4 : Terpisah

Jeritan di luar tenda membuat Tomo terbangun dari tidurnya. Ia melirik ke arah Tama yang juga ikut terbangun.

"Lu denger enggak?" tanya Tomo.

Tama mengangguk, yang artinya ia juga mendengar jeritan tersebut. Pria berekspresi datar itu menunjuk ke arah tenda kedua seolah mengisyaratkan untuk memeriksa.

"Ayo kita cek." Tomo bangkit dan berjalan keluar diikuti Tama.

Tak ada hal mengerikan di luar sana seperti yang dilihat oleh Andis dan Ajay. Hanya saja Tomo merasa bahwa ada yang tak beres di sini. Tenda-tenda yang seharusnya banyak di sekitar mereka menghilang secara misterius. Ia menghentikan langkahnya dan berdiri di antara tenda pertama dan kedua.

"Aneh." Tomo tampak sedang berpikir. "Enggak mungkin semua pendaki yang nge-camp semalem summit attack, kan?"

Tomo kini menatap ke arah Tama yang sudah berdiri di depan tenda kedua sambil membuka pintunya. Di sisi lain Tama juga menatap Tomo sembari menggelengkan kepalanya, memberikan kode bahwa tak ada siapa pun di tenda itu

"Urus, Tam," kata Uchul.

Tama mengangguk pelan, ia mengerti apa yang dimaksud oleh Tomo dan segera membuka sarung tangan hitamnya, lalu masuk ke tenda dan mengorek informasi melaui telapak tangannya.

Tama adalah seorang psikometri, yang mana ia mampu melihat masa lalu objek yang ia sentuh dengan tangan telanjang. Karena itulah Tama selalu mengenakan sarung tangan hitam, agar kemampuannya tak selalu aktif saat ia menyentuh objek-objek di sekitarnya, baik hidup mau pun mati.

Sekelibat masa lalu terpampang dalam pikiran Tama, seolah menyatu dengan ingatannya. Ia menyaksikan apa yang terjadi beberapa menit lalu.

"Dis, kita keluar bareng gimana? Pindah ke tenda sebelah," usul Ajay.

"Si mayat gimana?" tanya Andis sambil melirik ke arah Kei.

"Gua bawa," jawab Ajay.

"Gua aja." Andis mendekati Kei, berusaha membangunkannya, tetapi Kei belum juga terbangun. Ia pun terpaksa harus menggendong Kei di punggungnya. "Yuk, tapi lu duluan. Gua kan bawa orang."

"Sial lu, Dis, jadi ini akal bulus lu biar gua yang jadi tumbal?"

Andis tersenyum licik. "Enggak kok."

Darah segar mengalir dari lubang hidung sebelah kanan Tama. Ia seka darah mimisan itu sambil melirik ke arah Tomo yang terlihat sedang menunggunya.

"Mereka kabur," ucap Tama dengan suara beratnya.

"Kabur?" Tomo memicing. "Dari apa?"

"Gangguan ghaib," lanjut Tama.

"Kita harus lapor Dirga buat nyari mereka bertiga. Situasi di sini agak enggak beres." Tomo hendak memutar tubuhnya, tetapi Tama menahannya. Kini ia tatap kembali sorot mata Tama yang dingin. "Kenapa?"

"Temenin pipis," ucap Tama.

Tomo menghela napas. "Ya udah, yuk buru."

Tama berjalan sambil menggandeng tangan Tomo. Tomo dengan wajah yang tak kalah datar berjalan mengikuti Tama.

Sampailah mereka pada sebuah pohon kecil tak jauh dari tenda kedua. Tama mengisyaratkan Tomo untuk menunggunya. Tomo pun berdiri beberapa meter tak jauh di belakang Tama, ia menatap sekitar sambil membelakangi pemuda itu.

"Tam, lu denger kagak?" tanya Tomo.

Ketika sedang asik-asiknya buang air, tiba-tiba terdengar gending gamelan. Seketika itu Tama merinding. Meski belum selesai, ia memutar arah karena takut dan berlari ke arah Tomo. Alhasil, cairan kuning itu ke mana-mana.

"Idih najis si Tama," keluh Tomo sambil berlari menjauh dari Tama yang mendekat ke arahnya seperti mobil pemadam. "Ecret-ecretan idiot!"

Begitu tak ada lagi cairan yang keluar, Tama sontak memasukkan kembali pusakanya dan mengurungnya di dalam domain expansion.

"Cebok dulu tolol!" Tomo menggeleng-geleng dengan kelakuan temannya yang satu ini. Seandainya para gadis tahu kelakuan-kelakuan random Tama, mungkin mereka lebih memilih move on.

"Lu denger enggak?" tanya Tama.

"Suara kencing lu?" tanya Tomo balik.

"Bukan, suara gamelan," jawab Tama.

Tiba-tiba hawa dingin merambat diiringi tiupan angin kencang. Dalam waktu sesingkat itu, area sabana ini mendadak terkepung kabut dan kedua pemuda bernama panggilan mirip itu kehilangan pengelihatan atas tenda-tenda mereka.

"Ayo, Tam cepet." Tomo berjalan ke arah tenda. Tama pun berjalan mengikuti di belakangnya sambil memegangi bagian belakang kaos Tomo.

Mereka terus berjalan, tetapi tak kunjung sampai di tenda. Kabut tebal ini benar-benar menyebabkan pandangan mereka terhambat, seolah mereka berjalan dalam kehampaan yang tiada berujung.

Pegangan tama semakin erat sehingga Tomo sadar bahwa saat ini Tama sedang ketakutan. Dalam keadaan bingung, mereka terus berjalan, mencoba menemukan jalan keluar dari labirin kabut yang semakin menyesatkan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah bisikan angin yang bersiul pelan di antara rerumputan.

