Mapplekyuu!! | Satu Hari
🍂
.
To my dearest libero, Nishinoya Yuu.
.
.
The leaves began to fall one day
October sighed, "I shall go away"
When all the trees are bare and gray
I know i wouldn't want to say!
-Lenore Hetrick
.
.
.
.
Pohon maple masih berdiri di belakang gedung SMA Karasuno.
Awal bulan Oktober. Angin musim gugur bertiup pelan, bergesekan dengan helai maple yang telah berubah kemerahan. Para ranting menggigil, terlebih saat para dedaunan itu memisahkan diri dan mencium permukaan.
Bau udara yang kering dan kayu yang lembap tak pernah berubah sejak dulu. Jejak yang tak pernah pudar meski hujan dan angin berusaha mengikisnya.
Nishinoya Yuu tak pernah melupakannya setiap kali kaki membawanya ke tempat ini. Dia telah menyaksikan dunia, menulis cerita diantara piramida mesir atau meninggalkan jejak di laut saat menangkap merlin.
Tapi tak pernah sejengkalpun ia lupa tentang euforia di sini, di tempatnya berdiri sekarang dan lima tahun lalu. Meski langkah berusaha membawanyanya pergi melupakannya.
Musim gugur,
Maple yang sewarna langit senja,
Aroma gadis itu yang tak bisa ia lupakan.
Musim gugur yang kering dan mencekik adalah dia. Dan akan selalu bernama Ishimaru Aya sebanyak apapun angin dingin membawanya datang dan pergi.
Ah, Nishinoya itu. Para gagak yang tak sengaja melintas di cakrawala jingga itu selalu tahu kalau setiap kali lelaki itu datang, setiap daun-daun berguguran, yang ada dipikirannya hanyalah gadis itu.
Ishimaru Aya, nama yang sederhana. Tetapi jika mengaitkannya dengan sang adam, segalanya tak lagi sederhana. Gadis itu menyandang nama sebagai cinta pertama Nishinoya Yuu.
Lima tahun atau enam tahun telah berlalu. Setiap kali berhadapan dengan daun helai jari, Nishinoya merasa lebih tinggi. Lebih tinggi dari terakhir kali dia mengucapkan salam perpisahan ketika kelulusannya dari SMA.
Dan lebih tinggi dari terakhir kali dia menatap mata gadis itu.
Langit jingga terbentang di sepanjang mata memandang. Angin meniup helai rambutnya yang tebal. Rasanya seperti gadis itu sedang membelai kepalanya.
Hati sang adam berbisik menyebutkan namanya.
Ah, betapa dia begitu merindukannya.
Saat itu dia hanya seorang laki-laki kelas 2 SMA. Masa-masa yang penuh semangat. Seorang libero andalan tim voli. Seseorang yang dijuluki dewa pelindung.
Dan sebagai seorang lelaki biasa, Nishinoya juga mengenal rasa suka.
Perasaan itu jatuh pada seorang gadis di kelasnya, Ishimaru Aya. Gadis itu terlihat biasa saja, rambut sebahu yang sewarna dengan bulu gagak dan mata secoklat daun kering yang cantik. Tidak terlalu tinggi, bahkan hanya setinggi dagu Nishinoya, dimana lelaki itu juga memiliki tinggi dibawah rata-rata.
Jika Nishinoya adalah badai yang mengacak-acak lautan, maka Ishimaru adalah angin musim gugur yang mencium dahan meranggas.
Berbeda ketika sang adam mengidolakan manajer klubnya, gadis itu punya arti sendiri yang sulit dijelaskannya. Dewa batin Nishinoya yang menjerit dan kembang api yang berpedar ketika berpapasan dengannya.
Tanpa suara, hanya netra yang terus mengikuti punggunya menjauh.
Pagi itu, satu daun maple lepas dari dahannya di awal Oktober. Mendarat tepat di helai rambut milik Ishimaru yang sedang bersenggama di bawahnya.
Nishinoya kala itu datang pagi-pagi sekali untuk melakukan latihan pagi, dan langkahnya terhenti di belakang sekolah.
Menyaksikan pemandangan sang lembayung mungil di bawah musim gugur.
Hening tercipta di antara mereka. Hanya ada suara angin meniup dedaunan yang terkapar di tanah.
Pohon kesepian yang menjadi saksi ketika netra mereka bertemu dan memulai semuanya.
Netra gadis itu selalu terlihat indah. Mungkin bintang akan merasa iri jika melihatnya.
Genangan air di pelupuknya membuat mata cantik itu berkilauan. Apa dia menangis?
“Ishimaru-san?”
Naluri sang adam menyuruhnya mendekat. Berlutut di depannya dengan kedua tangan menangkup pipi milik si gadis, memaksanya beradu tatap dengan mata tajam milik Nishinoya. Hazel bertemu coklat eboni. “Siapa yang membuatmu menangis?”
