5 : Terjebak
Andis dan Ajay duduk terengah-engah di tanah bebatuan, khususnya Andis yang berlari sambil membawa beban manusia. Area di tempat ini di donimasi oleh tanah dan bebatuan dengan sedikit pepohonan.
"Lu ada aer kagak, Jay?" tanya Andis.
Ajay mengeluarkan botol kecil dari dalam kantong jaket, lalu melemparnya pada Andis. "Jangan dihajar semua, kita enggak tau medan di sini, Dis, jadi harus pinter manajemen air."
"Oke." Andis meminum sedikit, lalu menutupnya dan melemparnya kembali pada Ajay. "Makasih, Jay."
"Dis, jagain badan gua ya. Gua mau cari informasi dulu," ucap Ajay.
"Oke, Jay, aman."
Andis membawa Kei ke sebelah Ajay dan duduk di sebelah Kei. Sementara itu Ajay duduk bersila dengan fokus tinggi. Ia bermeditasi untuk melakukan astral projection atau yang akrab juga disebut rogo sukmo.
Napasnya mendadak memiliki ritme yang teratur, selaras dengan beat jantungnya. Begitu Ajay merasakan sebuah sensasi seolah sedang berputar-putar di roller coaster, ia membuka matanya perlahan dan bangkit.
Rohnya kini berpisah dari raganya yang masih duduk bermeditasi. Ada sebuah tali yang menghubungkan antara roh dan raganya, tali tersebut dinamakan tali perak.
Karena Andis bisa melihat arwah, ia pun mampu melihat wujud roh Ajay. "Hati-hati lu, Jay."
"Oke, jagain body gua ya." Ajay melayang tinggi untuk memantau area di sekitarnya.
Ajay melayang dengan ringan, tubuh rohnya tidak lagi terikat oleh batas fisik. Ia melayang semakin tinggi. Cahaya bulan purnama yang bersinar terang membantu Ajay untuk melihat dengan jelas di tengah kegelapan.
'Sekitar tiga puluh menit ke depan ada beberapa rumah warga, kayaknya itu daerah Hargo Dalem.' Batinnya. Ajay menatap lagi sekelilingnya. Ia mendapati Dirga dan Tirta yang sedang berjalan ke arah Pasar Dieng. Dengan cepat Ajay segera melesat kembali ke raganya.
Matanya terbuka perlahan. "Dirga sama Tirta lagi jalan ke sini. Jaraknya sekitar belasan menit sampe ke posisi kita," ucap Ajay.
"Ya udah, kita tunggu mereka," balas Andis. Ia tiba-tiba memicing dengan ekspresi berpikir, lalu kembali menatap Ajay. "Eh, Uchul Tama enggak ada?"
"Entah, tapi ada dua kemungkinan," jawab Ajay. "Pertama, mereka jaga tenda."
"Kedua?" tanya Andis.
"Mereka yang bikin dua kembar itu bergerak," lanjut Ajay.
"Maksudnya?"
"Sesuatu yang buruk terjadi sama mereka berdua, persis kita. Entah, cuma firasat gua aja."
Andis dan Ajay menunggu ditelan keheningan, tetapi Dirga dan Tirta tak kunjung tiba. Andis menatap jam tangan yang ia kenakan.
Samar-samar gending gamelan kembali hadir menggetarkan gendang telinga mereka. Sontak Andis dan Ajay saling bertatapan.
"Dis, lanjut deh, perasaan gua enggak enak. Kita tunggu mereka di Hargo Dalem aja," ucap Ajay.
Andis mengangguk dan segera bangkit mengangkat Kei kembali ke punggungnya dibantu Ajay. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan untuk menembus Pasar Dieng menuju Hargo Dalem.
Di sela-sela perjalanan, mereka melihat ada tumpukan batu yang tersusun rapi dan tinggi. Melihat itu Andis tersenyum. "Siapa yang iseng nyusun batu begitu dah? Kemungkinan di atas ada pendaki, Jay."
"Ya, semoga."
Mereka terus berjalan melewati tumpukan batu itu tanpa banyak obrolan.
***
Di sisi lain Tomo terduduk menatap ke arah Tama yang baru saja tersadar. Tama memegangi kepalanya yang terasa sakit. Ia memicing ketika merasa ada sesuatu yang melilit kepalanya.
"Jangan dilepas, tadi pala lu berdarah, tapi enggak parah kok," ucap Tomo yang mana jaket merahnya tak memiliki lengan kiri. Tomo memutus lengan jaketnya untuk menjadikannya perban di kepala Tama.
