Kelam Malam

Uchul menyalakan flash ponselnya ketika masuk ke dalam rumah itu. Benar-benar rumah terbengkalai. "Oi, oi, oi ...." Uchul menatap dinding rumah tersebut yang dipenuhi coretan bertuliskan Hasrat. Entah ada berapa ratus coretan itu di tiap sudut rumah ini. Uchul menyentuh salah satu coretan itu, kini jari telunjuknya dibasahi oleh darah.

Darah ini masih baru, batin Uchul.

Ia mengendus aroma yang tak asing. Bau mesiu ....

Uchul terbalalak. Ia berlari menerjang Tama sambil membuka penutup matanya. Sebuah ledakan besar terjadi. Rumah itu kini terang benderang dipenuhi oleh kobaran api.

***

Kini Tama dan Uchul terjatuh di tanah. Ketika Tama membuka matanya, ia berada di tempat yang sepi dan sunyi, bahkan suara angin pun tak ada, hal itu membuatnya tak nyaman. Langit merah menghiasi tempat itu, diiringi kabut mistis berbau anyir menyengat.

Uchul bangit dengan mata kiri berdarah. "Suratma total," ucap Uchul. "Keadaan di mana gua berpindah ke Alam Suratma membawa tubuh fisik gua. Kalo kita telat sedikit aja, kita ke udah jadi warga sini."

Tama memicingkan matanya seolah tak mengerti.

"Tepat beberapa detik yang lalu, rumah tadi meledak. Kita dijebak."

"Kita enggak benar-benar djebak," ucap Tama. "Lebih tepatnya, wanita penyihir ini sepertinya punya prekognision."

Prekognision sendiri merupakan kemampuan yang dimiliki oleh indigo seperti Dirga. Orang-orang ini mampu memprediksi masa depan.

"Wajar kalo dia lihai berjudi," timpal Uchul. "Tapi prekognision bukan jaminan buat menang. Itu cuma prediksi, bisa meleset."

Uchul mendekat ke arah Tama, ia menyuruh Tama untuk menyentuh darah di jari telunjuknya. Tama sendiri merupakan seorang psikometri. Ia mampu melihat masa lalu objek yang ia sentuh dengan tangan telanjang, makanya selama ini Tama selalu mengenakan sarung tangan hitam untuk menutup kemampuannya.

Sekelibat memori terpampang dalam benak Tama. Benar, wanita yang dipanggil Risa itu menggunakan rumah barusan sebagai tempat ritual satanis. Tak banyak yang dapat ia lihat, tapi setidaknya ia tahu bahwa Risa adalah pengguna ilmu hitam.

"Namanya bukan Risa, itu cuma samaran," ucap Tama.

"Siapa nama aslinya?"

"Siriz," jawab Tama. "Siriz Angkhara."

***

Jakarta, 2016

Uchul kembali ke Jakarta, mengingat ia tak punya banyak waktu dan juga tak memiliki petunjuk tentang Siriz. Sementara Tirta masih di Jogja untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Kamu yakin, namanya Siriz?" tanya Inspektur Dendi.

"Yakin. Tama yang bilang berdasarkan psikometrinya."

Dendi, pria itu masih ingat betul alasan ia membentuk unit Dharma ini. Seorang pengguna ilmu hitam membantai orang-orang di sekitarnya, termasuk kekasihnya. Dan nama penyihir itu adalah Siriz.

"Misi ini adalah prioritas," ucap Dendi. "Saya mau tuntas."

"Enggak perlu diperintah. Saya pasti tuntaskan kasus ini," jawab Uchul. Kini mereka bertiga bersama Septa berjalan masuk ke lapas tersembunyi, di mana para pengguna ilmu hitam yang selama ini tertangkap dikurung.

Uchul, Septa, dan Inspekutr berdiri di depan sel yang berisi seorang wanita berambut panjang. Wanita itu sedang menyisir rambutnya membelakangi mereka sambil bersinden. Menyadari keberadaan mereka semua, wanita itu menghentikan sindenya, lalu menoleh.

