6 : Tamat

Tirta dan Dirga melanjutkan perjalanan turun mereka menuju Pasar Dieng. Namun, semakin dalam mereka memasuki kawasan tersebut, semakin suram dan mencekam suasana di sekitar mereka. Cahaya bulan purnama yang tadi begitu terang, seakan-akan meredup dan mendapati dirinya terhalang oleh awan hitam yang tidak biasa.

Mereka terus berjalan hinga tiba di sebuah pertigaan jalan yang aneh. Di depan mereka terbentang sebuah jalan buntu, kecuali satu jalur kecil yang memasuki semak belukar. Jalur itu terlihat seperti satu-satunya pilihan mereka, meskipun tampak tidak ramah.

"Perasaan tadi kagak begini jalurnyeh," ucap Dirga.

Tirta menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah Dirga. "Nah, sekarang apa rencananya?"

Dirga merenung sejenak, lalu berkata, "Kayaknya kita dituntun buat lewat itu jalur, tapi kita harus waspada, Tir. Gua punya firasat buruk tentang apa yang ada di depan."

Mereka berdua memasuki jalur kecil yang semakin memendam mereka ke dalam lebatnya semak belukar. Suara-suara aneh mulai menggema di sekitar mereka, dan bayangan-bayangan tak berwujud muncul dari dalam semak tersebut menciptakan suara kasak-kusuk yang cukup membuat was-was. Terdengar bisikan-bisikan dengan bahasa yang tak jelas, atmosfer di sekitar Dirga dan Tirta semakin mencekam.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di depan pasar yang gelap gulita. Pasar Dieng ini tak terlihat seperti beberapa saat lalu ketika mereka berjalan naik. Kali ini tak ada tanah bebatuan, melainkan banyak tenda-tenda hitam dengan hiasan-hiasan menyeramkan menghiasi setiap sudutnya, dan asap tebal mengambang di udara.

Area ini sangat ramai dan terlihat orang-orang sedang bertransaksi seperti mereka sedang berada di pasar.

Dirga dan Tirta saling berpandangan ketika mereka melihat perubahan drastis di Pasar Dieng yang seharusnya sepi dan sunyi kini tampak hidup, meskipun dengan aura yang sangat berbeda dan agak ... menyeramkan.

"Gimana nih, Bro?" tanya Tirta.

"Kagak tau gua," jawab Dirga.

Mereka berdua memutuskan untuk melangkah dengan hati-hati, mencoba tidak menarik perhatian siapa pun di sekitarnya. Orang-orang di pasar ini sepertinya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tapi ada sesuatu yang aneh dengan mereka. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dikenali oleh Dirga dan Tirta, dan ekspresi mereka terasa datar dan kosong.

"Coba tanya apaan kek, Tir."

"Tanya nih?"

Dirga mengangguk sembari menelan ludah. Renacanya agak gila dengan menumbalka kembarannya sendiri.

Tirta mendekati salah satu orang yang sedang duduk di depan tenda hitam. Sejenak ia mengatur napas agar tidak terkesan grogi, lalu memasang wajah datar dan tatapan kosong agar di kira salah satu dari mereka.

"Permisi, kami lagi nyari temen-temen kami, ada yang liat enggak? Satu orang pake topi, satu orang pake selimut, yang satu pake sarung tangan item, ada juga yang pake penutup mata satu, sama satu lagi rambutnya tipis di samping?"

Orang itu menatap Tirta dengan pandangan kosong, tanpa memberikan respon. Seakan-akan ia tidak bisa mendengar atau memahami kata-kata yang Tirta lontarkan.

Tirta berbalik, tetapi tiba-tiba sebuah wajah tepat berada di hadapannya, membuat pemuda itu terkejut dan terjatuh di tanah.

"Nemu jawaban?" tanya Dirga.

"Wah, bener-bener lu ya!"

