Maplekyuu!!-Song of Autumn
Laf proudly present
Haikyu!! AU Fanfiction
.
.
.
.
.
.
SONG OF AUTUMN
.
.
.
.
.
.
Tanaka Ryounusuuke
x
Shimizu Kiyoko
.
.
.
.
.
.
.
Haikyu!! © Haruichi Furudate
Song of Autumn © Laf
.
.
.
.
.
.
WARNING: Lil OOC (because this fic is AU)
.
.
.
.
.
.
Sebelum membaca ini, pastikan kalian dalam kondisi tersantai, tak ada beban, tak ada tugas yang menunggu, dalam kondisi luang kalian karena saya akan membawa kalian ke dalam perjalanan kisah yang panjang ...
Selamat menikmati!
.
.
.
.
.
.
Tanggal 5 Januari yang ketujuh, hari di mana Shimizu Kiyoko mencetak prestasi untuk pertama kali dalam tujuh tahun kehidupannya. Piala bertuliskan Juara 1 Lomba Menyanyi Tingkat SD itu ia pegang erat-erat seraya tersenyum lebar penuh kepolosan. Iris yang penuh dengan kilau bahagia itu menatap kedua orangtuanya yang berada di jajaran bangku penonton. Ibu dan Ayahnya tersenyum lebar, menatapnya penuh bangga. Ya, inilah dirinya, putri kecil yang dibanggakan.
Pelukan menyambutnya ketika ia menghampiri mereka. Sang Ayah mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berputar. Kiyoko masih ingat betapa rupawan senyuman Ayahnya kala menatap dirinya saat itu, juga tawa merdu sang Ibu yang mengiringinya. Di umurnya yang baru saja menginjak angka tujuh, Kiyoko seperti merasakan kebahagiaan yang tiada tara.
Maka dalam hati lugunya dia berjanji bahwa ia akan membuat senyuman Ayah dan Ibunya lebih indah dari ini. Ia akan membuat tatapan mereka jauh lebih bangga lagi dan kebahagiaan yang ia terima karena pujian akan melebihi kebahagiaan hari ini. Ia juga ingin nyanyian merdunya tidak hanya didengar oleh penonton yang ada di dalam gedung ini saja, tetapi ia ingin orang-orang di luar sana, orang-orang satu negara, tidak, seluruh dunia mendengar nyanyiannya. Suatu hari nanti dan Kiyoko yakin pasti akan terjadi.
🍁🍁🍁
Tepat tujuh bulan dan dua musim berganti. Bulan September, pertengahan musim gugur. Hari itu adalah hari di mana semua harapan dan janji lugu yang ia tetapkan di lima Januari lalu diluluhlantakkan oleh peristiwa yang tidak seharusnya dialami oleh anak seusianya.
Umurnya masih di angka tujuh lewat delapan bulan. Isi kepalanya masih berisi kenangan-kenangan kecil membahagiakan, seperti nyanyi bersama di gereja ketika Natal kemarin, kemenangannya di lomba nyanyi yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya, segarnya buah apel yang diberikan oleh tetangga ujung jalan, serunya bersepeda di sore hari bersama teman-teman tetangganya, indahnya langit malam dari jendela kamarnya, dan masih banyak lagi memori sederhana yang tersimpan rapi di dalam kepalanya. Kiyoko masihlah anak polos yang dipenuhi hal-hal sederhana dan menyenangkan. Pemandangan mengerikan sang Ayah yang menikam dada Ibunya menggunakan pisau dapur seraya tersenyum tidak seharusnya menjadi konsumsi matanya saat ini.
Kiyoko mematung, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan jeri. Ia masih memproses apa yang terjadi di depannya. Senyuman yang diuarkan sang Ayah, senyuman yang paling disukai Kiyoko, senyuman meneduhkan dan menenangkan ketika ia bangun dari mimpi buruk, senyuman rupawan yang ditunjukkan ketika Ayahnya pulang kerja dan ketika ia menang di lima Januari yang lalu, kini tampak begitu menyeramkan di mata Kiyoko. Lalu, Ibunya yang biasa tertawa merdu, bersuara halus yang memanggil namanya, dan senyuman cantik yang ditujukan kepada Kiyoko di lima Januari yang lalu, kini semua itu digantikan dengan ekspresi kesakitan, jeritan tertahan, dan rintihan perih yang memilukan.
'Mengapa Ayah melakukan ini? Ibu ... Ibu terlihat kesakitan padahal. Juga, pisau itu ... bukannya ... pisau yang sering digunakan Ibu untuk memotong sayuran ketika memasak? Mengapa ... mengapa Ayah menggunakan pisau untuk ... untuk ... melukai Ibu?'
Kiyoko tidak mengerti. Gadis kecil itu tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya gemetaran, kakinya tidak bisa digerakkan. Ia berdiri kaku menghadap dapur sebagai tempat kejadian. Terlihat Ayahnya mencabut pisau yang tertancap di dada Ibunya lalu menoleh ke arah Kiyoko dengan senyuman yang masih terpatri. Sang Ibu terjatuh tertelungkup sembari memekik kesakitan lalu terdiam tak bergerak.
"Kiyoko anakku ..."
Sang Ayah mendekat dengan senyuman rupawan dan tatapan meneduhkan. Tangannya memegang pisau yang berlumuran darah. Noda merah mengotori sebagian pakaian yang dikenakan Ayahnya.
Menakutkan
Padahal senyuman dan tatapan meneduhkan itu sangat disukai Kiyoko. Biasanya gadis kecil itu akan membalas senyuman Ayahnya dengan senyuman lebar disertai hamburan pelukan hangat. Tapi, untuk kali ini ... hanya ketakutanlah yang tersisa.
Kiyoko melirik ke arah Ibunya yang tertelungkup tidak bergerak sama sekali. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran bermunculan dalam pikiran gadis kecil itu.
'Ibu ... baik-baik saja kan? Ibu ... masih hidup ... kan?'
Sang Ayah semakin mendekat dengan pisau yang teracung membuat Kiyoko semakin bergetaran. Hanya tinggal lima langkah lagi, mungkin Kiyoko akan bernasib sama seperti Ibunya, merasakan kesakitan yang sama. Akan tetapi, takdir berkata lain. Sebelum sang Ayah mengikis jaraknya menjadi empat langkah, tiba-tiba saja terdengar suara langkah yang berdebum keras. Dalam hitungan detik, sang Ayah terjungkal ke belakang seperti kerah belakang bajunya ditarik dengan penuh tenaga.
Itu Ibunya. Ibunya bangkit lagi dengan tubuh yang sudah berlumuran darah. Kini Ibunya menduduki tubuh sang Ayah sambil sekuat tenaga menahan tangan yang memegang pisau itu.
"Pergi ... cepat pergi, Kiyoko!"
Kiyoko tersentak kala mendengar perintah Ibunya dengan suara terengah-engah. Sang Ibu menoleh ke arah anak gadisnya dengan wajah pucat dan keringat mengalir di dahinya. Wajahnya tampak menahan kesakitan.
Kiyoko masih bergeming di tempatnya, kakinya belum sanggup digerakkan. Lagipula, mana mungkin ia meninggalkan Ibunya begitu saja dalam keadaan seperti ini, kan?
"Kiyoko, pergi ... CEPAT PERGI DAN JANGAN PERNAH KEMBALI!!"
Ibunya berteriak penuh kekalutan lantaran melihat anak gadisnya yang belum bergerak dari tempatnya. Kiyoko tersentak lagi. Instingnya sebagai anak penurut pun bergerak. Kakinya melangkah ke belakang secara perlahan sambil melihat Ibunya yang berusaha mati-matian menahan Ayah yang memberontak hebat.
Akhirnya, Kiyoko pun segera berlari menuju pintu, membukanya paksa lalu berlari kencang meninggalkan rumah. Angin malam musim gugur menerpa wajahnya. Guguran daun-daun dari pohon yang di pinggir jalan mengiringi laju larinya. Isakan menggema di jalanan yang sepi.
Satu-satunya tujuannya saat ini adalah rumah yang berada di ujung jalan, satu-satunya rumah yang paling dekat dengan rumah Kiyoko di tengah pedesaan asri. Ia harus meminta bantuan untuk Ibunya walau Kiyoko tidak tahu kemungkinan nasib Ibunya nanti.
Yang jelas pikirannya saat ini adalah berlari mencari bantuan, berlari meninggalkan rumahnya, meninggalkan Ayah, Ibu, dan sebilah pisau dapur, meninggalkan semua yang ada di dalam rumah itu entah perabotan ataupun kenangan.
Dalam dinginnya musim gugur, Shimizu Kiyoko menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali ke rumah itu ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Musim gugur keempat belas, di malam yang penuh bising dedaunan yang digugurkan oleh angin, seorang gadis remaja terbangun dari tidur lelapnya dengan peluh membasahi dahi dan tarikan napas berulang, seolah baru menemui takdir yang buruk.
Nyatanya bukan takdir, tapi masa lalu yang buruk menghantuinya lewat mimpi. Tujuh tahun berlalu dan semenjak itu Kiyoko selalu terbayang kejadian yang tidak lewat dari 10 menit itu. Pisau dan darah itu masih diingat Kiyoko dengan detail yang jelas. Lalu teriakan kesakitan Ibunya dan ... senyuman mengerikan Ayahnya. Kiyoko mana mungkin melupakannya!
Masa lalu itu selalu menghantuinya di malam lelapnya. Menimbulkan ketakutan dan kecemasan hati yang tak akan habis hingga akhirnya ia pun menjadi pribadi yang menutup diri. Tak ada senyuman lebar yang menghiasi wajah ayunya. Tatapannya tidak lagi berbinar seperti kala dulu. Nada ucapannya menjadi begitu datar dan tak bergairah.
Ketika ia berlari meninggalkan rumah saat kejadian itu, semua pribadinya yang lama perlahan-lahan ia tanggalkan. Peristiwa kelam itu menimbulkan luka batin yang tidak sembuh-sembuh di dalam tubuh mungil Kiyoko. Dirinya yang masih berumur tujuh tahun kala itu jika diibaratkan seperti gelas kaca yang begitu rapuh lalu peristiwa kelam itu ibaratkan palu besi yang menghantam gelas kaca hingga pecah berkeping-keping tak berbentuk.
Batin Kiyoko terluka dan itu membuatnya perlahan kehilangan pribadi aslinya. Ditambah bibinya, yang menampungnya hingga saat ini, begitu apatis dengan keadaan Kiyoko. Yang dilakukannya selama tujuh tahun ini hanya memenuhi kebutuhan fisik gadis itu. Tak dipedulikan keadaan hati gadis itu yang begitu rapuh sehingga Kiyoko tak tahu bagaimana caranya untuk menyembuhkan diri.
Kiyoko menekuk lutut di atas ranjang, punggungnya ia sandarkan pada sandaran ranjang. Selimut masih membalut kaki putihnya. Ekspresinya hampa. Jam berdetak menunjukkan pukul dua pagi. Selanjutnya gadis itu tidak akan bisa tertidur lagi.
Malam-malamnya yang selalu dihantui kelamnya tujuh tahun yang lalu membuatnya muak dan frustasi. Ia juga sudah lelah menangisi mimpi buruk yang selalu menghantui di setiap malam selama tujuh tahun ini. Seharusnya ia sudah tidak waras karena selalu merepetisi malam-malam yang sama selama tujuh tahun ini. Namun, ia sanggup bertahan selama ini karena satu alasan.
"Summer has come and passed
The innocent can never last
Wake me up when September ends~"
Senandung lirih yang merdu lolos dari bibir mungilnya. Dagunya bertumpu di antara lekukan lutut. Irisnya menatap kosong guratan kain selimut yang menutupi tubuhnya.
"Like my fathers come to pass
Seven years has gone so fast
Wake me up when September ends~"
Kepingan memori membawanya pada masa lalu. Ketika ia masih kecil dan tertawa bersama dengan Ayahnya. Rasa sesak menjalar di dada kala Kiyoko mengingat itu semua.
"Here comes the rain again
Falling from the stars
Drenched in my pain again
Becoming who we are~"
Perlahan Kiyoko menolehkan kepalanya ke jendela kamarnya yang gordennya terbuka. Menampakkan cakrawala malam yang gemerlap dengan kemilau indra yang berpadu kerlipan lintang. Angin berhembus, guguran daun yang berasal dari pohon maple dekat kamarnya terlihat seperti hujan daun yang disinari rembulan.
Pemandangan yang dilihatnya saat ini mengingatkannya ketika tujuh tahun lalu. Saat ia berlari diterpa angin malam musim gugur dan daun-daun yang berjatuhan menjadi pengiring laju larinya. Berlari sambil terisak menuju rumah tetangga di ujung jalan dengan pikiran kalut yang menguasai.
"As my memory rests
But never forgets what I lost
Wake me up when September ends~"
Semua terasa begitu mengerikan jika diingat kembali. Peristiwa tujuh tahun yang lalu menimbulkan luka batin yang tak kunjung menutup diri. Pribadi berganti seiring waktu yang berjalan dengan pasti.
Kiyoko meninggalkan semua hal di masa lalunya demi bangkit menyambut kehidupan baru walau harus bersusah mati-matian. Satu-satunya hal yang masih Kiyoko simpan dari masa lalunya adalah mimpinya untuk menyanyi di depan semua orang. Entah itu satu sekolah, satu kota, satu negara, bahkan seluruh dunia.
Mimpi itu layaknya bara api kecil yang terus membuatnya bertahan hingga saat ini.
Maka dari itu, Kiyoko terus bernyanyi. Meneriakkan segala perasaannya yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata lewat lirik lagu dan lantunan melodi ...
🍁🍁🍁
Suasana jalanan Kota Sendai begitu ramai. Langkah menderap, orang-orang berlalu lalang. Akhir pekan, jalanan didominasi oleh para remaja yang hendak bersenang-senang di hari libur mereka.
"So they say that time
Takes away the pain
But I'm still the same~"
Suara merdu yang diiringi gitar menggema di seluruh penjuru jalan. Seorang gadis bersurai hitam yang digerai sepunggung, mengenakan hoodie hitam, celana denim seperempat, dan sepatu kets putih, berdiri di sisi terbaik crosswalk Sendai, di mana orang-orang berlalu lalang. Berdiri sambil memainkan gitar, menyanyi tanpa menggunakan mikrofon. Tas gitar yang terbuka tergeletak di depannya, guna sebagai wadah jika ada orang yang sukarela memberinya kepingan koin yen.
"And they say that I will find another you
That can't be true~"
Gadis itu bernyanyi tanpa menggunakan mikrofon. Namun, suaranya begitu lantang, terdengar hingga seberang. Tak ada getaran dalam suaranya, tanda jika gadis itu begitu percaya diri akan nyanyiannya. Beberapa orang yang lewat meliriknya, melihatnya sekilas. Akan tetapi, mereka terus melanjutkan langkah mereka.
"Why didn't I realize? Why did I tell lies?
Yeah I wish that I could do it again
Turnin' back the time
back when you were mine~"
Setelah diabaikan oleh pejalan kaki beberapa lama, akhirnya ada seseorang yang menghentikan langkahnya. Berdiri beberapa meter di depan gadis itu. Pemuda berkepala pelontos, mengenakan topi beni warna biru, jaket bomber warna hitam, dalaman kaus warna putih, celana panjang hitam, dan sepatu kets hitam. Ekspresinya tampak menunggu lantunan melodi yang akan dikeluarkan lagi oleh si gadis. Melihat ada seseorang yang berhenti untuk melihat penampilannya membuat gadis itu menguarkan senyum seiring petikan gitar yang semakin bertenaga.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kokai wa namida e to kawari oh baby
So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no egao wa omoide ni kawaru I miss you~"
Gadis itu menyanyi dengan sepenuh tenaga, nada tingginya tak main-main. Petikan gitar yang harmonis membuatnya begitu padu dengan vokal sang gadis yang powerfull. Orang-orang semakin meliriknya. Satu dua orang mengikuti jejak sang pemuda berkepala pelontos, menghentikan langkah untuk menikmati penampilannya. Senyuman gadis itu semakin lebar.
"Boku no kokoro o yuiitsu mitashite satte yuku kimi ga
boku no kokoro ni yuiitsu furerareru koto ga deki ta kimi wa oh baby
mo inai yo mo nani monai yo
Yeah I wish that I could do it again
Turnin' back the time
back when you were mine, all mine~"
Semakin banyak orang-orang yang menghentikan langkah mereka. Hampir melingkari gadis itu. Beberapa ada yang mengeluarkan kamera ponsel mereka guna merekamnya.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kōkai wa namida e to kawari oh baby
So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no eiga wa omoide ni kawaru I miss you~"
Beberapa orang yang berhenti ikut melantunkan reff lagu milik band ONE OK ROCK itu. Kamera yang merekam semakin banyak.
