枫 - Bab Dua Puluh

Hujan mengguyur deras, untung saja ketika itu Yisa sudah sampai di teras rumah seseorang yang senyap. Ia mengetuk pintu kayu itu sekali, menunggunya beberapa menit sambil memandang berkeliling, mengamati jendela-jendela bergaya vernakular menempel di samping pintu, namun kacanya tertutup tirai.

Untuk beberapa menit, tak ada sahutan. Suara rintik hujan semakin besar. Yisa mengetuk pintu sekali lagi, kali ini lebih keras berharap suaranya dapat mengalahkan suara tangisan bumi.

Tak ada siapapun?

Yisa mulai memanggil nama pemilik rumah tersebut, namun lima detik kemudian tidak muncul jawaban, ia melongok berusaha mengintip dari antara sela-sela tirai dari jendela.

Benar-benar sepi.

Pelan-pelan, ia mengangkat tangan, menarik pintu dorong itu ke samping, lalu masuk walau sempat terkejut kalau pintunya tidak di kunci.

Berjalan melewati lorong pendek menuju ruang tengah yang gelap, rumah Martin nampak kosong. Hanya ada samar-samar suara gerimis keras yang beradu di atap rumah dan petir yang menggelegar, terdengar semakin keras kala ia memasuki ruang makan yang pintu belakang menuju terasnya di buka.

Harusnya, Martin di sini.

Yisa mengedarkan pandangan. Beberapa kaligrafi China Lan Ting Xu terpampang di beberapa dinding kayunya, membuat rumah terasa hangat dengan nuansa oriental klasik. Belum lagi beberapa pot kecil di sudut ruangan dan pohon-pohon dengan daun menguning di taman belakangnya, nampak begitu menyatu dengan seisi rumah. Gemuruh di langit bersahutan, atap rumah Martin seketika ramai langkah-langakh rinai yang melompat. Dari lorong pendek di sebelah pintu teras belakang, ia mendengar langkah seseorang. Dengan cepat, Yisa menoleh ke belakang dan mendapati Martin yang sedikit terkejut.

"Hai. Maaf, aku sudah mengetuk tapi kau tidak dengar," ucap Yisa yang di balas senyum pria itu. Kemudian ia berjalan menghampiri sambil mengeluarkan ponsel dari tas tangannya.

"Ponselmu tertinggal di kafe tadi," akhir Yisa. Martin sempat tergagap karena ia sendiri tidak menyadari ponselnya ketinggalan lalu terkekeh pelan sambil memandangi benda itu.

Dari luar, gemuruh semakin keras. Gumpalan awan sibuk melemparkan kilatnya.

Hujan semakin lebat.

Martin menoleh ke arah taman belakang beberapa detik, memandangi langit kelabu di atas sana, lalu memandangnya lagi seperti tahu kerisauan hatinya.

"Mau minum teh dulu?" tawar pria itu.

Yisa tercenung beberapa saat pada manik cokelat Martin yang memandangnya dekat. Di antara lukisan-lukisan kuno itu, semua interior rumah seakan-akan berputar di kepalanya, lalu dalam beberapa detik, bibirnya tak menjawab tawaran Martin. Ia terdiam begitu lama untuk beberapa saat. Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang membuat ia harus cepat-cepat tesadar kalau jantungnya harus kembali terpompa normal.

"Terima kasih," jawab Yisa akhirnya. Martin menaruh ponsel di meja tanpa kursi yang pendek di ruang makan itu lalu mempersilakan Yisa duduk di bantal duduk. Sambil berjalan ke dapur minimalisnya, Martin mulai membuka sekoci teh dari teko tanah liatnya, dan memasak air panas.

"Yisa, ayahmu sudah tahu Ken melamarmu?" suara Martin beradu dengan suara hujan, tapi Yisa cukup sadar akan pertanyaan itu.

"Sepertinya sudah. Kata Ken sih sudah," ujarnya kembali tersenyum, menaikkan jari manisnya pelan, melirik cincin itu sekali lagi.

