枫 - Bab Dua
Kala hujan tak menyapa, kala itu kurasa kau, sudah benar-benar lupa.
∞
Yisa Yu baru saja keluar dari kelasnya ketika ia melihat batang hidung Martin Lun yang sedang menunggunya di kursi duduk sembari membaca buku. Segerombolan mahasiswa berhamburan ke lorong kampus, Yisa berjalan mendekati Martin yang belum sadar.
"Kupikir hari ini Ken tidak terlambat," sahutnya mengejutkan pria itu. Martin beranjak berdiri dan menyimpan bukunya, tersenyum ke arah Yisa.
"Maaf. Sepertinya Ken sedang ada pembahasan tambahan untuk laporan akhir tahun. Kau tahu, senior bagian photography sangat sibuk akhir-akhir ini," ujar Martin. Yisa mengangguk, merasa perlu bertanya lebih dalam mengenai kegiatan kekasihnya akhir-akhir itu karena ia merasa mulai semakin hari, Ken semakin memudahkan posisi Martin Lun untuk menemaninya. Padahal, kenapa Ken tidak meminta bantuan orang lain saja? Kenapa Martin Lun? Si Pengusaha muda yang sedikit introvert yang memiliki tingkat kebaikan melebihi pacarnya sendiri?
Bukankah akan menjadi masalah jika kekasihnya malah lebih sering jalan bersama atau kencan berdua dengan sahabatnya sendiri?
Sebetulnya Yisa juga tidak masalah pada Martin Lun karena hal itu sudah sangat biasa untuknya. Bahkan Martin Lun sedikit memiliki peran dalam hubungan ini. Hanya terkadang Yisa sering canggung pada sikap pria itu yang seolah-olah bisa membuatnya tersipu di depan Ken. Itu sangat tidak sopan, tapi Yisa harus mengakui kalau Martin yang diam-diam itu memang memiliki pesonanya tersendiri dalam memikat hatinya.
"Mau menunggunya bersamaku dan Lily di perpustakaan?" tawaran Martin membuyarkan lamunannya.
"Oh, ya, tentu saja," jawab Yisa cepat. Ah, Lily, untung saja ada gadis riang itu.
Keduanya membelah koridor kampus yang lengang. Bangunan kampus yang lekat dengan nuansa tahun 70-an itu mengiring nostalgia lama di antara deburan angin musim gugur yang menerpa. Sebulan lagi musim gugur akan tiba. Yisa menanti kala untuk pertama kalinya menyaksikan daun pohon di depan rumahnya berubah kemerahan, jatuh ke tanah lalu menyirami pemandangan jalan dengan lautan oranye yang indah.
Hingga sampai saat ini, ia sangat menantikan hari itu tiba. Musim gugur di Taichung pasti berbeda dengan musim gugur setahun yang lalu di Wina, Austria. Kehangatan akan menelusup, merasuki pikiran dan membekas ke hati, seperti kata ayahnya. Musim gugur di Taiwan adalah salah satu yang harus disaksikan semua orang, karena setiap kenangan akan terbang dan jatuh meninggalkan kita. Tersapu oleh air mata dunia dan tenggelam, hilang dan lenyap.
Martin Lun melepas sepatu conversenya ketika sampai di teras perpustakaan samping gedung utama, di susul Yisa yang mengikutinya dari belakang. Siang itu perpustakaan sepi. Di Universitas Tunghai, bagi sebagian mahasiswa yang sering lembur atau pekerja keras, mereka akan menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Maka tak heran, jika di pojok-pojok lemari belakang sering terdengar dengkuran pelan. Waktu mereka lebih sering dihabiskan di perpustakaan dari pada di rumah.
Yisa dan Martin berjalan ke sayap kanan perpustakaan. Tempat di mana banyak meja dan kursi beserta lemari-lemari tinggi menyempil ditengahnya. Angin melesak masuk lewat jendela tingkap kayu yang terbuka. Jalan Yuenong di samping perpustakaan menghiasi dinding perpustakaan layaknya lukisan pemandangan.