"It's so hard to forget kataku musun da sono musubime wa
It's so hard to forget tsuyoku hike ba hiku hodo ni
You and all the regret
toke naku natte hanarere naku natta
ima wa tsurai yo sore ga tsurai yo sugu wasure ta iyo kun o~"
Tepuk tangan menggema akan highnote yang dilakukan oleh gadis itu. Di antara orang-orang yang menonton ternyata terdapat beberapa turis asing. Mereka berteriak heboh sambil merekam aksi sang gadis.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kokai wa namida e to kawari oh baby~"
Seluruh orang yang menonton bernyanyi bersama. Jumlah mereka hampir menutupi separuh trotoar. Suara mereka menggema, menggaung di pusat kota Sendai. Tak disangka gadis tersebut akan mendapat banyak penonton.
"So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no egao wa omoide ni kawaru
I miss you~"
Penampilan diakhiri dengan petikan manis. Suara gemuruh tepuk tangan pun menggema di seluruh penjuru jalan. Sorak-sorai pujian terdengar membuat. Beramai-ramai orang-orang pun menaruh kepingan yen di tas gitar terbuka milik sang gadis.
Shimizu Kiyoko tak pernah menyangka bahwa penampilan pertamanya di jalanan akan mendapat respon sebaik ini. Gadis itu membungkuk berkali-kali sambil mengujarkan terima kasih.
Irisnya mengedar setelah menegakkan tubuh, mencari seseorang yang menjadi penonton pertamanya tadi. Seorang pemuda berkepala pelontos. Akan tetapi, ia tidak menemukan keberadaannya di antara keramaian. Pemuda itu sepertinya sudah pergi.
Walaupun begitu, Kiyoko masih mengingat baik wajah si pemuda.
Penonton pertama di pertunjukan jalanannya pada musim gugur kelima belas ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Kepingan koin dimasukkan, tombol yang merujuk pada salah satu minuman ditekan, suara benda terjatuh pun terdengar.
Kiyoko berjongkok guna mengambil minuman yang baru saja dibelinya di mesin penjual minuman yang ada di hadapannya, satu kotak milktea. Sedotan ditancapkan lalu Kiyoko meminumnya seraya berjalan kembali ke kelas.
Setelah begitu jauh, sayup-sayup Kiyoko mendengar ada suara yang berteriak dari belakang.
"HEI! TUNGGU!"
Beberapa anak yang berada di sekitar lorong tidak ada yang menyahuti teriakan itu. Kiyoko terus berjalan, mengabaikan teriakan tadi.
"HEI KAMU! YANG RAMBUTNYA PANJANG!"
Kiyoko mengerjap seketika kala menyadari bahwa di sekitarnya hanya ada beberapa anak laki-laki dan seseorang berambut panjang yang dimaksud pasti dirinya.
Kiyoko pun menghentikan langkah lalu berbalik dan mendapati seorang pemuda dengan rambut tipis sedang berlari ke arahnya.
"Kau melupakan kembalianmu di mesin penjual minuman tadi!"
Pemuda itu berdiri di hadapan Kiyoko sambil menyodorkan dua uang koin di atas telapak tangannya.
"Te-Terima kasih ..."
Kiyoko pun mengambil kepingan yen yang ada di atas telapak tangan sang pemuda lalu mendongak. Iris Kiyoko sedikit membola karena ia sangat mengenali wajah si pemuda. Ia adalah penonton pertamanya saat pertunjukan jalanan satu tahun yang lalu.
"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya!"
Pemuda itu pun pergi, berbalik lalu meninggalkan Kiyoko.
Kiyoko menatap punggung tegap sang pemuda yang semakin menjauh. Sepertinya pemuda itu sama sekali tidak mengingatnya.
🍁🍁🍁
Tanaka Ryounusuuke, kelas 2-5, anak klub karate
Kiyoko memainkan pulpennya. Sebuah pikiran acak menghampirinya, sosok pemuda yang kemarin mengembalikan uang kembaliannya yang belum diambil dan ... penonton pertamanya.
Sedikit sesak kala pemuda itu tidak mengingat wajahnya sebagai penyanyi jalanan yang pernah ditontonnya. Ya, tapi wajar jika pemuda itu tak mengingatnya. Terlalu banyak wajah baru yang ditemui dalam setahun sehingga tidak semuanya dapat diingat dengan baik.
Mungkin Kiyoko yang terlalu berlebihan. Maklum, pemuda itu yang pertama kali menghentikan langkah untuk menikmati nyanyiannya, menjadi penonton pertama. Bagi Kiyoko itu adalah bukti bahwa masih ada seseorang yang ingin mendengar nyanyiannya, menikmati lagunya, dan menerima suaranya untuk bergaung di kalangan luas. Hal itu sangat berharga baginya dan membuatnya semakin terpacu.
Kiyoko menghela napas sambil meletakkan pulpennya. Maniknya beralih pada kalender yang ada di meja. Salah satu tanggal dilingkari oleh pulpen merah. Audisi agensi.
Tereliminasi berkali-kali oleh para peserta yang lebih berbakat, lebih hebat, dan lebih memukau sebelumnya membuat Kiyoko terus mencoba sejak umurnya menginjak angka 11 hingga sekarang. Persaingan yang ketat di dunia tarik suara.
Ini adalah kesempatan terakhir Kiyoko karena tahun depan ia sudah berumur 18 tahun. Audisi agensi diadakan satu tahun sekali dan menerima batas umur peserta maksimal 17 tahun. Maka, jika ia gagal dalam audisi ini, game over. Perjuangan selanjutnya akan jauh lebih sulit dan ... bisa saja mimpinya tidak akan tercapai.
Kiyoko menghembuskan napas kasar. Punggungnya pun disandarkan pada sandaran kursi, kepala didongakkan ke atas. Iris cantiknya menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang.
🍁🍁🍁
Lagi. Terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi pada pukul tiga pagi. Mimpi buruknya datang walau samar, tapi berhasil menimbulkan ketakutan.
Seperti biasa, Kiyoko duduk bersandar di kepala ranjang sambil memeluk kedua lutut. Menunggu dalam keheningan hingga surya mencium ufuk timur adalah keputusannya.
Pikirannya pun teringat akan hari ini. Audisi agensi, kesempatan terakhir. Berbagai hal muncul di dalam kepala Kiyoko. Entah itu bagaimana penampilannya nanti, hasil keputusan juri, atau para saingan yang menunggunya. Perasaannya begitu campur aduk untuk audisi nanti.
Kiyoko pun memutuskan untuk bangkit. Berdiam diri saja membuat pikirannya semakin ke mana-mana. Kaki dilangkahkan menuju jendela kamar. Kain gorden ditarik pelan, membukanya hingga setengah.
Langit malam menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Sinar purnama menghujani ke arahnya. Dedaunan yang gugur tampak seperti hujan. Kiyoko pun mendudukkan diri di kusen jendela sambil bersandar. Menatap nanar pemandangan luar hingga fajar menjelang.
🍁🍁🍁
Kiyoko menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Ia memegang gitarnya erat-erat. Jantungnya berdegup kencang. Setelah ini giliran dirinya tampil.
"Selanjutnya, terakhir!"
Ya, dirinya peserta terakhir yang tampil. Kiyoko pun langsung berdiri. Gitar sudah ia cangklengkan di tubuh. Ia pun melangkah masuk ke dalam ruangan audisi.
Di dalam terdapat tiga juri. Mereka sibuk dengan kertas-kertas di atas meja sambil mendebatkan persoalan, tidak memperhatikan Kiyoko yang datang. Sapaan Kiyoko teredam oleh perdebatan para juri membuat gadis itu diabaikan beberapa saat hingga akhirnya datang seorang kru memberitahu.
"Maafkan kami, ya, yang tadi. Oke, nona Shimizu Kiyoko silakan bisa dimulai ..."
Kiyoko mengangguk sambil tersenyum lalu menunduk sejenak. Tangannya mulai fokus ke gitarnya. Ekspresi para juri dan perdebatan mereka tadi terbayang di kepalanya. Kiyoko menggigit bibir bawahnya sesaat lalu menghembuskan napas pelan.
Satu tarikan napas, petikan gitar dan melodi nyanyian Keep Holding On milik Rachel Platten pun mengalun. Para juri menyaksikan dengan seksama. Namun, Kiyoko tahu bahwa ... ia sudah tak punya harapan lagi.
Saking berbakatnya para peserta yang lolos membuat juri berdebat siapa yang akan menolak duluan si peserta terakhir walau suaranya merdu sekalipun. Ya, peserta terakhir itu Kiyoko sendiri ...
🍁🍁🍁
Pukul sembilan malam. Jalanan sepi seiring udara malam yang mendingin. Kiyoko berjalan pelan menuju halte dengan tas gitar di punggungnya. Pikirannya menerawang jauh ke mana-mana.
Ya, sesuai prediksi Kiyoko. Ia gagal dalam audisi tadi. Kata juri, ia masih tergolong penyanyi yang biasa saja dan suaranya pasaran. Penolakan begitu mudahnya ia terima.
Kiyoko menggali-gali memori masa lalu. Mencoba mengingat-ingat lagi usaha apa saja yang telah dilakukannya dan mencari alasan mengapa ia terus gagal. Piala pertama ketika berumur tujuh tahun lalu ... berhenti bernyanyi selama hampir empat tahun karena masa pemulihan diri setelah kejadian itu. Tunggu, apa mungkin karena itu dia jadi tertinggal? Empat tahun ia mungkin bisa mengikuti berbagai kompetisi, audisi, dan saingannya belum sebanyak sekarang. Mungkin beberapa piala juara satu bisa ia dapatkan lagi.
Atau mungkin ketika ia menunggu fajar setelah terbangun karena mimpi buruk, seharusnya ia bisa menggunakan waktu selama itu untuk latihan vokal nada rendah. Suasana malam menjelang pagi yang hening tidak memungkinkan untuk melatih nada tinggi.
Masih, masih banyak lagi hal yang Kiyoko sesali. Namun, ia tahu bahwa perasaan sesal itu sungguh sia-sia. Waktu terus merangkak maju, tak bisa kembali ke masa lalu.
Kiyoko menyandarkan kepala di tiang halte setibanya di sana. Iris cantiknya menatap kosong aspal di depannya. Sesekali kendaraan lewat dengan suara mesin dan lampu yang menyala terang.Tapi, itu semua Kiyoko abaikan. Pikiran gadis itu berkelana.
"Woah, kau ternyata yang waktu itu?!"
Seruan berat menyapa indra pendengarannya membuat Kiyoko langsung menoleh. Pemuda berambut cepak tipis dengan pakaian kasual dan jaket bomber. Tanaka Ryounusuuke, berdiri tak jauh dari Kiyoko sedang menatap terkejut ke arahnya.
"Kamu yang waktu itu penyanyi jalanan di pusat kota, kan? Yang nyanyi lagunya ONE OK ROCK, iya, kan?"
Satu anggukan pelan sebagai jawaban. Kiyoko lantas mengerjap, sedikit menyimpan keheranan karena pemuda itu masih berkeliaran di jalanan pada jam segini.
"Wah, maaf waktu itu aku tak mengenalimu. Soalnya saat kau memakai seragam sekolah tampak beda, sih. Kalau kau memakai hoodie hitam seperti ini aku pasti langsung mengenalimu sebagai penyanyi jalanan yang waktu itu."
Kiyoko pun langsung melihat penampilannya saat ini, hoodie warna hitam dan celana denim ketat semata kaki. Penampilannya yang seperti ini se-ikonik itukah?
"Kamu habis tampil di jalanan kota, ya? Oh, iya, kenalkan namaku Tanaka Ryounusuuke dari kelas 2-5."
Tanaka mengulurkan tangannya, meminta jabatan. Kiyoko mengerjap sebentar lalu membalas jabatan pemuda itu.
"Shimizu Kiyoko, kelas 2-1."
"Kelas 2-1 ya, pantas saja aku baru tahu wajahmu. Kelasmu jauh sekali dengan kelasku, jadinya jarang papasan. Eh, pertanyaanku tadi belum dijawab. Kamu habis tampil di kota?"
"Tidak, aku tadi ... audisi."
"Audisi?! Serius kamu ikut audisi?! Pasti diterima, ya?!"
Tanaka menatap berbinar-binar ke arah Kiyoko membuat gadis itu mengerjap. Sedikit menyimpan heran akan obrolan tiba-tiba yang mengalir di antara keduanya.
"Sayangnya tidak. Aku ... gagal."
"Hee?! Bagaimana bisa?"
"Banyak yang jauh lebih berbakat dariku. Ya, tak mengherankan ..."
"Begitu rupanya ..."
Keheningan hinggap di antara keduanya. Mereka kini berdiri bersisian menatap jalanan. Kiyoko melirik sekilas ke arah Tanaka yang tampak sedang berpikir.
"Kamu ... sedang menunggu bus juga?"
Pertanyaan yang sedari tadi Kiyoko pendam akhirnya ia ucapkan juga. Pemuda yang tadi sedang berjalan lalu menghentikan langkahnya dan mengajaknya mengobrol sedikit mengundang tanda tanya.
"Oh, aku juga sedang menunggu bus. Tapi, sepertinya aku kelupaan sesuatu ..."
Kiyoko mengernyit saat melihat Tanaka yang tampak berpikir lagi.
"Kena-"
"Maaf! Aku harus kembali lagi, ada yang kelupaan ..."
Kiyoko hanya melebarkan mata saat Tanaka berbalik menuju arah datangnya tadi.
"Tadi kamu bilang bahwa kamu gagal, tapi entah kenapa firasatku mengatakan bahwa kamu akan debut sebagai penyanyi bagaimanapun caranya. Jika hal itu terjadi, aku akan menjadi penggemar pertamamu! Ingat itu!"
Tanaka pun berlari menjauh setelah berseru sambil tersenyum lebar ke arah Kiyoko. Gadis itu hanya mengerjap sambil menatap punggung Tanaka yang semakin mengecil di telan kegelapan. Seruan pemuda itu masih terngiang dalam kepalanya.
Tak ada yang perlu disesali, mengalir saja seperti air ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Itu adalah kali terakhir Kiyoko bertemu Tanaka karena keesokannya di sekolah ia mendengar kabar bahwa Tanaka telah pindah ke Tokyo. Mereka pun tak pernah bertatap muka lagi.
Hari-hari pun terus berlanjut hingga kelulusan tiba. Kiyoko memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lantaran masalah biaya. Bibinya hanyalah seorang buruh pabrik biasa dengan gaji yang tak seberapa, sedangkan Kiyoko sendiri tidak terlalu pintar untuk mendapatkan beasiswa.
Maka, setelah lulus Kiyoko semakin sering melakukan pertunjukan jalanan, berpindah-pindah tempat. Lalu, ia pun mendapat tawaran untuk menyanyi di restoran maupun cafe di setiap malam. Hingga akhirnya ia pun direkrut menjadi vokalis band underground. Mulai manggung ke sana-sini dan sesekali ke luar kota. Pundi-pundi uang mengalir deras di umurnya yang ke-19 dari hasil menyanyi dengan band di sana-sini.
Walau ia sudah menyanyi di sana-sini, meneriakkan melodi di berbagai tempat hingga segelintir orang mengetahui namanya, memegang mikrofon menjadi hal yang biasa, suara habis menjadi hal yang lumrah, namun ia belum merasa puas.
Suaranya belum terdengar hingga penjuru dunia. Namanya sebagai musisi underground hanya dikenal oleh segelintir orang. Keinginan masa kecilnya untuk menyanyi di hadapan dunia masih ada walau menyala begitu kecilnya. Kiyoko masih ingin debut sebagai penyanyi profesional.
Seperti kesempatan yang datang tak terduga, Kiyoko tak menyangka bahwa keinginannya akan menjadi nyata. Tepat setelah manggung di salah satu restoran, ia dihampiri oleh dua orang pria berjas dengan membawa kartu nama dari sebuah agensi musik.
"Kami menawarkan Anda untuk bergabung dengan perusahaan kami melihat Anda memiliki potensi yang menjanjikan. Mungkin Anda adalah calon diva Jepang selanjutnya. Ini kartu nama kami, tolong pertimbangkan dengan baik keputusan yang nanti akan Anda ambil ..."
