枫 - Bab Lima


"Martin, ingat tidak wanita tua yang beberapa kali sering datang ke salon kita dan selalu memarahi kita jika kita memegang kepalanya benar-benar?"

Martin yang sedang membenarkan tali sepatu di depan kelas menegakkan punggung seraya berkerut, berusaha mengingat.

Beberapa detik kemudian ia menyunggingkan senyum. "Ah, ya. Bibi Temperamen. Ada apa dengannya?"

Ken melangkah bersamaan dengannya melewati jalan setapak menuju perpustakaan. Kali ini Martin tidak sempat menjemput Yisa karena sedang berurusan dengan dosennya beberapa menit yang lalu. Alhasil, Yisa tinggal berdua bersama Lily di perpustakaan menunggu Ken menjemputnya.

"Kalau tidak salah, bukannya beberapa hari yang lalu dia marah-marah karena kita kelamaan mengeringkan rambutnya, ya? Kenapa kemarin siang dia tiba-tiba menjadi baik padaku? Lihat, dia malah memberikanku giok kecil begini katanya untuk peruntungan nasib." Ken mengacungkan sebuah batu giok kecil kepada Martin yang langsung di balas cekikikan.

"Itu sebabnya kami memanggil dia bibi Temperamen. Dia itu orang tua yang ekspresif serta labil. Semua orang sudah tahu dia begitu," jelas Martin sambil menyisakan tawa, menatap wajah temannya yang meringis sedih. Maklum, Ken baru beberapa bulan menjadi asisten pemimpin dan belajar menata rambut di Jey's Cut, jadi sudah harfiah jika ia sering di omeli beberapa pelanggan akibat hasil yang memuaskan. Tapi Martin sendiri tidak pernah marah atau menyesal. Karena ia percaya semua ada prosesnya.

"Pantas saja. Tapi---" Ken mengamati batu giok yang kembali diterimanya dari Martin sambil menahan napas resah, "ini benar-benar penghinaan namanya. Masa aku harus menggunakan ini supaya nasibku baik? Apa-apaan! Shioku ayam, dan itu sudah peruntungan yang baik karena ayam adalah lambang kekayaan!" seru Ken kembali menyimpan benda itu dengan sebal. Martin tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu.

"Hei, ikuti kata pepatah. Nasihat orang tua itu yang paling mujur."

Ken tertawa lesu memandangnya. "Lucu sekali. Terima kasih, shong di. Pelangganmu memang sangat bijaksana."

Keduanya melipir ke beranda perpustakaan, melepaskan sepatu lalu masuk ke dunia penuh buku itu dengan langkah hening. Ketika Yisa dan Lily nampak dari belokan lemari buku terakhir, Ken berteriak setengah berbisik memanggil Yisa.

Yang dipanggil menoleh, tersenyum lebar ke arahnya. Sebagian rambut panjangnya terbang, diterpa angin dari jendela. Di antara kelebatan sinar matahari dan batang-batang rambut itu, entah kenapa Martin merasa senyum hangat itu selalu menimpa jantung masa lalunya menuju rindu yang pilu.

Ah. . .

"Hai!" balas Yisa sambil berbisik. Mata Ken melebar takjub ketika melihat sebuah karya seni membentang di depan matanya.

Kertas gambar berukuran A3 terbentang di atas meja. Lily sedang sibuk mewarnai sebagian gambar halus dari sketsa yang sudah jelas di lukis oleh Yisa, menggunakan pensil warna. Perpaduan gradiasi warna yang halus begitu melekat pada gambar tersebut.

Sebuah pohon maple yang anggun berdiri di tengah kertas, berikut dengan tumpukan daun-daun yang diwarnai kemerahan-kekuningan oleh Lily bertebaran di tanahnya. Ia sedikit tertegun mengamati beberapa daun jatuh yang diterpa angin, membayanginya nampak bergerak dan hidup. Seakan bisa merasakan napas dan angin dingin yang menerpa, kemudian waktu-waktu lampau mulai beringsut menelisik hati.

"Wah! Indah sekali. . ." Ken bergumam dengan nada takjub, matanya tidak beralih memandang sketsa penuh warna itu. Sebelah tangannya terangkat, meraba permukaan kertas dengan hati-hati. Lily tersenyum senang.

"Nah, baguskan?"

"Kenapa kau membuat pohon maple?" tanya Martin yang tersontak sendiri pada kata-katanya. Pertanyaan itu murni dari hati.

Yisa menoleh sekilas sambil tersenyum kecil. "Karena aku menyukainya."

Martin mengerjap pelan, menatap dalam sebelah wajah Yisa yang tersenyum. Pelan-pelan, Martin merasakan hatinya yang mendesir, dan berbisik. . .

"Aku juga."

***

Ken meminta Yisa menyimpan gambarnya untuk di letakkan di dinding depan salon Jey's Cut. Awalnya Martin menolak karena itu sangat indah dan seharusnya di serahkan kepada dosen Yisa sendiri supaya di letakkan di galeri kampus. Tapi Yisa malah tersenyum dan balik berkata kalau itu hanya ingin ia simpan sendiri. Dan tempat yang pas memanglah Jey's Cut. Selain sering mampir ke sana juga, Ken sudah merengek dan memaksa Yisa untuk memamerkan kalau pacarnya adalah pelukis yang terampil. Jadi mau tak mau, Martin pun menyetujuinya dan mendapat tugas baru untuk menempelkan lukisan itu sendiri di dinding depan.

