Perburuan Sang Penyihir

Dirga membantu Tama bangkit. "Apa udah waktunya, kita bergerak--ketua?"

Tama memicingkan matanya. Ketua?

Pria pendiam itu mengikuti arah mata Dirga menyorot. Dilihatnya seorang pria berambut ikal yang duduk tertidur terbalut selimut biru muda. Tepat ketika matahari tenggelam, pria itu membuka matanya seraya dengan datangnya gelap.

"Kei ...."

Kei Yudistira, pimpinan tertinggi Mantra dan juga Dharma sudah tiba di Yogyakarta. "Mana mungkin kita biarkan si bar-bar itu bergerak sendirian," ucapnya dengan mata sayu. Kei beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu, ia melewati Tama dan Dirga.

"Hanya ada dua perintah. Pertama selamatkan semua orang, kedua—jangan mati," titahnya dengan mata biru menyala pada Dirga dan Tama.

***

Di daerah Jalan Kabupaten yang tergolong sepi, Uchul berdiri menatap sebuah rumah besar. Rumah itu tampak seperti rumah biasa. Satu ruangan di dalam rumah itu terang, karena hanya di ruangan itu lampu menyala, seolah memberikan tanda bahwa 'aku ada di sini'.

Siriz, wanita itu sedang duduk di depan meja rias. Ada sebuah ranjang besar dan hiasan patung di dalam ruangan itu. Begitu Uchul masuk ke sana, pintu tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Siriz menatap Uchul dari pantulan cermin. "Sudah datang, ya?"

"Seharusnya lu kabur kayak yang biasa lu lakuin. Sekarang udah enggak ada jalan keluar lagi." Uchul--Tomo menatap Siriz penuh dengan amarah.

"Ini kasus pertama di mana, ada orang yang mampu balikin santet aku. Sejujurnya ini bukan kali pertama kita bertemu, aku pikir kita bisa jadi pasangan yang serasi." Siriz beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Uchul. "Mampu keluar dari ledakan, enggak takut datang ke kasino, meskipun udah tau identitasku dan malah nantang. Ternyata, aku yang terpancing. Kamu nunggu aku ngirim santet biar kamu tau lokasi aku. Cerdas."

Sebuah sabit muncul di depan lehernya. Tarsah berdiri di belakang Uchul sambil menatap Siriz. "Tahan, aku ingin dia menjadi suamiku." Siriz yang sudah berada di depan Uchul langsung melingkarkan tangannya pada bahu Uchul. "Bagaimana? Mau bermain-main malam ini?" Siriz melirik ke arah ranjang.

Uchul menyeringai, ia berganti kepribadian. "Kekeke kau menarik juga, cantik." Uchul mendekatkan wajahnya pada Siriz hingga membuat Siriz memejamkan matanya. Alih-alih mencium, Uchul membuka penutup matanya. "Suratma total."

Suratma total adalah mode di mana Uchul bisa membawa orang lain ke Alam Suratma sekaligus bersama tubuh fisiknya. Ia berusaha meraih Siriz, tetapi Tarsah hendak mencabut nyawanya.

Cih! Sialan ....

Uchul mengurungkan niatnya untuk membawa Siriz dan ia menarik Tarsah pergi bersamanya.

"Apa gunanya membawaku ke sini?" tanya Tarsah, malaikat maut berpakaian perak dengan topi fedora berwarna perak. "Aku bisa kebali lagi semauku."

Uchul mengelurakan lagi seringainya. "Aku sudah memprediksikan hal ini. Membawa nenek sihir itu tak semudah teorinya. Alih-alih membawanya, aku lebih memilih membawamu. Ada yang ingin bermain denganmu, Tarsah."

Kidy muncul dari kabut yang menyelimuti Alam Suratma. Ia menyeringai menatap Tarsah. "Terimakasih banyak, Iblis mata satu," ucap Kidy.

Tarsah memicingkan matanya. "Antek Yama?"

Sisanya aku serahkan pada kalian, prajurit. Aku akan menahan monster ini di sini. Untuk yang pertama kalinya aku akan berdoa pada Tuhan. Semoga kalian selamat dan berhasil menghajar Siriz.

***

Tama mendapatkan pesan dari Uchul beberapa menit lalu. Pria merah itu mengirimkan lokasi. Dirga yang diberitahu oleh Tama perihal lokasi tersebut, langsung membawa mobilnya dengan kecepatan penuh.