Kesempatan datang tak mungkin disia-siakan. Kiyoko mengiyakan dengan penuh keyakinan. Setelah puluhan kegagalan, usaha yang melelahkan, akhirnya ia begitu dekat dengan keinginan terpendamnya. Lalu, sekelebat bayangan Tanaka yang tersenyum lebar saat malam di halte tiga tahun yang lalu sambil berseru, "... aku akan menjadi fans pertamamu!" itu hinggap di kepalanya.
Ya, kalimat Tanaka di pertemuan terakhir mereka itu masih diingat jelas oleh Kiyoko hingga sekarang. Kalimat yang selalu menjadi pacuannya dalam karir bernyanyinya. Sebuah mantra yang selalu dipegangnya.
Debutnya sebagai penyanyi sudah dalam jangkauan mata. Perkataan Tanaka tiga tahun lalu sebentar lagi menjadi kenyataan ...
🍁🍁🍁
Kerja keras. Itulah yang dilakukan Kiyoko demi memenuhi persyaratan agensi yang menawarinya. Bernyanyi di sana-sini demi mengumpulkan lembaran yen sebanyak-banyaknya.
Mungkin karena ia diterima agensi melalui penawaran bukan audisi yang disponsori sana-sini, jadi membutuhkan biaya tambahan yang banyak demi debutnya. Tapi, Kiyoko tak mempermasalahkannya. Uang masih bisa dicari, jadi Kiyoko merasa tak rugi.
Enam bulan sesuai kesepakatan. Uang yang diperlukan sudah ditransfer ke agensi. Kini, Kiyoko tinggal berangkat ke Tokyo untuk pelatihan debutnya. Perihal band, ia sudah keluar sebulan sebelumnya dengan alasan sudah direkrut oleh perusahaan (tentunya tidak menyebutkan nama karena kesepakatan).
"Semoga sukses Shimizu! Kami akan selalu mendukungmu!"
Lipatan baju ia masukkan ke dalam koper. Masih terbayang dalam benaknya perpisahan dengan para anggota band. Kentara sekali mereka memupuk harapan dan kebanggaan pada Kiyoko membuat gadis itu merasa terharu dan bertekad untuk melakukan yang terbaik.
Lipatan baju terakhir telah masuk. Koper pun ditutup. Kiyoko menatap barang-barangnya yang akan dibawa ke Tokyo sudah terkemas rapi. Selanjutnya beristirahat untuk perjalanan besok.
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu diketuk membuat Kiyoko langsung menoleh. Sebelum beranjak, pintu kamarnya sudah terbuka lebih dahulu.
"Kiyoko, sudah selesai berkemasnya?"
Itu Bibinya, melongok dari balik pintu.
"Aku sudah selesai, Bi. Ada apa memangnya?"
Tak ada jawaban. Hanya saja pintu terbuka lebih lebar. Bibinya melangkah masuk setelah menutup pintu. Lalu, ia pun duduk di tepi ranjang dekat dengan Kiyoko. Dari balik tangannya, sebuah amplop coklat tebal diletakkan di hadapan Kiyoko membuat gadis itu sedikit membolakan matanya.
"Uang tambahan buat besok, ambil lah!"
Kiyoko mengerjap sambil menatap wajah bibinya yang sedang tersenyum lalu beralih ke amplop tebal yang ada di hadapannya. Sungguh, amplopnya sangatlah tebal. Bisa jadi lebih dari satu juta yen ada di dalamnya.
"Bibi ... ini terlalu banyak ..."
"Sudah, jangan mempermasalahkan jumlahnya. Ya, hanya ini yang bisa bibi lakukan untukmu Kiyoko ..."
Satu tepukan lembut di puncak kepala. Senyuman lembut bibirnya disertai tatapan sendu.
"Maaf ya, selama ini aku belum bisa menjadi ibu pengganti yang baik untukmu. Selama ini kita belum terbuka satu sama lain. Padahal kita sudah satu rumah selama bertahun-tahun. Ya, sebenarnya itu juga karena aku bingung harus memulai dari mana, tapi sekarang adalah waktu yang tepat. Kiyoko, saat di sana jika kamu mengalami masalah atau apapun, jangan sungkan-sungkan telepon bibi. Ceritakan semuanya agar bibi tahu. Sebentar lagi kamu akan menjadi publik figur dan tentunya masalah akan terus menghampirimu. Oleh karena itu, Kiyoko .... apapun yang terjadi ingatlah ini bahwa .... bibi akan selalu memihakmu ..."
Senyuman manis dari sang bibi lalu rengkuhan erat yang disertai isakan Kiyoko sebagai awal untuk memulai lagi sebuah kisah.
Di musim gugur yang kesembilan belas, di bawah dedaunan yang jatuh dibawa angin, Kiyoko mulai membuka lembaran baru kehidupannya ...
🍁🍁🍁
Angin musim gugur yang berhembus serasa ratusan jarum yang menusuk pori-pori kulit Kiyoko. Dedaunan yang pergi dibawa angin layaknya harapan Kiyoko yang sirna seketika. Ya, semua angan dan harapannya telah pupus.
Setibanya di Tokyo, alamat yang didatanginya ternyata adalah sebuah rumah tua. Agensi fiktif. Nomor tak bisa dihubungi. Berita penipuan yang beredar di internet. Uang yang dibawa pergi.
Seketika Kiyoko mengumpati diri sendiri.
'Dasar Kiyoko bodoh!'
Terlalu berangan akan masa depan membuat Kiyoko lupa bahwa bentuk penipuan itu banyak, salah satunya penipuan agensi palsu.
Selama melangkah menyusuri jalanan sore yang sepi, Kiyoko berkali-kali menyebut kata tolol dalam hatinya. Iris cantik itu dipenuhi kehampaan. Daun-daun dari pepohonan di pinggir jalan menjadi pengiringnya.
Langit semakin menggelap dan langkah Kiyoko semakin tak tentu arah menelusuri jalanan Tokyo hingga akhirnya ia berhenti di bawah lampu jalan lalu berlutut. Apa yang dialaminya hari ini membuatnya tak sanggup untuk berdiri.
Wajah ditangkupkan dengan kedua telapak tangan. Memorinya pun ditarik ke masa lalu. Piala pertama, puluhan kegagalan audisi, pertunjukan jalanan pertama, menyanyi di restoran dan cafe, vokalis band, enam bulan kerja keras, perpisahan dengan anak band, ucapan-ucapan mereka, tatapan lembut bibi, pelukan dan tangisan tadi malam, harapan dan segala angan. Semuanya, semuanya diluluhlantakkan hanya dalam satu hari.
Kiyoko pun terisak sambil menertawakan diri. Kini ia tak tahu harus bagaimana. Semua telah sirna.
"Hei Nona, kau baik-baik saja?"
Satu tepukan di bahun membuat Kiyoko tersentak karena terkejut. Gadis itu pun langsung menoleh ke belakang dan keterkejutannya pun bertambah kala ia sangat mengenali wajah orang yang menepuk pundaknya.
"Tanaka ... -san?"
🍁🍁🍁
Dalam perjalanan pulangnya selepas seharian lelah bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu perusahaan, ia bertemu seorang perempuan yang sedang berlutut memunggunginya di bawah lampu jalan depannya. Ketakutan muncul karena hari sudah gelap dan teringat kisah Kuchisake-onna yang diceritakan rekan kerjanya tadi siang. Namun, Tanaka memberanikan diri karena baginya jika masih menapak di tanah itu artinya manusia. Ya, Tanaka pun yakin bahwa perempuan di depannya adalah manusia karena ada koper yang digantungi tas kecil di sampingnya dan wanita itu sendiri menggendong tas ransel yang nampaknya cukup berat. Pakaian hangat yang berbalut jaket warna biru, celana panjang ketat warna hitam, dan sepatu kets. Seratus persen manusia karena mengerti fesyen zaman sekarang. Satu tepukan di pundak membuat kedua iris bertemu dan Tanaka tak menyangka perempuan di depannya adalah teman SMA-nya di Sendai, Shimizu Kiyoko.
Gelas diletakkan seiringan hembusan napas pelan. Hening melanda mereka di antara keramaian kedai makan yang mereka kunjungi. Tanaka menatap lamat-lamat gadis di depannya yang kini tampak menenangkan diri.
Rambut gadis itu jauh lebih pendek dari sebelumnya dan raut wajahnya menampakkan kedewasaan. Benar-benar kebetulan tak terduga, bertemu kembali setelah hampir tiga tahun lamanya dan Tanaka menyadari bahwa di setiap pertemuan mereka selalu saja dalam keadaan tak baik.
Kembalian yang tertinggal, gagal audisi, dan kini ditipu agensi.
"Shimizu-san sudah menghubungi keluarga di Sendai? Memberitahu apa yang terjadi, sudah?"
Pemilik iris cantik yang kehilangan sinarnya itu menggeleng pelan.
"Aku ... tidak berani ..."
Kepala ditundukkan dan bahu gadis itu tampak bergetar. Tanaka menghembuskan napas pelan. Hal yang dialami gadis di depannya sangatlah menyakitkan. Semua harapan dan mimpi gadis itu hancur berantakan. Seperti dihempaskan begitu keras dari langit lalu hancur berkeping-keping.
Bukan masalah kerugian uang yang dialami, tapi harga diri yang telah luruh hancur tak bersisa. Maka dari itu Tanaka sangat membenci yang namanya penipuan.
Iris cantik yang redup dan kepala yang ditundukkan di depannya ini mengingatkan dirinya di masa lalu, turnamen karate terakhirnya ketika akhir kelas satu SMA. Mengalami cedera kaki yang sangat parah sehingga mustahil untuk melanjutkan karir sebagai karateka.
Mimpi dan harapannya hancur seketika. Karate adalah satu-satunya keahlian yang ia punya dan satu-satunya cara untuk meraih masa depan yang diinginkan. Namun, kenyataan yang ia terima begitu pahit.
Sama persis dengan yang dialami Kiyoko saat ini.
"Tanaka-san, apa kau tahu tempat penginapan paling murah di mana? Aku .... akan menetap di Tokyo sampai ... keberanianku terkumpul untuk kembali ke Sendai."
"Oh ... ya, aku tahu beberapa tempat penginapan yang murah di dekat sini. Nanti akan kuantar-eh, maaf, tunggu sebentar ..."
Suara nada dering telepon menyela perkataannya. Tanaka pun mengambil ponsel di saku dan langsung meringis saat melihat siapa yang menelpon. Di situasi seperti ini bisa-bisanya atasannya menelpon.
Pemuda itu masih belum terbiasa memiliki atasan yang nyentrik, menyimpan nomor telepon seluruh karyawan, sampai petugas kebersihan. Lalu, kerap kali menelpon hanya untuk menanyakan hal sepele. Tanaka pernah ditelepon hanya untuk ditanyai apakah sushi yang dijual di Sendai seenak yang di Tokyo atau tidak. Bahkan rekan kerjanya ada yang pernah ditelepon untuk ditanyai, cantikan mana antara Nayeon dan Mina TWICE. Tak hanya atasan, tapi hampir semua petinggi perusahaan sama nyentriknya dan random. Namun, berkat itu juga Tanaka bersyukur bisa diterima di perusahaan ini walau hanya menjadi petugas keamanan.
"Moshi-moshi, ada apa Sugawara-san?"
"Tanaka Ryounusuuke-kun, kamu adalah nomor terakhir yang aku hubungi, lebih tepatnya nomor ke 244 yang aku telpon. Demi pulsa yang terbuang sia-sia hanya untuk meladeni produser yang rewel banyak maunya ... apakah kau punya teman yang memiliki suara merdu dan bisa memainkan alat musik? Karena. Produser. Kita. Ini. Standarnya. Sangat. Unik. Hingga. Dia. Menolak. Seluruh. Penyanyi. Tenar. Yang. Ada. Di negeri. Ini. Kuharap kau memiliki jawaban yang sangat memuaskan karena kalau tidak shift kerjamu akan kuganti menjadi malam. HAHA, BERIKAN AKU JAWABAN YANG MEMUASKAN!"
"...."
"..."
"WOAAAAA!!"
Bagaimana bisa Tanaka lupa bahwa tempat di mana ia bekerja adalah sebuah agensi hiburan terkenal?
Kini Tanaka menatap Kiyoko dengan tatapan berbinar sambil berseru-seru heboh dengan ponsel masih di dekat telinga, sedangkan Kiyoko sendiri hanya memasang dot face melihat kelakuan Tanaka yang membingungkan.
🍁🍁🍁
Tanaka menghembuskan napas pelan. Suara detak jam di lobi kantor menjadi temannya saat ini ditambah dengan koper dan tas milik Kiyoko.
Pukul sembilan malam. Jam pulang karyawan sudah lewat dari tadi. Tanaka menjadi satu-satunya penghuni yang duduk di sofa lobi. Sudah hampir satu jam ia menunggu Kiyoko yang sedang berurusan dengan produser dan kawan-kawan.
Punggung disandarkan di sofa lebih rileks. Kesempatan bagus untuk menikmati empuknya sofa di lobi.
"Tanaka-san, maaf telah membuatmu lama menunggu ..."
Kiyoko datang dengan raut sumringah walau sembab kentara sekali di mata.
"Jadi, bagaimana?"
"Lusa akan dimulai pelatihan vokalnya untuk rekaman. Haah ... astaga ..."
Tiba-tiba saja Kiyoko menjatuhkan diri di dekat koper. Menumpukan tubuhnya di atasnya sambil berlutut. Posisinya kini seperti memeluk koper yang berada di dekat kaki Tanaka sambil duduk dengan tumpuan lutut. Ia melipat tangannya di atas koper dan menyembunyikan wajahnya di sana.
"Shi-Shimizu-san ... kau baik-baik saja?"
Tanaka yang melihat Kiyoko tiba-tiba menjatuhkan diri langsung ikut berlutut di depannya. Terus-terusan mengerjap karena bingung harus melakukan apa.
"Aku .... hanya masih syok dengan perubahan nasibku yang secepat ini ..."
"Eh?"
Bagaimana tidak syok? Ditipu oleh agensi fiktif selama enam bulan dan baru menyadarinya beberapa jam yang lalu. Tak sampai dua jam setelahnya tiba-tiba saja ia mendapatkan tawaran debut dari agensi hiburan terkenal yang sudah mendebutkan banyak solois dan band. Perubahan nasib yang terlalu cepat.
"Pfft-Ahahahahaha!"
Tiba-tiba Tanaka tertawa terbahak-bahak. Kiyoko sedikit mengangkat kepalanya, menatap Tanaka yang masih mengendalikan tawanya dengan tatapan penuh kebingungan.
"Hahaha, aduh, maaf Shimizu-san, tapi ini lucu sekali. Mungkin ... mungkin Shimizu-san adalah pemegang rekor perubahan nasib tercepat di dunia. Benar-benar tak disangka, ya," ujar Tanaka disela usahanya untuk meredakan tawa.
"Shimizu-san, kau tahu? Mendiang nenekku pernah berkata bahwa dibalik setiap nasib buruk yang kita alami selalu ada nasib baik yang menunggu walau memerlukan waktu. Tapi, kamu malah tak butuh waktu seharian untuk menunggu nasib baik. Itu artinya Dewa benar-benar menyayangimu, Shimizu-san. Kamu memang ditakdirkan debut sebagai penyanyi ..."
Kalimat Tanaka barusan layaknya basuhan air yang menenangkan membuat pikiran jernihnya ditarik kembali. Seketika Kiyoko teringat akan kalimat Tanaka saat di halte bus tiga tahun yang lalu.
"... firasatku mengatakan bahwa kamu akan debut sebagai penyanyi bagaimanapun caranya ..."
Ya, sebentar lagi debutnya akan dimulai ...
🍁🍁🍁
"Mari bersulang untuk debut solois baru kita, Mizu! Bersulang!"
"Bersulang!"
Ruangan rekaman itu mendadak menjadi tempat pesta kecil-kecilan.
Kiyoko baru saja selesai melakukan rekaman lagu pertamanya. Sebenarnya, pesta ini terlalu awal dilakukan karena Kiyoko masih harus syuting untuk video klipnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja direktur datang ke ruangan rekaman sambil membawa dua meja dorong penuh berisi makanan dan minuman. Benar kata Tanaka, atasannya ini, Sugawara Koushi, orangnya benar-benar nyentrik.
"Mizu, kuperkenalkan staff yang akan bekerja untukmu. Ada manajer, yaitu Suzumeda Kaori dan bodyguard, Tanaka Ryounusuuke-kun. Mulai saat ini dan seterusnya kalian akan selalu bersama!"
"Eh, Tanaka-san?"