"Ronggeng, kami akan mengajukan beberapa pertanyaan." Septa membawa Ronggeng ke dalam ruang interogasi.

Ronggeng, salah satu anggota Peti Hitam itu tersenyum menatap Septa yang duduk berhadapan dengannya. "Aku membayangkan bisa menguliti wajahmu," ucapnya pada Septa. Ronggeng adalah perias mayat. Ia kerap menguliti mayat dan menjadikannya topeng. Kemampuannya adalah mereplika orang mati. Dalam beberapa kasus, Wengi sering melakukan penyamaran menjadi orang lain berkat kemampuan Ronggeng.

Ronggeng tak bisa menoleh. Siapa pun yang duduk di kursi itu akan diarahkan untuk menatap Septa. "Pertanyaan pertama," ucap Septa. "Pernah dengar nama Siriz Angkhara?"

"Siriz." Ronggeng terkekeh.

"Robek mulutnya kalo dia berusaha bohong!" teriak Uchul dari luar ruangan. Memang hanya ada Septa dan Ronggeng di dalam sana, sementara Dendi dan Uchul berada di luar sambil mendengar percakapan mereka melalui audio. Namun, Septa dapat berkomunikasi dengan Dendi dan Uchul melalui sebuah earphone.

"Siriz adalah legenda hidup para pengguna ilmu hitam. Konon katanya, dia adalah salah satu anggota Satu Darah."

"Satu Darah? Apa itu?" tanya Septa.

"Seperti Peti Hitam, mereka adalah kelompok kriminal yang cukup tersohor di dunia gelap. Namun, siapa pun orang di dalam kelompok itu masih menjadi misteri, pasalnya mereka tak pernah mengungkap identitas mereka, bahkan pada satu sama lainnya."

"Lalu Siriz?" tanya Septa.

"Itu hanyalah sebuah rumor," jawab Ronggeng. "Siriz adalah penyihir yang sakti! Kemungkinan dia adalah salah satu dari Satu Darah."

Septa menghela napas. "Hanya sebuah spekulasi, ya?"

"Satu Darah merupakan kelompok yang sangat disegani. Bahkan Mikail memberikan mandat pada kami untuk jangan pernah terlibat dengan kelompok itu. Bahkan Mikail membungkam Emil dan Bayu yang pada saat itu brutal membunuh apa pun."

"Apa ketua kalian takut pada Satu Darah itu?"

"Bukan masalah takut," jawab Ronggeng. "Masalahnya kalian tak tahu apa yang kalian hadapi. Satu Darah itu bisa ada di mana pun, tanpa aroma, tanpa jejak. Mereka bisa saja adalah tetanggamu, bisa saja keluargamu. Mereka bisa membunuhmu kapan saja, sebelum kau menyadari keberadaan mereka, kau akan kalah."

***

Yogyakarta.

Siang ini Tirta sibuk mencari makna di balik kata hasrat, yang disebutkan oleh Uchul dalam ekspedisinya bersama Tama. Tidak ada satu pun mantra sihir atau petunjuk tentang itu. Ketika ia sedang melamun menatap tulisan hasrat di kertas coret-coretannya, Tirta menyadari satu hal. "Ah, ini, kan ...."

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, Tirta yang baru saja menemukan petunjuk langsung menoleh ke arah pintu. Dilihatnya seorang wanita cantik. "Cari siapa, ya?" Tak ada siapa pun di dalam kafe selain Tirta, mengingat semua orang sedang kuliah.

"Cari pria bertopi dan yang satunya bersarung tangan hitam," ucap wanita itu.

"Oh, Andis sama Tama?"

Wanita itu mendekat dan duduk di sebelah Tirta. "Iya, aku kurang hapal nama mereka." Senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Ada perlu apa, ya? Biar nanti saya sampaikan."

"Sampaikan?" Wanita itu memicingkan matanya.

"Iya, kalo nunggu sih bisa aja, tapi masih lama banget."

"Pria yang pake sarung tangan masih hidup?" tanya wanita itu heran.