Kini mereka tiba di tempat persembunyian Siriz. Wanita itu menatap mobil Dirga dari balik jendela kamarnya. Matanya dan Tama bertatapan. "Sekarang kau yang akan terjerat dalam permainanku, tampan," ucap Siriz tersenyum. Selain Tarsah, ia memiliki pelayan lain. Beberapa penyihir dan juga pasukan jin.

"Rumah ini memiliki aura yang kelam," tutur Kei. "Ini istana ghaib. Kalian tak bisa melihatnya, tapi ada ratusan makhluk yang sedang menatap kita."

Dirga dan Tama meneguk salivanya. Mereka berdua memang agak anti terhadap hal-hal mistis.

"Kalian urus saja Raja terakhirnya, aku yang akan melumat habis pasukan ghaib ini." Kei membuka pintu mobil dan berjalan keluar. "Tunjukkan wujudmu, Panatagama." Sebuah tombak bermata tiga muncul entah dari mana. Tombak itu berada dalam genggaman tangan Kei. Ia menebaskan tombak itu sembarang arah. Seketika awan mendung dan petir mulai bergemuruh.

Tombak Panatagama adalah tombak milik Nyi Roro Kidul. Pusaka itu merupakan warisan dari keluarga Maheswara untuk Sang Yudistira. Kemampuan Panatagama adalah sebagai kunci tiga dunia, yaitu Dunia manusia, Alam Suratma, dan Alam para jin.

Tebasan sembarang itu membuat sebuah ruang yang terbelah. Mata biru milik Kei adalah bukti bahwa ia adalah keturunan Sang Yudistira. Raja pasti memiliki pasukan. Salah satu kemampuan mata penguasa adalah menundukkan jin. Dari lubang dimensi itu keluar makhluk-makhluk tak kasat mata. Kei menunjuk rumah Siriz dengan tombaknya. "Lumat habis makhluk-makhluk rendahan di sana." Benturan para makhluk-makhluk astral ini membuat aura di sekitar rumah itu menjadi begitu menegangkan. Rintik hujan mulai turun hanya membasahi tempat itu.

"Kita juga harus bergerak." Dirga turun dari mobil sambil mengenakan topeng Tumenggung. Ia menggendong Tama di punggungnya dan dalam sekejap mata menghilang dari posisinya berdiri.

Kini mereka berdua sudah berada di dalam. Tama turun dan mulai menyalakan flash ponselnya, mengingat tempat ini gelap selain kamar Siriz.

"Wah, wah, siapa ini?"

Dirga dan Tama menoleh ke arah sumber suara. Tama agak familiar dengan suara tersebut. Suara salah satu bartender wanita di kasino yang memberikan mereka alamat Siriz saat kejadian ledakan.

"Orang ini juga penyihir, waspada," ucap Tama.

"Pergi duluan. Gua nyusul," balas Dirga yang segera melesat ke arah wanita itu.

Tama segera melanjutkan langkahnya meninggalkan Dirga. Namun, ketika ia sudah berhasil naik ke atas dan melihat ruangan yang menyala, Tama menghentikan langkahnya. Ia berpikir bahwa Dirga memang pemeran action, begitu juga dengan Uchul dan Kei. Tama meneguk saliva ketika ia menyadari bahwa ia hanyalah pemeran romansa.

Aku kudu piye?

Namun, Tama memberanikan diri untuk masuk. "Retsa Pratama," ucap Siriz. "Bagaimana kau tau namaku? Begitu kan pikirmu?"

Siriz berjalan ke arah Tama. "Tidak seperti kalian yang tidak tau siapa aku. Aku mengenal kalian seperti aku mengenal anak-anakku sendiri. Andis Sagara, Tirta Martawangsa, Fajar Utomo, Zahra Utomo, Retsa Pratama, dan pemimpin kalian ...." Siriz menatap ke arah pintu. "Dirga Martawangsa." Dirga muncul dari balik pintu membawa wanita bartender yang tak sadarkan diri. "Ya, aku juga tau, kamu pasti bisa ngalahin dia dengan mudah."

"Kembalikan jiwa-jiwa yang kau rebut," tutur Dirga dengan tekanan pada setiap katanya.

"Mana Uchul?" Tama yang mencari keberadaan Uchul tak kunjung mendapati batang hidungnya.

"Mungkin saat ini dia sudah mati di tangan Tarsah. Semua ini, termasuk kedatangan kalian adalah skema yang aku buat. Berbahagialah."

***

"Ingin membunuh maut?" Tarsah terkekeh. "Levelmu masih terlalu jauh."

