Maplekyuu! - Believe

Suara sepatu bergesek pada lantai licin berhasil menjadi salah satu polusi udara. Aroma keringat lelah serta karet bola voli memasuki indra penciuman. Otak mencerna, meninggalkan nostalgia kerinduan yang telah berlalu. Setiap bola mendarat di lengan serta telapak tangan pemain, suara berseru terdengar mengisi suara. Sesekali, peluit ditiup oleh sang pengganti wasit. Keramaian ruangan olahraga bagian dalam sungguh meninggalkan hawa de javu.

Seperti setahun lalu, dua tim asal sekolah kuat dari Miyagi dan Tokyo berkumpul di sini melaksanakan pertandingan antara kucing dan gagak. Walau kelas tiga sudah lulus dan menggapai langkah masa depan, mereka tetap kembali hari ini untuk menepati janji melepas rindu dengan permainan bola voli. Voli bagaikan benang pengikat mereka dalam pertemanan, tim, atau mungkin keluarga.

Akutagawa Mizuki, gadis dengan mahkota hitam kelam dan pupil mata turquoise itu menjadi salah satu saksi memandang perjuangan setiap pemain yang tengah berada di lapangan saat ini. Bukan pertandingan resmi, tetapi ini sangat memberikan dampak bergairah bagi sang gadis secara diam. Mungkin, ini akan menjadi terakhir kalinya dia melihat situasi seperti ini, mengingat dia sudah menginjak pada tahap akhir sekolah menengah atas. Dia sudah akan memulai kehidupan baru yang belum dia tentukan.

Haruskah dia berkuliah? Atau dia harus melamar kerja agar mampu membiayai kebutuhan sang adik, ibu, dan sekaligus membuka peluang kaya untuk dirinya? Sesungguhnya itu masih belum terjawab dalam benaknya.

Kedua tangan mengangkat sebuah kotak berisi botol minuman yang baru saja diisi olehnya bersama Yachi Hitoka dan Shimizu Kiyoko. Kaki mengambil langkah berhati-hati, dia memandang ke arah kedua gadis di hadapannya, kembali terlarut akan lamunan. Yachi Hitoka memiliki kemampuan desain yang diwariskan oleh ibunya, tetapi dia masih tidak perlu memusingkan langkah selanjutnya mengingat dia setingkat di bawah Mizuki. Kiyoko sudah melalui masa ini dan mengambil jalur perkuliahan. Helaan napas kembali lolos dari bibirnya, memandang dua gadis di hadapannya, kemudian disusuli oleh dua laki-laki lain yang datang untuk membantu.

"Sini, biar aku saja." Suara maskulin lembut berhasil memasuki pendengaran. Tangan yang mengangkat kotak itu seketika ringan, pandangan segera tertuju ke arah sosok lelaki yang merebut, Kuroo Tetsurou. Pupil mata Mizuki mengecil sejenak sebelum merasakan rona merah menghiasi pipi.

Tetsurou adalah sosok kapten bertanggung jawab, berpotensi banyak, dan terampil. Lelaki bermahkota hitam dan pupil mata hazel berpesona menggiurkan tersebut benar-benar menjadi salah satu faktor titik gelisah sang gadis. Lihat senyuman lembut ataupun jahil yang terulas, keringat yang mengalir membasahi beberapa bagian tubuh, serta aroma ciri khas sang lelaki yang menggairahkan. Entah sejak kapan, Mizuki, sudah terlarut akan pesona seorang mantan kapten Nekoma tersebut. Jika diingat-ingat kembali, pernah Mizuki pingsan hanya karena jarak berdekatan dengan sang lelaki.

"Terima kasih ...," gumam Mizuki. Jantung berdegup kencang tak karuan menyebabkan dirinya kesulitan untuk mengangkat suara. Jemari bermain di ujung jaket untuk melepas gelisah, wajahnya panas. Otak mencoba untuk mempertahankan kestabilan tubuh agar tidak jatuh pingsan kembali.

