枫 - Bab Enam Belas
Lampu lalu lintas berubah merah dalam beberapa detik. Martin sontak menginjak rem ketika persimpangan di jalan Duxin berubah alur.
Dari kursi tengah, Lily mencondongkan tubuh melihat langit kota Taipei yang dihiasi gedung-gedung kaca perkantoran yang menjulang-julang melemparkan sinar mentari siang itu.
"Sepertinya sudah lama sekali aku tidak ke Taipei lagi," ujar Lily setengah takjub mengamati keramaian dan hiruk pikuk kota yang berbeda dari Taichung. Beberapa bus kota melintasi persimpangan. Kepadatan penduduk di kota ini nampaknya nyaris tak terbendung. Beberapa pejalan kaki berbondong-bondong menyebrangi jalan, berikut beberapa turis lainnya. Setelah melewati menara Taipei 101, pasti keramaian akan segera berkurang. Maklum, jalanan di sekitar objek wisata biasanya akan lebih ramai dari biasanya, karena tak jauh dari Taipei 101 ada gunung Xiangshan yang terlihat seperti hutan kecil di tengah kota.
Lily merengek ingin ke sana, menikmati pemandangan sewaktu matahari tenggelam nanti sambil mengamati benda bulat itu tenggelam di antara menara-menara gedung yang menjulang, menikmati keindahan kota dari balik alam yang tersisa. Tetapi Ken membantah itu keras-keras. Karena selain sudah ke sana untuk melakukan observasi pemotretan, ia sangat mengutamakan pertemuan spesial Martin dengan Jun Shu, penata rambut artis terkenal itu.
Kembali hijau, Martin segera melaju ke terusan jalan Taipei hingga tak lama mendapat telepon dari Jessica mengenai alamat lengkapnya.
"Rumah Produksi TV Zhejiang, ya. Kau tinggal belok kiri ketika melihat gedung CNN dan Machi Doggie Cafe. Setelah itu kau pasti melihat Zhejiang dengan jelas. Masuklah, setelah itu telepon aku lagi, ya," suara riang Jessica di sebrang sana terdengar lewat pengeras suara.
Ken mengatakan terima kasih lalu menutup telepon sambil berkomentar, "kelihatannya Jessica sangat senang mendengar kau kemari."
Martin tersenyum kecil sambil tetap mengamati jalan. "Ini bukan keputusan yang mudah. Jadi ketika mendengarku menerima tawaran ini, dia sangat senang."
"Kau bilang ini bukan keputusan yang mudah?" tanya Ken sedikit heran, mendadak bibir Martin sedikit pucat.
"Ya---meninggalkan Taichung bersama dengan memori lama itu sulit. Kau tahu, seperti ketika kau ingin meninggalkan Taipei ke Hongkong saja," ujarnya sedikit tergagap, tapi berhasil dikendalikan. Lily mundur dari percakapan, memilih sibuk dengan ponselnya di jok belakang.
"Aku tahu. Tetapi, ini mimpimu, kan? Kau harus berani meninggalkan kenyamanan dan menyambut tantangan baru. Mimpi itu mengajarimu untuk berkembang hingga menyentuh sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan, Martin! Apa kau tidak gemetar ketika membayangkan semua orang akan mengenalmu? Kau pasti akan jadi orang hebat! Dan aku pasti ikut terkenal juga!" gurau Ken sambil tertawa. Sedangkan Martin hanya terkekeh pelan, menyadari kalau apa yang semua Ken katakan itu justru hal yang menyulitkan untuk diterima.
Menyentuh yang diinginkan.
Meninggalkan kenyamanan.
Tetapi, luka itu adalah napasnya.
Apa ia bisa bangkit dari antara sendu dan gulana yang selama ini menyelimuti hingga mati rasa?
Kemudian Martin memutar kemudi dan masuk ke gedung Zhejiang yang berdiri di antara gedung-gedung pertokoan di sampingnya. Ken dan Lily berteriak girang segera melompat keluar dari mobil sementara meninggalkannya sendirian di mobil.
Di antara remang-remang parkiran basement, Martin menatap rindu yang samar-samar hidup.
Kalau di antara kesempatan ini ada penyembuh luka, apa aku tetap bisa bahagia seperti dulu kala?
Atau justru. . .
Luka ini seharusnya tidak perlu disembuhkan?
***
"Martin Lun!"