"Aku tak menyangka Yisa tetap menyukai pohon maple. Kalau dia masih menyukai pohon maple, itu artinya, sebuah perasaan tidak pernah hilang, bukan? Aku benci mengatakan ini sejujurnya, tapi bagaimana jika dia. . ." Lily menyadari keheningan yang menjalar dari pria yang ada di depannya, kemudian menggeleng keras, "ah, tidak. Tidak mungkin. Ayahnya sudah bilang waktu itu. . ." Kali ini ia melirik Martin yang sama sekali tidak tertarik membahas topik itu. "Oke, maaf. Lupakan saja perkataanku tadi."

Tiba-tiba tangan Martin merogoh saku celananya, sedikit kesulitan mengeluarkan amplop panjang dari celananya itu, kemudian menyerahkannya pada Lily yang tertegun.

"Apa ini?"

Lily mengambil benda itu, sedikit mengernyit bingung, kemudian beralih melihat Martin yang kembali membaca bukunya dengan tenang.

"Buka saja," sahutnya pendek.

Lily berkerut samar, tapi kemudian ia membuka surat itu, sambil bertanya-tanya apakah pria itu habis menang lotre atau bagaimana. Tapi ia salah. Sebuah surat dari Production House di Taiwan. Atas nama Jessica, Martin Lun diundang untuk bertemu dengan Jun Shu di kantor yang berada di jalan Duxian nomor 5. . .

Sekitar mata Lily semakin berkerut tegang ketika membaca kalimat per kalimatnya, seakan-akan pencapaian itu bisa ia rasakan sendiri di ujung jarinya hingga tanpa sadar ia mencengkram benda itu erat-erat. Dengan tersentak gembira, ia beralih menatap Martin.

"Ini sungguhan!? Jessica yang mengundangmu dan Jun Shu menerimanya?!" teriakan sudah terjepit di kerongkongannya, hendak menjerit bahagia karena ini adalah salah satu mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi Lily berusaha mengendalikan diri karena Martin sama sekali tidak bersemangat, malah terkesan cuek. Ada apa dengannya?

"Kenapa? Kenapa kau terlihat tidak senang?" ia menurunkan surat itu, bertanya pelan. Martin menghela napas kecil.

"Aku tidak tahu apakah aku akan menerimanya atau tidak."

Lily terenyak.

Dulu, sewaktu sebelum semua kejadian beberapa bulan yang lalu terjadi, seorang Martin Lun yang ia kenal sebagai pria lembut dan baik hati itu adalah seorang ambisius dan pejuang mimpi yang sangat ia sukai. Bagaimana ia mengembangkan bakatnya dan menggunakannya dengan baik hingga mampu meneruskan sebuah salon ternama ayahnya ke beberapa dunia, dan bahkan bagaimana dengan rendah hati ia membagi ilmu dengan sahabatnya sendiri, itu adalah sesuatu yang begitu melekat dan menjadi panutan bagi dirinya sendiri.

Tapi setelah kejadian itu. . .

Sepertinya Martin Lun bukan lagi seorang pemuda yang dulu ia panutkan. Sebuah kenangan indah yang hanya ada di masa lalu masih belum bisa ia lupakan. Walau berkali-kali di katakan ia tidak bisa kembali, tapi seorang manusia akan tetap manusiawi jika ia tetap berharap walau hatinya terluka. Itu wajar, itu harfiah.

"Sulit untuk meninggalkan Taichung," ujar Martin pelan, menatap lemah kalimat di bukunya. Lily terdiam, membiarkannya melanjutkan.

"Aku tidak tahu dampak apa yang akan terjadi jika aku pergi ke Taipei dengan kondisi masih begini."

Martin membuang wajah, menatap taman yang membentang di samping gedung perpustakaan. Lily ikut menoleh, Jalan Yuenong sepi. Daun-daun kering di aspal berterbangan mengikuti arah angin tanpa tujuan.

"Kau hanya perlu merelakannya, Martin." Lily terpejam, berusaha meredam emosi yang selalu memuncak jika kembali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu.

Bagaimana bisa seorang Martin Lun bertahan selama ini? Bahkan Lily sendiri selalu takut untuk membayangkan hal itu lagi, orang lain saja takut. Takut terluka, walau itu hanya mengingatnya. Ia melirik Martin, poninya sedikit bergeser terkena terpaan angin.

"Hatimu itu terbuat dari apa, sih?"

Martin bergeming. Menatap entah ke mana, berpikir entah apa. Kenapa seorang pria mampu menahan luka itu?

"Kau tahu, jika kau selamanya di sini, kau akan terluka. Aku tahu persis perasaan itu. Kau harus melupakannya dan merelakannya," lirih Lily memandang Martin lurus.

Pria itu menoleh perlahan-lahan, kemudian tersenyum pahit.

"Tapi itu sulit."

***

Pelan-pelan, saya berjalan menuju konflik. Semoga tulisannya membaik dan percikan api di sini sedikit kerasa. Di tunggu aja buat meledaknya ya, teman^^
Terima kasih!

(Revisi 15 Febuari 2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top