"Ya, kuberi kenaikan pangkat karena telah berhasil membawamu ke sini. Lagipula anak muda sepertinya tidak cocok menjadi petugas keamanan yang berdiam di satu tempat. Kau akan pergi ke sana-sini melindungi Mizu, jadi lakukan yang terbaik ya!"
Sugawara menepuk-nepuk pundak Tanaka sangat keras hingga pemuda itu meringis.
"Aku Suzumeda Kaori, panggil saja Kaori. Mohon kerja samanya untuk ke depannya!"
Wanita yang dikuncir rambutnya itu tersenyum ramah ke arah Kiyoko setelah membungkuk sejenak.
"Tanaka Ryounusuuke, bodyguard dan penggemar pertamamu. Mohon kerja samanya!"
Kiyoko tertawa kecil saat mendengar kalimat perkenalan Tanaka. Ternyata pemuda itu masih ingat perkataannya di halte tiga tahun yang lalu.
"Shimizu Kiyoko, panggil saja Kiyoko. Mohon kerja samanya untuk ke depannya!"
Manajer, bodyguard, dan penggemar. Ia telah memiliki itu semua.
Di pertengahan musim gugur, debutnya sebagai solois dengan nama panggung Mizu telah dimulai ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Mizu, solois wanita Jepang yang menorehkan kesuksesan dan prestasi yang tak terkira dalam lima tahun karirnya. Lagu pertamanya yang langsung menjadi trending nomor satu di Jepang membawanya pada penghargaan beruntun. Pendatang baru terbaik sekaligus song of the year.
Berkat kesuksesannya itu, Mizu pun sering didapuk untuk mengisi lagu soundtrack anime, dorama, dan film. Tak sampai disitu, ia juga dipilih untuk menjadi bintang iklan beberapa produk. Bahkan, Mizu diangkat menjadi brand ambassador sebuah merk pakaian ternama di Jepang. Beberapa kali menjadi bintang tamu di reality-reality show terkenal di pertelevisian Jepang membuat namanya semakin melambung naik.
Mizu begitu mudah diterima di masyarakat. Nyanyiannya telah mencapai seluruh pelosok negeri, bahkan manca negara mengingat ketenaran anime yang mendunia. Dalam lima tahun pun, penggemarnya yang disebut Aimizu semakin bertambah banyak.
Lima tahun berkarir telah mampu mencapai kesuksesan yang setara dengan artis senior lain. Perjuangannya dahulu saat gagal audisi hingga ditipu agensi, semuanya telah terbayar sudah.
🍁🍁🍁
"Terima kasih semuanya! Jaga kesehatan kalian, ya! Sampai jumpa!"
Lambaian tangan dari dalam mobil. Seruan heboh dari para penggemar untuk membalas ucapan Kiyoko dari pinggir jalan. Kaca mobil perlahan ditutup.
"AIMIZU SELALU MENCINTAIMU!"
"Aku juga selalu mencintai kalian!"
Kaca mobil tertutup sepenuhnya dan mulai melaju pergi.
"Kalau kami bagaimana, Kiyoko? Apakah kamu mencintai kami juga?"
Kaori yang duduk di sebelah Kiyoko bertanya dengan nada jahil sambil menaikkan alis. Sontak Kiyoko pun tertawa. "Tak perlu ditanya soal itu, Kaori. Seluruh staff adalah orang yang aku cintai ..."
"Aaaa, peluk dulu sini penyanyi kesayanganku!"
Kaori pun memeluk erat Kiyoko dari samping sambil lalu mereka tertawa jenaka.
Tanaka yang duduk di sebelah supir dan melihat pemandangan itu melalui kaca dasboard hanya bisa menguarkan senyum lembut. Pria itu tiba-tiba teringat sesuatu.
"Oh, iya. Di Tokyo nanti Sugawara-san sudah menyiapkan ruangan khusus untuk karaokean dengan para staff," kata Tanaka sambil sedikit menoleh ke belakang, menatap Kiyoko yang duduk di kursi penumpang.
"Ha? Tunggu? Apa, gimana?"
Kiyoko langsung menghentikan acara canda tawanya bersama Kaori. Ia menatap Tanaka kebingungan.
"Ya, setiba di kantor nanti kita akan karaoke-an di ruangan khusus yang telah disiapkan oleh Sugawara-san. Kiyoko-san, ini sudah hampir lima tahun, tapi mengapa kamu selalu terkejut jika atasan melakukan hal random?" ucap Tanaka diakhiri dengan kekehan pelan.
"Ah, ya ampun ... aku tidak akan pernah terbiasa dengan segala kerandoman atasan ..."
Ujaran Kiyoko barusan mengundang gelak tawa Tanaka, Kaori, dan pak supir Nekomata.
Ini adalah hari kelima setelah tanggal anniversary debutnya. Menghadiri acara anniversary yang dibuat Aimizu di lima kota dan Kyoto adalah kota terakhir.
Kiyoko memandang pemandangan luar dari kaca mobil. Pikirannya menerawang. Selama lima tahun karirnya ia telah mengalami berbagai hal yang membantunya dalam proses kedewasaan. Masalah-masalah muncul, namun segera dapat diatasi. Soal haters pun Kiyoko tak menanggapi.
Yang jelas, Kiyoko merasa karirnya selama lima tahun ini berjalan begitu baik. Ia juga merasa beruntung berada di bawah naungan perusahaan yang menekankan prestasi untuk popularitas daripada skandal untuk popularitas.
"Kiyoko, tidurlah. Kita sampai di Bandara Kansai sekitar dua jam lagi. Nanti jika sudah di bandara akan kubangunkan," ujar Kaori sambil menepuk bahu Kiyoko dengan lembut.
"Hm, kau juga Kaori, Tanaka, istirahatlah. Nekomata-san, jika kau mengantuk jangan sungkan-sungkan bangunkan Tanaka untuk bertukar."
"Baik, Nona!"
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Melewati pusat kota, gedung-gedung, dan pepohonan. Pemandangan tepi jalan yang ditumbuhi pepohonan berdaun coklat yang berguguran adalah pemandangan terakhir yang Kiyoko lihat sebelum jatuh terlelap.
🍁🍁🍁
Setibanya di Tokyo, semua staff berkumpul di ruang karaoke yang sudah disiapkan. Ternyata ruang karaokenya adalah ruang tamu VIP yang luas dan telah ditambahi beberapa sofa mengingat staff yang dimiliki Kiyoko lumayan banyak, sekitar 25 orang. Juga peralatan karaoke yang telah terpasang. Ini adalah lagu keempat yang akan mereka nyanyikan.
Sejujurnya Kiyoko merasa khawatir dengan para staff-nya. Seharian ini mereka telah melakukan perjalanan panjang dan tentunya merasa lelah. Seharusnya mereka sudah beristirahat sekarang. Kesehatan para staff-nya adalah tanggung jawabnya.
"Motto chigau settei de
Motto chigau kankei de
Deaeru sekai sen erabetara yokatta
Motto chigau seikaku de
Motto chigau kachikan de
Ai wo tsutaeraetara ii na~"
"Teman-teman, jika kalian sudah merasa lelah, pulanglah. Berisitirahatlah. Jangan memaksakan diri untuk berada di sini!" seru Kiyoko berusaha mengalahkan speaker yang menggema di penjuru ruangan. Namun, seruannya tak dihiraukan, lebih tepatnya tak terdengar karena seluruh staff bersama-sama menyanyikan bagian reff lagu Pretender milik Official HIGE DANdism.
"Kiyoko, jika mereka tak menurutimu berarti mereka bersenang-senang dengan ini. Kau tahu sendiri kan betapa penurutnya para staff?"
Kaori yang duduk di sebelah Kiyoko berujar dengan volume tinggi, berusaha mengalahkan suara speaker agar perkataannya terdengar.
"Tapi, tetap saja ..."
Kiyoko menatap para staff-nya yang sedang menyanyi bersama dipimpin oleh Sugawara yang memegang mikrofon dari sofa di samping. Senyuman lebar dan wajah sumringah menghiasi mereka. Kentara sekali jika mereka bersenang-senang. Kiyoko tersenyum kecil aaat melihatnya.
"Tunggu! Pause dulu! Aku ingin mengumumkan sesuatu!"
Saat hendak menyanyikan bagian reff kedua, tiba-tiba musik dimatikan sehingga beberapa orang yang ingin menyanyi lagi tidak jadi dan akhirnya hanya membuka mulut mereka. Sorakan kecewa dan bertanya-tanya pun terdengar.
"Hei, sabar! Saking asyiknya bernyanyi aku sampai lupa menyampaikan pengumuman. Ada tiga pengumuman penting yang akan kusampaikan. Sebentar ..."
Kini Sugawara berdiri di depan, menutupi televisi sambil memegang mikrofon. Sebenarnya Sugawara Koushi itu termasuk direktur muda yang menggoda. Kemeja putih yang lengannya digulung hingga sesiku, celana katun panjang warna hitam, jam tangan bermerk, rambut silver yang selalu disisir ke samping, dan wajah tampan berkulit putih pucat dengan tahi lalat di bawah mata. Manis. Namun, sayangnya kelakuannya yang agak nyentrik itu membuat pesonanya jadi tertutupi.
"Jadi, pengumuman pertama ialah ... besok satu hari full kalian bebas tugas alias cuti!"
Sorakan gembira pun memenuhi ruangan. Bagi para staff, cuti satu hari adalah anugerah yang luar biasa. Kiyoko hanya tersenyum melihat kegembiraan para staff-nya.
"Lalu, yang kedua ... lusa kalian akan ke Sendai untuk menemani Mizu syuting sebagai cameo di dorama Lovesick Girl. Kalian sudah punya akses jika ingin berfoto dengan para aktris dan aktor di sana ..."
Sorakan riuh terdengar lagi. Dorama Lovesick Girl memang sedang tenar di pertelevisian Jepang. Menyanding aktor tampan papan atas, Oikawa Tooru sebagai tokoh utama dengan lawan main Haiba Alisa, aktris cantik blasteran Rusia. Tak heran penggemar mereka begitu banyak dan berasal dari berbagai kalangan, termasuk staff-nya.
"... dan yang terakhir adalah ... tahun depan, di bulan Januari, Mizu akan melakukan tur konser pertamanya mengelilingi Jepang dari utara hingga selatan! Di setiap kota kuberi kalian satu hari bebas untuk berwisata, jadi kalian bekerja sambil liburan!"
Sorakan gembira semakin bergemuruh. Kiyoko hanya tertawa kecil melihat kegembiraan para staff-nya.
"Ya, itu saja yang kusampaikan. Aku baru ingat kalau satu jam lagi aku ada rapat dengan sponsor. Ini, mikrofonnya kukembalikan pada Tanaka. Selamat bersenang-senang para pegawaiku!"
Mikrofon pun dilempar pada Tanaka yang memang duduk di sofa depan TV bersamaan musik yang menyala kembali.
"Goodbye!
Sore ja boku ni totte kimi wa nani?
Kotae wa wakaranai
Wakaritaku mo nai no sa~"
Saat hendak melanjutkan reff bersama-sama, mereka tiba-tiba tidak jadi menyanyi karena suara Tanaka yang merdu. Hampir seluruh staff, bahkan Kiyoko dan Sugawara yang hendak keluar pun ikutan melongo. Mereka tak menyangka jika suara Tanaka semerdu ini saat bernyanyi.
"Tatta hitotsu
Tashika na koto ga aru to suru no naraba
Kimi wa kirei da~"
Tanaka terus melanjutkan lirik sambil menatap kebingungan ke arah para staff yang sedang menatapnya dengan pandangan tak percaya. Selanjutnya yang terjadi adalah keributan, khususnya para bodyguard yang kini meledek Tanaka.
"Kenapa kau tak pernah cerita kalau kau bisa menyanyi, hah?!"
"Aku tidak terlalu suka menyanyi. Kebetulan saja suaraku bagus saat bernyanyi!"
"TANAKA! SEHARUSNYA KAU SUDAH KUDEBUTKAN DARI DULU!"
"MAAF PAK DIREKTUR YANG TERHORMAT, AKU TIDAK INGIN DEBUT!"
"HOI! LAGUNYA BELUM SELESAI!"
🍁🍁🍁
Pukul sebelas malam. Kiyoko mendongak ke atas, menatap langit malam yang bertaburan bintang. Angin berhembus menembus kulit. Kiyoko merapatkan jaketnya. Berada di rooftop apartemen saat malam musim gugur adalah hal yang salah sebenarnya, tapi Kiyoko mengabaikan itu.
"Kiyoko-san, sudah kubilang lebih baik telponan saja. Malam ini sangat dingin ..."
Tanaka datang dari pintu rooftop yang terbuka sambil merapatkan jaketnya.
"Tidak apa, aku butuh udara segar sebelum tidur," jawab Kiyoko sambil menolehkan sedikit kepalanya ke belakang.
Tanaka hanya menghembuskan napas pasrah. Ia pun melangkah menuju bangku beton yang diduduki Kiyoko lalu duduk di sebelah wanita itu.
"Bagaimana hari ini? Apa para bodyguard ada kendala?"
"Hmm, ya, tidak terlalu, sih. Para penggemarmu yang di Kyoto lebih bisa diatur ketimbang yang di Tokyo. Ah, aku jadi teringat. Tadi ada salah satu penggemarmu memberikan hadiah untuk Kageyama. Anak itu langsung memerah wajahnya dan sempat tidak fokus, lucu sekali! Sayang sekali Kiyoko-san tidak melihatnya ..."
Lalu, cerita pun mengalir di antara mereka. Inilah rutinitas yang biasa mereka lakukan sebelum tidur. Saling menceritakan kejadian hari ini.
Rutinitas mereka ini sebenarnya berhubungan dengan pekerjaan. Staff bodyguard yang lumayan banyak membuat Kiyoko tak bisa meraih mereka secara personal. Maka dari itu ia jadikan Tanaka sebagai perantara antara dirinya dengan bodyguard agar tahu kendala apa yang mereka temui dalam pekerjaan dan segala hal yang terjadi pada mereka di hari itu juga. Kiyoko sendiri akan bercerita tentang keluhan penggemar yang ia terima mengenai para bodyguard-nya agar dijadikan evaluasi untuk ke depan. Tak hanya itu, kadang mereka pun saling curhat mengenai kehidupan pribadi.
Rutinitas saling bercerita antara Kiyoko dan Tanaka sudah berjalan selama lima tahun. Kiyoko tak tahu kapan hal ini dimulai, tapi yang jelas sesi bercerita yang sudah terjalin ini membuat mereka saling tahu satu sama lain layaknya sahabat.
Lima tahun mereka saling membagi kisah dan tawa membuat Kiyoko pun akhirnya menyimpan rasa yang tak tahu harus diapakan ...
🍁🍁🍁
Pukul delapan pagi mereka tiba di Sendai, Miyagi dan tiba di lokasi syuting pukul sepuluh.
Tak disangka, lokasi syuting yang dituju adalah jalanan di mana Kiyoko melakukan pertunjukan jalanannya untuk pertama kali.
Kini Kiyoko sedang berada di tenda terbuka dekat lokasi untuk didandani.
"Ah, aku ingat jalanan ini, pertama kali aku bertemu dengan Kiyoko-san. Pengamen jalanan tanpa mikrofon yang menyanyikan lagu Heartache milik ONE OK ROCK. Saat itu penontonnya banyak sekali dan sempat trending di internet."
Tanaka berujar sambil menatap lokasi yang sedang dipasangi mikrofon dan speaker. Dalam dorama ini Kiyoko akan menjadi penyanyi jalanan yang menyanyikan dua lagu dan nantinya ditonton oleh Oikawa. Begitulah menurut naskah.
"Trending di internet? Seriusan? Eh, tunggu, bukannya kalian pertama kali bertemu di Tokyo? Setelah Kiyoko-san ditipu itu kan?" timpal Kaori yang berdiri di sebelah Tanaka. Kiyoko yang sedang duduk didandani hanya menyimak percakapan mereka yang berdiri tak jauh darinya.
Kisah penipuan yang dialami Kiyoko sudah diketahui banyak orang berkat wawancara-wawancara para jurnalis maupun host acara TV.
"Bukan, kita pertama kali bertemu saat kelas tiga SMP dan satu sekolah saat SMA. Tapi, aku baru sadar kalau Kiyoko-san itu teman seangkatan saat kelas dua. Eh, memangnya aku belum pernah bercerita ini?"
Tanaka menoleh ke arah Kaori yang kini sedang melongo. Kemudian secara bersamaan mereka pun menoleh ke arah Kiyoko yang sama bingungnya.
"Kaori, memangnya aku belum pernah cerita tentang itu padamu?"