Kekhawatiran terbentuk di setiap garis wajah Nishinoya. Ibu jari menyeka tepian kelopak. Jemari yang lain menyeka anak rambut. Sedangkan matanya yang teduh memberi ketenangan.
Rona hangat terasa samar di pipi sang gadis. Dengan canggung Noya menarik kembali tangannya, menyembunyikan di balik punggung. Pandangan mereka sama-sama teralihkan dengan malu. Daun maple yang menyaksikan seperti tertawa.
“Ehm.” Nishinoya berdeham memutus kecanggungan. “Siapa yang menangisimu? Aku bisa menghajarnya untukmu, Ishimaru-san.”
Bagaimana jika jawabannya keadaan?
Bibir tipis membentuk kurva indah, “Aku tidak menangis.”
Nishinoya benci melihat seseorang yang berbohong dengan wajah cantik.
Sudah lama sang dewa pelindung memperhatikannya. Wajah gadis itu selalu cantik apapun keadaannya. Saat hujan dia terlihat senang menatap rintik air yang hinggap di kaca jendela. Di musim panas dia seperti bunga gardenia yang bermekaran.
Saat ini dia serupa daun musim gugur yang merah, terlihat cantik dan sedih.
“Menyembunyikan kesedihan hanya akan jadi penyakit loh.” kata Nishinoya.
Ishimaru tertunduk dengan kaki bermain pada daun kering. Kurva bibirnya tetap melengkung, namun kelopak matanya berbicara sedih. “Nishinoya-kun,”
“Mau membolos bersamaku?”
Sang adam memberi afeksi, menatapnya demi meminta kejelasan.
“Bawa aku pergi hari ini saja.”
*
Tawa renyahnya lepas ketika sepeda yang mereka tumpangi menuruni bukit Karasuno.
Saat sang gadis meminta, Nishinoya menarik tangannya dan membawanya berlari. Mengambil sepeda milik Hinata di tempat parkir. Peduli amat kalau adik kelasnya akan mengomel.
Nishinoya ingin bersamanya hari ini.
“Ishimaru-san, jangan lepaskan pegangannya!” kata Nishinoya dari bangku kemudi. Semangat penuh mengayuh sepeda. Wajahnya terpapar angin dingin namun tak dipedulikannya, yang dirasakan hanyalah jemari sang gadis yang memegangi seragamnya.
Tak ada yang lebih bahagia.
“Ini seruuu!!” Ishimaru tertawa lepas. Rambutnya yang sebahu bertiup angin. Matanya terpejam ketika menengadah ke langit.
Mereka bilang bahagia itu sederhana.
“Ada turunan lagi!” kata Nishinoya. “YAHOOO!!!"
Tanpa sadar jemari Ishimaru tak lagi memegangi tepi seragam Nishinoya. Beralih ke lengannya memeluk perut lelaki yang memboncenginya. Kepala yang bersandar pada punggung kurus Nishinoya dengan tawa manis yang tak pernah surut.
Jantung Nishinoya berdegup cepat seperti derap kuda berlari. Berselimut rasa nyaman, Ishimaru sangatlah hangat. Tawanya cantik dan sangat disukainya.
Inilah yang dirasakan pangeran berkuda putih saat bersama tuan putrinya.
Tangan kanan Nishinoya masih berada pada stang sepeda sedang tangan kirinya menggenggam pelukan sang gadis. Rasanya kupu-kupu yang berterbangan di perutnya sedang direngkuh oleh Ishimaru.
“Jangan dilepas ya, Ishimaru-san.”
Dua orang anak berseragam yang membolos. Bersepeda menuruni jalan. Kehangatan yang memeluk di tengah dingin Oktober. Tawa yang manis, seperti angin berbisik. Dua orang yang ingin waktu tidak berjalan.
Dibonceng Nishinoya, Ishimaru melihat banyak hal. Orang-orang sibuk mengangkut barang, membuka toko, anak-anak pergi ke sekolah. Langit pagi yang putih bersih dan pohon-pohon yang mulai kehilangan daunnya.
Tanpa sadar gadis itu memeluk sang adam lebih erat.
Daun kering yang hancur mendengar bisikannya, agar waktu berhenti saat ini juga.
Mereka menikmati coklat panas dari sebuah kedai. Wangi coklat menguar bersamaan dengan uap hangat. Suhu terasa sangat sejuk. Sepeda yang terparkir di tepi taman, dua bahu yang hampir bersentuhan…
Bisakah jarak mereka lebih dekat lagi?
“Aku baru tahu, coklat panas ternyata semenyenangkan ini.” kata si gadis dengan jemari mengetuk gelas. “Hangat. Tenang.”
