枫 - Bab Delapan Belas
Xiangyang hendak mematikan lampu ruang salon sebelum gerakannya terhenti ketika mendengar lonceng pintu berbunyi. Ia menoleh, mendapati Martin dengan mantel cokelat selututnya memasuki ruangan sambil menebarkan pandangan ke salon yang sudah kosong.
"Ken tidak kemari?" tanya Martin langsung, langkahnya separuh tertahan di ambang pintu kaca salon yang terbuka, membiarkan semilir udara malam menyeruak masuk. Xiangyang bergidik sambil berjalan meraih ranselnya di meja kasir lalu mendorong punggung pria itu untuk keluar.
"Sore tadi dia mampir, mencarimu. Tapi aku bilang kau sedang tidur di rumah, benarkan?" jawab Xiangyang sambil mengunci Jey's Cut tanpa menaikan nada dalam kalimatnya. Martin berdiri di tempat sambil memasukkan tangan ke saku.
"Kurasa tadi dia mencarimu karena ingin merencanakan sesuatu yang sebetulnya tak perlu kau tahu," Xiangyang tak beralih dari kegiatannya, kemudian setelah memutar kunci dua kali, ia baru berpaling memandang Martin yang menatapnya tertegun bingung.
"Maksudmu?" suara pelan pria itu terbawa bersama angin malam yang mengelus tengkuk. Jalanan Taizhong sudah sepi. Sekarang pukul sebelas malam. Beberapa toko hari ini akan memulai hari liburnya untuk menyambut musim gugur yang sebentar lagi tiba. Daun-daun mulai kemerahan, dan beberapa ada yang lebih dulu jatuh ke bumi.
Di antara lampu jalanan yang temaram, Xiangyang kembali berjalan tanpa ingin melanjutkan. Sambil mengunyah permen karet, ia melirik acuh tak acuh ke arah bosnya itu.
Untuk kesekian kali, Xiangyang selalu merasa ingin tahu kenapa pria dengan penuh ketenangan ini sangat kuat menyimpan luka-luka itu sendiri? Padahal, semakin ia berusaha bertahan, pada akhirnya, ia harus menyerah pada akhirnya.
"Jadi kau benar-benar belum tahu, ya?"
Martin tak menjawab, ikut melangkah pelan di sampingnya sambil menunggunya dengan kerut bingung, namun sorot matanya tetap tenang, seperti tidak ada keraguan atau keterkejutan. Padahal, Xiangyang yakin, itu hanya topeng sementara untuk mengatakan pada orang-orang kalau ia baik-baik saja.
"Bagaimana mau tahu kalau kau terus bicara sepotong-potong, begitu?"
Xiangyang menghela napas keras, menyemburkan asap udara dingin yang keluar dari mulutnya. Sambil memandang awan di atas kepalanya, ia berkata, "kau. . . kapan akan melupakan Yisa?"
Walau ia tidak memandang Martin, tapi ia bisa merasakan kalau pria itu sekarang pasti berkerut samar, mencerna pertanyaannya sebelum menjawabnya dengan baik tanpa meninggalkan kesan kalau ia sebenarnya terluka.
"Kenapa bertanya tiba-tiba?" suara Martin terdengar bersamaan dengan langkahnya yang terseok.
"Kau kapan akan melupakan, dia?" ulang Xiangyang dengan menekankan akhir kalimatnya.
Langkah Xiangyang tertutup, untuk sesaat ia bergeming, merasakan tubuh Martin yang juga ikut terhenti di belakangnya dalam jarak dua langkah. Ia menoleh, melihat pria itu menunduk, membiarkan poni di keningnya menenggelamkan sorot mata yang sesungguhnya.
Untuk beberapa detik, udara semakin dingin.
Untuk sepersekian detik, angin membekukan bibir pria itu.
"Martin?"
Martin mengangkat wajah, mengerjap pelan tanpa tersenyum. "Bukan urusanmu, Xiangyang," katanya sambil membuang muka ke samping jalanan. Xiangyang menoleh sepenuhnya ke arah pria itu, "aku tidak peduli ini urusanku atau bukan. Tetapi kau harus segera bangun, Martin. Ini sudah hampir setahun dan kapan kau akan terus memainkan drama ini?"
Pria itu mengangkat wajah, menatapnya tajam. "Ini bukan drama. Tetapi ini kehidupanku."