"Oho? Embat terus, Kuroo!"

"Jangan kendor, Senpai!"

"Setelah sekian lama akhirnya Kuroo-senpai melakukan pendekatan lagi!"

Sorakan demi sorakan tertuju pada mantan kapten Nekoma dan manajer Karasuno. Hal itu sukses membuat jantung Mizuki semakin melakukan maraton tak menentu. Asap imajiner keluar dari telinga ketika mendengar hal demikian. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sang gadis menaruh hati pada sang lelaki. Semua orang juga mengetahui, bahwa Tetsurou tidak menolak perasaan tersebut memberi sebuah kemungkinan membalas perasaan demikian.

Tetsurou mendengus sekilas sebelum melepas seringai halus ketika melirik ke arah kotak yang ada di tangannya. Dia menaruh kotak tersebut pada tempat semestinya, kemudian dia mengambil salah satu botol, melempar ke arah salah satu pelaku sorak. "Berisik! Kembali latihan sana!" teriak Tetsurou.

Tawa kecil lolos dari bibir Mizuki ketika melihat botol tersebut mendarat ke kening korban. Seketika kegelisahannya musnah hanya dengan memandang pemandangan konyol seperti itu. Sampai saat ini, tidak ada yang berubah. Yang berubah hanyalah mereka yang kelas tiga telah lulus dari sekolah dan yang di bawahnya naik setingkat. Pertambahan tahun serta umur, tetapi tidak mengurangi rasa sayang antara sesama jika sudah di lapangan voli.

"Aku sudah mendengar dari Mitsuko ...," ucap Tetsurou setelah meneguk minumnya, dia menoleh ke arah Mizuki. Iris hazel tajam itu tertuju pada iris turquoise milik sang gadis. Dapat dia baca ekspresi bingung dari diri itu. Tidak langsung memberi penjelasan, dia justru membiarkan jeda hening sebelum dia melanjutkan, "Datanglah ke Tokyo."

Pupil turquoise itu mengecil. Keterkejutan datang secara tiba-tiba ketika menengar ucapan Tetsurou. Sang gadis sungguh terdiam dan tak mampu menjawab apapun. Mitsuko, kembarannya, satu-satunya yang mengetahui kegelisahannya selama kelas 3 ini justru mengkhianati dan memberitahu keseluruhan pada sosok lelaki yang disukainya. Tidak, dia tidak membenci hal tersebut, dia hanya mengkhawatirkan Tetsurou justru akan memandangnya lemah. Lelaki itu telah melihat waktu terpedih dan terlemahnya dulu, dia tidak ingin Tetsurou menyaksikan kembali.

"WAH! AWAS, MIZUKI-CHAN!"

Tersadar dari lamunan, Mizuki menoleh ke arah depan dan memandang sebuah bola voli tertuju ke arahnya dengan cepat. Pupil mata semakin mengecil karena keterkejutan. Jantung berdegup kencang tak karuan mempertanyakan keselamatan paras ketika harus membentur dengan bola asal dari seorang Hinata Shoyou. Kilat dan tidak sempat Mizuki bereaksi, dia melihat Tetsurou sudah berada di depannya dan menahan bola yang seharusnya tertuju ke arah dirinya.

Tetsurou melepas senyuman manis, sukses membuat semua orang bergidik ngeri. Bahkan Mizuki dapat merasakan senyuman menusuk itu dari belakang. "Oya oya oya? Berhati-hatilah sedikit, chi-bi-chan," kata Tetsurou dan melakukan spike dari tempat tetap ke arah Shoyou.

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu terdengar begitu serius dan lembut seolah-olah benar lelaki itu mengkhawatirkan orang seperti dirinya. Mizuki tidak segera merespon, dia menelan saliva. Punggung sang lelaki besar di hadapan, seperti sebuah dinding pelindung baginya. Kokoh dan kuat, seperti rumah lindung. Mizuki memandang Tetsurou kembali, dia melihat paras tampan nan menggoda tersebut sebelum akhirnya meragukan pemikirannya.