"BELUM! SAMA SEKALI BELUM! Astaga, berarti kalian sudah saling mengenal lama sekali, ya ..."
"Sebenarnya saat SMP kita hanya bertemu satu kali lalu SMA hanya dua kali. Hanya seperti itu memangnya dihitung saling mengenal, ya?"
"Tentu saja! Orang dikatakan saling mengenal itu saling tahu wajah dan mengingatnya!"
Kiyoko hanya terdiam sambil menatap pantulan dirinya di cermin rias, sedangkan Tanaka dan Kaori malah berdebat tak jelas.
Pertama kali bertemu Tanaka saat usia 15 tahun dan kini ia sudah berusia ... 24 tahun. Sembilan tahun, selama itu takdir kehidupannya bersilangan dengan Tanaka. Setiap pertemuan menimbulkan kesan dan lima tahun penuh kebersamaan. Tanaka menjadi saksi karirnya dari nol.
Kiyoko menatap pantulan sosok Tanaka di cermin. Rambut pria itu sudah panjang, bahkan memakai gel. Bahunya lebar dan wajahnya menunjukkan kedewasaan.
Mereka telah tumbuh bersama dan melewati banyak hal membuat perasaan dalam hatinya terus menguat, mengakar begitu kencang.
Tanaka lebih dari sekadar teman bagi Kiyoko ...
🍁🍁🍁
Pintu mobil ditutup. Kiyoko menatap rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi. Selagi di Sendai, Kiyoko menyempatkan diri untuk mengunjungi bibinya dan malam hari adalah waktu yang tepat karena wajahnya tidak terlalu dikenali akibat kegelapan malam.
"Kiyoko, akhirnya kamu datang. Tunggu, sendirian? Tidak bersama bodyguard?"
"Tidak, mereka beristirahat. Lagipula ini sudah malam, aku tidak terlalu dikenali."
"Tetap saja kamu harus berhati-hati, Kiyoko ..."
Keduanya pun duduk di ruang tamu dengan segelas teh dan biskuit. Obrolan pun terjalin di antara mereka. Saling bercerita tentang apa saja yang telah mereka lakukan hari ini dan sebagainya.
Dua jam telah terlewati, obrolan terpaksa disudahi. Kaori hanya memberinya waktu tiga jam untuk melepas rindu dengan sang bibi. Namun, Kiyoko memutuskan untuk selesai satu jam lebih awal, takut terjebak macet di jalanan dan omelan Kaori jika ia terlambat.
"Sebenarnya kamu telpon bibi aja cukup, kok, Kiyoko. Daripada bolak-balik seperti ini ..."
"Tidak apa, Bi. Aku ingin lihat kondisi bibi secara langsung. Aku pergi dulu, ya, Bi. Jaga kesehatan selalu!"
Kiyoko melangkah keluar menuju mobil yang terparkir di depan. Sebelum membuka pintu mobil, tiba-tiba saja bibinya memanggil. Sontak Kiyoko menoleh ke arah bibinya yang berdiri di ambang pintu.
"Apapun yang terjadi, bibi pasti selalu memihakmu Kiyoko!"
Kiyoko mengerjap lalu mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, ia pun masuk ke dalam mobil. Kunci mobil sudah terpasang. Kini Kiyoko tampak termenung sambil memegang stir.
Kalimat bibinya barusan adalah kalimat yang selalu diucapkan di berbagai kesempatan selama lima tahun karirnya. Tak ada kata bosan bagi bibinya untuk mengucapkan kalimat itu. Mungkin bibinya mengucapkan kalimat itu karena didasari rasa khawatir mengingat ada beberapa publik figur yang memiliki masalah dan tidak ada yang membela hingga akhirnya bunuh diri menjadi keputusan terakhir. Bibinya takut jika Kiyoko akan berakhir seperti itu.
Namun, hal itu mustahil terjadi karena selama ini ia bekerja di lingkungan yang mendukung dirinya sepenuhnya. Ia bekerja dikelilingi oleh orang-orang baik. Perusahaannya juga pantang sekali membuat skandal untuk artis-artisnya. Sekalipun ada skandal yang dibuat orang luar, pasti perusahaannya akan menanganinya dengan baik.
Jikalau Kiyoko mempunyai masalah berat pun, ia akan berpikir jernih dan tidak sampai kepikiran untuk bunuh diri. Semua usaha yang ia lakukan untuk karirnya sekarang akan sia-sia jika ia bunuh diri.
Ya, untuk saat ini semua akan berjalan baik-baik saja. Kiyoko yakin akan hal itu.
🍁🍁🍁
Jam berdetak. Pukul tiga dini hari. Kiyoko duduk sambil memeluk lutut di atas kasur. Punggungnya ia sandarkan di sandaran ranjang. Mimpi buruk itu datang lagi.
Senyuman sang Ayah yang memegang pisau, wajah kesakitan Ibunya, bercak darah, dan teriakan Ibunya yang menyuruhnya pergi.
Semua itu masih teringat jelas dalam ingatan Kiyoko. Delapan belas tahun telah terlewati, namun mimpi masa lalu itu kerap menghantui walau tak sesering dulu. Seperti mengikat erat Kiyoko.
Kiyoko pun menyembunyikan wajahnya di antara lekukan lutut. Dalam keheningan malam musim gugur, ia menunggu pagi dengan perasaan tak nyaman mengganjal di hati.
Entah kenapa Kiyoko merasa mimpi buruknya tadi adalah pertanda tak baik untuk esok hari ...
🍁🍁🍁
Semuanya tidak akan berjalan mulus begitu saja.
Kalimat itu adalah tamparan keras bagi Kiyoko untuk pagi ini. Perasaan tak nyaman yang muncul semalam ternyata merujuk pada ini.
Notifikasi berita dengan headline 'MASA LALU MIZU SI ANAK PEMBUNUH'. Artikel itu ternyata berisi arsip kepolisian Sendai mengenai kejadian 18 tahun yang lalu. Haters yang terlalu niat hingga meretas data kepolisian lalu menyebarkannya ke internet.
Kiyoko sudah membaca artikel itu dan membenarkan isinya. Masa lalunya terkuak. Selama ini ia berkata bahwa kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Ia merasa masa lalunya tidak pantas untuk diceritakan sebagai publik figur. Sekarang ia benar-benar dilanda kebingungan. Antara mau mengakui atau tidak.
Pikiran negatif pun menghantuinya. Kemungkinan-kemungkinan buruk bermunculan di kepalanya jika ia membenarkan berita itu. Popularitas, prestasi, pandangan orang-orang, penggemar, atasan, staff, dan segala yang telah ia raih, Kiyoko takut kehilangan semuanya. Namun, di sisi lain jika ia tidak melakukan klarifikasi, semua orang akan bertanya-tanya. Bisa saja perusahaan akan dipandang buruk karena tidak menyelesaikan skandal artisnya dengan baik. Semuanya membingungkan.
Maka dari itu, keputusan sementara Kiyoko ialah pura-pura tidak tahu akan masalah ini. Ia pun bersikap biasa saja. Menyapa para staff seperti biasa, bekerja, dan dari mulutnya tak satu pun keluar kata yang akan merujuk pada artikel tersebut. Hal ini ia lakukan sampai pikirannya jernih dan bisa memutuskan yang terbaik.
Tiga hari setelahnya Kiyoko belum juga menemukan titik terang akan masalah ini. Padahal orang-orang perusahaan sudah tahu tentang artikel tersebut. Kaori, Tanaka, Sugawara, semuanya. Kiyoko bisa merasakan adanya perbedaan sikap dari mereka. Namun, Kiyoko terus memasang ekspresi palsu membuat mereka kebingungan, bagaimana memulainya dengan Kiyoko untuk bertanya akan hal ini.
Hari kelima, saat masalah itu semakin memuncak, Kiyoko tidak bisa lagi berpura-pura. Tepat setelah selesai syuting iklan dan kembali ke mobil, Kaori berujar, "Setelah ini kita makan siang terlebih dahulu. Selepas itu kita akan ke kantor untuk rapat dengan para atasan. Ada hal penting yang harus dibicarakan mengenai karirmu."
Ia tak bisa lari lagi. Maka, Kiyoko hanya mengangguk pasrah sambil tersenyum tipis sebagai balasan. Tepat setelah ia mendudukkan diri di kursi penumpang dan menutup pintu mobil, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kiyoko melihat nama yang tertera di layar.
Bibi
'Apapun yang terjadi bibi akan selalu memihakmu, Kiyoko!'
Iris Kiyoko melebar. Segera saja ia mengangkat telepon.
"Halo, Bi?"
"Ah, Kiyoko-san, syukurlah kamu mengangkat teleponnya. Bibimu sekarang masuk rumah sakit!"
... dan Kiyoko hanya bisa tercekat.
🍁🍁🍁
Sinar sore menyapa kala tiba di Sendai. Kiyoko langsung saja keluar kala mobil selesai terparkir di rumah sakit. Wanita itu berlari menuju ruangan bibinya dirawat setelah bertanya ke resepsionis. Tak pedulikan tatapan orang-orang yang mengenalnya. Tak pedulikan juga Kaori dan Tanaka yang kewalahan mengejarnya. Pikirannya saat ini hanya bibinya.
"Bibi!"
Kiyoko masuk ke ruangan dengan napas tersengal-sengal. Di dalam ruangan ia mendapati bibinya terbaring dengan wajah pucat dan infus terpasang. Di sebelah ranjang terdapat dokter dan Michimiya Yui yang tadi menelponnya. Gadis itu merupakan tetangga depan rumah bibinya.
Kiyoko pun melangkah masuk menuju sebelah ranjang bibinya.
"Kiyoko, ya ampun, seharusnya kau tak perlu repot-repot ke sini ..."
Bibi memandang ke arah Kiyoko dengan raut wajah bersalah.
"Bagaimana bisa ini terjadi?"
"Tadinya aku hendak berkunjung ke rumah bibi untuk memberikan pie buatanku. Tapi, bibi tak segera menyahut dan aku pun mengiranya bibi sedang pergi. Namun, pintunya ternyata tidak dikunci, langsung saja aku masuk karena takut terjadi apa-apa dan ... ya, aku menemukan bibi pingsan di dapur."
"Ya, maklumi, penyakit tua soalnya. Ya, kan dokter?"
Dokter dengan nametag Shirabu Kenjiro itu menjelaskan komplikasi penyakit yang diderita oleh bibinya membuat Kiyoko merasa miris karena tak memperhatikan kesehatan bibinya.
"Ya, ini karena faktor usia. Jangan khawatir, penyakitnya tidak terlalu parah. Hanya rawat intensif beberapa hari nantinya sudah membaik," jelas dokter Shirabu dengan nada ramah.
Kiyoko hanya mengangguk-angguk lalu menghembuskan napas pelan. Tatapannya pun beralih ke Michimiya sambil tersenyum tipis.
"Michimiya-san, terima kasih telah membawa bibiku ke sini."
"T-Tidak masalah, kok!" Michimiya membalas gugup sambil menggerakkan tangannya.
"Dokter, Yui-chan, maaf. Tolong tinggalkan kami berdua, aku ingin bicara hal privasi dengan keponakanku ..."
Kiyoko hanya mengerjap sambil menatap ke arah bibinya, sedangkan dokter Shirabu hanya mengangguk lalu membungkukkan diri sebentar, selepas itu berjalan keluar ruangan. Begitu pula dengan Michimiya.
"Aku pamit pulang, Bi. Besok aku akan ke sini lagi."
"Sampai jumpa besok Yui-chan!"
Pintu pun tertutup. Kini hanya tinggal mereka berdua. Kiyoko pun mendudukkan diri di kursi sebelah ranjang. "Bibi ingin membicarakan apa?"
"Kita ... belum pernah membicarakan ini sama sekali, ya, Kiyoko ..."
Kiyoko hanya mengernyit, tanda tak paham ke mana alur pembicaraan ini akan dibawa.
"Kejadian malam itu ... ayah dan ibumu ..."
Iris Kiyoko melebar, tak disangka bibinya akan membahas ini. Apa jangan-jangan bibinya tahu soal artikel yang sudah tersebar itu?
"Aku tahu selama ini kamu selalu bermimpi buruk diakibatkan trauma, aku tahu itu ..."
Kiyoko hanya terdiam.Kepalanya sedikit ditundukkan.
"Apakah ... kamu membenci Ayahmu, Kiyoko?"
Kiyoko langsung mendongak, menatap bibinya yang sedang tersenyum lembut ke arahnya.
Benci?
Memorinya pun ditarik ke masa lalu, kenangan-kenangan menyenangkan bersama sang Ayah berputar di kepalanya. Kasih sayang yang ia dapatkan, tawa, canda, senyuman, dan kehangatan. Semua masih diingat baik oleh Kiyoko.
Tak mungkin kebencian tumbuh hanya karena kejadian satu malam ...
"Aku ... tidak membencinya, hanya saja ... tidak menerimanya ..."
Ayahnya yang bak pangeran masih dirasa mustahil bagi Kiyoko untuk bertindak keji, membunuh orang yang dicintainya. Tapi, kenyataan berkata seperti itu dan Kiyoko belum bisa menerimanya.
"Kamu tahu, kan, kenapa ayahmu bisa bertindak seperti itu?"
Kiyoko hanya mengangguk. Gangguan psikis akibat tekanan ekonomi. Begitulah kata polisi saat dahulu. Tapi, mengapa ayah dan ibunya tampak bahagia saja di depan Kiyoko? Mengapa mereka mampu membelikan Kiyoko ini itu walau dalam kesulitan ekonomi? Itulah pertanyaan terpendamnya selama ini.
"Kesulitan ekonomi. Tapi, mereka memutuskan untuk menyembunyikannya darimu. Mereka ingin kamu tumbuh seperti anak lainnya, memiliki kehidupan anak-anak yang normal tanpa perlu memikirkan beban orang tuanya."
Demi dirinya?
"Jangan menyalahkan dirimu, Kiyoko. Jangan berani-berani menyalahkan dirimu. Itu adalah kewajiban orang tua, membahagiakan anak-anaknya apapun caranya ..."
"Aku tidak menyalahkan cara orang tuamu dalam membahagiakanmu, tapi tidak juga membenarkan karena sejatinya tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia ini ..."
"Tapi, yang jelas perlu kau lakukan adalah kau harus menerima kejadian buruk itu. Mendekapnya erat-erat, memeluknya. Kamu harus mengakuinya bahwa hal buruk itu pernah terjadi padamu, menjadikannya identitasmu sebagai seorang Shimizu Kiyoko karena ... masa lalu yang pernah kita lewati adalah bagian dari diri kita juga dan ... masa lalu tidak mungkin kita bisa sangkal ..."
🍁🍁🍁🍁🍁
Kalimat-kalimat yang diucapkan bibinya di rumah sakit terus terngiang dalam kepala Kiyoko hingga mereka tiba di Tokyo. Saat tiba di apartemen, berbaring di atas kasur, Kiyoko terus memutar kalimat itu.
'Menerima, mendekapnya erat-erat kenangan buruk itu ...'
Kiyoko pun berbaring menghadap ke kanan, memejamkan mata. Ia memutar memori kejadian di malam 18 tahun yang lalu. Senyuman mengerikan sang Ayah, jeritan kesakitan Ibu, pisau, dan darah.
Ya, Kiyoko melihat itu semua. Ia mengalami hal buruk itu. Ia mengakuinya. Maka, Kiyoko pun terlelap dengan air mata yang jatuh disertai senyuman kecil. Untuk pertama kalinya di malam itu ia bermimpi indah, tertawa bersama dengan ayah dan ibunya di padang rumput yang luas. Mereka bermain kejar-kejaran dengan senyuman tulus yang menguar lalu mendekap tubuh kecil Kiyoko erat-erat sambil membisikkan kalimat yang selalu dirindukannya.
'Kami mencintaimu, Kiyoko ...'
🍁🍁🍁
Konferensi pers telah selesai di aula kantor. Ditemani Sugawara dan para atasan lainnya serta kepala kepolisian Sendai, Kiyoko memutuskan untuk mengakui semuanya. Kini ia merasa lega karena dirinya telah jujur kepada dunia. Tak peduli bagaimana tanggapan masyarakat luas nanti. Yang terpenting ia akan terus melangkah maju.
Kini Kiyoko berjalan menuju ruang meeting gedung agensi. Seluruh staff-nya menunggu di sana. Saat masuk ke dalam ruangan, hanya keheningan yang menyambutnya. Raut mereka semua tak terbaca. Kiyoko hanya tersenyum tipis sambil berpikir apa yang harus ia katakan kepada semuanya. Tiba-tiba terdengar suara isakan perempuan.