Pohon-pohon di pinggir jalan masih hijau. Mereka masih bisa tertawa-tawa dalam balutan baju musim panas. Tetapi akan bungkam kala napas mereka berembus dingin menyambut musim gugur. Dari pojok ruangan, Yisa melihat Lily, gadis seumuran Martin yang gayanya lebih muda dari pada dirinya, melambai riang ke arah mereka.
"Hai," katanya sambil mengamati Yisa yang tersenyum simpul mengambil kursi di sebrang meja. Martin duduk di sebelah Lily dengan tenang, kembali membaca buku.
"Menunggu Ken?" tanya Lily. Yisa mengangguk.
"Kupikir kalau dia bisa lebih cepat saja dari Martin, mungkin kau tidak harus selalu menunggunya," gerutu Lily yang mendapat senggolan sikut dari pria di sebelahnya.
"Tidak apa, Lily. Aku sudah terbiasa. Lagi pula aku juga tidak masalah kalau akhirnya Martin yang menjemputku duluan," kata Yisa.
Lily mengangkat bahu sambil melirik Martin yang pura-pura tidak mendengar. "Ya, tapi itu seharusnya tidak boleh di biasakan. Hm, aku mau ke toilet. Kau mau ikut?" Lily berdiri hendak beranjak sambil menunggu jawaban Yisa yang akhirnya menggeleng.
"Baiklah."
Selang Lily meninggalkan mereka berdua, Yisa kembali merasa canggung. Ia melirik Martin yang sibuk pada tiap lembaran buku di depannya, tidak ada niat untuk memulai obrolan. Entah kenapa, sejujurnya ia sangat ingin mengatakan sesuatu yang hanya diketahui olehnya dan pria itu. Bahkan ia sendiri baru menyadarinya akhir-akhir ini.
Kalau bukan kecelakaan yang terjadi beberapa bulan yang lalu di Wina, mungkin Yisa tidak akan berada di sini. Apalagi bertemu Ken yang dengan cepatnya menjadi pacarnya akibat kecelakaan yang tidak terduga awal ia menginjakkan kaki di Taichung. Tetapi, tentang Martin Lun, Yisa selalu merasa ada janggal di antara ingatannya selama ini.
Semua orang tahu akan kecelakaan yang menimpanya. Yisa meminta maaf pada semua orang akibat dampak kecelakaan itu, hampir sebagian orang ia kecewakan. Tetapi, hanya pada Martin Lun ia tidak pernah mengatakan apa-apa. Padahal, Yisa sangat ingin mengatakan maaf pada pria itu walau tidak tahu pasti apakah kecelakaan dirinya berpengaruh bagi Martin.
"Martin," panggilnya dengan suara pelan. Martin meliriknya kecil, mengangkat wajah lalu menaikan alis.
"Apa?"
Mendadak perut Yisa terasa mulas. Ini sebabnya ia tidak ingin mengatakan kata itu. Ia benci merasakan serangan aneh yang selalu menyerangnya kala ingin menyatakannya. Padahal, ini hanya Martin. Kenapa harus segugup itu?
Yisa berusaha mengangkat senyum yang menyerupai kekakuan yang ringkih, tapi ia kembali melanjutkan.
"Aku ingin meminta maaf padamu."
Sebelah alis Martin yang terangkat bingung tenggelam ke balik rambut poni tebalnya. "Soal?"
Yisa mengigit bibir, dadanya mulai berdentuman tak teratur, kepalanya mulai pusing. Ini sangat tidak baik. Seharusnya kecelakaan itu tidak pernah terjadi sehingga ia tidak merasa bersalah terus pada seseorang yang berdampak baginya di kehidupan masa lalu. Ini menyakiti saraf-sarafnya yang tidak ingin berusaha mengingat hal itu.
"Soal---"
"DOR!"