Kidy tampak kelelahan. Banyak luka ditubuhnya.

Oi, oi, aku tau jika Kidy tak mungkin menang, tapi setidaknya bocah itu mampu memberikan dampak pada Tarsah!

"Rencanamu terlalu sembrono, bocah," ucap Tarsah sambil melirik ke arah Uchul.

"Jangan remehkan manusia, makhluk kuno." Uchul melepaskan jaket merahnya. Hawa panas mulai terasa di sekelilingnya. "Ajna ...." Mata ketiganya bangkit.

Dengan terbukanya mata ketiga, sumber energi spiritual tertinggi dapat masuk dengan mudah, membuat manusia mampu mempelajari hal-hal di luar batas pikiran. Sementara mata fisik memandang dunia nyata, mata ketiga melihat keseluruhan dunia yang menyatu dalam koneksi abadi dengan wujud-wujud tak kasat mata.

Membangkitkan dan membuka mata ketiga adalah pintu menuju segala hal yang bersifat psikis, telepati, kewaskitaan, pengalaman lucid dream, dan proyeksi astral. Ilusi pemisahan antara diri dan roh larut ketika hubungan mata ketiga dapat disatukan. Dalam hal metafisika, terbukanya mata ketiga dapat membuat manusia mampu berjalan di antara realitas dan melampaui keterbatasan manusia.

"Waktu kita dalam mode ajna hanya lima menit," tutur Tomo yang sedang duduk menonton cuplikan dari alam bawah sadarnya.

"Ya, aku paham." Uchul menyeringai. "Dalam waktu singkat ini, ayo kita bungkam dia, sobat." Tarsah kehilangan sosok Uchul. "Melihat ke arah mana kau el fckin maut!" Tinju Uchul bersarang di pipi Tarsah, membuat pria itu terpental dan topi fedoranya terjatuh ke tanah suratma.

Kidy tersenyum menatap Uchul. "Ho, kau punya kemampuan yang lumayan ternyata." Kini bocah itu berdiri sejajar di samping Uchul. Rambutnya agak terangkat ke atas dengan warna putih kebiruan. "Braja total." Listrik mulai mengalir dalam tubuhnya. "Kita hajar dia bersama-sama."

Namun, baru saja ingin melancarkan serangan balik. Tarsah merangkul mereka berdua dari belakang. "Kalian berdua itu merepotkan," bisik Tarsah. "Siapa yang ingin aku bunuh duluan?"

Kidy dan Uchul meneguk salivanya. Tarsah mengincar Kidy. Sebuah sabit muncul entah dari mana. malaikat kematian perak itu langsung mengincar leher Kidy.

Uchul menyeringai. "Kau tidak akan pernah mengerti rencanaku, Tarsah. Inilah rencana yang sudah aku persiapkan. Memang tidak pasti apakah akan terjadi atau tidak, tetapi meskipun itu hanya 0,0001%, segala kemungkinan bisa saja terjadi."

"Berengsek ...."

"Tidak ada atasan yang akan membiarkan bawahannya mati kekeke."

Yama menahan sabit milik Tarsah dengan satu jari telunjuknya. "Mengkhianati Tuan Suratma dan pergi meninggalkan kursi dewan," ucap Yama. "Dan lagi--ingin membunuh pegawaiku?"

Sayap hitam terbentang lebar, menandakan seorang el maut yang marah. Tangan Yama perlahan menghitam dengan kuku-kuku yang tajam. "Sebaiknya kau jangan menatap wujudku, bocah. Atau kau akan ikut terbunuh," tutur Yama pada Uchul.

"Kekeke tentu saja, aku akan segera pergi." Uchul membuka mata kanannya, lalu menutup mata kirinya. Seketika itu ia menghilang dari Alam Suratma.

"Bocah sial ...." Tarsah, kini ia berhadapan dengan Yama.

Tidak ada yang paling seru dari pertandingan antara kematian, tapi sayang aku masih lebih peduli pada nyawaku kekeke.

Uchul muncul begitu saja di samping Dirga. Mata kirinya mengeluarkan darah, tubuhnya juga gemetar akibat menggunakan ajna meskipun hanya dalam waktu yang singkat.

"Uchul!" panggil Dirga dan Tama, tetapi boro-boro berdiri. Uchul terjatuh dan kehilangan kesadaran.

Siriz terkejut mendapati Uchul yang kembali hidup-hidup. "Ke mana Tarsah?"