Kenapa punggungnya seolah-olah berbicara ... akan melindungiku?

---

Maplekyuu!

Believe

Fandom: Haikyuu!

Character: Kuroo Tetsurou x OC Akutagawa Mizuki

Genre: Fluff, Romance

Word: 2,6k

---

Waktu berlalu tanpa menunggu, kegelisahan sukses menggantung dalam diri. Tangan sibuk bekerja membolak-balikkan berkas dari dosen pembimbing tercinta. Sesekali meneguk kopi yang disediakan oleh sang dosen untuk mempertahankan kesadaran di waktu seperti ini. Tanpa disadari, Kuroo Tetsurou menghabiskan hampir setengah hari di dalam ruangan kantor sang dosen hingga malam menggelap. Lantas, dia menghela napas lega ketika menyelesaikan berkas serta persiapan terakhir. Pandangan ke arah luar jendela tidak lagi mendapatkan terang seperti pertama dia datang. Sesungguhnya ada suatu hal yang mengganjal.

Dia seperti melupakan sesuatu.

"Sensei, aku pulang lebih dahulu," ucapnya sembari membungkuk singkat sebagai penghormatan pada beliau yang merupakan dosen pembimbing.

Beliau kemudian membalas ucapan terima kasih sebelum kembali berfokus pada berkas selanjutnya. Dia harus bersyukur memiliki mahasiswa rajin seperti Tetsurou membantunya di tengah hari libur seperti ini. Sebenarnya dia sedikit heran, bukankah hari ini hari libur? Lantas mengapa Tetsurou tidak berkencan dengan pacarnya?

Ah, beliau sungguh tidak tahu bahwa dia mengacaukan sesuatu hal.

Iris hazel tertuju pada ponsel, ibu jari menekan salah satu tombol untuk menyalakan layar. Pupil mata mengecil, keringat dingin bercucuran melalui pelipis. Saliva dia teguk, bibir terbuka siap dimasuki lalat.

"Sial. Aku lupa."

Kekasih manisnya, meninggalkan 30 pesan, 40 miss called. Tetsurou yakin, dia akan mati sebentar lagi. Dia mendorong layar ke atas untuk memperhatikan inti dari chat dari sang gadis. Langkah kaki sudah diambil secara tergesa-gesa, namun pupil kembali mengecil ketika membaca satu kalimat.

Tetsu, kau ada di mana? Aku takut di sini.

Mizuki adalah sosok gadis yang pengertian, tetapi bukan berarti dia akan memaklumi kesalahan fatal yang dilakukan oleh Tetsurou. Menggantungi pacarnya tanpa memberi kabar selama 7 jam, bagaimana Mizuki mampu memaafkan? Terlebih lagi, itu kencan yang seharusnya menjadi momentum manis, Tetsurou justru tidak memunculkan diri dan baru membalas telepon serta pesan aplikasi hijau setelah dia menginjaki teritorial apartemennya. Air mata bahkan sudah membasahi pipi, pupil turquoise tertuju ke arah jam menunjuk pukul 8 malam semakin merasakan kepanasan dalam hati.

Dari pukul 12 siang—tidak, 1 siang sesuai perjanjian dia menunggu hingga pukul 8 malam karena mengkhawatirkan lelaki itu akan datang sewaktu-waktu. Hingga titik puncak dia menyerah, dia memutuskan untuk kembali ke tempat dia menaung untuk menenangkan pikirannya. Menunggu adalah tugas yang sangat melelahkan, dia ingin memahami Tetsurou, akan tetapi tanpa meninggalkan pesan membuat Mizuki tidak memiliki alasan memaafkan. Mizuki berdandan cantik, menggunakan make up hanya untuk menunjukkan sisi manis bagi kekasih terasa sia-sia. Dia bahkan hampir mendapatkan pelecehan seksual jika tidak bertemu dengan Akaashi yang sedang melakukan aktivitas jalan-jalan bersama tim klub volinya.