Yisa mendengar suara dentingan sendok. Martin sedang mengaduk tehnya lalu berjalan ke meja makan dan menyerahkannya sambil tersenyum. Aroma teh hijau menguar, harum lembutnya terhirup dan menghangatkan tubuh.

"Kau terlihat bahagia sekali. Kapan dia akan menikahimu?" tanya Martin sambil menyesap tehnya, duduk di sebrang.

"Setelah aku lulus kuliah. Dia tidak mau mengganggu pelajaranku dulu, jadi aku setuju."

"Baguslah. Lebih cepat lebih baik, bukan?"

Kata-kata Martin tidak ia gubris. Pandangannya tiba-tiba memburam pada bayang-bayang yang tidak ia tahu, membuatnya harus bertanya-tanya itu apa dalam beberapa detik kemudian berujar, "sebenarnya aku sedikit takut dan ragu."

Martin mengangkat wajah dari cangkirnya pelan-pelan. Yisa memandang air cokelat yang berkelok pelan di dalam cangkirnya itu, memantulkan bayangan wajahnya yang termenung.

"Entah kenapa, ada beberapa hal yang tidak kumengerti tentang penyakit ini. Aku tidak tahu apakah bisa pulih ketika aku ingin melangkah ke kehidupanku selanjutnya."

Kali ini Martin memandang keluar, merasakan udara yang menyapu pipinya, mengangkat poni di depan keningnya.

"Sebenarnya, kata dokter waktu itu kenapa aku pingsan adalah bukan karena mendengar cerita lama Ken. Tetapi, ini salah satu saraf psikologisku di luar dari otak tersebut. Karena otak tidak bisa mencerna saraf psikologisnya, ia jadi lemah dan kritis," Yisa menurunkan cangkir, kali ini menatap sebelah wajah pria itu.

"Dan kau tahu, kalau saraf psikologis itu sebenarnya berasal dari mana?"

Martin memandangnya, tidak menjawab.

"Dari degup jantung, dan hati. Perasaan itu sangat kuat hingga membuatku tak mampu bernapas dalam beberapa detik. Perasaan itu, yang membuatku selalu bertanya-tanya sampai sekarang. Perasaan itu yang selalu membawaku pada keadaan kritis tanpa sebab."

Saat itu, Martin kembali menoleh ke arahnya, mereka saling memandang.

"Perasaan itu yang ingin kucari tahu."

***

Tawa Yisa membelah rinai yang mulai mereda. Cerita Martin mengenai kemalangan nasib yang di alami pacarnya entah kenapa terdengar sangat memalukan.

"Kau tahu Bibi Temperamen, itu kan? Sebenarnya dia adalah penggemar Ken," sahut Martin lagi meneruskan cerita lucunya.

Beberapa menit setelah hujan mereda, dan beberapa topik hilir mudik mengitari keduanya, Yisa merasa sangat nyaman berada di ruang makan yang sedikit gelap ditemani dengan semilir udara dingin yang menyeruak masuk lewat pintu vernakular teras belakang.

"Oh, wanita yang suka marah-marah dan terkadang jadi baik sekali, itu?"

"Ya. Alasan dia sering ke Jey's Cut adalah karena ia ingin mengomeli Ken yang masih belum terampil," kata Martin menahan gelak tawa.

"Astaga, kejam sekali."

"Tetapi kau harus tahu, dia memberinya sebuah giok yang menurutku cukup bagus."

Yisa berkerut, "giok? Wanita itu memberinya giok? Ken tidak pernah bercerita padaku."

Kali ini Martin tertawa pelan. "Itu karena dia malu. Bibi Temperamen bilang, itu giok untuk nasib peruntungan."

Yisa tertawa, "kasihan sekali Ken dianggap tidak beruntung."

"Maka itu. Karena tidak tahan diledeki Bibi Temperamen, dia jadi memberikan giok itu padaku. Mau lihat?"

"Kau yakin?"

"Aku masih menyimpannya. Gioknya sebetulnya bagus."

