枫 - Bab Sepuluh


Kembali, hujan mengguyur. Sore itu petang kembali menghuyung. Air hujan memerciki jendela ruang santai Jey's Cut yang terkena hembusan angin hingga meninggalkan beberapa butiran air di kacanya. Salon mendadak sepi, trotoar kota yang lengang berubah warna-wani karena payung yang lalu lalang. Aspal mulai basah, semakin menghitamkan warnanya, kemudian tinggalah Martin tenggelam dalam samar-samar bunyi gerimis hujan yang teredam.

Untuk sementara, ia memandang ke luar jendela, menikmati rintik-rintik itu. Butiran air yang menempel di kaca perlahan-lahan turun, meninggalkan bekas air yang tak begitu kasat, jatuh kemudian menyatu dengan genangan air di tanah. Dingin dan sendiri. Untuk beberapa hal, ia benci hujan karena semakin lama berada bersama, entah kenapa semakin mendekatkannya pada luka lama.

Martin enggan merasakan luka itu walaupun ia tidak pernah pergi.

Kesedihan menuntut untuk diakui. Ia memang ada. Dan selalu akan ada.

Tiba-tiba, di antara gumpalan awan yang begitu kelabu dengan kilat-kilat yang menyambar, pikiran Martin terbang jauh menembus alam sadar. Ia kembali ingat ketika mendapatkan surat dari Jessica. Mungkin wanita itu sengaja tidak menanyakannya lagi beberapa hari ini karena kemungkinan akan keraguan yang terjadi pada dirinya. Jessica tahu masalah setahun yang lalu, dan terlebih bagi seorang gadis, baik Jessica ataupun Lily akan sama-sama tahu. Itu adalah pilihan yang sulit untuk mengatakan iya atau tidak. Karena semua yang berurusan dengan hati, tidak bisa dipaksakan oleh pikiran.

Jika dipaksa, semua akan terasa salah.

Perlahan-lahan Martin mengeluarkan secarik kertas dari sakunya itu, lalu membaca baris pertama surat dari Production House yang sebetulnya sudah sangat ia hapal.

Mungkin aku akan datang.

Martin menutup mata seraya meletakan surat itu dengan lemas di atas meja pendek di sampingnya.

Tapi apa aku seyakin itu?

Martin merekatkan tubuhnya, memeluk tubuhnya sendiri sambil berusaha menghilangkan ingatan masa lalu yang akhir-akhir ini muncul ketika ia memikirkan ingin pindah.

Dari depan pintu, Lily menyentakkan pintu lalu masuk ke dalam sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir teh hangat yang baru saja di buatnya.

"Martin, aku bawa teh. Xiangyang sedang keluar sebentar katanya ingin cari makan. Sampai di mana tadi kita?" Lily menurunkan nampan sambil mengambil secangkir teh tersebut lalu duduk di meja meeting besar di tengah ruangan. Menyampirkan jaketnya lalu memandangnya yang tidak bergerak dari balik cangkirnya.

"Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan dia, Martin."

Suara Lily membuatnya mengangkat wajah. Dengan enggan Martin mengambil secangkir teh, lalu menyesapnya pelan tanpa ingin membalas perkataan Lily.

"Sebetulnya, hari itu ketika kau dan Yisa datang ke perpustakaan, aku tidak benar-benar ke toilet, tahu," tiba-tiba Lily mengakui sesuatu yang membuatnya cukup mengernyit heran. Martin terdiam sejenak tentang hari yang di maksud oleh gadis itu lalu ia mulai ingat. Hari di mana Ken memaksanya melakukan kencan segitiga di dalam perpustakaan. Dan hari di mana Yisa mengatakan sesuatu yang membuatnya penasaran hingga sekarang. . .

"Martin, kau mendengarku?"

Martin tersentak, lalu buru-buru menyesap tehnya lagi dengan gerak yang super tenang.

"Ayolah. Paling hanya hal sederhana. . . aku tidak begitu ingin memikirkannya. Aku harus fokus untuk ujian dan . . ." suara Martin mengambang, matanya menjelajah ke sisi kiri meja, tempat surat dari Jessica digeletakan. Lily mengikuti arah pandangnya.

"Ah, surat itu! Apa sekarang kau tahu keputusanmu?"

Bibir Martin terkatup, ia tidak tahu apakah benar-benar yakin dengan keputusannya.