Tombol peringatan kedatangan tamu terus ditekan, menimbulkan suara menyebalkan bagi Mizuki. Dia mengetahui Tetsuroulah yang menekan tombol tersebut. Mizuki tak bermaksud untuk peduli terhadap lelaki itu saat ini. Amarah mendominasi hati sulit untuk berpikir secara kepala dingin. Isakan tangis mengisi ruang tamu, dia memeluk lututnya untuk memendam suara.

Suara berisik dari tombol peringatan tamu telah berhenti, membuat Mizuki sedikit melirik ke arah pintu. Dia menaruh atensi pada ponselnya, dia melihat telepon masuk serta pesan yang diabaikannya. Cukup banyak, tetapi dia enggan untuk menjawab apapun.

"Kuroo-senpai berpesan akan menjemputmu besok, Zuchan." Suara sang adik berhasil memasuki pendengarannya setelah membuka pintu utama apartemen. Mizuki melirik ke arah Mitsuko, adik kembarnya yang baru saja pulang. Dia cukup yakin, Mitsuko pasti sudah berbincang dengan Tetsurou sehingga tidak perlu baginya untuk menjelaskan alasan mengapa dia terlihat menyedihkan seperti ini.

Mizuki mengangguk kecil sebagai respon, kembali menenggelamkan wajah pada pangkuannya. Perlahan, dia merasakan elusan pada puncak kepala, membuat sang gadis merasakan kehangatan serta kasih sayang dari sang adik.

"Otsukare, Zuchan. Aku sudah menghajar Kuroo-senpai, jadi, jangan bersedih terlalu lama ya."

---

"I'm so glad I live in a world where there are Octobers."– L.M. Montgomery, Anne of Green Gables

---

"Mereka kenapa?"

Pertanyaan Yaku Morisuke berhasil membuat seluruh orang menaruh atensi pada dua insan berbeda gender dengan jalinan status kekasih, Kuroo Tetsurou dan Akutagawa Mizuki. Terpampang jelas ekspresi Mizuki tidak menaruh atensi pada Tetsurou dan secara sengaja pula menghindari pandangan dari sang lelaki. Sebaliknya, Tetsurou menaruh atensi pada Mizuki sesekali dengan ekspresi bersalah dan canggung. Mudah sekali untuk dibaca oleh seisi Morisuke maupun teman-teman lain yang akan menghabiskan waktu bersama dalam melakukan piknik hari ini.

Kenma menoleh ke arah Morisuke sembari membuka tas untuk memastikan konsol game sudah terbawa lengkap. "Kuro melupakan kencan dan membiarkan Mizuki menunggu 7 jam," jawab Kenma dengan tatapan datar. Selaku sosok yang memiliki hubungan dekat dengan Tetsurou, tentu saja, lelaki itu akan bercerita padanya. Terlebih lagi, analisis terhadap ekspresi menjadi keahlian bagi seorang Kenma juga.

"Kuroo keterlaluan sekali!" Haiba Alisa, kakak dari Haiba Lev membuka suara ketika mendapatkan informasi demikian. Lantas, dia hanya mampu menghela napas karena hubungan ini luar dari jangkaun mereka. Dia sedikit mengekspresikan sedih ketika menyadari mata bengkak Mizuki akibat tangis. Sebagai seorang gadis, dia mengerti perasaannya.

Nobuyuki Kai melepas kekehan geli yang canggung sebelum membuka suara untuk menghilangkan rasa canggung, "Ayo, kita masuk ke dalam bus."

"Mumpung Kuroo sedang bertengkar dengan Mizuki-chan, aku akan duduk dengan Mizuki-chan saja!" seru Morisuke sembari meloncat ke arah Mizuki, berniat menawarkan diri untuk menjadi teman duduk selama di bus. Tetapi saat dia sudah berhasil mendekat, dia merasakan kerah bagian belakang ditarik oleh seseorang. Lantas dia menoleh mendapat Tetsurou yang menarik kerahnya dan menaruh ekspresi yang sangat mematikan. Karena sudah terbiasa, tidak heran Morisuke hanya melempar tatapan mengejek.

