan bersisian dari minimarket. Sejak keduanya tak sengaja berpapasan, Tsukishima Kei merasa ada yang aneh dari sepupunya, Amakusa Mine. Mereka tumbuh bersama, walau sempat terpisah jauh, Kei tahu betul gadis itu begitu banyak bicara dan ketika ada masalah ia lebih memilih untuk diam dan tak membicarakannya sama sekali. Di satu sisi sebenarnya Kei tak peduli, tapi nyatanya ia khawatir. Kebiasaan buruk gadis itu ketika sedang hilang akal sehat adalah melayangkan tinjuan ke benda keras seperti tembok.
Sempat dikatakan mereka pernah terpisah antara Tokyo dan Miyagi sekitar dua tahun. Kei tak tahu dalam dua tahun itu Mine berubah meski tidak sepenuhnya, satu diantaranya adalah kebiasaan buruknya ini. Sebelum mereka terpisah, sang gadis tak pernah mau meninju atau melakukan apapun yang membahayakan. Ia pun lebih memilih menangis daripada menyakiti dirinya, tetapi sekarang berbeda. Kei sebagai seorang sepupu merasa bertanggung jawab, mengingat keadaan gadis ini tidak seperti dulu lagi.
Orangtuanya bercerai, Mine pun ikut dengan ayahnya tetapi sang ayah memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan di pusat kota Jepang, membuatnya mau tak mau tinggal sendirian di Miyagi. Sebenarnya Kei juga tidak mempermasalahkan gadis itu jika memang ia tak bisa pindah ke tempat kelahirannya dan harus menetap di Tokyo. Hanya saja, karena sebuah janjilah membuat Mine kembali dan tinggal lagi di Miyagi. Janji sang gadis, dimana ia akan selalu bersama Kei sampai kapanpun. Memang sempat diingkari, tapi sekarang ia sedang memperbaiki janji tersebut.
"Oi, Mine," panggil sang lelaki. Pihak yang dipanggil pun menghentikkan langkah dan menoleh, menatap sepupunya dengan wajah bingung.
"Kenapa?"
Kei mengernyitkan dahi, menyadari bahwa gadis ini begitu handal dalam merubah wajah dalam hitungan detik. Bahkan suasana hati seburuk apapun, ia tetap mematri senyuman tanpa menyadari perasaannya.
"Jalanmu cepat banget, kayak dikejar setan."
Mine mengembungkan pipi. "Suka-suka aku dong. Kaki punyaku kok!"
Tuh 'kan, Kei benar-benar takjub melihat sepupunya sangat pandai bersandiwara. Selama dua tahun di Tokyo dia mengikuti kelas akting apa? Lantas ia mendecih, berjalan menyamakan bersisian dengan sang gadis dan menatapnya dengan tatapan kesal.
"Cepat jalan," titahnya.
Gadis bermanik baby blue itu mendengkus, mengikuti perkataan sepupunya untuk berjalan lebih dulu sementara Kei menyamakan ritme langkah Mine. Setelah menciptakan obrolan singkat, wajah gadis itu kembali meredup. Ia tak suka, ia tak suka pemandangan ini. Kei lebih memilih gadis itu begitu hype dan berisik daripada diam dan menciptakan suasana mendung pada wajahnya.
Putuskan untuk memegang bahu Mine, membuat keduanya sama-sama berhenti. Mereka saling beradu pandang dengan wajah gadis itu yang kembali menyiratkan kebingungan, sementara Kei menatap lawan bicaranya dengan tatapan datar.
"Berikan kantongmu."
"Eh? Kantongku?" Mine bertanya seraya mengangkat kantong belanjaan miliknya. Kantong tersebut tidak terlalu berat mengingat hanya beberapa kotak vitamin dan makanan instan disana, tetapi ketika kantong tersebut diangkat Tsukishima langsung mengambilnya membuat sang pemilik mengerjap.