"Hitoka-chan, kenapa menangis?"
Kiyoko menghampiri Yachi Hitoka, hairstylist-nya yang sedang duduk di salah satu kursi. Wanita itu berlutut di hadapannya.
"Kiyoko-san t-telah mengalami hal yang begitu berat sejak kecil dan ... dan aku terharu karena Kiyoko-san mampu bertahan hingga saat ini ... Kiyoko-san t-telah berjuang dengan baik ..." tutur Yachi disela isakannya.
Kiyoko sendiri hanya tertawa kecil sambil menghapus jejak air mata di pipi Yachi. "Terima kasih, Hitoka-chan. Sudah, sudah, jangan menangis ..."
Tak lama kemudian, ia mendengar isakan lain yang ternyata dari Kaori. Sang manajer langsung menghambur ke arah Kiyoko dan memeluknya, menangis di sana. Tak hanya itu, para staff perempuan menitikkan air matanya. Beberapa bodyguard pun ada yang mengelap air matanya.
"Hei, kenapa kalian malah pada menangis?"
Alhasil semua staff perempuan di sana memeluk Kiyoko beramai-ramai. Kiyoko yang kewalahan menenangkan mereka akhirnya malah tertawa.
"Kiyoko-san, tak peduli bagaimana masa lalumu kami di sini selalu menerimamu. Kau adalah penyanyi yang kami banggakan, kami akan selalu di sisimu untuk mendukungmu terus ..." ucap Tanaka yang berdiri tak jauh darinya disertai senyuman lebar. Kiyoko yang melihatnya hanya bisa tersenyum sambil membisikkan terima kasih.
Saat itu, Kiyoko tahu bahwa para staff-nya bukan sekadar rekan kerja, tapi keluarga. Mereka telah bersama selama lima tahun, berbagi suka duka yang sama, menjadi saksi jejak karirnya. Maka Kiyoko pun memeluk mereka satu persatu sambil mengujarkan kata terima kasih dan mohon kerja sama untuk ke depannya.
Ikatan dengan para staff-nya terus menguat seiring detak jantung sang bibi yang kini hanya segaris. Lengkungan senyum sebagai tanda kepergian yang damai. Tugasnya telah selesai ...
Musim gugur ke-24, Kiyoko kehilangan untuk ketiga kalinya ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Akhir Oktober, udara semakin dingin. Akan tetapi, Kiyoko nekat untuk duduk di rooftop apartemen, melakukan rutinitas biasanya dengan Tanaka.
Kiyoko dengan para staff-nya tinggal dalam gedung apartemen yang sama. Beberapa ada yang satu lantai dengan Kiyoko, lantai paling atas. Sisanya berada di lantai bawah, bertujuan memudahkan mobilitas pekerjaan.
Mereka kini duduk bersisian seperti biasanya. Jaket tebal dengan tambahan segelas coklat panas di tangan. Sedari tadi belum ada yang memulai percakapan hingga akhirnya Tanaka pun membuka suara.
"Musim gugur kali ini ... banyak hal yang terjadi ya ..."
Gugur
Seminggu yang lalu, bibinya telah tiada dengan senyuman di wajahnya. Kematian yang begitu damai. Mengingat itu semua membuat dada Kiyoko sesak.
"Hanya aku ... Shimizu yang tersisa ..."
Bahunya bergetar. Kiyoko menggigit bibir sekuat-kuatnya guna menahan isak tangis. Sudah seminggu lebih, ia tak boleh terus-terusan menangisi orang yang sudah pergi.
"Aku juga. Tinggal aku Tanaka yang tersisa."
Ucapan bernada ringan dari Tanaka membuat Kiyoko langsung menoleh ke arahnya.
"Aku sejak kecil dibesarkan oleh nenekku bersama kakak perempuanku yang lima tahun di atasku. Ibuku meninggal setelah aku lahir dan ketika usiaku tiga tahun, ayahku meninggal karena kecelakaan. Hanya kakakku yang pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan ibu, sedangkan aku tidak pernah. Tapi, kasih sayang dari nenek membuatku bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu dan ayah sekaligus ..."
Kiyoko menyimak cerita Tanaka dengan seksama. Ia terdiam, melanjutkan mendengarkan.
"Sejak kecil kami tinggal bertiga. Nenek selalu bersikap lembut dan bijaksana terhadap kami. Kakakku termasuk orang yang tegas, tapi kadang bisa menyenangkan. Dia atlet karate sejak umur tujuh tahun dan sudah memenangkan berbagai kejuaraan. Aku begitu kagum sekaligus iri. Ya, akhirnya aku mengikuti jejak kakakku untuk melampauinya, tapi belum pernah berhasil. Haha!"
"Ketika aku berumur 10 tahun, tiba-tiba saja kakak jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Kupikir dia hanya sakit perut biasa karena sebelumnya ia mengeluh sakit perut. Tapi, ternyata tidak. Ia sakit parah. Aku lupa nama penyakitnya yang jelas ia harus tinggal di rumah sakit."
"Aku rajin berkunjung ke sana dan rasa kagumku semakin besar saat melihat senyuman lebar kakakku walau berbaring di atas ranjang rumah sakit. Semakin sering berkunjung, aku merasakan perubahan besar yang dialami kakakku. Semakin kurus, semakin pucat, dan semakin lemah. Penyakitnya semakin parah hingga aku pun tidak diperbolehkan berkunjung lagi, hanya nenek yang boleh. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi dengan kakakku hingga ia meninggal dunia ..."
"Semenjak itu aku semakin giat berlatih karate, mengikuti berbagai kompetisi dan lain-lain karena hanya itu yang ditinggalkan oleh kakakku. Aku pun optimis bisa meraih masa depan yang cerah dengan kemampuan karateku. Namun, hal itu malah dipatahkan ketika turnamen saat kelas satu SMA. Kakiku mengalami cedera parah sehingga tak memungkinkan aku lanjut berkarir di dunia karate."
"Sempat frustasi karena hanya karate yang merupakan keahlianku. Namun, nenek menasihatiku, dibalik nasib buruk selalu ada nasib baik yang menunggu. Aku pun menurutinya, berusaha menerima nasibku. Setahun kemudian, nenekku meninggal dunia karena faktor usia. Sawamura-san, tetanggaku memutuskan untuk menjadi waliku karena aku yang sebatang kara dan membawaku ke Tokyo. Ya, di Tokyo aku lulus SMA dengan nilai pas-pasan, tidak mampu berkuliah, dan akhirnya menjadi petugas keamanan berkat kemampuan karateku yang masih tersisa. Setelah itu aku bertemu dengan kalian. Nasib baik yang kutunggu-tunggu ..."
Tanaka mengakhiri cerita panjangnya dengan menghembuskan napas panjang. Kiyoko masih membisu setelah mendengar cerita Tanaka. Tidak disangka mereka memiliki persamaan nasib.
"Ya, nasib baik sedang menunggumu saat ini, Kiyoko-san. Aku yakin mendiang bibimu tak sabar melihat itu. Eh, tapi nasib baiknya sudah diketahui, tur konser tahun depan."
Tur konser
Kiyoko tertawa kecil. Wanita itu pun menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Kepala didongakkan untuk menatap langit berbintang.
Hati berusaha mendekap kepergian.
'Terima kasih, Bi'
🍁🍁🍁🍁🍁
Awal Januari. Persiapan tur konser telah matang. Tanggal lima mereka pun berangkat menuju Jepang utara sebagai permulaan konser Kiyoko. Tepat di hari ulang tahun wanita itu.
Kiyoko mengerahkan segalanya sebagai Mizu, si solois terkenal. Begitu juga para staff.
Mikrofon menjadi begitu pas di tangannya. Bernyanyi, bernyanyi, bernyanyi, hingga suaranya habis. Sorakan Aimizu, nyala lightstick, suara Aimizu yang menyatu ketika bernyanyi bersama, semua itu terus diingat oleh Kiyoko. Musik yang menggema, suara drum, gitar, keyboard, dan piano menjadi begitu akrab di telinga Kiyoko.
Dibalik panggung, kebersamaannya dengan para staff tak mau kalah. Ketika berwisata di hari terakhir di satu kota, banyak hal yang menyenangkan terjadi. Mereka layaknya keluarga yang melakukan tur wisata. Berkunjung ke pantai, taman bermain, pusat oleh-oleh, kebun binatang, dan masih banyak lagi tempat yang dikunjungi. Berfoto, bermain, dan tertawa bersama. Melupakan lelah sehabis mengurus konser.
Sudah lima bulan mereka berkeliling Jepang, kini tersisa lima kota terakhir. Karena tinggal lima kota lagi, maka ada pertunjukan spesial dari para staff, yaitu menjadi penari latar di lagu penutup konser dengan memakai berbagai kostum. Sontak hal itu pun menjadi trending di media sosial dan mengundang iri Aimizu kota lain yang tak mendapatkan pertunjukan spesial tersebut.
Sebenarnya ide tersebut baru saja tercetus oleh Tanaka kala ia merasa bosan menjaga area penonton dan mulai menari untuk menghilangkan jenuh. Kemudian idenya ini disampaikan kepada staff yang lain dan akhirnya pada setuju.
Walaupun begitu, pertunjukan mereka ujung-ujungnya malah seperti komedi karena mereka menari asal-asalan dan akhirnya menimbulkan gelak tawa para Aimizu, bahkan Kiyoko sendiri. Saat pertama kali pertunjukan, Kiyoko tak bisa menahan gelak tawanya hingga ia tidak dapat menyelesaikan lirik lagunya. Di kota selanjutnya, Kiyoko bisa mengendalikan diri walau sempat tertawa sedikit. Melihat para staff-nya menjadi penari latar adalah pertunjukan yang menghibur.
"Berikan aku kejutan untuk hari ini!" seru Kiyoko sebelum naik panggung untuk konser hari ini.
Ini adalah kota ketiga dari lima kota terakhir.
"Tentu saja! Kami akan membuatmu terpukau!" balas Kaori tak mau kalah. Yang lain hanya tertawa saat mendengarnya. Mereka ragu dengan kata terpukau yang diucapkan Kaori.
Hari ini mereka akan menari ala neko-neko dengan menggunakan bando kuping kucing. Tentunya akan menimbulkan gelak tawa dibanding terpukau.
"Tanaka-san, kau baik-baik saja?" bisik Yachi kepada Tanaka yang berdiri di sebelahnya. Pria itu memegang bando kucing yang diterimanya sambil memasang wajah melamun.
"Hm? Aku baik-baik saja, kok, Yacchan. Memangnya kenapa?"
"Wajah Tanaka-san pucat sekali. Tanaka-san sakit?"
Ya, wajah Tanaka begitu pucat membuat gadis itu bertanya dengan khawatir.
"Oh, aku baik-baik saja Yacchan. Tak perlu ada yang dikhawatirkan."
Senyuman tulus disertai tepukan lembut di pucuk kepala adalah balasan yang Yachi terima. Gadis itu tak bertanya lagi, namun matanya menatap lamat-lamat wajah pria di sampingnya. Terdapat sebulir keringat di pelipis yang jatuh membuat Yachi terheran. Backstage yang ber-AC tidak mungkin sampai membuat orang berkeringat seperti itu.
🍁🍁🍁
"Lagu penutup hari ini, Crossing Field!"
Musik intro menggaung, Aimizu bersorak. Lightstick berpendar begitu indah.
"Mito mete ita okubyou na kako
Wakara nai mama ni kowagatte ita
Ushiro no jibun ga genjitsu wo ima ni utsusu~"
Kiyoko bernyanyi diiringi fanchant dari Aimizu.
"Ikutsu mono sora wo kaita koko wa kitto
Hakanai kokoro mida shite~"
Di belakang panggung, para staff sudah bersiap dengan kuping kucingnya. Mereka akan masuk saat reff.
"Yume de takaku tonda karada wa
Donna fuan matotte mo furi hara tteiku
Nemuru chiisa na omoi hirogari dashite
Kizuku yowai watashi kimi ga ireba~"
Para staff masuk sambil berlari kecil. Mereka langsung membentuk formasi dan mulai menari kaku.
"Kurai sekai tsuyoku ireta
Nagai yume miru kokoro wa sou eien de
I wanna always stay with you
I give you everything I have~"
Sorak-sorai Aimizu menggaung kala para staff menari. Beberapa ada yang salah gerakan hingga gelak tawa pun terdengar. Baik di atas panggung, maupun di bawah panggung tampak begitu bahagia selama berjalannya lagu, kecuali satu orang yang harus menahan sakit dibalik senyuman. Ia terus menari hingga lagu mencapai reff akhir sambil menahan rasa sakit yang menjalar di perut dan punggung belakang. Tanaka Ryounusuuke tersenyum di antara rasa sakitnya yang tiba-tiba datang.
"Yume de takaku tonda karada wa
Donna fuan matotte mo furi hara tteiku
Nemuru chiisa na omoi hirogari dashite
Kizuku yowai watashi kimi ga ireba
Kurai sekai tsuyoku ireta
Nagai yume miru kokoro wa sou eien de
I wanna always stay with you
I wanna hold you tight right now
I swear i'll wipe your tears
I give you everything I have~"
Para staff pun berlarian kembali ke backstage diiringi sorakan dan tepukan dari Aimizu.
"Woaa!! Tadi terlalu menyenangkan!"
Gelak tawa para staff memenuhi backstage. Berbagai kejadian lucu di atas panggung tadi mengalir di antara mereka. Ramai dan heboh.
Di sisi lain, Tanaka yang sudah melepas bando kucingnya berdiri bersandar di dinding. Bandonya terjatuh di lantai. Tangannya memegang perutnya yang luar biasa sakit. Tak ada satu pun yang memerhatikan.
Saking sakitnya, pria itu tak mampu mengeluarkan suara hingga akhirnya pandangannya buram dan tubuhnya ambruk ke depan.
"Tanaka!"
Teriakan dari Kiyoko adalah hal terakhir yang ia dengar ...
🍁🍁🍁
Putih. Itu yang pertama kali Tanaka lihat saat membuka matanya.
"Hei, akhirnya kau bangun ..."
Tanaka pun memfokuskan pandangannya dan mendapati seorang wanita cantik berbalut pakaian hangat berwarna merah muda sedang berdiri di samping ranjangnya. Rambutnya yang pendek menghiasi wajahnya begitu apik. Kiyoko Shimizu, wanita cantik yang merupakan atasannya. Memorinya pun berputar kembali, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ini.
"Konser? Tunggu, apa yang terjadi padaku?"
"Kamu pingsan di backstage seusai tampil ..."
Tanaka hanya mengangguk sambil menatap ke arah langit kamar. "Ya, sepertinya aku kecapek-"
"Tanaka, sebelum pingsan, apa yang kamu rasakan?"
Ucapannya dipotong oleh Kiyoko. Wanita itu menatapnya dengan serius.
"Sakit ... bagian perut dan punggung belakang. Memang-"
"Tanaka, apa kamu benar-benar tak ingat nama penyakit yang diderita kakakmu?"
Ucapannya dipotong lagi dan kali ini Kiyoko tampak begitu emosi karena bertanya penuh penekanan.
Tanaka terdiam beberapa saat. Irisnya bertubrukkan dengan milik Kiyoko hingga akhirnya pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Tanaka-"
"Pankreas ..."
Kiyoko terdiam saat mendengar sahutan Tanaka.
"Kanker pankreas. Itu adalah penyakit yang diderita kakakku. Apa aku ... menderita sakit yang sama?"
Kiyoko terdiam tak menjawab. Ia hanya menunduk. Melihat itu Tanaka seketika tahu jawabannya. Ia hanya tersenyum.
"Besok kau akan dipindahkan ke rumah sakit yang ada di Tokyo. Aku sudah mengabari Sawamura-san. Soal biaya jangan khawatir, perusahaan yang menanggungnya."
Kiyoko mengamit tasnya, bersiap kembali ke hotel. Tanaka hanya mengangguk.
Saat di pintu, Kiyoko menghentikan langkahnya. Tangannya mengambang di udara saat hendak membuka knop pintu ruangan.
"Tanaka ... kau harus bertahan bagaimanapun caranya ..."
Kalimat itu berhasil diucapkan oleh Kiyoko sebelum benar-benar pergi dari situ.
🍁🍁🍁
Konser terus dilanjutkan walau tanpa Tanaka. Semua bersikap profesional, melanjutkan pekerjaan sesuai job masing-masing. Pertunjukan penari latar mereka hentikan hingga hari terakhir konser.
Awal Juni mereka kembali ke Tokyo. Tur konser telah sukses dilaksanakan. Kiyoko dan para staff mendapatkan libur sebulan untuk beristirahat setelah melakukan pekerjaan panjang yang luar biasa.