Tirta tiba-tiba mengingat kilas balik cerita dari Dirga dan Uchul.

"Seorang wanita mengajak Andis untuk berjudi. Tama berhasil memenangkan permainan itu, dan setelah itu Andis koma," ucap Dirga ketika Tirta baru saja tiba di Jogja.

"Kami berhasil mengendus markas penyihir itu, tapi dia memasang perangkap dan kami hampir menjadi orang goreng," ucap Uchul sekembalinya dari ledakan maut bersama Tama.

"Namanya adalah ...."

Tirta meneguk saliva menatap wanita itu. "Siriz."

Siriz tersenyum menatap Tirta.

***

Siang ini Dirga dan Ajay baru saja tiba di depan Mantra. Karena satu motor dipinjamkan pada Tirta untuk kebutuhan kerjanya, Dirga jadi harus menumpang pada Ajay untuk sementara waktu, mengingat mereka satu kampus dan fakultas mereka cukup dekat. Namun, begitu masuk ke Mantra, Dirga dan Ajay terbelalak mendapati dinding-dinding Mantra Coffee dipenuhi coretan bertuliskan 'hasrat' dengan darah.

"Jay, ambil konci mobil, cepetan!" teriak Dirga ketika menatap tubuh Tirta yang tergeletak persis seperti Andis beberapa hari lalu dengan kedua matanya.

Ajay berlari mengambil kunci mobil, sementara Dirga menatap Tirta dan menggendognya menuju mobil.

"Bangsat!" teriaknya ketika melihat kembarannya menjadi korban. Ajay turun membawa kunci mobil. Kini mereka membawa Tirta menuju rumah sakit terdekat.

***

"Gimana keadaan Tirta?" tanya Tama yang baru saja tiba bersama pacarnya, Aqilla.

Dirga hanya menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Ia memukul tembok yang berada di sampingnya. "Orang ini benar-benar harus dihajar," ucap Dirga penuh dengan amarah.

Tiba-tiba dering ponsel Tama berbunyi, itu adalah Uchul. Tama segera mengangkatnya.

"Gua udah denger apa yang terjadi sama Tirta. Sore ini gua sampe di Jogja lagi."

"Chul ... sebenernya siapa yang kita hadapi? Siapa wanita bernama Siriz ini?"

"Entah." Hanya itu yang terlontar dari mulut Uchul. Mereka terdiam beberapa saat. "Tapi gua punya spekulasi."

"Apa?"

"Mempermainkan kematian seperti menahan nyawa dan mencabutnya cuma bisa dilakukan malaikat maut. Ini cuma spekulasi gua, bahwa yang kita hadapi ini malaikat maut. Siriz, si berengsek itu berbeda dari penyihir lain yang bersekutu dengan Iblis. Orang ini bersekutu dengan kematian."

Uchul mematikan panggilannya. "Hanya ada satu cara untuk memastikannya," ucap Uchul sambil membuka penutup matanya.

***

Di sisi lain Ajay tidak bisa hanya berdiam diri. Dirinya membeli papan ouija untuk berkomunikasi dengan roh.

"Lu yakin, cara ini akan berhasil?" tanya Dirga.

"Kita enggak tau kalo enggak dicoba."

"Aku tunggu di luar aja, ya. Takut." Aqilla berjalan keluar ruangan, meninggalkan tiga sekawan di dalam ruangan Andis.

Kini Tama, Ajay, dan Dirga menempelkan jarinya pada koin yang sudah disediakan. Ada lilin-lilin yang menyala di antara mereka.

"Andis, Tirta, jika salah satu dari kalian ada di sini, berikan kami jawaban," tutur Ajay. Sebenarnya mereka bertiga adalah pengecut jika itu berkaitan dengan hal ghaib, tetapi hal ini tidak ada salahnya untuk dicoba, mengingat mereka sudah kehilangan dua orang.

Perlahan koin mulai bergeser ke tulisan 'yes'. Mereka bertiga saling bertatapan. "Bukan lo kan yang gerakin?" tanya Ajay meneguk salivanya. Tama hanya menggeleng.