"Lah, lu yang kaget sendiri. Ya udah yuk ah, lanjut." Dirga merangkul Tirta dan berjalan semakin dalam ke pasar.

"Tirta!" teriak Dirga dari arah belakang. "Mau ke mana lu?!"

Tirta merinding setengah mati. Terendus aroma busuk dari orang di sebelahnya. Ia yakin yang barusan memanggil itu adalah suara Dirga. Namun, jika itu benar Dirga, lantas ... siapa orang di sebelahnya? Ia pun memberanikan diri untuk menoleh.

"Bangsat!" Tirta jatuh terpingkal-pingkal ketika mendapati sosok manusia berwajah pucat sedang menyeringai padanya.

"Ayo kita pergi, Tirta," ucapnya. 

Seketika itu tubuh Tirta terseret semakin dalam ke pasar setan. "DIRGAAA!"

Saat sedang ditarik, tiba-tiba Tirta berhenti bergerak. Sosok yang menariknya menoleh dan mendapati Dirga yang memegangi kaki Tirta. Wajah pria itu sudah mengenakan topeng Tumengung.

"Cukup, jangan ada lagi yang lu ambil. Gua udah cukup kehilangan selama ini," tutur Dirga.

Ia berusaha memberanikan diri untuk menolong Tirta di antara kerumunan makhluk halus di Pasar Setan.

Setan yang menarik Tirta menunjuk ke arah Dirga. Ekspresi datarnya mendadak gusar ketika melihat topeng yang Dirga kenakan. "Mertowongso, kowe kudu mati!"

Dirga pun tak tahu kenapa makhluk itu tahu nama belakangnya meskipun huruf vokalnya berubah, tetapi muncul satu spekulasi dalam pikirannya, bahwa mungkin alasan perjalanan mereka diganggu adalah karena darahnya sebagai Martawangsa. Mungkin ada cerita kelam di masa lalu, yang mana hal tersebut berkaitan dengan leluhurnya dan Gunung Lawu.

Semua makhluk di Pasar Setan menoleh serempak ke arah Dirga, persis seperti para pendaki ghaib di Gupak Menjangan.

Dirga merebut Tirta dan kabur dengan kemampuan Tumenggung. Namun, ia dikejar oleh rombongan makhluk penghuni Pasar Setan.

Tirta berada dalam gendongan Dirga. Mereka berpelukan dengan posisi Tirta menghadap belakang dan kakinya melingkar di tubuh Dirga seperti seekor anak koala dan induknya.

"Kita dikejar," ucap Tirta.

"Iya, gua tau, makanya gua kabur!"

Saking cepatnya Dirga melesat, tak sengaja ia menabrak sesuatu hingga terpental dan jatuh. Ia menabrak pendaki lain yang mana juga ikut terjatuh akibat ulahnya.

"Sorry," ucap Dirga di balik topeng Tumenggung.

Namun, rupanya kedua kembar itu menabrak Andis. Sejenak mereka merasa tenang karena berhasil bertemu dengan ketiga rekannya.

"Woy Dir, Tir, gimana caranya kalian bisa ke sini?" tanya Ajay.

"Entah," jawab Tirta. "Yang jelas kita enggak cuma berdua."

Seketika itu Ajay dan Andis menatap ke arah belakang. Mereka terbelalak ketika melihat rombongan makhluk halus yang melesat ke arah mereka. Kini Dirga tak mungkin membawa semuanya secara bersamaan.

"Woy, lu pada dateng-dateng bawa bencana dah!" umpat Andis.

"Terus gimana ini sekarang?!" tanya Ajay yang gemetar. Ia sudah tak sanggup lagi berdiri dan kini berlutut di tanah dengan air mata yang tumpah.

"Dir, lu enggak bisa bawa kita semua?" tanya Tirta.

Dirga menggeleng sebagai jawaban.

Mereka berempat merapat dan saling bergandengan tangan. "Kalo ini saat terakhir kita hidup, gua minta maaf kalo ada salah," ucap Andis.