Kei berjalan meninggalkan Mine yang masih diselimuti kebingungan. Benar-benar heran karena kelakuan sepupunya hari ini sangat aneh. Ia bingung apa yang sedang terjadi sampai membuat mereka memakan waktu begitu lama di jalan karena terlalu banyak berhenti. Kakinya pun berlari kecil menyusul Tsukishima dan menyamakan langkahnya, menatap lawan bicaranya dengan tatapan curiga.
"Kei-chin, kau aneh sekali hari ini," cibir sang gadis, membuat Kei tersentak dan mendengkus.
"Kau adalah orang yang paling aneh."
"Aku? Memangnya aku ngapain?"
"Tidak ada." Lelaki berkacamata itu menjawab. "Kau memang selalu bertingkah aneh setiap hari dan aku mengatakan kebenaran."
Mine mendengkus, mengusap dagunya dan terlihat berpikir. Kepalanya kembali ditolehkan pada Kei yang dimana lelaki itu menatap lurus ke depan tanpa berbicara sepatah kata lagi. Aneh, sepupunya hari ini benar-benar aneh.
"Kau sakit?" Gadis itu bertanya seraya memegang lengan Kei, membuat sang empunya menghela napas kasar.
"Sudah kubilang kau orang aneh, bukan aku." Kei memperjelas. "Kau punya masalah apa sampai harus berlagak berganti mimik wajah?"
Tepat, orang yang selalu sadar sesuatu terjadi padanya hanyalah Tsukishima Kei. Dada sang gadis terasa berdesir ketika pertanyaan tersebut ditujukan padanya, membuat genggaman pada lengan sang sepupu melemas. Terlihat Mine yang menunduk, entah menahan tangis atau emosi. Irisnya bergulir sejenak pada gadis di sisi lalu dengkusan terdengar diiringi decakan.
"Angkat kepalamu, kau tak berhak melihat ke bawah." Kei bertitah, membuat Mine spontan menoleh pada lawan bicaranya. "Kau harus melihat ke depan dan menghadapi masalahmu."
"Tapi ...."
"Aku bukan konselor yang bisa memberi solusi, tapi aku tak tahu apa yang terjadi padamu jika kau tak memberitahu," ujar sang lelaki seraya menaikkan kacamatanya yang melorot.
Mine menggaruk pipinya dan mengalihkan pandangan, enggan menatap lawan bicaranya. Jika dipikir-pikir orangtuanya telah berpisah, ia telah menjadi tanggung jawab sang ayah sepenuhnya. Namun ibunya masih saja mengusik kehidupan mereka, terutama Mine selaku anak tunggal di keluarga Amakusa. Ya, dia memang tidak terlalu pintar dan mungkin kata "bodoh" bisa disematkan padanya. Kehidupannya hanya seputar bela diri tanpa memikirkan nilai mata pelajarannya yang selalu buruk, membuat sang ibu (yang kini adalah mantan ibunya) selalu menjelek-jelekkannya. Memang benar, ia berasal dari rahim seorang wanita yang disebut ibu, tapi wanita itu tetap saja memperlakukannya buruk meskipun mereka sudah tidak ada hubungan keluarga sama sekali.
Tidak mudah memang memaksa Mine untuk bercerita, sebagai seorang sepupu Kei juga tahu akan hal itu. Walau tampangnya terlihat seperti orang yang tidak peduli, padahal aslinya ia sangat memikirkan keadaan Mine yang sedang kacau akhir-akhir ini. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh, mereka tinggal bersebelahan tapi tak bisa juga setiap waktu ia memantau gadis itu.
Helaan napas kasar tercipta, Kei melirik pada gadis di sisinya sekilas dan berucap, "Ngomong-ngomong, ibu mengundangmu ke rumah untuk mengikuti acara tsukimi."
"Eh? Bibi?"
"Iya, lagian kau juga seperti orang yang tidak terurus. Lebih baik kau ke rumahku dan makan bersama bukan?"
Manik baby blue Mine bergulir pada lawan bicaranya. Ia lalu memanyunkan bibir ketika mendengar kata-kata sindiran dari sepupunya. "Kalau mau ngajak orang yang bener dong!" protesnya.