Selama bulan Juni, mereka bergantian mengunjungi Tanaka. Berbagi cerita, menghiburnya, memenuhi ruang rawat Tanaka dengan tawa walau tahu kenyataan pahit tentang penyakit Tanaka. Kanker pankreas stadium lanjut. Artinya kemungkinan sembuh sangatlah kecil.
Kiyoko sendiri tak sesering staff lain dalam hal menjenguk Tanaka. Ia masih terikat dengan perusahaan dan tidak ingin ada rumor macam-macam jika ia ketahuan terus-terusan mengunjungi rumah sakit. Maka dari itu, hal teraman ialah berkomunikasi melalui ponsel lewat fitur videocall.
Setiap malam, Kiyoko selalu melakukan vidcall dengan Tanaka. Melanjutkan rutinitas biasa mereka walau melalui ponsel. Menceritakan banyak hal. Kiyoko dengan pekerjaan di agensi dan Tanaka dengan kehidupan barunya di rumah sakit. Rutinitas ini tidak sebebas sebelumnya karena dibatasi jam malam pasien.
Setiap panggilan dengan Tanaka ditutup, Kiyoko selalu melanglangbuana ke masa lalu. Mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Tanaka, di jalanan Sendai ketika musim gugur. Lalu, pertemuan di sekolah, mengembalikan uang kembalian yang tertinggal. Setelah itu, di halte, saat Kiyoko gagal audisi dan Tanaka meneriakkan kalimat yang terus diingat Kiyoko hingga saat ini. Pertemuan di Tokyo, lalu kebersamaan mereka sebagai artis dan bodyguard. Saat awal-awal berkarir, Tanaka lah yang selalu melindunginya dari sergapan penggemar, menuntunnya berjalan ketika kesulitan melangkah menggunakan heels, membantunya menuruni panggung, merangkulnya ketika keramaian wartawan membanjiri, dan masih banyak lagi kenangan-kenangan tentang Tanaka sebagai bodyguard-nya.
Senyuman, tawa, berbagai cerita yang mengalir dengan Tanaka, semua berputar dalam kepala Kiyoko. Sosok pertama yang sedekat nadi bagi Kiyoko.
Lalu, mendapati kenyataan bahwa Tanaka mengidap penyakit yang tidak bisa menjamin kehidupannya, rasanya sesak. Kiyoko tak bisa membayangkan dan tak mau membayangkan saat orang terdekat dalam hidupnya harus menghadapi kematian.
Walau tak ingin membayangkan, ketakutan itu terus mendera dirinya setiap malam.
Kehilangan Tanaka menjadi mimpi buruk Kiyoko setiap malam ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Bulan Juni sudah berlalu. Pekerjaan dan projek lagu baru menyambut Kiyoko di bulan Juli. Berbagai kesibukan menghampirinya. Semua staff bekerja seperti biasa walau tanpa Tanaka. Berjalan mulus seperti biasanya. Namun, absennya Tanaka dalam lingkungan kerja mereka membuat suasana menjadi berbeda dari biasanya. Terlihat juga beberapa yang merasa kehilangan dan yang kentara sekali begitu menderita karena kehilangan atensi Tanaka adalah Kiyoko.
Tanaka sudah membersamai Kiyoko sejak sebelum wanita itu debut. Bertahun-tahun mereka bersama, tak mungkin tak ada rasa. Kaori tahu itu. Bahkan atasan pun tahu juga.
"Katakan pada Mizu, terkait asmara aku tak mengekangnya sama sekali. Mau dia dengan sesama artis, penggemar, orang biasa, atau bodyguard sekalipun tidak masalah asal tidak terlibat skandal kontroversial."
Itulah yang pernah dikatakan Sugawara pada Kaori untuk disampaikan kepada Kiyoko. Namun, Kaori sendiri belum ada kesempatan untuk menyampaikannya karena ia sulit menemukan waktu yang tepat dan Kiyoko sendiri terlalu fokus dengan pekerjaannya.
Akan tetapi, Kaori bersyukur karena ia tak mengatakan hal itu kepada Kiyoko dan Tanaka. Jika saja ia memberi tahu bahwa asmara antara artis dengan bodyguard diberi lampu hijau oleh perusahaan, maka penderitaan keduanya akan jauh lebih berat dari sekarang.
🍁🍁🍁
Akhir Juli telah datang. Setelah kesibukan-kesibukan pekerjaan, akhirnya Kiyoko mendapat kesempatan untuk mengunjungi Tanaka setelah sekian lama.
Pintu ruangan telah dibuka. Pemandangan pertama kali yang Kiyoko lihat adalah sosok Tanaka yang semakin kurus dalam balutan baju pasien. Rambut lebat pemuda itu sudah rontok habis akibat kemoterapi.
'Sel kankernya sudah menjalar ke organ yang lain sehingga mustahil untuk dilakukan operasi pengangkatan. Maka, kemoterapi adalah hal terbaik untuk dilakukan.'
Begitulah isi pesan Sawamura yang dikirimkan ke Kiyoko.
"Bagaimana keadaanmu?"
Pertanyaan retorik. Seharusnya Kiyoko tak perlu menanyakan itu. Tapi, keheningan yang melanda membuatnya bingung bagaimana membuka percakapan hingga akhirnya pertanyaan itu pun terlontar.
"Dikatakan baik sama saja bohong, dikatakan buruk sama saja pesimis. Hmm, sekarang pertanyaan ini sulit untuk kujawab ..."
Tanaka berpura-pura berpikir sambil memasang wajah jenaka membuat Kiyoko tersenyum seketika.
"Kalau begitu kuganti pertanyaanku. Bagaimana hari ini? Berjalan lancar?"
"Hmm, ya ... begitulah. Pengobatan, kemo, periksa, makan, tidur, ya seperti biasanya," jawab Tanaka disertai senyuman.
Kiyoko hanya mengangguk dan selanjutnya terdiam. Matanya menatap lamat kondisi tubuh Tanaka. Kulit pria itu tampak menguning, sepertinya efek penyakit kankernya. Jemari kurus yang terpasang infus.
Kiyoko menggigit lidahnya sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Wanita itu benar-benar takut saat melihat kondisinya seperti ini. Pikiran buruk pun bermunculan.
"Tenang saja. Aku akan berusaha semampuku, Kiyoko-san."
Senyuman dan tatapan teduh Tanaka membuat segala pikiran buruk itu sirna. Ya, Tanaka akan berusaha. Itu yang terpenting.
"Aku percaya padamu, Tanaka ..."
🍁🍁🍁
Kesibukan bulan Agustus membuat komunikasi Kiyoko dengan Tanaka semakin berkurang. Kiyoko yang selalu pulang larut malam dan jam istirahat Tanaka yang semakin awal membuat Kiyoko meminta Sawamura untuk sering mengirimkan pesan terkait kondisi Tanaka agar Kiyoko tahu perkembangannya.
Sayangnya, akhir-akhir ini pesan yang ia terima bukan kabar perkembangan, melainkan kemunduran. Kondisi Tanaka semakin memburuk.
5 Agustus
From: Sawamura
Karena efek kemoterapi, Tanaka drop. Tapi, ia sudah baikan saat jam makan siang.
10 Agustus
From: Sawamura
Tanaka sudah tak bisa makan seperti biasa. Infus menjadi satu-satunya jalur makan.
16 Agustus
From: Sawamura
Berat badannya turun 10 kg
20 Agustus
From: Sawamura
Tanaka sudah tak sanggup untuk berjalan
28 Agustus
From: Sawamura
Semakin kurus, kulitnya menguning, matanya menguning. Efek dari penyakitnya.
Kiyoko pun menutup ponselnya setelah membaca semua pesan yang dikirim Sawamura. Wanita itu menelan ludah. Berbagai pikiran buruk menghantuinya.
"Mizu-san, segera bersiap. Setelah ini giliran Anda tampil ..."
Kiyoko menghela napas lalu menghembuskannya perlahan. Menepuk kedua pipinya lalu fokus.
'Lakukan seperti biasa. Pasang senyum palsu kepada semua orang'
Tanaka
'Menjadi Mizu seperti biasanya'
Tanaka
'Bernyanyi memukau seperti biasa'
Tanaka
'Totalitas seperti biasanya'
Tanaka
Pada akhirnya, di setiap pekerjaannya, nama Tanaka selalu terselip dalam pikirannya. Di balik kepalsuan yang ia tebarkan kepada media, tersimpan rasa khawatir, ketakutan, dan kesedihan yang ia sembunyikan. Semua untuk Tanaka.
Wanita itu telah jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada Tanaka Ryounusuuke ...
🍁🍁🍁
Panggung luas dengan banyak penonton. Lampu menyorotinya seiring musik yang menyala. Penampilan lagu barunya di salah satu acara TV.
"Kayoi nareta itsumo no michi~"
Aku yang terbiasa berpergian melalui jalan yang biasa kulalui
"Misugoshisou na hana ga yurete~"
Bunga-bunga yang sedang bergoyang tampaknya telah dibiarkan begitusaja
"Atarimae to omoikomi ore dake~"
Memang hanya aku saja lah yang membayangkan seperti itu
"Taisetsu na mono ni kidzukazu ni itan darou~"
Kau pun juga pernah melupakan hal-hal yang begitu penting kan
"Itsuka awa no you ni atashi mo anata mo~"
Suatu hari nanti baik diriku, maupun kamu
"Kirei ni kiete nakunaru no~"
Dimana kita akan mati lalu menghilang dengan indahnya seperti gelembung
"Semete sono hi made wagamama wo kiite~"
Setidaknya sampai hari itu tiba, dengarkanlah keinginanku yang egois ini
"Demo ienai ya iesou ni nai ya~"
Tapi tampaknya aku tak dapat berbicara maupun mengatakannya
"Atashi ga tonari ni iru uchi ni~"
Selagi aku yang sedang berada di samping mu
"Ai wo motto atashi ni kudasai~"
Tolong berikan aku lebih banyak cinta
"Yokubari de gomen nasai
Maafkan aku atas keserakahan ku ini
Anata no ai ni oboretai~"
Aku ingin cinta mu jatuh pada ku
"Atashi ga tonari ni iru uchi ni
(Selagi aku yang sedang berada di samping mu)
Ai wo motto atashi ni kudasai
Tolong berikan aku lebih banyak cinta
Afureru you na omoi de
Perasaan yang sedang meluap-luap ini
Anata wo tsutsumiko mitai no~"
rasanya aku ingin menyelimuti dirimu
"Ame ni furare yukiba nakushi
Hujan pun turun, dan aku telah kehilangan tujuan
Nan no batsu sa? To sora wo niramu~"
"Hukuman seperti apa ini?" diriku yang membenci dengan langit
"Tsuitenai ya tte sou
"Jangan ikuti" begitulah katanya
Dare kare nikunde
baik dia maupun orang lain sama-sama benci
Kimi ni kidzukazu ni nasakenai na~"
aku pun tanpa sadar merasa kasihan pada mu
"Netami urami tsurami
Cemburu, dendam, tersiksa
Kuso mitaina uso
Kebohongan yang tampak seperti omong kosong
Subete ga kiete nakunarya ii
Akan lebih baik bila semuanya menghilang saja
Nani o shinjireba?
Apa yang aku percayai?
Nani mo shinjinai
tidak ada yang aku percayai
Mou shinjirareru
karena sudah tidak ada lagi
Mono nante nai yo~"
yang bisa aku percayai
"Anata ga tonari ni iru uchi ni
Selagi kamu yang berada di samping ku
Ai wo motto oshiete kudasai
Tolong beritahu aku lebih banyak mengenai cinta
Yokubari de gomen nasai
Maafkan aku atas keserakahan ku ini
Anata no ai ni oboretai~"
Aku ingin cinta mu jatuh pada ku
"Anata ga tonari ni iru uchi ni
Selagi kamu yang berada di samping ku
Ai wo motto oshiete kudasai
Tolong beritahu aku lebih banyak mengenai cinta
Afureru you na omoi de
Perasaan yang sedang meluap-luap ini
Anata wo tsutsumiko mitai no~"
rasanya aku ingin menyelimuti diri mu
"Anata ga warau warau
Kau yang sedang tertawa tawa
Anata ga waratteru
andai alasan dibalik kau yang tertawa
Sono riyuu ga Atashi dattara ii no ni na
yaitu karena diriku, pasti akan bagus
Anata ga nagasu nagasu
kau yang sedang menangis
Sono namida no wake mo zenbu
andai alasan dibalik tangisan mu itu semuanya
Atashi ga riyuudattara ii no ni na aaa~"
yaitu karena diriku, pasti akan bagus
"Atashi ga tonari ni iru uchi ni
Selagi aku yang sedang berada di samping mu
Ai wo motto atashi ni kudasai
Tolong berikan aku lebih banyak cinta
Yokubari de gomen nasai
Maafkan aku atas keserakahan ku ini
Anata no ai ni oboretai~"
Aku ingin cinta mu jatuh pada ku
"Atashi ga tonari ni iru uchi ni
Selagi aku yang berada di samping mu
Ai wo motto atashi ni kudasai
Tolong berikan aku lebih banyak cinta
Afureru you na omoi de
Perasaan yang sedang meluap-luap ini
Anata wo tsutsumiko mitai no~"
Rasanya aku ingin menyelimuti dirimu
Musik terhenti diiringi gemuruh tepuk tangan penonton. Kiyoko menatap langit-langit panggung. Lampu sorot yang berpendar di atas menjadi fokusnya saat ini.
Lirik lagu barunya sangat menggambarkan perasaan Kiyoko saat ini.
Ia ingin selalu berada di sisi Tanaka ...
🍁🍁🍁
2 September
From: Sawamura
Tanaka jatuh drop karena komplikasi akibat penyakitnya
Dokter pesimis akan kesembuhan Tanaka
🍁🍁🍁
Pertengahan September, musim gugur. Sudah hampir dua minggu setelah pesan itu diterima.
Kesibukan-kesibukan yang terus menghampiri membuat wanita itu tak bisa meluangkan waktunya untuk menjenguk Tanaka akhir-akhir ini.
Padahal isi pesan dari Sawamura setelahnya selalu bernada sama. Pria itu jatuh terbaring tak berdaya di atas ranjang. Tak ada perkembangan.
Kiyoko terus kepikiran dan hampir membuatnya frustasi karena tak bisa menjenguk Tanaka dalam waktu dekat ini. Walau staff sudah menjenguk untuk mewakilinya, tapi tetap saja Kiyoko ingin bertemu secara langsung.
Rindu. Takut. Khawatir. Sedih. Semuanya bercampur menjadi satu saat ini. Memorinya memutar kembali kenangan-kenangan akan Tanaka. Lalu, saat membayangkan pria itu tidak berdaya di atas ranjang, menjadi sosok lemah dan rapuh, Kiyoko ingin berada di sana. Menggenggam tangannya, menguatkannya. Namun, tak bisa.
Kiyoko semakin meringkukkan tubuh ke kanan di atas kasurnya. Pukul satu malam, ia belum bisa tidur. Padahal besok ada jadwal pemotretan pukul tujuh pagi.
Wanita itu menitikkan air mata, menumpahkan segala rasa stress dan frustasinya akhir-akhir ini. Kepalsuan yang ia uarkan untuk menyembunyikan perasaannya kepada Tanaka membuatnya merasa begitu lelah. Ditambah keadaan pria itu yang belum ada perkembangan.
Seprai ia cengkram kuat-kuat untuk menahan isakan. Pikirannya benar-benar kacau.
'Kiyoko-san!'
Kiyoko membuka mata lebar-lebar. Wanita itu pun terduduk sambil menghentikan isakan.
Pukul satu malam dan ia tidak bisa tidur. Masih, masih ada waktu. Berkunjung selama satu jam walau melanggar jam malam rumah sakit sepertinya cukup. Ia hanya ingin tahu bagaimana sosok Tanaka yang saat ini. Ya, tidak apa.
Kiyoko pun bangkit dari kasur, membuka lemari untuk mengganti pakaiannya. Hoodie hitam dan celana panjang hitam menjadi pilihannya. Kendaraan? Tidak, tidak mungkin. Mobil miliknya terlalu mencolok. Mungkin jalan kaki adalah hal yang terbaik mengingat tengah malam tidak ada bus yang beroperasi.
Sepatu kets telah terpasang, begitu pula tudung hoodie yang telah terpasang. Kiyoko pun membuka pintu kamar, ia bersiap pergi. Namun, saat hendak berjalan menuju elevator, seseorang memanggilnya dari belakang.
"Kiyoko?"