"Iya, kita maafin," balas yang lain.

Jarak para makhluk halus itu semakin dekat. Keempat orang itu memejamkan mata dengan pasrah. Hanya saja, di saat mata mereka terpejam, di sisi lain mata seseorang yang tadinya terpejam malah terbuka.

Ting!

Suara gemerincing lonceng dan benda yang dihentakan ke tanah membuat mereka berempat kembali membuka mata.

Jubah biru berkibar di hadapan mereka. Seorang pemuda dengan sebilah tombak bermata tiga, dengan urat besi aji meteor  legam berwarna hitam dengan motif bersisik, dihiasi tujuh buah batu berwarna merah delima berdiri menghadap pasukan arwah yang hampir melumat mereka. Ia berdiri gagah dengan mata birunya.

"Ojo melu-melu, Yudistira!" teriak arwah yang melesat paling depan. "Era kowe wis rampung!"

(Jangan ikut campur, Yudistira! Era mu sudah berakhir!)

"Ngomong apa sih setan Jawa?" Kei memutar tombaknya di atas kepala, hingga pada satu titik ia mengambil ancang-ancang untuk menebas. "Sadari posisi mu, makhluk rendahan." Ditebasnya tombak itu membelah udara. "Tombak tiga dunia, Panatagama." Udara yang ditebasnya seolah membelah dimensi dan membawa mereka berlima kembali ke dunia originalnya.

Gerombolan makhluk halus tersebut menghilang dari pandangan mereka semua. Dirga, Tirta, Ajay, dan Andis pun terduduk lemas sambil menghela napas lega.

"Jangan santai, mereka masih ada di sini," tutur Kei. Matanya kembali melemah. "Kalo ada apa-apa bangunin gua aja. Tau, kan? Caranya bangunin gua?" Belum juga dijawab, ia tumbang di tanah sambil mendengkur.

Dirga membuka topengnya, dan menyimpannya di dalam kantung jaket jeans yang ia kenakan.

"Dir, lu berdarah," ucap Andis.

Di tengah suasana akward itu, Dirga mengeluarkan darah dari hidungnya. Ia menyeka darah itu, tetapi semakin lama kepalanya terasa semakin pusing.

"Lu enggak apa-apa?" tanya Tirta.

Sekelibat visualisasi masa depan terpampang dalam pikiran Dirga bersamaan dengan dengung misterius.

Dirga melihat mereka berlima menangis di tengah kerumunan orang. Tepat di hadapan mereka ada dua manusia yang tergeletak tertutup oleh kain putih. Dalam pikiran itu, Dirga membuka kain-kain tersebut dan terbelalak mendapati jenazah Tama dan Tomo.

Kini pengelihatan itu hilang. Dirga menatap rekan-rekannya dengan napas terengah-engah. "Cuy, kita harus cari Tama sama Tomo sekarang juga!"

"Iya, tapi di mana? Gunung ini luas. Gua aja kejebak sama Ajay di tempat ini sampe stres tadi," balas Andis.

"Kalo di atas mereka enggak ada, artinya mereka di bawah," ucap Tirta yang tampak sedang berpikir dengan beberapa potongan puzzle yang ia temukan di Hargo Dalem. "Pertama-tama kita balik ke Gupak Menjangan lagi dan cari mereka di sana. Kalo enggak ketemu, kita turun lagi ke Pos Lima. How?"

"Better than no plan," balas Dirga. "Oke, move!"

Kali ini Tirta yang menggendong Kei, sementara Ajay membawa tas yang Tirta bawa. Andis butuh waktu untuk merilekskan bahunya. Mereka berjalan kembali menuju Gupak Menjangan.

***

Di sisi lain Tama gemetar saat pasukan siluman kera itu mendekat perlahan ke arah mereka. Rasanya ia ingin kabur, tetapi tak mau meninggalkan Tomo sendirian.