"Khawatirkan dirimu sendiri!" Dirga yang menggunakan Tumenggung segera melesat ke arah Siriz, tetapi sosok besar berwarna hitam muncul dan memukul Dirga dengan lengannya yang perkasa hingga membuat Dirga terpental menabrak dinding.

"Dirga!" Tama gemetar menatap makhluk itu.

"Aku juga bisa memprediksi masa depan," tutur Siriz. "Kalian tidak akan pernah bisa menang."

"Kau bilang aku pemimpin Mantra?" tanya Dirga dengan suara yang lirih, tetapi ia menampilkan senyum. "Penerawanganmu masih jauh dari kata sempurna."

"Gertakkanmu cukup menarik."

"Itu bukan gertakkan," balas Dirga. "Kau pikir siapa yang mengumpulkan kami? Mampu mengatur orang dengan mata suratma ini? Mampu membuatku yang memiliki pusaka topeng tumenggung dan pengelihatan masa depan tunduk? Di luar sana ada orang yang tak bisa terdeteksi dengan penerawangan. Orang itu adalah ketua kami."

Aura di ruangan itu berubah. Kini suara teriakan dari makhluk-makhluk halus di luar menghilang secara total. Perlahan aura menekan ini mendekat dan membuat Siriz merinding.

"Ucapkan salam dan tundukkan kepala pada pimpinan tertinggi kami ...." Dirga menatap ke arah pintu. "Kei Yudistira." Dari balik kegelapan di luar kamar, Kei masuk sambil menatap Siriz.

"Yudistira?!"

Itu mengapa aku tidak merasakan aura berbahaya? Orang ini menekan aura spiritualnya. Wajar pasukan jinku musnah, orang ini adalah Sang Yudistira!

Siriz melompat keluar kaca, ia berusaha kabur. "Angkat wajahmu, Dirga Martawangsa," tutur Kei. "Jangan biarkan dia lolos." Dirga sekuat tenaga berusaha untuk bangkit, kemudian ia menghilang dari pandangan Kei dan Tama. "Tama, bawa Tomo pergi. Aku akan mengurus yang besar ini." Kei menatap makhluk hitam besar di hadapannya.

***

Siriz hendak kabur, tetapi Dirga muncul di depannya seperti hantu. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat ini."

Siriz hanya tersenyum. "Kalo hanya kau seorang, itu mudah." Ia mengarahkan tangannya ke arah Dirga, lalu dengan sangat cepat mengarahkannya ke sebuah pohon. Dirga tiba-tiba saja terlempar hingga membentur pohon.

Orang ini gila! Telekinesis?

Siriz mulai berkomat-kamit. Dari belakang muncul Tarsah dengan kondisi penuh luka.

"Apa yang terjadi?" tanya Siriz.

"Jika anda tidak memanggil saya, tentu saja Yama sudah membunuh saya. Dia terlalu kuat."

"Yah, kesampingkan itu. Aku ingin kau membunuh orang itu." Siriz menunjuk Dirga.

"Kau tak ingin menjadikan arwahnya sebagai stok makanan? Memakan jiwa manusia bisa membuatmu terus awet muda, Siriz."

"Setelah ini kita bunuh semua arwah yang sudah kita tangkap dan segera pergi dari Jogja. Di sini sudah tidak aman," balas Siriz.

Dirga terdiam menatap Tarsah, ini kali keduanya melihat malaikat maut. Rasanya ia ingin lari, tetapi kakinya menolak untuk bergerak.

Ketika Siriz sedang tertawa, Tama muncul dan merebut kalung milik Siriz. Kemudian pria itu berlari masuk ke dalam rumah kembali membawa kalung yang ia ambil. Siriz terbelalak dan langsung mengejar Tama. Sepertinya kalung itu adalah benda yang sangat berarti untuknya.

Siriz mengeluarkan boneka dan paku dari dalam kantung gaunnya. "Aku sudah pernah mengambil DNA mu!" Ia menusuk kaki boneka itu sehingga membuat Tama terbelalak. Meskipun merasa sakit, Tama terus berlari menerobos batasannya.

Siriz menusuk-nusuk boneka itu hingga membuat Tama memuntahkan darah dari mulutnya. Namun, ia masih berlari. Namun, tak berlangsung lama, akhirnya Tama tumbang, ia terjatuh dan tak mampu bergerak lagi.

"Tamat sudah riwayatmu!" Dengan pakunya, Siriz langsung mengincar Tama.

Darah mengalir ke lantai, Uchul melindungi Tama yang terkapar tak berdaya.