Tetapi kemudian ia berujar, "mungkin aku akan datang."

Samar-samar, Lily mengembangkan senyum dari sebrang sana lalu berujar penuh semangat. "Sejujurnya, aku senang melihatmu dengan Jessica. Kau tahu, kalian cocok."

Martin terkesiap lalu mengerjap cepat memandang Lily.

Jessica memang seorang model yang kriterianya cantik dan anggun. Terutama Jessica adalah seorang model papan atas di Production House yang mengundangnya itu, siapa yang segan juga dengan posisinya mendampingi dirinya yang jomlo? Jika dalam pikiran yang jernih dan hati yang bersih, mungkin Martin akan mengincar wanita itu sejak dulu. Tetapi, sesuatu yang putih, tidak selamanya bersih. Walaupun hanya bercak merah yang kecil, Martin tetap tidak mampu membersihkan itu menggunakan kerelaan hatinya sendiri.

Itu luka yang tidak bisa di hilangkan. Itu adalah luka yang selamanya akan tetap ada.

"Kalau bisa dengan model cantik, kenapa tidak, Martin?" timpal Lily sambil mencatat. Martin melirik gadis itu, kemudian tanpa sadar menyetujui kata-katanya.

Ini adalah suara pikirannya yang berdengung hendak keluar dari kegundahan.

Untuk apa tenggelam di laut berlama-lama jika ada sebuah tangan yang ingin menggapaimu keluar? Tetapi, bagaimana jika ia sudah tenggelam terlalu dalam hingga tidak ada yang melihatnya kecuali dirinya yang mengamati tangan itu pergi dan semakin menjauh?

"Dan soal setahun yang lalu," Lily mengangkat wajah memandangnya serius, "aku sangat berharap setelah umurmu bertambah ini, kau jangan terlalu terpaku pada masa lalu. Kau terlalu lama berduka hingga melewatkan sesuatu yang kau nantikan. Sesuatu yang kau impikan." Suara Lily merendah, ia memandang Martin lekat-lekat seakan ingin menyadarkan pada satu kesalahan yang tak bisa ia putar balik.

Martin tahu, sahabatnya itu selalu mengingatkannya agar tidak terlalu lama mencintai masa lalunya. Namun bagaimana bisa ia melupakan hal yang rasanya masih terasa dekat tapi tidak bisa ia mliki sama sekali? Apakah ada manusia normal yang bisa berjalan jika di depannya terdapat rusuk duri yang ia tebar sendiri? Cinta itu omong kosong. Realita adalah apa yang harus dihadapinya sekarang ini.

"Aku sedang berusaha." Martin memalingkan wajah, berusaha kabur dari tatapan Lily yang 'hanya mengerti cerita masa lalunya'.

Dari ambang pintu, Xiangyang muncul dengan rambut dan bajunya yang sebagian basah dengan sebelah tangan membawa beberapa bungkusan roti dari Miyahara.

"Hai, mau roti isi?" sapa Xiangyang sambil menaruh bungkusan plastik yang basah ke atas meja. Lily bangkit dari kursi lalu mengambil satu buah. Sedangkan Martin tak beralih dari bukunya.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Xiangyang sambil meraih remote, lalu menyalakan TV yang di gantung di dinding yang menghadap ruangan, lalu menghempaskan tubuhnya yang sedikit basah ke sofa tidur siangnya di pojok ruangan.

"Tugas kampus, seperti biasa. Sekalian aku mentraktir teh untuk Martin," sahut Lily asal sambil terkekeh.

"Apa-apaan itu. Martin lebih suka mi ayam A Bao, tahu."

Martin mengangkat senyum tipis, sementara kabur dari permasalahannya, menoleh memandang Xiangyang.

"Xiangyang, Ken masih di depan?" tanya Martin lagi kembali menulis di bukunya. Tadi siang Ken sempat mampir sebentar ke Jey's Cut. Katanya ia ingin membayar hutangnya untuk membantu salon beberapa jam sebelum hujan turun. Dia ingin sekalian menunggu Yisa pulang dari rumah sakit. Mumpung sempat dan mumpung sedang tidak di buru tugas pertofolio, ia mengerjakan kegiatan kecil yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

"Tinggal di keringkan, setelah itu, antrian kosong," ujar Xiangyang tak beralih dari acara di TV yang suaranya disetel pelan.

