Permainan Berdarah Bagian 1
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Lembaaaang!" Aqilla membuka kaca mobil sambil berteriak.
"Untung suara kamu bagus, kalo enggak, udah pecah ini kaca mobil," celetuk Andis.
Ini kali pertamanya Aqilla mengunjungi kota Bandung, biasanya ia hanya duduk manis di kandang, alias Yogyakarta.
"Kita chek in siang, masih ada waktu sebentar nih, main dulu yuk ke kota," ucap Dirga.
Mereka semua setuju, Dirga membawa mereka berkeliling kota Bandung, dan membeli perbekalan untuk barbeque. Setelah puas berjalan-jalan, Dirga langsung tancap gas menuju villa yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari. Ketika sampai di villa, Andis tampak tak begitu senang dengan villa tersebut.
"Kenapa lu?" tanya Ajay.
"Enggak, cuma kebelet boker aja," jawab Andis.
Firasat gua ga enak, batin Andis.
Ajay adalah seorang penakut, tak mungkin Andis menghancurkan liburan teman-temannya jika berbicara tentang sebuah firasat yang ia rasakan. Namun, Ajay adalah orang yang mampu membaca gerak-gerik manusia, ia membaca getir yang terpampang jelas di raut wajah Andis.
Mereka memesan villa untuk dua malam, villa itu tergolong murah dan luas dengan bangunan dua lantai, taman yang cukup besar dengan segala permainan-permainan untuk anak kecil, ada kolam renang dengan ukuran yang juga cukup lebar. Villa itu memiliki lima kamar dan tujuh kamar mandi yang terletak di tiap kamar dan juga dua lagi di tiap lantaiya.
Aqilla dan Milla tidur dalam satu kamar, sementara keempat Mantra menempati masing-masing kamar kosong. Setelah mereka selesai meletakkan barang-barang di kamar masing-masing, mereka turun untuk beraktivitas. Ada Andis yang sibuk menonton tv di ruang tengah, ada Ajay yang duduk bermeditasi, Dirga dan Mila yang sedang duduk di balkon lantai dua, entah apa yang mereka bicarakan, ada Tama yang sedang menatap dapur ditemani Aqilla.
"Mau masak apa buat nanti makan malem?" tanya Aqilla.
"Nasi goreng aja deh yang simpel, besok pagi bikin mie rebus," jawab Tama.
"Besok pasti dingin, mie rebus cocok banget tuh!" balas Aqilla.
"Kamu suka kan?" tanya Tama.
"Apapun yang kamu buat, aku suka." Aqilla memeluk Tama dari belakang.
"Ehmm ... aku Jodi, jomblo ditinggal mati." Andis tiba-tiba saja bernyanyi lagu wali yang berjudul Jodi, jomblo ditinggal mati. Sehingga Aqilla melepaskan Tama dan berdiri di samping Tama sambil menggandeng tangan Tama, ia menatap Tama dengan wajah yang menahan tawa.
"Emang, Si gila," ucap Tama sambil menggelengkan kepalanya.
Mila tiba-tiba saja turun dari lantai dua, ia membawa sesuatu.
"Aku nemu ini!" ucapnya sambil meletakkan sebuah papan permainan di tengah ruangan.
Andis yang semua sedang tiduran di sofa sambil menonton, tiba-tiba saja beranjak dan menatap benda yang di bawa Mila dengan tatapan yang tajam, bukan hanya Andis, Tama dan Aqilla meninggalkan dapur dan berjalan ke arah Mila, Ajay dan Dirga yang baru juga turun saling bertatapan dan semua orang berkumpul di ruang tengah.
"Dapet dari mana?" tanya Andis.
"Dari lantai dua, ada di kamar Mila. Mila nemu waktu lagi iseng buka-buka lemari."
"Lemari?" Andis mengerutkan dahinya.
Seingatnya tak ada benda sejenis itu ditiap kamar, Andis sudah mengecek semua kamar sebelum yang lain memilih kamar mereka. Ia berjalan naik ke atas, di susul oleh Dirga dan yang lainnya.
"Lemari mana, Mil?" tanya Andis yang berada di tengah kamar.
"Yang itu--" ucapan Mila terhenti, tak ada lemari yang ia maksud.
"Tadi ada kok warna coklat, lemari kayu tua," lanjut Mila.
"Kamu tau papan apa yang kamu bawa tadi?" tanya Andis.
Mila hanya menggeleng.
"Itu papan Ouija--"
"Alat untuk berkomunikasi dengan mereka yang tak terlihat," lanjut Andis.
Ouija adalah papan kayu datar bertuliskan huruf dari A sampai Z, angka dari 0 sampai 9, dan sebuah simbol Matahari dan Bulan. Indikator yang dapat bergerak atau sebuah "planchette" digunakan untuk menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh para pemain. Pada masa populernya (terutama pada tahun 1920an), papan Ouija dianggap sebagai gerbang roh yang digunakan untuk menghubungi orang yang sudah mati; namun, satu-satunya bukti dari hal ini hanyalah berbagai kesaksian para penggunanya--tidak pernah ada bukti ilmiah tentang kebenaran paermainan ini.