Xiangyang melengos, terdiam dengan napas sesak karena ia tiba-tiba merasa kesal. Kenapa ia harus terluka jika ia bisa memilih melupakan itu? Dan kenapa harus mencintai lewat sepihak saja?
"Sampai kapan kau bisa berhenti mencintainya? Berhenti terluka? Kenapa kau tidak bisa memahami waktu yang terus menggerogoti hidupmu sampai mati? Ken akan menikahi Yisa, Martin!"
Mata sipit Martin melebar, terpaku beberapa detik pada ucapannya yang nyaris berteriak membelah malam. Xiangyang sadar mungkin ini adalah kalimat yang akan semakin membunuh pria itu, tetapi, seharusnya ia segera sadar kalau tentang sekarang adalah tidak ada di masa lalu. Ia harus bisa bangkit dan memulai yang baru.
***
Dari sana, udara menerpa lagi. Dingin, menyapu pipi Martin yang terenyak dalam diam.
Senyap.
Merambat hingga ke dadanya.
Hingga sesak itu memadat.
Menghentikan degup jantungnya beberapa saat.
Dari dalam, setetes luka jatuh ke tanah. Menodai sehelai daun kering yang tak bernyawa.
Namun, perlahan-lahan, ia menarik senyum yang seutuhnya penuh luka.
"Dia menyatakannya di depan orang-orang di salon?" tanya Martin pelan, menerbitkan senyum tipis di bibirnya.
"Tidak, tetapi dia memberinya cincin di depan mataku sendiri. Kau tahu, hal pertama yang kupikirkan dalam menjadi kau adalah, lebih baik aku pergi ke Taipei dan bekerja bersama Jun."
Ia terdiam, tidak menanggapi Xiangyang yang memandangnya dengan napas berat, namun kemudian, ia berujar dengan senyum yang sama sambil memandang pria itu, "baguslah."
Martin menarik napas, menahannya karena sebuah pisau rasanya sudah menikam dadanya dalam-dalam hingga ia merasa tidak ingin bernapas.
"Karena aku harus berhenti terluka."
***
Ketika memasuki ruang tengah, ponsel di sakunya bergetar. Dengan segera Martin merogoh benda itu lalu menemukan nama Jessica di layar ponsel.
"Wei," sapanya sambil membuka mangkok dari keramik khas china yang telungkup di bawahnya dari atas buffet pajangan, lalu mengambil kunci. Kemudian berjalan melewati lorong pendek dari ruang makan dekat dapur menuju kamarnya.
"Hai, Martin, maaf aku menelepon semalam ini," basa-basi gadis itu dari ujung telepon.
Pintu kamar terbuka, Martin langsung menghempaskan tubuh ke ranjang yang menepi ke sudut ruangan itu lalu berbaring memandang langit-langit kamar yang remang.
"Tidak apa, Jess. Ada apa?" Martin mengepit ponsel dengan dagu sambil melepaskan arloji. Menyadari gelang yang selama ini sudah tidak terlingkar di pergelangan tangannya, kenapa sampai sekarang ia masih memakai baju lengan panjang yang sebenarnya untuk menutupi itu? Ia mendesah pelan, kembali memegang ponsel dengan benar.
"Sebenarnya kau mendapat undangan lagi dari Jun untuk datang ke Taipei. Katanya ia ingin memberikanmu beberapa dokumen tanda tangan kontrak. Katanya. . . kau belum memberinya jawaban, ya," suara Jessica di sebrang sana mengambang pelan, membuat samar-samar suara Xiangyang kembali hidup dalam kepalanya.
Ken akan menikahi Yisa.
Ken akan menikahi Yisa.
Martin memejamkan mata, menahan napas lalu menarik senyum tipis.
Seharusnya dia bahagia.
Seharusnya dia rela.
"Terima kasih, Jess. Bilang pada Jun kalau aku akan segera datang."
"Kau yakin?" sela Jessica cepat, terlalu cepat bahkan hingga tanpa sadar melesatkan bola matanya sendiri pada satu dinding yang penuh oleh tempelan benda-benda itu.
Tinggal benda-benda itu yang masih tersisa.
Tinggal senyum-senyum itu yang masih ada di sana, menemani tidurnya hingga mimpi indahnya. Martin tahu ini sudah cukup, tapi kemudian ia menarik napas dan tersenyum pahit.
"Aku harus yakin, bukan?"
***
Terima kasih buat yang sudah baca sampai part ini, semoga terhibur. Dan kalau berkenan, tolong dipencet ya bintangnya! Thank you so much!^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top