Jessica berderap dari depan lift hingga tubuhnya bertubrukan dengan Martin yang bangkit dari kursi lounge ketika melihat batang hidung gadis itu muncul.
"Sudah lama sekali rasanya tidak bertemu," ujarnya riang melepas pelukan. Martin terkekeh, "ayolah. Beberapa minggu yang lalu kan kau habis mampir ke salonku. Jangan berlebihan."
Gadis dengan jenjang kaki semampai itu berputar lalu melihat Lily yang tak berkedip dan Ken yang sedikit menganga.
Jessica Hsu memang sangat cantik. Gerai rambutnya yang cokelat jatuh di sekitar punggunya yang memakai gaun linen putih dengan rok berlipat pendek di bagian depan. Kalau tidak memakai heels, mungkin tingginya hanya sebahu Martin, tetapi akibat boots yang dikenakannya, tingginya bertambah hingga hampir menyamai Martin. Menyedihkan bagi Ken yang tenggelam karena dibanding Martin saja, tubuhnya hanya sekuping.
"Halo, semua. Kenalkan, aku Jessica Hsu, teman Martin. Kau pasti Ken dan Lily, kan?" sapanya ramah kepada Ken dan Lily yang menyambut jabat tangannya.
"Whoa, Martin, ini temanmu sungguhan? Kau cantik sekali!" kata Lily setengah takjub dan tersenyum lebar mengamati Jessica dari atas hingga ke bawah. Gadis itu tersipu.
"Terima kasih. Kalau kau model, kau pasti juga cantik. Lihat, bulu matamu itu sudah lentik. Aku saja perlu bulu mata tambahan untuk mempertajam mataku yang kecil," sahut Jessica pada Lily yang berkerut.
"Ayolah, sudah cantik, rendah hati, lagi!" ujar Lily terang-terangan, menatap ke arahnya sambil mengedutkan ujung alis seakan memberi kode kalau Jessica adalah wanita yang cocok dan pas untuknya. Ken menyikutnya sedikit lalu berbisik.
"Kenapa kau selalu tidak menyadari keberadaan gadis seperti ini? Nampaknya dia cocok."
"Oh, ayolah," resah Martin setengah menahan tawa, mengamati senyum cerah dan sinar manik kelabu itu dari samping ketika tertawa-tawa bersama Lily.
Jessica memang cantik, tetapi dia bukan penyembuh luka itu.
Bukan.
"Oh, Martin. Jun Shu ada di atas sekarang. Kau sudah siap bertemu dengannya?" Jessica menoleh, menyurutkan tawanya, beralih serius memandangnya yang tertegun sejenak. Ia memandang berkeliling, menyapukan penglihatannya ke meja resepsionis yang besar itu, lalu beralih ke arah beberapa orang berpakaian formal yang sedang menunggu lift, dan berakhir di mata kelabu Jessica yang menjalar masuk seakan memberi peneguhan lain yang membuatnya mengangguk pelan.
"Baik. Ikut aku," kata Jessica.
"Eh, tunggu sebentar," Martin menahan langkah gadis yang hendak berlalu itu tiba-tiba.
"Aku tidak perlu menyiapkan apa-apa?"
Jessica memandanginya beberapa saat lalu mengulas senyum tipis.
"Bukankah sudah kubilang kalau Jey's Cut sudah menjadi buktinya?" Mata Jessica bersinar, menerangi ruang keraguan terbesar di dalam hatinya.
Pergi menuju mimpi ternyata banyak menimbulkan beberapa ketakutan. Tidak mudah apalagi ketika hatinya yang tak berdaya, tidak memberikan saran atau pengajuan keras di saat ia masih ingin tinggal di tempat ternyamannya.
Tetapi, ia tinggal selangkah lagi. Taipei hanya dua jam dari Taichung, namun, kenapa semuanya sulit seakan jawaban itu tertahan di antara cekatan masa lalu? Martin harus memilih topeng yang mana? Ia harus menjawab apa? Apakah ia sudah rela meninggalkan keping-keping berharganya dan membiarkannya menjadi luka yang tidak pernah sembuh?
Namun, di antara pilihan tetap ada pilihan lain.
Martin harus sembuh, kan? Ia harus berhenti terluka dan berani melangkah, bukan? Berhenti bertanya dan menataplah ke depan, maka ketika ia melihat senyum Jessica yang menyambutnya masih di sana, dengan langkah yang lancar, ia pun membuka gerbang baru menuju hidupnya.