Tomo merasa menjadi beban dalam perjalanan ini, ia merasa bersalah dan menutup matanya diikuti tetesan air dari sela-sela matanya.

"Hey, lu bener ternyata," ucap Tomo.

Tama menatap ke arahnya. "Tentang?"

"Tentang gua yang enggak berguna tanpa lu. Gua cuma beban," balas Tomo.

"Lu bukan beban, Tom."

"Jadi gua mohon maafin gua," lanjut Tomo.

Tama masih menggendong Tomo dengan kaki gemetar, tetapi melihat temannya seperti itu membuatnya merasa harus jadi lebih kuat. Alhasil, Tama pun menepis ketakutannya dan berusaha terlihat kuat.

"Lu enggak punya salah apa-apa, jadi jangan minta maaf," ucap Tama.

"Maka dari itu, gua punya penawaran menarik," sahut Tomo.

Tama memicing. "Penawaran?"

"Kalo lu bantu gua kali ini, silakan gunain raga ini sepuas lu. Gua enggak akan komplain kayak bisanya dan sok jadi pahlawan yang menyalahkan kelakuan-kelakuan lu. Kita tukeran, gua yang akan jadi pasif, sementara lu yang aktif."

"Lu ngomong apa sih, Tom?" tanya Tama.

Jarak pasukan kera itu semakin dekat. Tama ingin lari, tetapi kakinya tak bisa bergerak. Toh, seandainya ia lari pun, kecepatannya pasti berkurang drastis karena membawa Tomo.

"GUA CUMA ENGGAK MAU TEMEN-TEMEN GUA TERLUKA! PLEASE, KALO LU DENGER GUA, JAWAB GUA SEKARANG JUGA! ASALKAN LU BISA JAGAIN TEMEN-TEMEN GUA, TERSERAH LU MAU NGAPAIN!" teriak Tomo.

"Tom ...."

Tiba-tiba Tama tersungkur di tanah karena didorong oleh Tomo. Pria tampan itu menoleh dan menatap Tomo yang menghentakkan kakinya yang patah ke tanah, lalu memutarnya sampai terdengar suara tulang yang bergeser.

Kreeeek!

"Tomo ...," panggil Tama lirih.

Tomo menatap Tama dengan ekspresi datarnya. "Tomo?" Ia tiba-tiba menyeringai. "Kekeke mungkin Anda salah orang, tuan tampan. Perkenalkan, nama saya adalah ... Uchul."

Aura di sekitar pemuda bermata satu itu berubah, hingga membuat pasukan kera tersebut berhenti sejenak karena tekanan yang mereka rasakan.

Pimpinan siluman kera itu berjalan tanpa anak buahnya. Ia menatap geram pada Uchul dan mengeluarkan suara auman yang keras sampai Tama menutupi telinganya disertai gemetar yang dahsyat.

Sementara uchul mengorek satu telinganya dengan jari kelingking. "Berisik orang utan Ancol."

"Sudah ku duga, itu memang kau," ucap siluman kera itu.

Uchul menyeringai. "Kekeke lama tak berjumpa bocah wanara, Kertanala."

"Kau akan membayar perbuatanmu di masa lalu!" Raja siluman kera yang marah itu melompat dengan kecepatan kilat ke arah Uchul. Tubuh besar dan otot-otot yang kuat membuatnya tampak mengerikan, terlebih taringnya yang panjang membuat lawan-lawannya bergidik ngeri.

Uchul menutup mata dan menempelkan kedua telapak tangannya. "Ajna." Indra keenamnya bangkit, cakra mata ketiganya telah terbuka.

"Tidak ada tempat untuk mu di dunia ini!" seru Kertanala.

Tiba-tiba Uchul menghilang dari pandangan Tama, menyisakan penutup mata berwarna putihnya yang tergeletak di tanah. Bahkan pasukan siluman kera pun tak mampu mengikuti pergerakan Uchul yang saat ini sedang menutup mulut Kertanala sambil menyeringai.

