枫 - Bab Dua Belas

Setelah meneguhkan hati sekali lagi, Martin yakin untuk yang terakhir kali.

Ia akan datang ke Taipei dan menerima tawaran menjadi asisten penata rambut Jun.

Ya, dia harus yakin.

Malam membentang. Di langit cakrawala, awan menggumpal. Mungkin hujan akan turun lagi, tetapi biarlah ia melupakan luka-luka lama itu. Biarlah hujan turun meninggalkan masa lalu, atau mungkin membuangnya.

Martin baru saja memberhentikan motor matic andalannya ketika sudah sampai di depan rumah Yisa. Tak terasa, Yisa juga bisa larut dalam beberapa topik. Dan tidak disangka, dirinya sendiri bertahan lama dalam pandangan gadis itu. Mungkin itu kekuatan peneguhan hati? Martin harus belajar memahami perasaannya sendiri. Mengenai apa yang dijalankan dengan naluri hati, dan pikiran. Dan mengenai peneguhan kali ini, mungkin ia harus membiarkan hatinya yang melangkah untuk semakin rela dan terbiasa akan pandangan pembangkit luka itu. Ia sadar, dan Lily benar. Ia tidak seharusnya tidur di dalam luka lama-lama.

"Kau mau mampir sebentar?"

Yisa menyodorkan helm kecil yang tadi dipakainya kepada Martin. Ia sedikit mengamati rumah bergaya Vernakular yang berjajar se-blok dengan rumah lainnya. Jendela ruang atapnya tertutup, namun lampunya menyala terang. Ayah Yisa sudah di rumah, dan ia pasti sedang sibuk membuat tahu untuk berdagang besok. Martin mengembangkan senyum, menggeleng.

"Sudah malam---"

Dari dalam rumah, tiba-tiba pintu disentak terbuka. Martin dan Yisa terkejut kecil, menoleh ke arah sumber suara lalu mendapati pria dengan kaus tipis lusuh berdiri di ambang pintu.

Paman. . .

Martin menyurutkan senyumnya.
Tanpa sadar, sudah selama ini kah ia sudah tidak bertegur sapa dengan pria itu? Kalau iya, apakah ada beberapa kekuatan lagi untuk menyanggah hatinya supaya tidak teringat masa di mana ayah Yisa menyerah dan menyuruhnya melupakan kejadian satu tahun lalu itu? Apakah Martin masih memiliki senyum dan suara yang sama kala semua pelosok hatinya hancur lebur akibat larangan satu tahun lalu itu?

Martin tidak bisa menolak. Demi kebahagiaan, untuk kesekian kalinya, ia rela.

"Martin?" suara berat pria itu sedikit samar karena jarak dari teras ke depan pekarangan yang sedikit jauh. Taman kecil di depan rumah Yisa sedikit redup, tapi setidaknya Martin masih mengingat wajah pria itu.

Alis bertaut yang sedikit menurun, dan sinar mata kekecewaan.

Ia tidak pernah melupakan itu.

"Wan an," sapa Martin sambil melambai. Yisa menoleh ke arah ayahnya, memberi isyarat 'sebentar', kembali beralih padanya.

"Sebetulnya, ayahku katanya ingin bicara padamu. Memang, kalian saling kenal?"

Martin mulai mengabaikan permasalahannya, berusaha fokus dan tenang, kembali memakai topengnya.

"Tentu. Seperti apa kata Ken, kan? Ayahmu adalah pabrik tahu terkenal di Taichung, jadi siapapun mengenalnya. Apalagi rumah kami dekat. Aku sering membeli tahunya sewaktu kau masih di Austria," jelas Martin tanpa cekatan. Ia memandang pria tua yang tetap berdiri di tempatnya.

Tenang saja. Aku tidak mengatakan apa-apa, paman Yu. Tidak akan. Malah. . .

"Wah, banyak sekali hal yang tidak kuketahui tentang Taichung. Aku sangat ketinggalan jauh nampaknya," gumam Yisa sambil tertawa. Martin hanya tersenyum kecil memandang gadis itu lebih dari dua detik di luar kesadarannya. Yisa sedikit tercenung ketika mendapat tatapan itu, tapi kemudian dengan gerak gugup ia menggaruk tengkuknya sambil hendak mengatakan sesuatu yang langsung di sela Martin cepat.

"Yisa," sahut Martin tidak melepaskan pandangan.

Yisa mengangkat dagu, membalas tatapannya.