Yisa terlonjak dari kursinya dengan cepat, terkejut dengan suara Ken yang tiba-tiba muncul di balik tubuhnya. Pria itu tertawa-tawa melihat reaksinya, sedangkan Yisa menyentuhkan tangannya pada dadanya, berharap dentuman itu berubah stabil. Ia bukan berdebar karena terkejut, tapi karena selamat dari rasa takut untuk mengucapkan kata itu.
Martin berkerut memandangnya yang beralih tidak melanjutkan kata-kata. Seakan tahu kalau itu sebuah rahasia keduanya, Martin segera berpura-pura tertawa supaya Ken tidak curiga.
"Hai, Yisa. Oke, oke. Maafkan aku terlambat menjemputmu. Tapi gege Martin tiba di depan kelasmu tepat waktu kan?" suara ringan Ken menyebar langsung ke ruang perpustakaan yang sepi.
Satu-satunya orang yang paling dilarang masuk ke perpustakaan adalah Ken. Karena pria itu adalah mikrofon dengan suara besar yang tanpa aturan mengganggu orang di sini.
"Ya. Aku sangat beruntung memiliki Martin. Dan kau, tentu saja," ujar Yisa berpura-pura marah namun tak mampu. Ken merangkulnya lembut, ia tertawa kecil, kemudian beralih kepada sahabatnya yang berada di sebrang meja.
"Hei, kau sendirian? Di mana Lily?"
Martin menjawab, "ke toilet. Kalian mau ke mana?"
"Kau mau ikut, Martin?" tanya Ken yang langsung di balas gelengan cepat pria itu.
"Tidak. Berita buruk."
Ken mengerutkan alis. "Kok berita buruk? Aku malah senang kalau kau ikut kencan bersama kami. Bukan begitu, Yisa?"
Martin beralih memandang dirinya yang tertegun. Ia menatap Ken yang menunggu jawabannya. Mengangkat senyum tipis, kemudian ia mengangguk.
"Tuh. Tidak ada yang keberatan. Kau sahabatku, tidak masalah jika kau ikut. Hao ma?" lagi, Ken menawarkan dengan nada yang polos. Entah kenapa Yisa merasa sedikit tidak enak pada Martin yang menggeleng lagi.
"Tidak apa. Kita berdua saja, Ken. Jangan paksa Martin, mungkin dia ingin belajar untuk ujian minggu depan," selanya sambil tersenyum ragu ke arah Martin yang kali ini sedikit tertegun.
Ken mengibaskan tangan. "Ah. Asal kau tahu, Martin itu ada ujian atau tidak, selalu belajar. Hm, baiklah, begini saja, kau ingin menitip apa? Kubelikan sesuatu ya supaya nanti aku mampir ke Jey's Cut sebentar?" kali ini Ken mulai beranjak berdiri diikuti Yisa yang meraih tas tangannya ikut keluar dari bangku barisan.
Martin mendesah panjang. "Tidak perlu repot-repot, Ken. Seluruh makanan di Taichung sudah pernah kucicipi. Kecuali jika aku sedang menginap di rumah ibumu di Hongkong, kau boleh memaksaku 'kencan' bersamamu," tuturnya murung, memusatkan matanya pada barisan kata di buku.
"Ah, baiklah. Kubelikan Sadwich Mihayara di dekat Dante saja, ya? Bagaimana?" Ken masih bersikeras sambil tersenyum lebar. Yisa mulai menarik tangan pacarnya itu untuk segera pergi karena dari pojok ruangan, penjaga perpustakaan mulai melotototinya.
"Tidak, terima kasih."
"Bagaimana kalau bola-bola udang bakar?" tanya Ken yang suaranya nyaris memusatkan perhatian karena langkahnya sudah menjauhi Martin. Beberapa orang mulai mengerang setengah berbisik menyuruhnya diam.
Lalu dengan suara yang sangat pelan, Ken berkata pada Martin yang sudah pasti tidak mendengar, "dasar sombong."
***
Teman-teman, mohon tinggalkan jejaknya ya😊
Saran dan kritik sangat saya terima^^ Dan terima kasih buat yang sudah baca besok saya apdet lagi, ya. Hehe^^
(Revisi 15 Febuari 2018)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top