"Uchul ...," ucap Tama lirih menatap Uchul.

"Kekeke berikan kalung itu." Tama memberikan kalung itu pada Uchul.

"Setiap dukun memiliki wadah khodam untuk mengikat suatu makhluk. Kalung ini adalah pengikat Tarsah, kan?" Uchul mengambil korek di kantong celananya lalu membakar kalung itu.

Di sisi lain Tarsah semakin mendekat ke arah Dirga yang mencoba kabur dari maut, hingga Dirga tak mampu lagi berlari.

"Percuma, tidak akan ada yang bisa lolos dari maut," ucap Tarsah.

"Kecuali jika memang bukan waktunya mati," balas Kei yang muncul dengan selimut birunya. "Aku akan menghukummu."

"Emangnya bisa?" bisik Dirga.

"Enggak bisa, aku cuma nakut-nakutin aja," jawab Kei.

Dirga memasang wajah datar. "Lah terus gimana?"

"Enggak tau."

***

Siriz tersenyum menatap kobaran api. "Seharusnya aku tidak perlu panik. Kalian tidak akan bisa menghancurkan benda itu."

"Di mana Kei?"

"Nolongin Dirga," jawab Uchul.

"Chul, bawa benda itu pergi. Cari cara buat ngancurin benda itu. Jangan khawatirin gua, dia pasti akan ngejar lu."

"Yeh, numbalin gua dong?"

"Kalo gua bisa lari, gua yang akan lari."

Uchul tersenyum mendengar itu. Ia menatap Tama dengan senyum yang berbeda dari biasanya. "Oke." Aura disekitar Uchul berubah. "Ajna ...." Ia menghilang dari pandangan Tama dan Siriz.

"Ke mana lagi bedebah itu?!" Siriz menatap darah yang bercucuran di lantai. Ia tersenyum. "Kau terluka, ya? Tunggu aku sebentar, aku akan menjemputmu." Ia berlari mengikuti jejak darah Uchul.

Uchul bersembunyi di area dapur. Ia mendengar langkah kaki semakin mendekat.

"Aku tau kau di sini."

Jantungnya semakin cepat berdetak. Uchul menatap benda di tangannya. Andis harus selamat!

Ia menggenggam benda itu sambil mengingat kilas balik ketika ia masih kecil.

Zahran Utomo, pria kecil itu adalah seorang penyakitan. Rambutnya berwarna abu-abu dengan tubuh yang sangat kurus. Matanya berbeda warna antara yang kanan dan kiri. Fisiknya terlalu lemah, bahkan berjalan kaki pun ia lelah. Wujudnya tak sempurna seperti layaknya manusia.

Anak-anak lain tak ada yang mau bermain dengannya. Ia sering muncul di pinggir taman menatap anak-anak lain yang sedang bermain.

"Monster!" Begitulah teriakan anak-anak lain saat menatap wujud Tomo. Mereka menimpuki anak aneh itu dengan batu dan pasir.

"Ayah ...."

"Ibu ...."

"Tolong sembunyikan aku dari dunia luar yang sangat aku inginkan!"

Rasanya, mati adalah solusi yang terlintas di kepala Tomo waktu itu.

"Hah? Kenapa harus bersembunyi?"

Suara itu membuat Tomo yang sedang berlindung dari timpukan anak-anak lain membuka matanya. Andis, anak itu beridiri melindungi Tomo dari hujan batu dan pasir.

"Ayo kita main." Andis tersenyum dan menjulurkan tangannya pada Tomo.

"Kamu enggak takut sama aku?"

"Kamu bukan orang jahat, kan? Kalo bukan, kenapa harus takut?"

Tomo menyambut uluran tangan itu dan perlahan membuka lembaran baru dalam hidupnya.

Uchul menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ia menggenggam erat kalung milik Siriz dan keluar dari tempat persembunyiannya. Matanya dan Siriz bertemu.

"Andis enggak boleh mati," tutur Uchul dengan sorot mata yang tajam. Ia mengambil pisau dan berjalan menuju Siriz.

Siriz hanya tersenyum, ia melakukan hal yang sempat ia lakukan pada Dirga dan membuat Uchul terlempar ke dinding.

"Apa hanya sampai di sini?"

"Hey nenek peyot."

Siriz menoleh ke arah belakang.

"Di mana Andis?"

Matanya terbelalak mendapati sosok pria bertopi beani coklat sedang berdiri menatapnya. Matanya berwarna hitam dengan iris berwarna putih.