"Aku sudah mengajakmu dengan baik. Tergantung penerimaanmu menganggap ucapanku sebagai ajakan yang baik atau tidak." Kei menjawab diiringi senyuman miring di wajah. Mendengar itu pun membuat Mine geram. Kedua tangannya sudah terkepal, hendak melayangkan tinjuan pada sepupunya tetapi Kei keburu menghindar dan kejar-kejaran pun terjadi. Di saat itu juga tawa pecah di antara mereka, baik Kei dan Mine keduanya sama-sama tertawa. Setidaknya pemandangan tersebut sedikit membuat Kei bernapas lega, membuktikan bahwa suasana hati sang gadis perlahan membaik.
🍁🍁🍁🍁
"Ah, selamat malam, bibi!" Adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Mine ketika pintu rumah keluarga Tsukishima terbuka dan dirinya disambut oleh nyonya Tsukishima yang tersenyum padanya.
"Selamat malam, Mine-chan. Ayo masuk."
Anggukkan tercipta kala dirinya dipersilakan untuk masuk. Mine pun melangkahkan kakinya memasuki kediaman Tsukishima, menaruh sandal di rak sepatu dan maniknya tak sengaja melihat sendal rumah berbentuk kelinci putih disana.
"Hee, bukankah ini sendalku, bi?"
"Oh, iya. Itu sendalmu, Mine-chan," jawab sang wanita. "Kami menemukannya saat berkemas, dulu kau bilang ingin memakai sendal ini kalau ke rumah kami."
"Iya, aku ingat!" Mine mengeluarkan sepasang sendal berbentuk kelinci putih yang warna dan bulunya masih begitu bersih dan halus. Ia tak menyangka sendal ini masih disimpan baik-baik di rumah sepupunya. Sendal tersebut pun dikenakan, berjalan masuk membuntuti nyonya Tsukishima sampai maniknya menangkap sosok anak tertua di rumah yang melambai padanya tengah duduk di halaman belakang.
"Mine-chan~ Lama tak berjumpa!"
"Eh? Aki-nii udah pulang?" tanya sang gadis antusias. Sejenak ia memberikan bingkisan berupa nasi kepal pada bibinya lalu melangkah menuju halaman belakang. Tak disangka, si bungsu Tsukishima juga berada disana tengah duduk merenung dengan headphone terpasang di telinga. "Lama tak berjumpa juga, Aki-nii!"
Keduanya terlihat bahagia, dimana Tsukishima Akiteru dan Mine melompat kecil karena lama tak bersua dan saling menggenggam tangan. Si bungsu Tsukishima yang melihat itu pun mengernyit dan membuka suaranya.
"Suara kalian bisa membuat bulan purnama retak," cibirnya, membuat kedua insan itu berhenti dan terkekeh.
"Karena Mine-chan sudah datang, aku mau siap-siap dulu di dapur membantu ibu," ujar Akiteru. "Mine-chan temani Kei dulu ya?"
"Oke!"
Setelah sulung Tsukishima pergi meninggalkan keduanya, Mine menoleh pada Kei yang mengenakan hoodie hitam dan headphone yang setia di kedua telinganya. Mine yang mengenakan kaos distro merah muda bertuliskan "Pink is Life", celana panjang dan rambut mokanya yang hanya sepanjang dada dibiarkan begitu saja. Ia duduk di sisi Kei, menatap lelaki itu cukup lama membuat pihak yang ditatap merasa risih. Kei menoyor kepala sang gadis, membuat Mine mengaduh dan mengembungkan pipi.
"Jauh-jauh sana."
"Jahat banget jadi makhluk hidup!" keluh sang gadis, membuat Kei menyeringai.
"Emang. Baru tahu?"
Mine mendecih, lantas mendekatkan dirinya pada Kei—benar-benar menempelkan diri pada lelaki itu sampai membuat Kei risih karenanya.
"Sudah kubilang jauh-jauh!"