"Pokoknya jangan aneh-aneh, biar aku yang simpen," ucap Andis.
"Mungkin aja, mereka bermaksud untuk berkomunikasi dengan cara itu, kalo enggak--mana mungkin Mila bisa nemuin lemari dan papan itu?" ucap Mila.
Dirga menoleh ke luar jendela, seseorang sedang mengintip dari luar kamar.
"Tak gendong, ke mana-mana." Nyanyian itu kembali terdengar, membuatnya merinding mendengar nada itu.
Dirga mencoba memberanikan diri dan berlari ke arah orang itu, ia berlari secepat yang ia bisa, tetapi tak ada siapapun di sana.
"Lu ngapain?" tanya Ajay heran.
"Lu liat?" tanya Dirga yang mengabaikan pertanyaan Ajay dan menatap lurus ke arah Andis.
"Liat apa?" tanya Andis heran.
Tama menyadari sesuatu, ia merasa de javu dengan sikap Dirga. Ia membuka sarung tangan hitam yang selalu ia kenakan, dan meraba dinding kamar. Sekelibat memori terpampang jelas dalam pikiran Tama, ia melihat masa lalu objek yang ia sentuh.
Psikometri, adalah kemampuan untuk menggali informasi serta berkomunikasi dengan objek atau benda apapun di sekitarnya. Kondisi ini memungkinkan, karena pada setiap benda itu juga terdiri dari susunan atom yang telah membentuk kumpulan molekul. Molekul yang ada dibenda padat, benda gas ataupun cair itu memiliki getaran yang menghasilkan sebuah gelombang khusus. Kemudian kumpulan molekul serta atom itu dapat merekam sebuah peristiwa, dan dari rekaman itulah sang pemilik kemampuan psikometri dapat menggali informasi serta membaca gejala sebuah peristiwa.
Tama berdiri di sebuah tempat yang gelap, ia merasa heran, tak pernah sebelumnya ia melihat hal seperti ini. Tak ada layar lebar yang menampilkan masa lalu benda yang ia sentuh, saat ini ia hanya beridiri di tengah kegelapan seorang diri.
Seorang wanita sedang duduk membelakanginya, rambutnya panjang terurai, ia tampak sedang bersenandung, tetapi tak jelas. Tama tak berani melangkah, ia hanya diam mematung dan menatap sosok itu, Tama tak tahu caranya untuk keluar dari tempat itu, ia hanya berharap teman-temannya membantunya melepaskan tangannya dari objek yang ia sentuh.
"Tam, Tama?" terdengar samar-samar suara orang memanggil namanya.
"Woy, Tam."
Seketika itu, wanita itu memutar kepalanya 180 derajat dan menatap Tama sambil menyeringai. Cengir di wajahnya membuat Tama bergidik ngeri, wanita itu berlari ke arah Tama, tentu saja Tama berlari karena takut. Hingga sebuah tangan berhasil menyentuh pundaknya.
Bugh!
Andis terjatuh, Tama memukulnya dengan napas yang terpongo-pongo disertai keringat dingin bercucuran. Mereka semua menatap Tama.
"Sorry," ucap Tama.
"Lu ngeliat apa?" tanya Andis yang mencoba berdiri, ia tahu Tama tak bermaksud memukulnya, ada sesuatu yang membuatnya takut.
Tama hanya menggeleng tanpa berkata-kata, ia berjalan dan duduk di kasur. Aqilla menghampirinya dan berusaha menenangkan Tama. Yang jelas semua orang paham, ada yang tak beres dengan tempat ini.
***
Matahari telah turun, kini kegelapan mendominasi, teror sang malam baru saja dimulai. Ajay dan Andis pergi ke mini market untuk membeli beberapa cemilan. Sementara mereka berjalan keluar, Mila semakin penasaran dengan papan yang Andis simpan, ia seperti mendengar bisikkan untuk memainkan papan itu, Mila mengambil papan yang berada di kamar Andis dan memabwanya turun.
"Ngapain, Mil?" tanya Dirga.
Mila tak menjawab, ia menggelar papan ouija di tengah ruangan.
"Penunggu di sini pasti ingin menyampaikan sesuatu, ada sebuah makna yang tak tersirat," balas Mila.
Mila mengambil ponselnya dan mencari tahu cara memainkan game tersebut, ia menatap Dirga seakan meminta persetujuan. Sejujurnya, Dirga penasaran dengan sosok yang mengikutinya hingga ke Bandung, begitu juga dengan Tama yang penasaran dengan kemampuannya yang terhalang oleh sesuatu.
"Kita main aman aja, cuma beberapa pertanyaan dan selesai," ucap Mila.
"Oke, oke." Dirga duduk di depan Mila.
Belum tentu juga berhasil kan? batin Dirga.
Tama ikut duduk di samping Dirga.
