枫 - Bab Satu
"Kala rintik mereda, kala matamu merasa. Kalau rindu itu, masih ada"
∞
"Martin, di mana sisir blow ku?!" Ken Chu berteriak dari ujung salon, melewati kepala-kepala pelanggan yang rambutnya masih di tata oleh penata salon lainnya. Di antara suara ribut-ribut mesin pengering ruangan, Martin menoleh, mendengar suara sahabatnya berhasil mencapai telinganya yang sedang ada di ruang pencuci.
Sambil menghentikan shower, ia berjalan ke lemari resepsionis, mengambil sisir blow bekas kemarin di pakainya.
"Ini tuan muda," balasnya setengah tersenyum menggoda pada pria yang sibuk mengaduk-aduk rambut seorang wanita. Ken Chu tersenyum kecil.
"Ternyata seorang pemimpin salon juga sering lupa mengembalikan barang hak milik karyawannya, ya," sahut Ken menerima sisir itu lalu mendapatkan pukulan kecil di bahunya.
"Sudahlah, aku harus membersihkan bak cuci dulu, setelah itu mari kita berdebat lagi siapa yang terakhir memakai sisir itu," sindirnya yang di balas melotot Ken. Anak itu selalu saja pikun. Padahal ia ingat sekali, sore hari waktu mau pulang dan tutup salon, Ken sendirilah yang menaruh benda itu sembarangan. Martin memang habis pakai, tapi itu siang hari.
Martin berlari kecil sambil tertawa ketika Ken berpura-pura ingin menendangnya, namun ia kembali beranjak membersihkan bak keramas bekas pelanggan tadi, meninggalkannya sibuk pada siang ini.
Karena ruang pencuci rambut lebih kecil dan sangat dekat dengan ruang santai di samping ruangannya, samar-samar ketika hening mulai agak merambat, Martin mendengar sesuatu dari ruang santai ketika ia baru saja kembali tiba di dalamnya.
Martin menghentikan air yang mengucur deras dari shower, berkonsentrasi mendengarkan suara tersebut lewat pintu yang sedikit terbuka.
Telepon?
Mengernyit kecil, ia pun menghampiri ruang santai dan melangkah masuk. Mendapati kalau suara tersebut bukan dari ponselnya, ia berputar-putar sejenak, menyapu pandangan di antara sofa-sofa dan meja kopi itu, mencari sumber suara yang ternyata berasal dari tas kampus sahabatnya, Ken.
Martin menghampiri benda yang menyala berkedip-kedip dari saku tas itu, mengambilnya, lalu membaca nama penelepon yang muncul di balik layar.
Yisa Yu.
Mata Martin tertegun sejenak pada layar yang lampunya berkedip-kedip itu. Genggaman ponsel milik sahabatnya entah kenapa mendadak berubah erat.
Yisa.
Yisa. . .
Ia memejamkan mata, berusaha mengendalikan diri. Kemudian sambil menarik napas berusaha mengontrol tenggorokannya yang hampir membuatnya tersedak, ia menekan tombol lalu mengangkatnya.
"Halo?" suara seorang wanita di sebrang sana menyapa.
"Hai, Yisa. Ken sedang tidak ada di tempat, dia masih sibuk jadi aku mengangkatnya. Ada apa?" Berusaha seramah dan terdengar ringan, ia malah jadi merasa takut kalau semua malah jadi terasa di paksakan.
"Ah, itu, aku hanya ingin bilang kalau aku sudah di depan salonmu dan. . ." Belum selesai bicara, Martin melongokkan kepala dari balik pintu, memandang jauh ke tengah ruang salon yang ramai, lalu menemukan Ken yang sedang tersenyum mengucapkan terima kasih pada pelanggan wanita yang hendak beranjak itu.
Martin kembali mendekatkan ponselnya. "Oh, itu Ken. . ."
"Ah ya," katanya bukan padanya. Ia tahu karena ketika itu ia melihat tangan Ken terentang dan sudah pasti ia melihat Yisa di depan pintu.
"Kututup, ya." Tanpa menunggu jawaban, Yisa menutup telepon, lalu muncullah wanita itu dari kejauhan. Dengan mantel panjang bewarna cokelat gading, ia berjalan pelan memeluk Ken dengan lembut. Ken mengecup kening Yisa dengan penuh kasih sayang.
Sedetik, Martin merasa dirinya telanjang.
Tidak boleh melihat kebahagiaan mereka sementara kau merasa pilu.
Kemudian keduanya saling merangkul berjalan ke arah ruang santai. Martin buru-buru meletakkan ponsel sahabatnya kembali ke tempat semula lalu beranjak ke ambang pintu, seakan menghadang keduanya yang hendak masuk.
"Hanya dua ya kopinya," sahut Martin mengamati dua gelas kopi bungkus yang digenggam oleh Yisa dengan tatapan bak pemalak.
Ken tertawa, mendorong pundaknya dengan gerak main-main.
"Lucu sekali, kawan. Ini bagianmu, seperti biasa." Ken meraih satu gelas dari genggaman pacarnya lalu menyodorkan benda itu padanya. Padahal tahu, Yisa hanya membelikan untuk Ken dan dirinya sendiri. Martin tertawa kecil lalu mempersilakan keduanya memasuki ruang santai itu, sambil merlirik Yisa yang tersenyum sewaktu menduduki sofa panjang menghadap TV.
"Hei, Yisa, lebih baik kau telepon aku saja dari pada telepon pacarmu yang tidak berguna itu. Mana ada pacar yang meninggalkan ponselnya ketika tahu pacarnya akan datang untuk menemani minum kopi? Keterlaluan kau, Ken," ujar Martin cuek sambil menyesap kopinya.
Dari tengah ruangan, Ken menoleh terkejut ke arah Yisa.
"Kau meneleponku?"
Yisa tersenyum tak langsung menjawab. Ia hanya menunjukkan bukti panggilan teleponnya yang kemudian di balas wajah terkejut kekasihnya.
"Astaga lima kali," sela Ken hampir tersedak kopinya.
"Sebetulnya enam kali. Yang terakhir aku angkat," timpal Martin sedikit acuh.
"Baiklah, telepon Martin saja jika kau marah padaku," kata Ken dengan nada pasrah, membuat Martin malah tersedak tawanya, begitu juga Yisa yang terkikik.
"Kenapa kau selalu pasrah-pasrah saja menyerahkan Yisa padaku? Memangnya kau tidak takut kalau aku merebutnya darimu?"
Pipi Yisa nampak merah, senyum yang tersirat seketika lenyap. Kali ini Ken yang tersenyum hingga matanya menyipit.
"Tidak. Tidak mungkin, Martin. Kau kan sahabatku," jawabnya cerdik. Martin kembali mengangkat gelasnya, sedikit tersenyum, namun buru-buru di sembunyikan karena senyum itu sesungguhnya timbul ketika melihat wajah Yisa yang tersipu.
***
Aku lupa mau kasih tahu, sejujurnya cerita ini based on Music Video dari musisi Jay Chou. Lagu ini berjudul sama Maple, dan aku hanya mengembangkan cerita dari Music Video itu. Sebab, kenapa aku mengambil tema ini? Karena aku suka karena Music Video ini punya bagian duanya. Yang isinya menjelaskan Music Video pertama.
Penasaran, nggak? Kalau penasaran jangan lupa tambahkan cerita ini ke reading list kalian supaya dapat info updatenya. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya! Dan komentar kalian sangat berarti untukku😘
Salam,
McQueen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top