"Lalu, kenapa kau masih di sini? Pelanggan itu belum bayar, kan?"

Xiangyang menoleh dengan raut datar ke arah punggung Martin lalu, "kau lupa aku punya asisten baru sekarang?"

Martin mengangkat wajah dari bukunya, kemudian merasa sedikit idiot ketika ia melupakan karyawan baru satunya itu.

Terdengar Lily terkekeh. "Astaga. Xiangyang, untung bosmu ini baik, mau mengakui kesalahannya. Kalau tidak, mungkin kau sudah di pecat berbicara begitu dengan bosmu sendiri."

"Orang baik yang selalu patah hati," gumam Xiangyang pelan. Martin mendengar itu, tapi ia tidak mengelak, melainkan Lily yang tersentak keras.

"Di depan ada Ken! Jangan bicara sembarangan!"

Namun Xiangyang dengan cueknya menegakkan tubuhnya sambil beralih menatap Martin yang terdiam, entah tenggelam dalam tugas teorinya atau berpura-pura tidak ikut dalam obrolan padahal sebetulnya ia begitu memikirkan masalah itu.

"Martin, kenapa sih, kau tidak mengatakannya saja pada Ken? Aku begitu gatal ketika melihat senyummu itu, terlebih ketika kau dengan patuhnya menuruti permintaan gambar milik Yisa di---"

Mulut Xiangyang segera dibekap oleh Lily yang buru-buru lari ke arahnya, gadis itu menjitaknya sekali. Martin tidak mengatakan apa-apa, kepalanya kosong, tapi ia berusaha mengulas senyum tipis sambil memandang keduanya.

"Aku heran dapat dari mana kau orang dengan mulut ember begini. Astaga, Martin, lakukan sesuatu!" Sudah dibekappun Xiangyang tetap berusaha bersuara dengan tangan teracung-acung, gadis itu memukul tangan pria itu seperti seorang ibu kepada anaknya yang nakal.

"Xiangyang benar. Yang aku lakukan itu hanya menyamarkan luka, bukan menghilangkannya. Karena dari awal aku sendiri tidak tahu cara untuk meninggalkan perasaan yang sudah menjadi sebagian hidupku ini."

Lily tertegun, kerut samarnya memudar kala mendengar Martin berkata begitu. Membuat tangannya mengendur dan Xiangyangpun berhasil kabur dari bekapannya. Perlahan-lahan, Martin kembali menoleh ke bukunya, tetapi masih dengan senyum yang sama, ia berkata, "apa yang kulakukan hanya menyamarkan luka. Tidak benar-benar melupakannya, aku tidak bisa."

Hening sejenak, Lily memandang Martin yang terdiam pada bayang-bayang luka di musim gugur satu tahun yang lalu. Xiangyang melihat punggung Martin yang bergeming, kemudian beralih ke arah Lily yang menundukkan kepala seakan tidak tahu lagi harus berbicara apa.

Dari dalam salon, terdengar suara teriakan Ken yang mengucapkan terima kasih pada pelanggan. Lily dan Xiangyang yang menyadari itu buru-buru kembali ke tempat semula kala suara langkah Ken yang beranjak ke ruang santai.

Pintu disentak terbuka, Ken muncul dengan sisir rambut yang masih digenggamnya dengan senyum lebar.

"Hai semuanya! Sedang apa?" Ken menghampiri Lily yang pura-pura menulis sesuatu. Gadis itu mengangkat wajah dan tersenyum lebar, "tugas kampus. Portofoliomu sudah selesai?" basa-basi Lily mengikuti arah pandang Ken yang berjalan menghampiri Xiangyang sambil iseng menoyor kepalanya, lalu duduk di sebelah Martin dengan kaki di angkat.

Martin menoleh sekilas, tidak menyisakan ekspresi apa-apa. Tapi itu sudah biasa untuk Ken.

"Padahal aku harus ke Rumah Sakit menjemput Yisa. Hujannya malah tambah deras," gerutu Ken sambil menyambar satu buah roti isi Miyahara lalu melahapnya banyak-banyak.

"Yisa pergi sendiri?" tanya Martin pelan.

"Tidak. Paman yang mengantarnya, hari ini aku menjemputnya saja. Ah, Martin, mobilmu mau kau pakai?"