"Kamu yang bener aja?" tanya Aqilla yang panik.
"Kamu sendirian loh, yakin ga mau ikut?" tanya Mila.
Karena merasa takut, Aqilla akhirnya ikut duduk dan bermain bersama mereka. Semua meletakkan jari telunjuknya di atas planchette yang tersedia. Mila membuka pertanyaan.
"Apakah kalian ada di sini? Jawab kami jika kalian ada di sini."
Planchette bergerak ke arah kiri atas, sontak membuat mereka berempat saling bertatapan.
"Siapa yang gerakin?" tanya Aqilla.
"Mereka di sini," jawab Dirga yang menatap planchette berhenti di tulisan 'yes'.
"Mama, mau pulang," ucap Aqilla yang ketakutan.
Sontak planchette bergerak lagi dengan sendirinya, ia menuju beberapa huruf dan berhenti sejenak hingga membentuk sebuah kata.
"Mau pulang?" tanya Arwah yang menjawab papan tersebut.
"Ibu kamu, udah meninggalkan?" tanya Tama.
Aqilla menutup matanya dan mengeluarkan air mata.
"Apa kalian tahu tentang rahasia kematian?" tanya Mila.
Semua menatap ke arah Mila.
"Apa ada di antara kita yang akan mati?" lanjut Mila.
"Mila! Jangan sembarangan deh," protes Aqilla.
Planchette bergerak kembali menyusun sebuah kata.
"Ada."
Ini bercanda kan? Mila cuma ngerjain kita kan? Dia yang diem-diem gerakin papan ini, batin Dirga.
"Bisa kalian tunjukkan keberadaan kalian? Jika memang kalian ada!"
Mila menatap tajam ke arah Dirga.
"Kenapa? Kamu iseng kan? Yaudah lah, kasian itu Aqilla--"
Tiba-tiba lampu teras berkedip-kedip, mereka berempat menatap ke arah luar, pintu sengaja mereka tak tutup karena angin yang sejuk, tetapi justru sekarang, angin inilah yang membuat mereka merinding.
Ada sebuah lorong yang menghubungkan antara ruang tengah dan dapur, terdengar beberapa barang yang berjatuhan dari arah dapur, sepertinya itu adalah panci dan beberapa sendok.
Ajay dan Andis kembali, mereka yang baru saja tiba, melihat lampu teras yang berkedip. Andis juga menangkap ayunan yang sedang berayun tanpa siapapun di atasnya, ia menatap tajam ke arah ayunan dan mencoba fokus. Seorang gadis dengan wajah yang datar sedang duduk dan berayun di sana, ia kemudian menatap Andis.
Andis merasa kaget dan mempercepat langkahnya menyusul Ajay.
"Ada yang ga beres nih," ucap Ajay gemetar.
Andis dan Ajay mendapati keempat temannya sedang memainkan papan oujia yang ia simpan.
"Siapa yang ambil ini dari kamar gua?" tanya Andis dengan nada yang agak tinggi.
"Mila," ucap Mila.
Andis hanya heran, ia sudah benar-benar mengunci pintu kamarnya dan sudah mengeceknya sebelum ia pergi, sehingga tidak ada yang dapat masuk ke kamarnya. Ia bejalan ke arah teman-temannya yang sedang berkomunikasi dengan roh.
"Papan Ouija punya reputasi sebagai gerbang dua arah ke dunia lain. Saat menggunakan Papan Ouija, kita harus sangat berhati-hati sehingga tidak membiarkan sesuatu dari dunia lain masuk ke dunia kita!" papar Andis pada seluruh teman-temannya.
"Jangan pernah menanyakan tentang kematian," lanjut Andis.
"Jangan pernah meminta 'mereka' untuk membuktikan keberadaannya--" Andis menatap Dirga dengan tatapan yang tajam.
"Melakukan hal itu dapat membuat roh jahat masuk ke alam kita."
"Sial ...," umpat Dirga.
Andis mengerutkan dahinya, ia menatap Dirga dengan sorot mata yang tajam.
"Dir?" Andis menatap Dirga yang tak berani menatapnya balik.
"Terlambat, Dis ... mereka udah masuk ke alam kita ...," ucap Ajay lirih sambil menatap ke lorong villa.
Semua mata mengikuti arah tatapan Ajay, mereka semua menatap lorong dapur.
"Lingsir wengi--sliramu tumekeing sirno," samar-samar terlihat siluet seorang wanita sedang menari sambil bersinden di ujung lorong.
"Shit ...," Andis menatap siluet itu.
"Lari!" Andis, Dirga, Tama, Ajay, Mila dan Aqilla segera berlari keluar villa.
Mereka masuk ke dalam mobil dan pergi tak tau arah.
"Maaf," ucap Mila sambil menangis.
"Yaudah lah, udah berlalu, sekarang kita cari tempat bermalam aja, kita balik lagi besok pagi ke sana. Sekarang terlalu bahaya, malam itu waktunya mereka yang beraktifitas," ucap Andis menatap ke luar jendela.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top