“Pertama kalinya untukmu.”
“Ya,” bilah bibir kembali bertemu coklat. “Mungkin terasa menyenangkan karena aku meminumnya bersamamu.”
Nishinoya merasa tergelitik. Perasaan seperti angin yang menyisir lembut kelopak bunga. “Minumlah bersamaku. Kapanpun kau mau. Aku akan menemanimu.”
Secarik senyum tipis terbit di wajahnya. Kelopak mata Ishimaru terlihat teduh melindungi netra, seperti angin musim gugur yang memaksa daun maple merunduk. Cantik sekali, seperti lukisan wanita sedih.
“Aku akan selalu mengingatnya. Wangi coklat panas.”
Dia tercium seperti daun kemerahan.
“Dan kamu.”
Nishinoya membeku. Ini jelas perasaan sesak yang berbeda. Jarum yang menusuk, tali yang mengikat, suara yang berteriak. Mata lelaki itu begitu tajam, intuisi yang terlatih karena ia terbiasa dengan ketegangan lapangan.
Perasaan apa?
“Ishimaru-san,” Nishinoya meraih tangan sang gadis. Menggenggam jemari lembut itu dengan telapaknya yang kasar. “Hari ini masih panjang.”
Genggamannya makin erat. Senyum yang penuh keyakinan.
“Ayo bahagia!”
Seandainya bahagia juga punya kata esok.
*
Ishimaru Aya adalah replika musim gugur.
Sepanjang hari, senyum tak pernah luntur di tengah udara dingin, masih sehangat coklat panas dan roti panggang. Saat tertawa rasanya seperti mendengar angin bergesekan dengan dedaunan, renyah, teduh, dan indah. Saat ia berlari di tepian danau, dia sebebas daun maple menari di langit.
Dia layaknya puisi ditengah daun yang berubah warna.
Nishinoya Yuu, lelaki itu dibuatnya jatuh cinta. Di setiap langkah, setiap katanya, pada hal-hal kecil yang dilakukannya. Kata mereka jatuh cinta memang sebahagia ini, bahkan jejak coklat yang tertinggal di tepian bibir sang gadis terlihat cantik.
Rasanya berpedar, warna-warna hangat dilukis pada kanvas raksasa musim gugur.
Amber..
Coklat..
Jingga..
Merah..
Emas..
Hal-hal yang akan selalu diingatnya. Aroma yang membekas dan tak pernah pudar. Tawa yang bergema di tengah dingin tak mungkin dilupakannya. Perasaan hangat yang nyaman.
Awan bergerak berarak. Langit semakin menjingga. Dua orang anak manusia berjalan bersisian, dipisahkan oleh sepeda milik Hinata yang menjadi saksi cerita satu hari milik mereka.
Jingga menuju gelap. Hari akan berakhir.
“Kita benar-benar membolos hari ini, Nishinoya-kun.” katanya pelan dengan tawa kecil pada ujung kalimat.
“Kalau kau yang memintanya, akan kuantar kemanapun!” Nishinoya berbinar, “Akan kubelikan gari-gari-kun lagi lain kali!”
Lagi, Ishimaru Aya tertawa lepas. Seperti kelopak bunga berpedar.
“Kamu cantik sekali saat tertawa, kau tahu?” Sang adam menghentikan langkahnya. Menatap punggung gadis itu yang dua langkah di depannya. “Karena itu, jangan bersedih. Aku ada di sini.”
Mereka berhenti di atas jembatan yang sungainya mengalir tenang. Jernih, memantulkan bayangan langit sore yang sepi. Sehelai daun jatuh diatasnya, mengalir bersama air tenang.
“Aku beruntung karena itu kamu.” Ishimaru berbalik, menatap Nishinoya dengan senyum sendu. Semilir angin meniup rambutnya. “aku beruntung karena kamu yang menemukanku.”
Setitik air mata kembali jatuh dari ujung netranya.
Sang gadis lagi-lagi menangis.
Nishinoya merasa sesak, “kita akan membeli gari-gari-kun, kau tahu? Besok.”
Cengkramannya pada sepeda makin menguat. Senyum sendu gadis itu sangat menyakitkan.
“Jika ini bukan hari terakhirku,” pandangan si gadis beralih pada sungai. Mata itu terlihat kosong. “ini hari terakhirku di sekolah. Di sini. Di Miyagi. Besok, aku akan segera berangkat ke Osaka.”
Kosong. Nishinoya merasa buntu. Kata-katanya terasa sangat asing. Padahal beberapa waktu lalu, ia masih bisa melihat binar indah itu. Hangatnya, tawa renyahnya. Sepanjang hari yang dingin mereka menghabiskan satu hari bersama.
Ternyata gadis itu sedang mempersiapkan perpisahan.