Martin tidak tahu harus sampai kapan ia mempertahankan topeng ini dan menunjukkan luka-lukanya, tetapi sebenarnya, masih ada pilihan di antara pilihan, kan? Masih ada kemungkinan kalau sudah terluka ia masih tetap kuat, bukan? Setidaknya, biar hanya ia yang tahu kalau masa lalu itu pernah ada, dan sekarang, di dalam bayang-bayang manik cokelat Yisa, ia ingin hatinya tahu satu hal.

Ia ingin berhenti terluka.

"Kurasa aku ingin kau memiliki ini," tangan kiri Martin terangkat, kemudian mencopot seutas tali di tangan lainnya dengan cekatan. Lalu menyodorkan benda dengan liontin yang berkilat terkena jatuhan sinar lampu kepada Yisa yang terenyak.

"Ken sempat meminta ini, tetapi kurasa tidak cocok dan aku lebih suka melihatnya menghiasi pergelanganmu. Lagi pula di sisi lain, aku hanya berharap, aku bisa melupakannya. Melupakan segala hal yang berkaitan dengannya," ungkap Martin pelan, tanpa sadar, senyum kecil menyudut di bibinya. Ia tahu, ini adalah saatnya.

Untuk melepaskan semuanya.

Yisa masih diam, antara setengah takjub atau bingung. Tetapi kemudian ia menerima benda itu, dan beralih memandangnya dengan raut penuh perasaan. Martin tahu Yisa memahami perasaannya, atau mungkin Yisa hanya ingin mencoba memahaminya?

"T---tapi. . .ini tidak apa-apa?" tanyanya sedikit ragu sebelum benar-benar merengkuh sepenuhnya ke tangkupan jemarinya.

Martin tersenyum, menyipitkan mata kecilnya semakin dalam.

"Kau mau aku memberikan itu pada Ken?"
Yisa tergelak pelan, "tidak. Tapi, aku sangat ingin memberitahumu ini."

Alis Martin merenggang, tenggelam dalam poni rambutnya, memandang Yisa yang menunduk.

"Kau bilang kau ingin melupakannya? Sebetulnya, aku sedikit kecewa ketika kau bilang begitu."

Mata Martin melebar sedikit, menunggunya kembali melanjutkan.

"Karena di saat orang-orang ingin melupakan masa lalunya, aku malah ingin masa laluku tetap ada dan melengkapi hidupku. Tetapi sayangnya, ingatanku tidak pernah kembali," Yisa tersenyum pahit, beralih memandang gelang berinisial A itu di tangannya sendiri.

Entah sejak kapan, tangan Martin mulai saling mengait, mencengkram satu sama lain hingga buku-buku jarinya memutih. Dingin dan bahkan terasa kebas.

Musim gugur itu. . .

Dan rasa dingin itu. . .

Menjalar masuk, merasuki hatinya, dan menghentikan degup jantungnya. . .

Untuk berhenti terluka itu memang sulit. Tetapi, ia harus bertahan.

"Bersyukurlah kau masih memiliki ingatan masa lalu itu. Karena kau tidak pernah tahu apa rasanya ketika kehilangan sesuatu yang kau sendiri tidak tahu," lanjut Yisa lagi. Senyum asimetris Martin masih bertahan di bibirnya. Kemudian beberapa saat Yisa membungkuk kecil dan berujar lembut, "selamat malam, Martin."

"Bye-bye."

Dengan berakhirnya percakapan itu, Yisa berlari kecil melewati jalan batu setapak masuk ke rumah meninggalkannya, sementara Martin menyadari sinar mata seseorang di masa lalu itu kembali menghardiknya dari kejauhan.

Matanya dan mata Martin bertemu.

Untuk beberapa saat, ia membalas tatapan itu. Di antara angin dingin menuju musim gugur, dan di antara beberapa kata yang tidak pernah terucap, ia ingin pria tua itu tahu. Cara terbaik menyimpan rahasia itu adalah. . .

Terluka.[]

***
Menurut kalian, Jielun itu tipe yang seperti apa sih di part ini? Susah ditebak, atau pasrah-pasrah aja? Agak sulit sebetulnya mau buat Jielun ini introvert seperti yang Ken bilang, tapi kalau kalian mau tahu, tokoh Jielun di draft pertamaku memiliki sikap dingin bahkan sampai jarang bicara. Hanya saja, karena ada beberapa pertimbangan akhirnya kuubah menjadi lunak sedikit hehe.

Semoga part ini memuaskan, ya!
Xiexie^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top