"Suratma Total," gumam Uchul. Ia menatap Kertanala dengan mata kiri berwarna hitam pekat dan beriris merah yang selama ini ia tutupi. 

Raja kera itu diseret paksa ke Alam Suratma, atau yang sering kita sebut dengan alam kematian. Uchul dan Kertanala menghilang dari radar dunia, tetapi beberapa saat kemudian Uchul kembali muncul seorang diri.

"Kekeke who next?"

Seketika itu, pasukan kera yang tersisa tiba-tiba menghilang dalam kabut, meninggalkan Tama dan Uchul sendirian di Gupak Menjangan.

Tama menatap temannya dengan takjub. Ia tak mampu berkata-kata seperti biasanya.

Perlahan seringai itu pudar. Uchul mengembalikan dirinya menjadi Tomo dengan senyum biasanya. "Lu enggak apa-apa, kan?" Tomo mengulurkan tangan pada Tama.

Tama menyambut tangan tersebut dan bangkit sambil memberikan jempol andalannya.

Tomo menempelkan telunjuknya di bibir. "Jangan bilang siapa-siapa, ya."

Tama pun mengangguk.

Uchul mengembalikan Tomo menjadi kepribadian dominan. Setidaknya, sebelum ia yang menjadi dominan, Uchul ingin membiarkan Tomo bersenang-senang dalam perjalan ini bersama teman-temannya, karena ke depannya ia tak tahu apa yang akan terjadi.

"Woy Tamaaa! Uchul!" teriak Andis yang berlari ke arah mereka.

Tama dan Tomo tersenyum melihat teman-temannya yang datang menjemput. Posisi mereka berdua tak jauh dari tenda.

"Dari mana aja lu pada?" tanya Tomo berpura-pura. "Gua abis nganterin Tama kencing. Pas balik udah enggak ada orang aja di tenda."

"Seharusnya kita yang nanya, kan?" balas Dirga ketika mendapati luka di tubuh Tomo dan Tama. Pakaian mereka pun kotor dan rusak. Terutama jaket Tomo yang kehilangan lengan kirinya.

"Udah pagi, ya?" Kei tiba-tiba bangun dan turun dari punggung Tirta.

"Udah malem lagi!" seru Andis.

Mata Kei membulat utuh. "Hah? Serius?"

Semua menertawakan Kei yang ling-lung setelah bangun dari hibernasinya.

Mereka tak punya waktu untuk bercerita sekarang. Setelah Tomo dan Tama diobati dengan obat-obatan yang mereka bawa, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari sisi waktu, mereka seharusnya masih mampu mengejar matahari terbit di Puncak Lawu. Di perjalanan menuju puncak barulah mereka semua bercerita perihal apa yang mereka alami malam tadi dan menertawakannya bersama.

***

Puncak Lawu, Hargo Dumilah, 2013.

Matahari terbit dengan indahnya di puncak Lawu. Angin sejuk membelai wajah mereka sambil duduk di atas batu besar, menyaksikan cahaya kuning matahari yang perlahan muncul dari balik cakrawala. Kesunyian pagi hanya dipecahkan oleh desiran angin dan cicit burung-burung kecil yang terbang beriringan di langit.

Tama, Tomo, Andis, Ajay, Kei, Dirga, dan Tirta duduk berdampingan. Mereka merasa lega karena berhasil berkumpul kembali setelah melewati malam yang sangat panjang. Pandangan mereka tertuju pada satu titik yang sama, yaitu matahari terbit yang memancarkan cahaya hangatnya menyinari puncak Gunung Lawu.

"Sumpah, ini pemandangan terbaik yang pernah gua liat sih," ucap Andis dengan penuh senyum di wajahnya.

Tirta mengangguk setuju. "Sebanding lah sama perjuangannya, bahkan lebih sih."