“Karena itu, karena itu…” suara sang gadis tertahan. Serak diantara kosong menahan tangis. “Seandainya hari ini bisa lebih lama.”
Aku harus apa?
“Seandainya hari esok tak pernah datang.”
Padahal dia hanya gadis biasa.
“Aku ingin terus bersamamu.”
Aku tak mau kau pergi.
Dia menahan tangis. Nafas yang tak beraturan dan blah bibir yang terselip di deretan gigi. Mata menengadah menatap langit, yang seolah ikut bersedih.
Tak ada satupun kata dari lelaki libero. Cengrakaman pada sepedanya tak mengendur. Menahan suara yang menjerit di dalam dirinya.
“Hari semakin dingin, Ishimaru-san.” Nishinoya menaiki sepedanya. Dengan wajah menatap lurus, tak sedikitpun melirik gadisnya. “Ayo kembali ke sekolah.”
Dia terlalu sedih.
Sang gadis kembali di boncengan Nishinoya. Roda berputar melawan angin dingin. Memang kata orang, kebahagiaan selalu diikuti kesedihan. Masih jelas jejak tawa mereka diatas sepeda pagi tadi.
Kini hanya jerit tangis gadis itu yang bersembunyi di balik punggung Nishinoya yang terdengar. Dengan buku-buku jari menggenggam erat seragam hitamnya. Tangis itu pecah di sepinya sore musim gugur.
Nishinoya mengayuh semakin cepat. Dia merasa gagal melindungi senyum Ishimaru.
Satu hari seperti teater, tirai kebahagiaan kembali tertutup.
Tak ada suara lagi diantara mereka ketika sampai di sekolah. SMA Karasuno berangsur sepi, seperti daun yang jatuh meninggalkan pohonnya. Sunyi dan kedinginan.
Ishimaru berdiri di depan pohon maple. Saksi dimulainya hari ini, satu hari cepat yang takkan dilupakannya.
“Nishinoya-san, apa daun itu mengucapkan selamat tinggal pada pohon ketika berguguran?”
Ditatapnya bola mata hazel itu oleh sang adam. Seperti sinar baskara mengintip menembus celah pohon. Mencari arti. Melihat dirinya ada di sana.
“Ya. Karena mereka tidak akan kembali.”
Mereka berhadapan dan hanya terpisah satu langkah. Masih sesunyi angin bertiup. “Apa aku harus mengucapkan selamat tinggal?” bisiknya lirih.
Siapa yang sanggup seikhlas pohon ketika daunnya berguguran?
“Tidak akan kubiarkan kamu mengucapkan selamat tinggal.”
Senja awal Oktober yang berwarna hangat itu menjadi latarnya, kala Nishinoya Yuu melangkah untuk memutus jarak. Daun mengintip malu-malu dan angin sedikit tersenyum sedih. Sang adam mengikis ragu dan sesak di hati dengan menempelkan bibirnya pada bibir sang gadis.
Bilah merah muda yang tercampur coklat ditengah dingin. Hembusan nafas yang menggelitik itu terasa manis. Ujung dua pasang netra menitikan air mata. Buku-buku jari mereka saling mengait. Daun kering maple ikut menangis.
“Jadi kembalilah. Mari bertemu lagi. Musim semi, musim panas, atau musim dingin.”
Tirai perpisahan terangkat.
“Agar aku tak lagi melepaskanmu seperti musim gugur yang memisahkan semuanya.”
Malam datang mengucapkan selamat tinggal pada hari bahagia mereka.
Satu hari di musim gugur.
Lima tahun terlewat namun bayangan Ishimaru yang berada di bawah ginkgo tak pernah terhapus sedikitpun. Sang gadis tak pernah lagi berdiri di sana. Dengan mata hazelnya yang beradu dengan daun coklat dan kemerahan.
Mereka bilang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tetapi hatinya masih sesesak seperti lima tahun lalu. Ketika dia melepas pagutan bibirnya dan menatap lembayung cantik itu menangis. Hatinya masih sesakit ketika Nishinoya merengkuh tubuh kecil gadisnya, yang rapuh dan terus menjerit sedih.
Lima tahun tanpa suara Ishimaru di telinganya. Tak sepatahpun kabar darinya. Dia hilang seperti debu yang tertiup.
Nishinoya begitu merindukannya. Masih dengan debaran yang sama untuknya. Sejauh dia melangkah, bertemu banyak hal, mengunjungi berbagai tempat. Ketika seseorang menyebut rindu, pasti untuk Ishimaru-lah kata itu.
Sampai kapan ia harus menunggu?
Entahlah, Ishimaru Aya. Gadis itu tak pernah mengucapkan selamat tinggal padanya.
Maka Nishinoya akan menunggu.
*
.
You are so beautiful even the leaves fall for you
.
.
🍂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top