Walau tanpa sadar, sesungguhnya, luka itu akan tetap di sana.
***
Setelah mengetuk pintu dua kali dan mendapati jawaban dari dalam ruangan, Jessica membuka kenop dan melangkah masuk diiringi dirinya yang mengikuti dengan patuh.
Ruangan yang cukup besar itu mengarah pada satu sisi dinding kaca ke pusat kota yang sangat besar. Beberpa lemari buku koleksi New York Times berjajar memenuhi rak. Di sudut-sudut ruangan terdapat beberapa pohon kecil dari keramik tanah liat yang menyegarkan, kemudian ada beberapa foto dokumenter yang dipajang di satu dinding, di sorot dengan lampu halogen kuning hingga warna merah yang melapisi papan album foto itu nampak menyala dan eksotis. Martin menebarkan pandangan ke sisi lainnya lalu menemukan lukisan Celine Dion terpajang hampir memenuhi dinding.
Martin sedikit ternganga jika sikunya tidak disenggol Jessica duluan untuk mempersilakannya duduk di kursi tamu di tengah ruangan.
"Hai, Jun. Aku membawakanmu seseorang yang sangat kau tunggu," sapa Jessica ringan menghampiri meja pria yang berbalik dan menghadapnya.
Wajah Jun Shu menggelap, sinar matahari terhalang oleh punggungnya, membuat tubuhnya yang sedang berdiri dari balik cahaya menimbulkan kesan siluet yang pelik.
"Oh, kau pasti Martin Lun, bukan? Jessica banyak bercerita mengenai dirimu," suara beratnya terdengar ringan dan ramah. Ia melirik Jessica yang tersenyum simpul ke arahnya, lalu menyadari untuk memberi ruang, gadis itu pamit dan keluar.
Dengan tergagap sejenak, Martin segera bangkit dan berjalan ke meja pria itu hendak bersalaman.
"Halo, terima kasih sudah mengundangku kemari. Kau memiliki tempat yang bagus," sahut Martin sambil mengangguk kecil lalu matanya sedikit melebar ketika melihat seorang Jun Shu yang wajahnya terpapar sinar matahari.
Martin sadar genggaman tangan yang menjabatnya membeku.
"Kau pasti terkejut melihat wajahku?"
Martin mengerjap cepat, menyingkirkan wajah terkejutnya lalu beralih menatap tumpukan buku yang ada di sudut meja kerja, merasa tidak sopan.
Sebelah wajah Jun, dari pipi hingga ke sekitar matanya terdapat luka bakar yang amat menyeramkan. Membuat Jun yang sebetulnya memiliki senyum manis dan tatapan tegas itu sedikit kehilangan keseimbangan karena alis dan bulu mata sebelah wajahnya tidak tumbuh kembali.
"Maaf, bekas luka ini memang tidak pernah hilang, maka itu aku selalu menghindar dari kehidupan luar dan memilih menata rambut mereka di ruangan khususku," ujar Jun hangat, menarik senyum hingga sebelah pipinya semakin berkerut.
Martin berusaha kembali fokus pada pemandangan yang seharusnya dan mulai membayangkan wajah pria itu tanpa bekas luka. Jika ditafsirkan, kemungkinan umur pria itu sekitar tiga puluh.
"Tidak apa. Seharusnya aku yang meminta maaf," ringisnya melepas jabat tangan.
"Silakan duduk," Jun mempersilakan sambil keluar dari kursinya dan berjalan ke sofa di tengah.
"Jadi, apa kabar dengan Jey's Cutnya? Kudengar itu adalah pencapaian terhebat di Asia?"
"Tidak juga. Hanya. . . beberapa teman Jessica datang dan mencoba potongan rambutku," ujar Martin merendah.
Selepas dari bekas luka itu, Jun Shu sebenarnya sangat terlihat tampan. Ia memakai kemeja formal yang di masukkan dengan rompi sempit yang melekat di tubuhnya dan celana jins model dan boots hitam yang sepadan. Berbeda dengan dirinya sendiri yang cukup nyaman menggunakan kaus lengan panjang putih dari wol dan celana jins hitam melekat yang dipadukan dengan sepatu sporty model kasual.