"Andis ...." Uchul menatap Andis yang muncul mendadak.

"Bagaimana caramu lolos dari belenggu Tarsah?" tanya Siriz heran.

"Oh, kau salah paham. Aku bukan orang ini, tapi eksistensi lain yang mendiami tubuhnya." Andis menyeringai menatap Siriz.

Siriz merinding, ia mencoba menyerang wujud Andis dengan telekinesisnya, tetapi tubuh itu tidak bergerak seikit pun.

"Andis!" teriak Uchul sambil melempar kalung milik Siriz. "Ancurin benda itu!"

"Seingatku kau itu yang paling biadab, kenapa sekarang malah memohon? Tapi tak apa, jika Andis mati, aku tidak akan bisa menggunakan tubuh ini lebih lama lagi." Andis menempelkan tangan kanannya ke pundak. "Segoro geni." Ia menarik sebuah cambuk api keluar dari raganya.

Segoro geni?! Pusaka milik Raja Banaspati?

Andis mengibaskan cambuknya dan menhancurkan kalung itu.

"Tidaaak!"

Sementara itu Dirga dan Kei bingung. Sosok Tarsah tiba-tiba saja menghilang dari pandangan mereka.

"Ke mana dia?" tanya Dirga.

"Enggak tau." Kei menghela napas. Ia menggelar selimutnya di tanah, lalu berbaring dan menggulung dirinya dengan selimut itu.

Ketika Kei hendak tertidur, di sisi lain Siriz terlihat panik menatap Tarsah. Belenggu tak kasat mata di lehernya putus.

"Gara-gara kau, aku berkihanat pada Tuan Suratma," ucap Tarsah.

"Gara-gara kau, aku berkelahi dengan temanku, Yama!"

"Gara-gara kau, aku menjadi buronan Alam Suratma sekarang!"

"Tarsah ... ampuni aku." Siriz berlutut menatap Tarsah. Semua orang bingung melihatnya, pasalnya, hanya Siriz yang dapat melihat Tarsah di hadapannya.

"Mempermainkan kematian adalah dosa besar. Bahkan jiwamu terlalu kotor untuk masuk ke neraka." Tarsah mengluarkan roh Siriz dan membawanya pergi.

Sosok Andis terjatuh begitu saja. Dengan terseok-seok, Uchul berjalan ke arah Andis. "Oi, Dis!" Namun, kakinya terlalu lemah untuk melangkah. Uchul kehilangan keseimbangan.

"Dasar lemah." Andis tersenyum sambil merangkulnya sehingga Uchul tak terjatuh.

"Kekeke." Uchul menyeringai. "Selamat pulang."

.

.

.

Kasus ditutup. Perlahan jasad Siriz berubah menjadi wanita tua yang penuh dengan keriput. Diketahui selama ini Siriz menggunakan Tarsah untuk memanen jiwa-jiwa manusia dan mengkonsumsinya entah bagaimana caranya. Hal itu ia lakukan untuk menambah kesaktiannya dan juga membuat dirinya tetap awet muda.

Semua orang yang koma akhirnya kembali tersadar dalam waktu serempak. Mereka semua tak ingat apa yang terjadi, termasuk Tirta, Andis, dan Ajay.

"Berarti yang waktu di rumah sakit ngejawab papan ouija itu siapa?" tanya Dirga.

"Gue," jawab Tirta. "Tapi tiba-tiba orang itu muncul dan gua dibawa. Nah, abis itu gua enggak inget apa-apa lagi."

"Jadi lu semua enggak inget apa-apa pas diseret sama Tarsah?" tanya Uchul.

Andis, Ajay, dan Tirta menggeleng.

"Selamat atas kepulangan kalian bertiga," ucap Kei dengan mata sayu dan tiba-tiba saja tertidur.

"Jangan berisik! Kasian Tama enggak bisa istirahat." Aqilla menatap mereka semua yang berkumpul di kamar Tama.

Tama yang paling parah menerima dampak dari Siriz. Beberapa organ dalamnya terluka dan banyak otot yang sobek. Butuh waktu cukup lama untuknya memulihkan diri.

Ilmu hitam itu benar adanya. Penyihir itu bukan hanya ada dalam dongeng. Mereka nyata! Mungkin cerita ini fiktif, tetapi beberapa konten dan referensinya nyata. So, terus berdoa dan bentengi diri dengan agama. Sebaik-baiknya pelindung adalah Allah Subhanahu Aa Ta'ala.

See you on the next spin off~ :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top