Tetsurou mendengus, "Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Yakkun. Mizu, masuklah lebih dulu." Meskipun terlibat dengan pertengkaran, Tetsurou tetap akan mengingatkan beberapa hal bagi Mizuki, sedangkan Mizuki juga hanya akan mendengar dan mengangguk tanpa membalas apapun. Pertengakaran kecil ini sesungguhnya membutuhkan komunikasi dan ketenangan bagi sang gadis.

"Yaku-senpai tidak baik mencuri pacar orang loh!" tegur Taketora sembari melepas tawa kencang sebelum memasuki bus.

"Buruan, Niichan! Ini masih banyak yang antri di belakang! Mizuki-san, biar aku duduk bersamamu!" ucap Akane, memasuki bus dan mengekori sosok gadis tersebut.

Alisa melepas senyuman tipis dengan kekhawatiran ketika memandang Mizuki beranjak masuk ke dalam. Kala itu, Tetsurou melepas pegangan pada kerah Morisuke dan menoleh ke arah Alisa, "Bisa tolong duduk di sampingnya bersama Akane? Kurasa saat ini dia butuh tempat untuk menampung perasaannya, setidaknya, dia memiliki teman nyaman dalam berbicara."

Mendengar hal itu, Alisa hanya mengangguk dan melepas kekehan geli. Semua orang tahu, Tetsurou sangat menyayangi Mizuki dan menaruh perhatian yang dalam pada sosok gadis itu. Jika saja orang yang menaruh hati pada Tetsurou tahu, mungkin mereka akan iri sampai ingin menghancurkan Mizuki.

"Kau benar-benar payah, loh, Kuroo," ucap Morisuke sembari melepas tawa pelan guna meledek teman seperjuangannya. Yang dikatai hanya mampu mengusap leher dan tak menjawab apapun, dia tidak mampu memungkiri saat ini, mengingat sebuah kenyataan bahwa ini adalah kesalahan dari dirinya sendiri sebagai seorang kekasih.

Tetsurou sangat menyayangi Mizuki maupun sebaliknya. Karena itulah, mereka membiarkan musim gugur menjadi salah satu pendamping dalam kisah momentum mereka.

Rembulan mendampingi malam, cakrawala gelap tidak memungkiri dedaunan bergugur masih jatuh untuk menghiasi tanah teritorial Jepang. Suara jangkrik malam serta angin yang berembus menyapu dedaunan sudah terasa seperti musik pembawa tidur. Dingin yang menusuk tidak membuat gadis dengan mahkota hitam itu kembali ke dalam tenda untuk menikmati tidurnya. Tangan menggenggam alat musik kalimba, memainkan dengan dua ibu jari dan menghasilkan musik benar-benar menjadi paduan indah di malam yang sangat mendekat ke alam ini.

Mizuki secara sengaja mengambil posisi lebih jauh agar tidak mengganggu yang lain sedang menghabiskan waktu berbicara di tengah api unggun. Sebenarnya amarahnya telah turun, akan tetapi dia masih merasakan kesedihan yang sulit dia ekspresikan. Dibandingkan marah, dia merasakan kekesalan pada Tetsurou.

"Mizu." Ibu jari salah menekan not dan membuat musik yang sudah mulus itu terdengar hancur. Bahunya menegang kala mendengar suaranya terpanggil dengan lembut. Dia sangat mengenal suara berat itu, tidak lain adalah kekasihnya, Tetsurou. Dia tidak merespon selain menaruh kalimba di atas rerumputan dengan bekas dedaunan cokelat. Mengubah posisi untuk memeluk pangkuannya, dia kembali menenggelamkan wajah dalam pangkuan.