Tama hanya tersenyum tanpa kata. Jarang-jarang bisa melihat senyum puas pria tampan itu. Melihat senyum Tama memberikan aura positif untuk yang lainnya.

Mereka terus menikmati matahari terbit, merasa bahagia karena bisa merasakan keajaiban semesta. Pada akhirnya, persahabatan dan petualangan mereka terekam dalam ingatan dan akan menjadi harta yang paling berharga untuk di kenang nanti.

Ketujuh sahabat itu merebahkan diri menatap langit. Mereka semua perlahan terlelap karena kelelahan. Tidur mereka kali ini seirama, dengan senyum yang senada, dan dengkuran yang setempo.

"Jangan pada tidur dong, enggak seru banget," ucap Kei yang yang tiba-tiba duduk bangkit sambil menatap teman-temannya yang tertidur lelap. "Woy!"

Tamat.

https://youtu.be/u8aECTuG8WU

OST Penutup. Like Father Like Son- Sudah.

Salam dari penulis.

Aku merasa ini bukan tulisan terbaik ku, karena udah lama enggak nulis dan yaaaa ... ngerasa under performance aja.

Banyak struggle yang bikin work ini terhambat, salah satunya menumpulnya sense ku dalam menulis. Sering kali stuck dan writers block, padahal dulu nulis Mantra Series yang ratusan chapter (Classic, Nexgen, bahkan series lainnya) itu enggak mikir, dalam artian ngalir aja waktu nulis seakan jadi bagian dari kisah hidup sendiri.

Aku niat namatin ini di akhir Oktober, tapi bener-bener di ujung waktu banget banget banget banget dan kemungkinan sih publishnya November awal hehe. Karena di tanggal 31 Oktober ini aku nge-push beberapa chapter sampe langsung tamat, jadi maaf kalo terkesan maksa dan KURENG banget ketimbang spin off lainnya kayak Hasrat Sang Penyihir, atau Desa Penyembah Iblis.

Ya biar pun begitu, alhamdulillah Mantra : Ekspredisi Lawu ini kelar, dan makasih yang masih stay dan support. Semoga kalian sehat-sehat selalu, dan semoga masalah ku bisa cepet selesai biar bisa lanjutin Origin dan series lainnya.

FYI, next bakal ada spin off lagi yang udah aku rancang baik-baik. Sebetulnya ini cerita lama yang aku tarik dengan judul Hunters and Seeker. Maybe pembaca lama tau. Itu udah aku tarik lama, satu era sama Mantra Coffee Classic dan Jendral Lapangan (yang juga aku tarik). Nah, karena fix enggak akan lanjut, tapi konsepnya bagus. Aku mau mengadaptasi ke spin off Mantra, yang mana nantinya empat pillar Mantra Coffee liburan dan mereka terjebak di dalam permainan iblis. Yaaa pokoknya clue nya begitu dah.

TAPI ....

Work itu enggak akan publish di Wattpad dengan lengkap, karena setengah chapter bakal aku lock di Karya Karsa dan juga Trakteer.

WHY?

Karena udah stres juga sih, nyari kerja dan interview sana-sini, tapi enggak ada yang nyangkut. Maybe karena berpengalaman, beberapa perusahaan nolak salary yang aku minta. So, makanya lagi fokus ngembangin usaha kopi di Depok, dan mau coba jualan karya. Enggak mau main di platform yang harus tiap hari update atau daily. Makanya mau main di KK sama Trakteer biar sistemnya donasi aja. Paling satu work itu paling mahal di kisaran harga 15 ribu, itu yang paling mahal di kategori spin off. Yaaa kisaran 5-15 ribuan buat 1 cerita utuh (bukan per chapter) meskipun ya itu akumulasi dari chapter sih, tapi totalnya segituan.

Ya udah, mau revisi dulu biar cepet update. Sekian.

Sampai berjumpa lagi di lain karya. :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top