"Kita di mana, Chul?"
"Udah gua bilang panggil gua Tomo," balas pemuda bermata satu itu. "Sekarang kita lagi di Gunung Lawu, Tam. Jangan tanya posisi pastinya, karena gua juga enggak tau."
Ingatan terakhir Tama adalah mereka berdua berguling ke jurang, dan kurang paham bagaimana caranya mereka selamat.
"Waktu guling-gulingan, gua berusaha pegangan apa pun biar kita enggak jatoh ke dasar. Beruntungnya berhasil, jadi sekarang kita ada di tengah-tengah, tapi sialnya kita enggak bisa naik ke atas. Cuma ada satu jalan yang enggak tau bakal bawa kita ke mana."
Tama menatap jalur curam di pinggiran tebing. Ia meneguk ludah, lalu menatap Tomo kembali sambil menunjuk ke arah jalur itu.
"Iya, itu," jawab Tomo.
Tama bangkit dan berjalan ke arah jalur itu, tetapi ia tiba-tiba berhenti ketika sadar bahwa Tomo tak ikut berdiri. Tama pun menoleh kembali, lalu mengisyaratkan Tomo untuk bangun, tetapi Tomo tak kunjung bangkit dan hanya melirik ke arah kaki kanannya.
"Lu kalo mau duluan aja, nanti gua nyusul. Kalo berhasil ketemu bocah, tapi gua enggak nyusul-nyusul, yaaa ... tolongin gua aja. Gua enggak bisa lanjut jalan, tulang gua geser kayaknya," ucap Tomo.
Tama berjalan ke arah Tomo, lalu berjongkok sambil membelakanginya. "Naik."
"Enggak usah ...."
"Naik!" seru Tama.
Tomo menghela napas. Ia berusaha bergerak dan naik ke atas pundak Tama sambil mendekapnya. "Udeh."
Tama pun bangkit dengan bersusah payah, kemudian berjalan menggendong Tomo yang tak bisa berjalan. Mereka berusaha keluar dari jurang tersebut dengan satu-satunya jalan yang menjadi harapan.
Mereka berdua mengikuti jalur curam yang membawa mereka lebih dalam entah ke mana. Seiring dengan berjalannya waktu, Tomo semakin sadar betapa lelahnya Tama yang membawanya.
"Jangan sampe kita mati berdua, Tam. Kalo lu capek, lu duluan aja," ucap Tomo.
"Never surrender," balas Tama.
Meskipun minim empati dan simpati, serta kurang mampu berekspresi, tetapi Tama tak akan meninggalkan temannya. Ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain selain terus maju. Mereka harus keluar dari situasi sulit ini berdua.
Saat mereka berdua terus berusaha menaklukkan jalur curam yang penuh bebatuan dan akar-akar pohon, kabut mulai menggulung semakin tebal. Mereka hampir kehilangan pandangan. Tama terus berjalan dengan sorot mata yang tajam dan keringat bercucuran, kakinya terasa berat dan kepalanya masih pusing, tetapi ia tetap melangkah dengan Tomo di punggungnya.
Samar-samar terdengar kicau burung jalak dari arah depan. Tama menoleh, sekilas ia dan Tomo bertatapan.
"Kalo denger suara burung jalak di Lawu, ikutin. Begitu mitosnya," ucap Tomo.
Tama mengangguk pelan. Bermodalkan telinga, ia menyusuri jalan yang tertutup kabut tebal. Entah mitos itu benar atau tidak, yang jelas saat ini hanya itu harapan yang tersisa.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka bisa lolos dari jalur yang curam dan kembali ke hutan. Di saat mereka sedang mencari arah jalur pendakian, tiba-tiba terdengar suara orang yang sedang bercanda gurau, kemungkinan itu adalah pendaki lain. Dari suara langkahnya, mereka mungkin berjumlah sekitar empat orang.
Tama pun berjalan mengikuti sumber suara seperti saat mengikuti kicau burung jalak beberapa saat lalu, tetapi sampai ke daerah sabana yang luas, tak ada siapa pun. Padahal rasanya jarak mereka dan suara rombongan itu sudah sangat dekat. Semua seolah musnah tanpa jejak.
"Tadi ada suara rombongan pendaki di depan, tapi sekarang ilang. Enggak ada tanda-tanda yang ngecamp di sini, jejak pun enggak ada," ucap Tama.