"Apa yang sedang kita hadapi?" tanya Tama. Hal itu membuat Ajay dan Dirga menatap pria yang biasanya hanya berdiam diri itu.

Koin kembali berjalan menuju huruf 'M'. "M ... A ... U ... T." Mereka bertiga terbelalak.

"Apa maksudnya maut?" celetuk Dirga. Kini koin bergerak menuju huruf T.

"T ... A ... R ... S ... A ... H."

"Tarsah?" Dirga dan yang lainnya semakin pusing.

"Apa maksudnya--tarsah?" timpal Dirga, tetapi koin tak bergerak. Alih-alih koin, malah vas bunga di samping jendela yang jatuh ke lantai dan pecah, membuat mereka bertiga terkejut.

"Biar gua periksa." Ajay memejamkan matanya. Ia menarik napas dari hidung dan membuangnya melalui mulut. Fokusnya tinggi, hingga membuat aura di sekitarnya menjadi tenang. Perlahan ia membuka matanya, roh dan raganya mulai terpisah ketika Ajay beranjak dari duduknya.

Proyeksi astral, adalah keadaan di mana roh dan raga berpisah. Ada sebuah tali bernama tali perak yang menghubungkan antara roh dan raga, hal ini menandakan bahwa orang yang melakukan proyeksi astral masih terhubung dengan raga fisiknya, ia belum mati.

Namun, tak seperti biasanya. Raga Ajay yang hanya duduk saja, kini terjatuh hingga kepalanya membentur lantai cukup keras.

"Jay?" Dirga mencoba membangunkan Ajay, tetapi tak ada reaksi. "Oi, Jay!"

Tama menatap sekitarnya. Ketika sedang mengamati seisi ruangan, tiba-tiba papan ouija milik Ajay terlempar hingga membentur dinding. Lilin-lilin yang menyala serentak padam.

"Gua enggak tau apa yang terjadi, tapi Ajay pasti dalam masalah," lanjut Dirga. "Tinggal kita berdua sekarang. Jangan gegabah, Tam."

***

Malam semakin larut. Ketika tiba di Mantra, Uchul sudah berada di dalam. Jangan ditanya bagaimana caranya ia bisa masuk ke sana, Uchul memang ajaib.

"Gimana keadaan Tirta?" tanya Uchul.

"Andis, Ajay, Tirta, mereka semua koma," jawab Dirga.

"Ajay?" Uchul memicingkan matanya.

"Kita coba berkomunikasi sama roh, siapa tau Tirta di sana, tapi karena ada sebuah kejadian aneh, Ajay coba meriksa pake tubuh astral. Eh, enggak balik-balik."

"Gua punya rencana, tapi ini pisau bermata dua. Kalo kita gagal, kita semua mati, tapi ini satu-satunya cara. Waktu terus bergulir, Andis orang pertama yang kematiannya paling deket. Kurang dari seminggu waktu kita untuk mecahin sekaligus ngeringkus si berengsek Siriz itu."

"Apa rencananya?"

"Tam, gua butuh bantuan lu," jawab Uchul menatap Tama. "Ada sebuah kafe di Alam Suratma, di sana ada seorang penjudi ulung. Kita harus bisa ngebungkam dia. Itu satu-satunya cara."

"Karma?" tanya Dirga yang pernah sekali dibawa oleh Uchul ke Karma Cafe, ketika ia ingin menutup mata batinnya dan mengusir Tumenggung dari tubuhnya.

"Ya, tempat itu." Uchul membuka penutup matanya. "Dan tugas buat lu, cari lokasi yang menurut lu potensial sebagai tempat ritual. Inget, kita tinggal bertiga, hati-hati dalam setiap melakukan pergerakan. Lu akan bergantung sama Tumenggung untuk menjaga diri lu biar enggak terdeteksi."

Dirga mencengkeram topeng Tumenggung di tangan kanannya. "Kalo gitu ...." Ia mengenakan topeng itu. "Mulai bergerak." Begitu Dirga memberikan instruksi, Uchul dan Tama menghilang dari pandangannya.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top