"Semakin kau usir, aku semakin dekat loh~"
Kei mendengkus pasrah karena sepupunya. Ia pun meletakkan kedua tangannya di bahu Mine, menggeser tubuh gadis itu hingga terbuat sedikit jarak di antara mereka dan membenarkan headphone-nya yang sempat bergeser karena diisengi oleh Mine.
Lain halnya dengan sang gadis yang mendengkus geli. Maniknya pun bergulir ke langit malam, melihat bulan purnama yang begitu terang di sana. Tsukimi adalah festival menikmati pemandangan bulan yang diselenggarakan pada pertengahan musim gugur. Namun karena mereka melakukannya di rumah dengan menikmati kue dango, hal tersebut juga tak enak disebut sebagai festival karena mereka menghabiskan waktu dengan menikmati pemandangan bulan dan memakan kue dango warna-warni yang telah disediakan.
"Kei-chin, katanya di bulan ada kelinci yang lagi bikin mochi. Apa iya?" Mine membuka pembicaraan, tetapi manik birunya tak lepas dari bulan yang menyinari bumi. Kei melirik sepupunya sekilas dan mendengkus.
"Umurmu berapa sih masih percaya begituan?"
"Aku 'kan cuma nanya! Tapi aku percaya disana ada kelinci yang sedang bekerja membuat mochi."
"Dan kau adalah orang terbodoh yang percaya akan hal tersebut."
Decihan tercipta kala kata-kata itu ditujukan padanya. Memang lidah asin atau sifat menggarami sang lelaki tak pernah hilang, tapi Mine sama sekali tak tersinggung (tapi tetap saja ia merasa kesal akan hal itu). Di satu sisi, lelaki itu juga tak bisa mengungkapkan keinginannya dan memilih untuk berkilah di balik kalimatnya.
"Aku punya sesuatu untukmu." Kei berujar, membuat kernyitan tercipta di dahi Mine.
"Tumben."
"Ini berguna untuk mengurangi kadar kebodohanmu."
"Argh, iya iya apa!"
Lelaki berkacamata itu menahan tawanya ketika melihat Mine marah. Ia pun melepas headphone-nya dan memasangkannya pada sang sepupu. Mine mengerjap kala headphone tersebut terpasang di kedua telinganya dan juga kepalanya. Hal pertama yang ia dengar ketika benda tersebut terpasang adalah alunan musik dari dentingan piano membuatnya menatap Kei dengan tatapan bingung.
"Apa ini?"
"Mozart," jawab sang lelaki. "Kau tahu tidak?"
Mine menggeleng pelan, membuat Kei mendecak dan berkomentar, "Bagus, sangat cocok untuk mengurangi kadar kebodohanmu."
"Berapa kali kau mengataiku bodoh hah?!"
"Tiga kali."
Pertanyaan tersebut dijawab serius oleh Kei. Mendengarnya membuat Mine mengepalkan kedua tangan, lagi-lagi hendak memukul sepupunya tetapi niat itu diurungkan ketika Kei tertawa lepas melihat tingkahnya.
"Apa yang kau tertawakan?!"
"Kau, aku menertawaimu."
"Kei-chin!"
Kei kembali tertawa, terdengar seperti mengejek di telinga Mine (yang tertutupi headphone). Ia pun melepas headphone milik Kei dan mengembalikannya pada sang empunya. Dengkusan tercipta, ia memangku tangan dan memunggungi Kei dengan wajah masam—enggan berbicara dengan sang lelaki.
Sejenak Kei mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa, menepikan headphone miliknya dan menggeleng pelan. Ia melihat gadis itu memunggunginya, membuatnya menopang pipi dengan siku bertumpu pada pahanya.
"Oh, apa si bodoh mulai marah?"
Mine tak menjawab, tidak terima juga berkali-kali dikatai bodoh. Pokoknya dia marah, dia ngambek!
"Bagaimana?"