"Sebenarnya, aku sangat ingin ke Taichung dan melihat tempatmu itu, tapi kau tahu kan, alasan yang sesungguhnya sekarang. Itu juga yang menjelaskan pada dunia kenapa aku tidak pernah muncul di layar TV," tutur Jun terbuka. Dari cara bicaranya yang tidak bertele-tele, Martin seperti tahu kalau Jun bukan orang yang suka membuang waktu. Ia sangat simpel dan penuh cekatan. Rapi dan efisien, tetapi murah senyum. Jun bukan seseorang yang ragu-ragu seperti dirinya.
"Maaf. Apa karena lukamu itu, kau. . . malu?" Martin tidak tahu kenapa ia menanyakan ini, tetapi terlintas saja di benaknya tentang bekas luka yang sangat terlihat jelas itu. Sama seperti miliknya. Bedanya, ia masih kuat menahan supaya tidak terlihat orang lain.
Jun Shu memangku kaki kirinya ke kakinya yang lain lalu mengembuskan napas panjang.
"Aku sama sekali tidak malu karena wajahku jadi aneh, kalau kau ingin tahu. Aku hanya tidak ingin muncul karena. . ."
Pria yang sedang menunduk itu tiba-tiba mengangkat wajah dan memandangnya dari sebrang meja kopi dengan serius.
"Karena di setiap 'bekas luka' tersimpan luka yang sesungguhnya. Kau tahu, seperti kulit kering ini adalah sebagian dari rasa sedih akan kehilangan sesuatu yang seharusnya masih bisa kumiliki."
Jun memandangnya lekat, kembali melanjutkan, "kebahagiaan. Dan aku tidak ingin mereka melihat itu."
Hati Martin mendesir. Baginya, kali ini Jun nampak seperti sebuah cermin besar yang sedang mengatakan isi hatinya yang tidak pernah ingin ia dengarkan. Ia seperti membeku pada bayang-bayang masa lalu yang tiba-tiba menguar memenuhi kepalanya. Ia seperti merasakan kalau hatinya sedang berbicara kepadanya. Kalimat yang terdengar dan benar-benar merasuki batinnya. Bukan sekadar bayang-bayang akan harapan.
"Mungkin beberapa orang tidak mengerti tentang kejadian-kejadian kecil yang berdampak buruk dalam hidupnya, tetapi aku yakin pasti di balik rentetan itu tersimpan sebuah makna besar untuk hidupnya."
Martin memandang pot bunga Daendelion kecil yang ada di tengah meja dengan kosong. Jun kembali melanjutkan, "kata Jessica, keputusan ini sulit bagimu. Tetapi, kenapa tiba-tiba kau datang dan memiliki jawaban?"
Pertanyaan Jun Shu melayang di pikirannya, membuat goresan bayangan masa lalu menghardik batinnya. Ia terpaku pada kehidupan lama itu lagi, ia kembali terjerembab dan terluka lagi.
"Apa yang membuatmu yakin pada itu semua, Martin?" tanya Jun lagi ketika tidak mendengar jawaban muncul dari mulutnya yang terkatup. Martin melirik kecil ke arah pria itu lalu mengerjap pelan.
"Aku. . ."
Seakan tahu dan mengerti, seorang Jun Shu kembali menyela, "Martin, sesungguhnya aku ingin mengatakan hal ini padamu. Aku kenal ayahmu. Kau. . . sangat mirip ayahmu. Kau tenang dan tidak berkespresi dalam banyak hal hingga sebagian orang menyangka kau baik-baik saja tapi sebetulnya tidak. Di antara persembunyian itu kau harus tahu satu hal mengenai luka," Jun mencondongkan tubuh lalu mencari pandangan di mana matanya berada.
Saat Jun datang, saat itulah, Jun tahu di mana ketika itu pandangan mata Martin sesungguhnya. Dan sebetulnya, ia sudah mengerti sejak kali pertama melihatnya masuk.
"Kau harus mengerti, di bagian bekas luka, ada bagian yang seharusnya kau simpan dan kau relakan pergi. Kau tahu di mana bagian itu?"
Martin tak menjawab.
Jun menyelesaikan, "di dalam hati di mana logikamu menolak. Cinta. Relakanlah dia pergi, dan tutup dia sebagai memori yang tak boleh kau inginkan lagi."
***
Kesiangan apdet lagi😑 part ini hanya sebatas cerita pendek mengenai masa lalu Jielun dan Ken. Gimana, kamu pernah punya teman setulus Ken?
Enjoy this part, and thank you so much😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top