Tidak mendapatkan penolakan, Tetsurou akhirnya duduk di samping Mizuki. Untungnya di balik mereka ada batu besar sehingga tidak dapat dilihat oleh teman-teman yang sedang menghabiskan waktu untuk bersulam dan bercerita panjang lebar. Dia menaruh atensi pada sang gadis, sebelum akhirnya menaruh selimut di atas bahu Mizuki. "Kau akan kedinginan," ucap Tetsurou sembari menepuk pelan kepala sang kekasih.

Jeda diberikan, membiarkan keheningan ada di antara mereka. Mizuki kini memandang ke arah rerumputan dan memutuskan untuk membuka suara, "Aku marah." Jemarinya bermain di atas tanah rerumputan secara menggerakan jemari membentuk lingkaran. Lantas, dia kembali melanjutkan kalimatnya, "Aku marah pada banyak hal. Aku berdandan karena aku ingin tampil cantik di kencan kita. Aku ingin Tetsu memandangku seperti seorang gadis yang tidak dapat digantikan oleh siapapun. Saat itu, aku berpikir ingin menghabiskan semua waktu libur itu dengan Tetsu, tetapi aku justru berkencan dengan udara."

Tetsurou tidak langsung menjawab. Dia meraih kalimba yang ada di atas rumput dan menekan not pelan agar tidak mengganggu sang gadis melanjutkan ceritanya. Tidak ada gunanya pula memotong curhatan sang kekasih.

"Aku menunggu Tetsu selama 7 jam, tetapi yang semakin membuatku marah adalah saat ada pria yang mendekatiku dan mencoba melakukan pelecehan. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Tetsu. Tetapi yang datang menolongku bukan dirimu, Tetsu. Aku tahu ini menyebalkan tetapi aku tidak bisa mengusir pikiranku karena takut kau akan berpangling dariku atau mungkin aku berpangling darimu," jelasnya, air mata tidak lagi mengalir seperti semalam. Mizuki sudah jauh lebih tenang dibanding semalam.

Jemari Tetsurou yang menekan ke arah kunci kalimba terhenti. Tangan mengepal genggaman kuat untuk menahan amarah akan lelaki asing tersebut. Di satu sisi, dia mengetahui bahwa itu adalah kegagalannya sebagai seorang kekasih. "Maafkan aku ... Mizu," ucap Tetsurou pelan. Suara itu tidak seperti suara yang tegas pada biasanya. Suara Tetsurou terdengar bergemetar perlahan, menyiratkan rasa bersalah.

Helaian rambut hitam menyapu kulit jemari, Tetsurou membungkuk dan menaikan dagu Mizuki untuk mempertemukan iris hazel dan iris turquoise. Dengan lembut, Tetsurou mendaratkan bibirnya di bibir Mizuki. Kecupan lembut itu terasa sangat pelan dan nyaman, perlahan beralih lumatan lembut. Kelopak mata itu menutupi iris hazel kala menyadari sang gadis telah memejamkan mata dan terlarut akan cumbuan bibir. Lidah bermain jahil menyapu bibir guna meminta akses, kemudian menyapu langit-langit Mizuki sebelum mengajak lidahnya bergulat. Pertukaran saliva terjadi, cumbuan itu tidak kasar justru lembut dan nyaman. Dua insan itu tidak peduli, meninggalkan saliva mengotori sudut bibir untuk berbagi cinta.

"Aku tidak pernah mampu mengalihkan selera salivaku darimu, Mizu."

Saliva membentang memberi jembatan antara bibir Tetsurou dan Mizuki. Rona merah menghiasi pipi sang gadis yang terengah-engah mencari oksigen. Kalimat Tetsurou nakal, tetapi dari kecupan, lumatan, hingga ciuman khas Perancis, Mizuki menyadari suatu hal.

Kuroo Tetsurou dan Akutagawa Mizuki, sudah ditakdirkan berbagi saliva hingga akhir hayatnya. Dan, dedaunan gugur menjadi salah satu saksi bisu benang merah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top