"Baiklah, biar kutunggu di sini," ujar Yisa menyisakan tawanya, melihat Martin yang bangkit berdiri dan dengan semangat melesat ke lorong pendek di samping ruang tengah, menyisakan suara langkah yang berdentum-dentum di sepanjang lorong.

Sementara Martin mengambil benda itu, di antara sisa bunyi hujan yang menetes di antara kemerahannya daun, sebuah suara dari dalam kepala Yisa terngiang.

"Eh, kalau sempat, aku ingin kau melihat kamarnya, bisa tidak?"

Yisa menoleh perlahan-lahan ke lorong kosong yang ada di samping dapur. Lorong pendek itu gelap, tapi di ujungnya terlihat cahaya kuning yang menyeruak keluar dari sebuah ruangan. Ken bilang, kamarnya ada di sana. Dan seharusnya, jika ada cahaya keluar dari dalamnya, pintu kamar itu sedang . . . terbuka?

Refleks, ia melupakan samar-samar suara gertakan dari dalam lorong yang lain, ruang dari sebagian dirinya mulai terisi dengan rasa penasaran itu. Sambil berusaha menikmati degup jantungnya yang berpacu-pacu pada langkah demi langkah yang hampir mendekat ke ruangannya, suara Ken pun memenuhi gendang telinganya, seakan ia bisa membayangkan kalau pria itu sedang berusaha memberi semangat pada bisik-bisik telepati.

Kaki Yisa mencapai ambang pintu itu. Awalnya ia agak teralihkan dari sebuah jendela kecil yang menghadap ke sisi taman lain yang belum ia lihat. Taman kecil yang di sana terdapat satu pohon rindang, namun dengan daun sudah sebagian merah dan kuning menyambut musim gugur. Pohon Maple.

Tetapi, sedetik ia kembali beralih, dan memandang pada satu titik di dalam kamar dengan cahaya kuning itu.

Degup jantung Yisa mendadak berhenti ketika melihat dinding kamar Martin yang dipenuhi oleh. . .

Astaga, apa ini?

Panas dingin mulai menjalar, campur aduk hingga menggetarkan seluruh tubuhnya. Ujung mata Yisa menegang, terlalu terpaku pada gambar-gambar itu hingga bisu. Pikirannya melejit dahsyat, salah satu saraf di otaknya berdenyut, sakit. Tapi ia tahan.

Ia menarik napas, merasakan kalau mulutnya sekarang terbuka lebar, dan hatinya berjalan tak tentu arah. Matanya melihat hal yang sama. Matanya melihat kenyataan itu. Hatinya terpaku, membeku dan bisu. Terkejut hingga ia merasa kepalanya kosong tidak menemukan satu pun pertanyaan.

Tetapi, kenapa matanya memburam bersamaan dengan itu hatinya mendesir perih?

Dari bibir lorong, langkah tergesa-gesa Martin menyadarkannya. Tubuh pria itu tiba di ambang pintu, berdiri di belakang punggunya, namun tahu, ia terdiam.

Ketika itu Yisa berbalik, menahan gelagak aneh yang membuat logika dan hatinya bersiteru.  Menoleh perlahan-lahan, menjaga agar air matanya tidak jatuh.

Foto-foto itu. . .

Yisa menemukan mata sayu Martin yang terkena bayangan gelap oleh poninya. Mata sayu yang penuh air mata. Mata sayu yang sudah hilang dari ingatannya, tiba-tiba melesak masuk, merasuki ruang waktu untuk terdiam beberapa saat, mematikan sebuah letupan keras dalam dadanya.

Martin melangkah mendekat, mengangkat wajahnya dan manik cokelat itu, bukan lagi manik cokelat seorang yang ia kenal.

"Kau . . .apakah sudah ingat?"

***

Sedikit bocoran, di sini saya taro peledak yang bentar lagi meledak di chapter selanjutnya, jadi ... mampir lagi ya besok!^^ and for who still reading this, i want to say thank youu thank you so muchh and for advice or critic, love it! You guys are respect with mine and that is warms my heart^^

So, keep it going, okay?^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top