Itu Kaori. Kamar mereka bersebelahan. Tapi, kenapa wanita itu terbangun saat tengah malam? Apa ia tahu kalau Kiyoko akan pergi?
Kiyoko menghembuskan napas pelan lalu berbalik sambil melepaskan tudung. Berbagai alasan sudah terancang dalam kepalanya jika Kaori bertanya.
"Aku-"
"Ini!"
Kaori melemparkan sebuah benda kecil ke Kiyoko membuat wanita itu sedikit kewalahan saat menerimanya karena terkejut. Ia pun membuka tangannya untuk melihat benda yang ditangkapnya.
Kunci mobil milik Kaori
"K-Kaori-"
"Pergilah!"
Kaori menatap Kiyoko sembari tersenyum lembut. Kiyoko melebarkan matanya, tak menyangka tindakan Kaori yang seolah terhubung oleh batinnya. Namun, Kiyoko tak memikirkan hal itu lebih lanjut. Ia hanya mengangguk lalu berlari menuju elevator.
Berpacu menuju parkiran basemen. Setelah menemukan mobil Kaori, Kiyoko pun langsung tancap gas. Beruntung jalanan saat malam itu terlampau sepi sehingga Kiyoko leluasa menambah kecepatan.
Ketika sampai di rumah sakit, Kiyoko mengendap-endap saat melewati resepsionis agar tak ditanya-tanyai. Jalan menuju ruangan Tanaka masih diingat jelas oleh Kiyoko.
Kini wanita itu sudah berdiri di depan pintu. Dari kaca kecil di pintu, Kiyoko dapat melihat dengan jelas Tanaka yang terbaring dengan alat-alat bantu yang mengitarinya.
Kiyoko menarik napas, tenggorokannya terasa tercekat. Pintu pun dibuka pelan lalu berjalan masuk tanpa suara. Ruangan sedikit remang karena sebagian lampu dimatikan.
Kiyoko pun mendudukkan diri di kursi dekat ranjang. Suara detak jantung Tanaka yabg menggema dari mesin EKG memenuhi gendang telinganya sekarang. Irisnya menatap lamat-lamat pria yang terbaring di depannya.
Kepala pelontos, pipi cekung, badan yang kurus, napas teratur melalui alat bantu oksigen, begitu lemah dan rapuh. Kemudian irisnya beralih ke tangan Tanaka yang terpasang infus. Tangannya begitu kurus hinga tulang jarinya tampak menonjol.
Kiyoko menelan ludah. Dengan bergetar, ia mengangkat tangannya lalu menyentuh tangan Tanaka. Kecil dan tulang jarinya terasa sekali oleh kulitnya. Kiyoko menggigit bibir bawahnya. Padahal, dahulu tangan ini lebih besar dari tangannya dan selalu menuntunnya saat ia kesusahan berjalan menggunakan high heels atau pun membantunya menuruni panggung.
Perlahan tangan Kiyoko bergerak untuk menggenggam tangan yang terbalut infus itu. Kiyoko menggertakkan giginya saat tangannya dapat merasakan dengan jelas betapa kurusnya tangan Tanaka. Rapuh, pria ini begitu rapuh sekarang.
Cukup lama Kiyoko terdiam dengan posisi seperti itu hingga ia merasakan pergerakan tangan yang digenggamnya.
"Ta-Tanaka?"
Kepala Tanaka menoleh perlahan ke arah Kiyoko. "K-Kiyoko ... -san?"
Suara yang selalu berujar ramah, tawa yang khas, dan kadang bernada tegas itu terdengar begitu lemah. Kini Kiyoko menatap tepat pada mata redup Tanaka sambil tersenyum tipis. "Hai!"
Tak ada balasan. Keheningan melanda di antara keduanya. Namun, kontak mata mereka belum putus. Kiyoko sendiri sedang berpikir keras, apa yang harus ia ucapkan selepas ini.
Di tengah-tengah sibuk berpikir, tiba-tiba saja tangan Tanaka yang satunya bergerak dengan bergetar. Kiyoko mengerjap, menunggu apa yang ingin dilakukan Tanaka.
Tangannya yang bergetar menunjuk ke arah Kiyoko lalu dengan perlahan beralih memegang baju pasiennya sendiri. Setelah itu, tangannya menunjukkan jari telunjuk, angka satu.
Kiyoko terdiam, memproses semuanya. Tanaka tadi menunjuk dirinya lalu baju. Kiyoko pun langsung menunduk, menatap pakaian yang ia kenakan. Hoodie warna hitam. Lalu, tadi angka satu. Iris Kiyoko pun melebar saat tahu maksud Tanaka.
"Ah, oh iya, saat kita pertama kali bertemu, aku mengenakan hoodie hitam. Aku bernyanyi di pinggir jalan, diiringi gitar dan tanpa mikrofon. Ah, aku masih ingat kalau kamu ... kamu ... kamu penonton pertamaku. Iya, benar ..." tutur Kiyoko dengan suara bergetar dan senyum dipaksakan.
Keheningan kembali melanda. Kiyoko menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya banyak yang ia ingin katakan. Ia ingin bercerita tentang hari ini, para staff, bodyguard, projek drama yang akan ia lakukan, semua, semua yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Kegiatan yang ia lakukan selama Tanaka tidak ada.
Tapi, entah kenapa lidahnya begitu kelu. Tak sanggup mengucapkan apapun. Sedari tadi ia berpikir untuk memulai cerita, tapi tidak bisa. Semua yang ingin ia ucapkan tertelan begitu saja saat menatap Tanaka. Akhirnya, Kiyoko malah menundukkan diri. Termenung dengan pikirannya.
Kiyoko tersentak saat tangan Tanaka dalam genggamannya bergerak. Kiyoko pun mendongak dan mendapati Tanaka membuka mulutnya dibalik alat bantu pernapasan. Seperti hendak mengatakan sesuatu. Kiyoko pun mendekat agar ia bisa membaca gerakan bibir Tanaka.
"Kau ingin mengatakan apa, Tanaka?"
"U ... ta, uta ..."
Kiyoko mengerjap. "Kau ingin aku bernyanyi?"
Satu anggukan lemah sebagai jawaban. Kiyoko pun duduk kembali seperti semula. Ia menghela napas, memikirkan lagu apa yang akan ia nyanyikan. Tiba-tiba saja ia teringat lagu Orion milik Kenshi Yonezu yang selalu diputar oleh Tanaka ketika di mobil saat perjalanan konser.
"Anata no yubi ga
Sono mune ga sono hitomi ga~"
Kiyoko mulai bersenandung, berusaha bernyanyi dengan volume suara sekecil mungkin. Ia tidak ingin mengganggu pasien lain.
"Mabushikute
Sukoshi memai ga suru~"
Kiyoko menatap Tanaka yang tampak menikmati nyanyiannya. Lalu, seulas senyum tipis muncul di wajah cantiknya.
"Yoru mo aru
Sore wa fui ni ochite kite
Amari ni mo atatakaku te~"
Tangan mereka masih saling menggenggam. Tak ada yang protes.
"Nomikonda
Nanairo no hoshi
Hajikeru hibana mitai ni~"
Kiyoko pun teringat pertemuannya dengan Tanaka saat di halte. Kalimat Tanaka yang terus ia ingat hingga saat ini.
"Gyutto boku wo komaraseta
Sore de mada aruite yukeru koto
Osowatta nda~"
Lalu, pertemuan mereka di Tokyo dan nasibnya yang berubah cepat. Kiyoko masih ingat suara tawa Tanaka saat dirinya syok.
"Kami sama douka
Koe wo kikasete
Hon no chotto de ii kara~"
Semua memori tentang Tanaka dan kebersamaan mereka diputar dalam kepalanya. Seolah itu semua adalah kejadian yang baru saja terjadi.
"Mou nidoto hanarenai youni
Anata to futari
Ano seiza no youni
Musunde hoshikute~"
Dewa, jangan pisahkan kami ...
"Tanaka, maaf, hanya sampai reff pertama saja, ya. Aku takut mengganggu pasien lain," ujar Kiyoko sambil tersenyum tipis.
Tanaka tak menjawab, tapi matanya menatap Kiyoko. Tiba-tiba saja tangan Tanaka yang Kiyoko genggam bergerak perlahan, membalas genggamannya. Kiyoko hanya mengerjap lalu menatap ke arah Tanaka. Terlihat pria itu membuka mulutnya, seperti hendak mengatakan sesuatu.
Kiyoko pun berdiri untuk mendekat agar bisa membaca gerakan bibir Tanaka. Tangan mereka masih saling menggenggam. Saat sudah dekat, tiba-tiba tangan Tanaka yang satunya bergerak ke arah pipi Kiyoko lalu menangkupnya. Kiyoko membeku.
"Ai ... Aishi ..."
Kiyoko membola saat mendengar bisikan Tanaka. Ia tahu kelanjutan katanya. Tenggorokannya tercekat.
"Aishiteru ... Kiyoko ..."
Bisikan lemah itu disertai senyuman tulus yang selalu Kiyoko sukai. Seiringan itu pula suara detak jantung Tanaka dari mesin EKG perlahan menjadi dengungan panjang dan di layar hanya garis panjang yang berjalan stagnan.
Kiyoko tak bergerak dari tempatnya. Tangan Tanaka yang menangkup pipinya perlahan jatuh dan genggaman tangannya perlahan mengendur. Kiyoko masih dalam posisinya. Terdiam sambil menatap wajah Tanaka. Dengungan panjang mesin EKG memekakan telinganya.
Tanaka telah pergi. Pria yang dicintainya telah pergi dengan senyuman tulus yang tertuju untuknya.
Kiyoko pun kembali duduk di kursi dan termenung di sana beberapa lama. Dengungan panjang memenuhi ruangan, memekakan telinganya. Semua yang terjadi barusan diputar kembali dalam kepalanya dan kalimat terakhir Tanaka barusan.
Aishiteru Kiyoko
Kiyoko pun bangkit lalu berjalan keluar setelah menekan tombol darurat ruangan. Tudung hoodie ia naikkan untuk menutupi identitas wajahnya.
Seiring langkah membawanya menjauh dari ruang Tanaka, memorinya memutar kembali takdir kehidupannya yang bersilangan dengan Tanaka. Pertemuan pertama, di halte, di sekolah, di Tokyo, dan lima tahun kebersamaan sebagai bodyguard- nya. Suara, senyum, tawa, raut wajah, dan segala hal tentang Tanaka berputar dalam kepalanya.
Lalu, saat tur konser, saat Tanaka jatuh di backstage. Kenangan selanjutnya tentang Tanaka adalah wajah pucat, tubuh kurus, pipi cekung, baju pasien, dan lemah terbaring.
Aishiteru Kiyoko ...
Kini Kiyoko tiba di samping mobilnya. Terdiam menatap tanah. Tiba-tiba di depan kakinya terdapat daun coklat yang jatuh dari atas. Sontak Kiyoko mendongak. Di depan mobilnya terdapat pohon besar dengan keseluruhan daun berwarna coklat diterpa angin malam yang lembut. Terlihat banyak helai daun yang beterbangan lalu jatuh ke tanah. Begitu rapuh dan mudah terbawa angin.
Seperti nyawa manusia
Kiyoko memutar kembali kenangan di musim gugur yang pernah ia lewati. Tak ada yang menyenangkan. Ia selalu kehilangan seiring dedaunan dibawa pergi oleh angin.
Ayah, Ibu, Bibi, dan kini ... Tanaka. Orang pertama yang mengakuinya, penggemar pertamanya, penolong pertamanya, bodyguard pertamanya, sahabat pertamanya, dan ... cinta pertamanya. Orang yang menemaninya dari nol hingga sekarang. Tanaka Ryounusuuke telah pergi untuk selama-lamanya setelah menyatakan cinta kepada Kiyoko.
Wanita itu pun jatuh terduduk lalu memeluk lutut. Ia mulai terisak, menumpahkan segala kesedihan. Kalimat terakhir Tanaka terus terngiang dalam kepalanya. Kiyoko sama sekali tak diberi kesempatan untuk menyatakan perasaannya juga.
"Biarkan aku menyatakannya ... biarkan aku mengungkapkannya ..."
Senyuman lebar Tanaka muncul dalam kepalanya ...
"Biarkan aku ... mengatakannya ..."
Senyuman damai Tanaka setelah mengucapkan cinta memenuhi kepalanya ...
Kiyoko terus menangis di antara penyesalan akan perasaannya yang tak tersampaikan ...
Musim gugur ke-26, Kiyoko kehilangan orang yang dicintainya ...
🍁🍁🍁🍁🍁
Panggung yang megah dengan penonton memegang lightstick yang berpendar.
Seorang wanita mengenakan oversized hoodie dan sepatu boots warna hitam berdiri di atas panggung dengan gitar yang dicangklengkan dan stand mic di hadapannya. Wajahnya begitu cantik menawan dengan surai hitam legam yang jatuh anggun ke bahu.
Petikan gitar sebagai intro lagu mulai menggema seiring sorak-sorai penonton.
"So they say that time
Takes away the pain
But I'm still the same~"
Suara merdu sang wanita mengalun. Para penonton mulai mengayunkan lightstick mereka sehingga menimbulkan ombak cahaya.
"And they say that I will find another you
That can't be true~"
Petikan gitar berpadu dengan harmonis dengan suara merdu sang wanita.
"Why didn't I realize? Why did I tell lies?
Yeah I wish that I could do it again
Turnin' back the time
back when you were mine (all mine)~"
Tempo petikan gitar semakin cepat. Suara penonton yang menyatu, menggema ke seluruh penjuru ruangan, menyanyikan lirik lagu. Mizu, si penyanyi tersenyum saat para penonton ikut bernyanyi.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kokai wa namida e to kawari oh baby
So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no egao wa omoide ni kawaru I miss you~"
Sorakan penonton menggema. Petikan gitar dan lightstick yang diayun ke atas beriringan.
"Boku no kokoro o yuiitsu mitashite satte yuku kimi ga
boku no kokoro ni yuiitsu furerareru koto ga deki ta kimi wa oh baby~"
Shimizu Kiyoko mengedarkan pandangannya ke seluruh penonton. Mereka adalah Aimizu yang selalu mendukungnya selama enam tahun terakhir.
"Mo inai yo mo nani monai yo
Yeah I wish that I could do it again
Turnin' back the time
back when you were mine (all mine)~"
Kiyoko pun memutar kembali perjalanan hidupnya dalam benaknya. Masa kecil yang indah bersama Ayah dan Ibunya. Kemenangan pertama dalam hidupnya lalu ... kenangan buruk di musim gugurnya yang ketujuh.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kōkai wa namida e to kawari oh baby
So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no eiga wa omoide ni kawaru I miss you"
Semua kenangan buruk itu ia dekap erat-erat walau menyimpan rasa sakit tak tertahankan dalam relung hatinya.
"It's so hard to forget kataku musun da sono musubime wa
It's so hard to forget tsuyoku hike ba hiku hodo ni~"
Lalu, pengalaman-pengalaman pahit yang pernah ia alami dalam memperjuangkan mimpi kecilnya.
"You and all the regret
toke naku natte hanarere naku natta
ima wa tsurai yo sore ga tsurai yo sugu wasure ta iyo kun o~"
Ketika perjalanan karirnya dimulai, masalah-masalah menghampiri. Tak lama setelah itu, ia harus merelakan kepergian bibinya. Lalu, Tanaka Ryounusuuke, orang yang dicintainya.
"So this is heartache? So this is heartache?
hiroiatsume ta kokai wa namida e to kawari oh baby~"
Kiyoko memejamkan matanya. Meresapi rasa sakit yang ia terima akibat kehilangan. Menerimanya, mendekapnya, tak ada lagi penyesalan.
"So this is heartache? So this is heartache?
ano hi no kimi no egao wa omoide ni kawaru ..."
Petikan gitar yang memelan, suara merdu yang semakin lirih. Kiyoko memberikan jeda untuk lirik terakhir. Ia pun membuka mata dan betapa terkejutnya ia kala pemandangan di depannya bukan kursi penonton yang penuh gemerlap lightstick, melainkan jalanan ramai kota Sendai dan tak jauh di depannya seseorang berdiri. Dia adalah Tanaka Ryounusuuke. Dalam balutan jaket bomber dan topi beni yang menutupi kepala dengan tubuh yang sehat juga tegap. Tidak kurus, tidak rapuh.
Pria itu menatap Kiyoko penuh damba dengan senyuman lebar yang sangat tulus. Kiyoko berkaca-kaca dan bahunya bergetar. Lirik terakhir dinyanyikan penuh emosi.
"I miss you ..."
END
30 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top