Kei bertanya. Fokusnya saat ini adalah bulan yang berada di langit malam. Terlihat begitu indah dan menerangi bumi. Mengingat namanya juga mengandung kata "bulan", setiap kali melihat bulan pun perasaannya menjadi lebih tenang.
"Apanya?" Mine bertanya dengan suara meninggi, tidak paham dengan pertanyaan yang diajukan padanya.
"Tentu saja perasaanmu." Lelaki itu membalas seraya menaikkan kacamatanya. "Suasana hatimu benar-benar buruk tadi, kupikir kau akan menghantam tanganmu ke tembok lagi."
Manik gadis pemilik mahkota moka mendadak membola, mengetahui sang sepupu sadar akan gelagat anehnya karena perkara masalah keluarga. Tak lama maniknya sendu, mengulas senyuman tipis dan mengarahkan pandangan ke tanah.
"Sudah kubilang jangan lihat ke bawah."
"Terus aku harus lihat kemana? Ke depan? Masalahnya tidak semudah itu, Kei-chin," keluhnya. "Aku capek menghadapi ini."
"Aku tahu, apalagi punya seseorang yang sudah tidak ada sangkut pautnya denganmu tapi tidak tahu diri dan ikut campur." Kei menjelaskan. "Sebaiknya kau abaikan saja ibumu, toh dia tidak memberimu makan atau mengurusmu."
"Iya sih, tapi aku ingin membalas perkataannya itu ... kuingat ada yang pernah berkata padaku cara untuk menutup mulut orang yang menghina kita adalah dengan bukti bahwa kita lebih dari apa yang mereka ucapkan."
"Terus?"
"Terus, aku berpikir untuk jadi model."
"Hah?"
Mine tersenyum geli melihat ekspresi yang tergambar di wajah sang lelaki. "Lucu ya? Tapi itu keputusanku, Kei-chin. Aku akan melakukan pelatihan selama 3 bulan di Tokyo tapi~" Ia menggantungkan kalimatnya sejenak dan mengacungkan jari telunjuknya. "Aku akan pulang pergi ke Tokyo, jadi aku tetap berada disini."
Sang lawan bicara terdiam menatap Mine dengan tatapan datar. Ia memang tidak bisa melarang, malah dirinya harus bergerak sebagai support system agar gadis itu dapat mencapai keinginannya. Namun, apa tidak masalah jika Mine harus bolak-balik ke pusat kota Jepang? Badan gadis itu sudah tidak ada isi sama sekali, Kei khawatir nantinya dia bisa diterbangkan oleh angin karena terlalu ringan.
"Kau sudah memikirkannya?"
Anggukkan tercipta oleh sang sepupu. "Aku juga sudah berbicara dengan ayah dan dia menyetujuinya. Jadi aku akan beristirahat di tempat ayah ketika aku di sana."
"Good luck," ucap Kei pelan, hampir tak terdengar sama sekali membuat Mine mendekat.
"Apa? Kau bilang sesuatu?"
Kei mendengkus. "Aku bilang, kau bodoh."
"Haaah? Kenapa lagi?" Mine protes karena untuk ke sekian kalinya ia dikatai bodoh. Melihat reaksi sepupunya membuat senyuman tipis terpatri di wajah. Lantas ia menggeleng pelan dan menatap bulan purnama di langit malam.
"Soalnya kau masih percaya ada kelinci di bulan yang sedang membuat mochi."
"I-Itu memang benar 'kan!"
"Kau mau dianggap bodoh karena mempercayainya?"
Tidak tahan karena berkali-kali dikatai "bodoh" membuat Mine geram dan menepuk (memukul) bahu sepupunya tetapi Kei sempat menghindar dan tertawa mengejek gadis itu. Mereka kini saling kejar-kejaran di halaman belakang kediaman Tsukishima, diiringi teriakan frustasi Mine karena tak dapat mengejar lelaki itu.
Candra adalah saksi bisu dari keduanya
Melihat mereka bersenda gurau melepas tawa
Mewarnai cakrawala gegap gempita dengan bahagia
Fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top