"Sekarang feeling gua enggak enak," timpal Tomo.
Kabut-kabut masih belum berhenti mengejar. Perlahan kabut-kabut tipis itu berkumpul dari berbagai penjuru arah dan membuat kedua pemuda itu merinding. Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh di tengah kabut. Suara gemerisik dan bisikan yang mencekam membuat bulu kuduk mereka berdiri. Sensasi yang sangat familiar.
"Mereka dateng," ucap Tomo dengan suara bergetar. "Kita harus cepet."
Mereka berdua berusaha menepis rasa takut dan melanjutkan perjalanan di tengah kabut yang semakin mencekam. Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin erat pula perasaan bahwa mereka tidak sendirian. Sesuatu yang ganjil dan menyeramkan terus mengikuti mereka, mengintai di dalam kabut tebal.
Tama mempercepat langkah, ia merasakan sesuatu sedang mendekat ke arah mereka. Rasanya seperti dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat, dan rasa takut semakin memenuhi hati pria tampan itu.
Ketika kabut mulai sedikit berkurang, Tama menghentikan langkahnya ketika melihat sesuatu yang membuatnya terperangah. Di depan ia dan Tomo, terdapat sekelompok makhluk yang terlihat seperti siluman kera. Mata mereka merah menyala dengan wajah-wajah yang menakutkan, terutama taring-taring mereka yang panjang.
"Tom, gimana sekarang?" tanya Tama dengan suara gemetar.
"Mampuslah kita," jawab Tomo yang mulai berkeringat dingin.
***
"Jay, ini gimana dah? Kok kayaknya kagak nyampe-nyampe?" kata Andis yang sudah kelelahan.
Ajay menggelengkan kepala. "Au, gua juga bingung. Harusnya sih udah deket beneran."
Ajay berhenti sejenak dan mencoba mengenali area sekitarnya. Namun, kebingungannya semakin bertambah saat ia menyadari bahwa mereka telah berjalan melewati tumpukan batu yang sama beberapa kali.
"Emang banyak batu begini di sini apa gimana dah?" tanya Ajay.
"Au dah, tapi emang daris tadi banyak sih," balas Andis.
Ajay bergerak agak terpisah dari Andis, ia meletakkan botol minum di dekat batu itu sebagai pertaruhan, tetapi tidak memberitahu Andis yang sedang menunggunya di depan sambil menggendong Kei.
"Buruan, capek ini woy!" seru Andis.
"Iye, iye." Ajay kembali menyusul dan mereka melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit berlalu, Ajay memicing ketika menatap batu yang persis seperti beberapa batu yang sudah ia lewati.
"Banyak bener batu beginiannyeh!" gerutu Andis.
"Mending banyak, Dis, gimana kalo sebetulnya batu itu cuma ada satu?" tanya Ajay.
"Hah? Bijimane maksud lu?"
Ajay menunjuk botol minum yang ia letakkan di dekat batu tersebut. "Kan enggak mungkin kalo gua naro botol di deket batu, terus kita jalan dan akhirnya nemu botol yang gua taro tadi, Dis."
"Maksud lu?"
"Dis, kita kejebak!" ujar Ajay dengan nada panik.
Andis mencoba untuk tetap tenang. "Tenang, Jay, kita pasti bisa nemuin jalan keluar. Kita harus cari petunjuk."
Mereka berdua mulai mencari-cari tanda atau petunjuk yang bisa membawa mereka kembali ke Hargo Dalem. Namun, meskipun mereka mencoba berbagai arah, mereka selalu berakhir di tempat yang sama, di dekat tumpukan batu yang familiar.
"Sebenernya kita lagi masuk film horor apa gimana sih? Kok jadi begini sih?" Kini Ajay terlihat ketakutan, ia tak bisa berpikir jernih sekarang.
Andis paham bahwa seandainya Ajay yang cerdas mendadak panik, keadaan akan semakin memburuk. Ada tiga hal yang membuatnya cemas, pertama ia agak bodoh, kedua Kei tak bisa diharapkan, dan ketiga Ajay panik. Kombinasi ini akan membuat mereka menjadi rombongan yang tak berguna. Maka dari itu, Andis berusaha menghibur Ajay agar ia bisa berpikir dan mencari jalan keluar untuk mereka.
Andis tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Bgakgakgakgakgak."
Ajay sontak terkejut. "Wah! Kampreto! Lu jangan ampe kesurupan ye, Dis?!"