Martin menggeleng tersenyum kecil, "tidak. Pakai saja," jawabnya pendek, kembali pada bukunya. Ken mengangguk tersenyum lebar, namun tanpa sengaja, ia melihat secarik kertas undangan Jessica di atas meja sebelah buku Martin.

"Apa itu?" tangan Ken menjulur melewati Martin di sampingnya lalu membacanya. Lily dan Xiangyang terperangah, Martin tersentak kecil, namun ia kembali pura-pura tidak peduli.

Mata Ken terkejut lebar kala membaca kalimat pertama, ia langsung mengguncang bahu Martin penuh semangat.

"Ini serius!? Oh, Martin! Tawaran yang menggiurkan! Kau akan mengambilnya, kan?!" sejenak, suara Ken memenuhi ruang, bersamaan dengan Xiangyang yang ikut menunggu jawabannya.

"Tentu. Tapi aku belum mengabari Jessica kapan ke sana," jawab Martin lancar. Ia kembali menarik kertas yang digenggam erat hingga sedikit lecek itu dari tangan Ken, lalu dilipatnya lagi dengan rapi. Ken tidak peduli, ia kembali menumpahkan pertanyaan padanya.

"Eh, sebetulnya kau itu ada apa, sih dengan Jessica? Kenapa akhir-akhir ini aku sering mendegar nama model itu?" tanya Ken dengan polos. Lily menyesap tehnya, mencari kebenaran dari antara mata Martin yang mengerjap terkejut.

"Kami baik-baik saja, Ken. Jangan buat gosip, deh. Urus saja Yisa, eh. . . bukannya kau di suruh menjemputnya?" alih-alih ingin kembali pada fokusnya, sebetulnya ia ingin menjauhi pertanyaan itu. Karena tanpa sengaja, pertanyaan baik mengenai Jessica atau tentang urusan hatinya, selalu tersangkut paut pada kepingan masa lalu.

"Hmm. Omong-omong soal, Yisa. Kemarin dia sedikit aneh," ungkap Ken sambil menyesap teh sembarang milik Martin.

"Aneh kenapa?" tanya Martin tidak begitu ingin tahu.

"Dia bilang, seharian kemarin dia mengalami de javu yang begitu meyakinkan."

Martin bisa merasakan tatapan Lily dan Xiangyang menyerangnya dengan jutaan keyakinan sebuah gagasan. Tapi dengan keras, Martin berusaha bertahan.

"Dia sering begitu. Bahkan paman sempat memarahinya karena selalu merasa de javu," cerita Ken sambil melamun, membayangkan wajah pacarnya semalam.

"Tetapi Yisa sampai sekarang baik-baik saja, kan?" tanya Xiangyang tiba-tiba. Sama seperti apa yang ingin Martin tanyakan.

"Ya. Hanya saja aku selalu merasa. . . ingin mengetahui beberapa cerita SMAnya. Aku sedih ketika tahu dilarang mengingat atau berusaha mengingatkan tentang itu karena penyakitnya."

Kali ini Martin mengangkat wajah, "ayolah. Baik sekarang atau dulu, yang terpenting, kau sudah ada di hatinya sekarang. Dan itu tidak akan pernah berubah."

Ken tersenyum lebar memandang Martin bersahabat. "Kau tahu, kau sangat tampan jika sedang bijaksana begitu."

Xiangyang tergelak dari sofa, disusul Lily yang terkekeh.

"Terima kasih, sekarang, pergilah."

Ken menepuk-nepuk bahu Martin sambil tertawa, kemudian sambil beranjak dari kursi ia pamit segera menjemput Yisa. Setelah pintu di tutup, Martin kembali merasakan suara air hujan yang deras teredam di atapnya, kemudian, beberapa detik, senyum itu hilang. Hening bersemilir, berputar dalam hatinya.

Dari sofa Xiangyang bergumam, "apa kau sudah tidak punya hati hingga tidak pernah merasakan perih?"

***

Pernah nggak sih, kalian mengalami de javu sama seperti yang Tianmi belakangan ini? Menurut kalian, apakah de javu akan sering terjadi jika benar itu adalah mimpi?

Ikutin terus ya, jangan bosan untuk gulir terus. Dan kalau berkenan, tinggalkan jejak dengan menekan tanda bintang ★ di bawah situ↓ hehe. Terima kasih!^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top