"Enggak kok, enggak. Gua cuma lagi mau ketawa aja," balas Andis.
"Menurut lu ini lucu?" tanya Ajay.
"Gua pernah denger kalimat dari orang bijak, setiap gelak tawa adalah obat untuk kegelapan, Jay," ucap Andis menenangkan.
"Siapa orang bijaknya?" tanya Ajay.
"Gua," tegas Andis.
"Bijik lu mah!" protes Ajay. "Emosi itu bahasa yang bisa dibaca. Enggak usah sok berani, gua tau lu takut. Satu hal yang harus lu tau ... gua lebih takut dari lu sial."
Andis semakin terbahak-bahak dan setiap tawanya seolah mengundang orang lain untuk ikut tertawa. Terbukti dari ekspresi Ajay yang mulai tersenyum renyah.
"Dis, gila lu ya?" tanya Ajay yang kini tersenyum semakin lebar hingga kelihatan giginya melihat dan mendengar tawa Andis.
"Bgakgakgakgakgak."
"Pfftt ... Dis! Udah ah!"
"Bgakgakgakgakgak."
"Pftt ... wakakakakaka, DIS!" Ajay ikut tertawa meskipun ia tak mau. Andis benar-benar keparat di matanya.
Melihat Ajay yang tertawa, Andis jadi tak bisa berhenti karena menurutnya itu lucu. "Bgakgakgakgakgak."
"Wakakakakaka, Dis! Elah lu!"
"Bgakgakgakgakgak."
"Wakakakakakakak ... woy cukup! Wakakakak."
"Bgakgakgakgakgak bangsat lu, Jay gua jadi kagak bisa berenti ini bgakgakgakgak."
"Ya, lagian wakakakakakakak."
"Bgakgakgakgakgak."
"Wakakakakakakak."
Saat sedang tertawa, tiba-tiba tak sengaja Andis menyenggol batu yang tersusun itu hingga hancur berserakan. Melihat itu Ajay semakin terbahak-bahak.
"Wakakakakakakak."
Namun tidak dengan Andis. Ia meneguk ludah ketika baru mengingat sebuah mitos tentang Pasar Dieng. Roda-roda gear otaknya kembali berputar sehingga ia bisa berpikir sedikit.
Mitosnya bukan manusia yang menyusun batu-batu itu. Jumlanya tidak boleh dikurang atau pun ditambah.
Seketika itu juga, suasana sepi di Pasar Dieng berubah. Ajay dan Andis terdiam lemas saat menyadari, bahwa mereka sedang berada di tengah keramaian pasar.
Banyak orang berwajah pucat dengan pandangan kosong sedang bertransaksi di tempat ini.
***
Di sisi lain Dirga dan Tirta sudah tiba di Hargo Dalem. Kembar Martawangsa itu tidak menemukan keberadaan rekan-rekannya di sana. Meskipun melewati Pasar Dieng dan batu susun, mereka tidak berpapasan dengan ketiga rombongan yang terperangkap di tempat itu.
Dirga beristirahat di warung tertinggi di dunia, yaitu warung Mbok Yem. Warung yang berada di ketinggian 3.170 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Ia bertanya pada orang-orang di warung dan juga beberapa pendaki yang kebetulan berada di sana. Menurut penuturan mereka, Dirga dan Tirta adalah orang terakhir yang datang ke sini sejak sore tadi, yang artinya Andis, Ajay, Kei, Tama, dan Tomo belum mencapai lokasi Hargo Dalem.
"Makasih, Bang infonya." Dirga kembali pada Tirta yang sedang duduk menunggunya di luar warung.
"Gimana?" tanya Tirta.
Dirga menggeleng sebagai jawaban. Mereka kembali menyusun strategi pencarian tanpa membuat orang di sekitar sana panik. Kembar Martawangsa itu masih yakin bahwa mereka mampu menemukan teman-temannya, sebelum masalah ini jadi berita yang besar.
"Maju, mundur, stay nunggu di sini?" tanya Tirta.
"Semalem gua mimpi setengah dari kita ilang," ucap Dirga. "Yang artinya kalo pun kita nunggu dan kalo pun ada yang dateng, ada kemungkinan ada yang ilang. So, kita jemput apa pun resikonya."
Tirta tersenyum. "Oke, oke, lu leader-nya. Ayo kita let's go."
Dirga dan Tirta turun kembali ke Pasar Dieng.
Tu Bi Kontinyu Gesss ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top