Tomo yang awalnya terlihat santai mulai merasakan tekanan dalam setiap langkah yang ia ambil. Rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang memperhatikan, sesuatu yang bersembunyi di balik kabut.

Tiba-tiba, Tama merasakan ada sentuhan dingin yang menyentuh pundaknya sehingga membuatnya melompat ke depan.

"Apaan sih?" Tomo menoleh dengan cepat ke arah Tama yang lompat mendadak.

Tama terlihat sedang menatap ke belakang, tetapi tak ada apa pun di belakang mereka selain kabut yang menutupi segalanya.

"Apaan tuh tadi?" tanya Tama.

"Apaan yang apaan?" tanya Tomo heran.

"Barusan ada yang nyentuh gua," jawab Tama.

"Perasaan lu aja kali," sanggah Tomo berusaha menanamkan sugesti positif dalam pikiran Tama. "Yuk, lanjut."

Tama mencoba fokus dan mengalihkan pikirah negatifnya. Hanya saja, dari balik kabut terdengar suara-suara aneh yang tak wajar, seperti bisikan orang ramai yang membuat bulu kuduknya merinding.

Di sisi lain, Tomo mulai melihat bayangan-bayangan aneh muncul di antara kabut, sosok-sosok yang hanya sekejap terlihat sebelum menghilang lagi. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi bayangan-bayangan itu semakin banyak dan terkesan mendekat.

"Kayak ada yang lagi ngikutin kita," kata Tama dengan suara hati-hati, mencoba mengidentifikasi perasaannya kepada Tomo.

Tomo mengangguk sambil menghentikan langkah. Ia menoleh ke arah Tama, wajahnya terlihat tegang. "Cuma perasaan lu aj ...."

Sebuah wajah hitam penuh bulu muncul dari balik kabut dan berhenti tepat di sebelah Tomo dan Tama yang saat ini sedang saling bertatapan. Kedua pemuda itu melirik sejenak ke arah wajah tersebut. Gigi taringnya terlihat tajam dengan liur yang menetes-netes. Embusan napasnya mengeluarkan kabut dan membuat rambut kedua pemuda itu berkibar-kibar.

Mereka berdua langsung memutar tubuh dan berlari secepat mungkin tanpa memedulikan arah yang mereka tuju. Kabut yang pekat membuat mereka hampir tak bisa melihat apa pun. Tak ada pembicaraan, hanya fokus berlari dengan langkah kaki yang tidak stabil.

Bayangan hitam melesat cepat seolah mengejar mereka berdua. Teror ini membuat Tama dan Tomo terus berlari dengan kecepatan yang seimbang.

Namun, dari arah depan, Tomo merasakan ada perbedaan gesekan udara yang membuat pola gerakan kabut menjadi aneh. Ia menyadari sesuatu lewat angin yang berbisik.

"TAM BERHENTI!" teriaknya ketika menyadari apa yang ada di depan mereka.

Tama terbelalak ketika ia merasa dirinya hampir terjatuh ke dalam jurang. Untungnya, Tomo dengan refleks menjulurkan tangan dan berhasil menangkap Tama sebelum ia jatuh.

Namun, timing akselerasi percepatan mereka dari kecepatan tinggi ke titik nol bukanlah hal yang sederhana. Tama kehilangan keseimbangan dan tergelincir ke dalam jurang. Tomo pun melompat dan mendekap tubuh sahabatnya tepat sesaat sebelum Tama terguling. Kini mereka berdua terguling bersama ke dalam jurang yang gelap tersebut.

***

Dirga tertidur dengan wajah gelisah, sepertinya ia mengalami mimpi buruk. Pada satu titik, tiba-tiba ia bangun dan langsung terduduk dengan napas terengah-engah.

"Nah, baru mau gua bangunin, udah bangun sendiri aja," ucap Tirta yang baru masuk ke dalam tenda. "Ngapa lu? Mimpi buruk?"

Dirga menggeleng. "Enggak. Ngomong-ngomong mau bangunin gua kenapa?"

"Bocah pada ke mana, ya? Tau enggak lu?" tanya Tirta.

"Di tenda kedua kali."

"Gua cek ke tenda dua juga enggak ada siapa-siapa," balas Tirta.

Dirga segera bangkit dan langsung menatap jam tangannya. "Summit attack, kah? Kita ditinggal?"

"Enggak sih kayaknya, soalnya masih jam segini dan mereka enggak bawa apa-apa juga perginya. Semua ditinggal di tenda."

"Ada pendaki lain yang masih di luar? Udah coba tanya? Mungkin ada yang liat," tanya Dirga.

"Nah itu dia. Ada yang aneh sama mereka," balas Tirta.

Dirga memicing. "Aneh gimana?"

"Nanti lu tanya aja sendiri. Sekarang gua saranin kita prepare."

"Prepare buat?" tanya Dirga.

"Nyari anak-anak," jawab Tirta.

Dirga berpikir sejenak. Tirta bukan orang bodoh, ia pasti memiliki pemikiran tentang ucapannya. Jika ada kata mencari, berarti kata yang berhubungan adalah 'hilang'. Di gunung semua ucapan bisa menjadi kenyataan, jadi sengaja mereka tak menggunakan kata hilang, agar tidak ada kejadian seperti itu. Mimpi buruknya barusan pun mempertajam intuisi Dirga langsung mengarah kuat pada maksud Tirta.

"Oke, kita bawa yang penting-penting aja. Tenda dan barang pribadi tinggal aja," ucap Dirga. Ia segera mempersiapkan tas carriernya dengan logistik dan obat-obatan.

"Gua bawain jaket buat jaga-jaga," balas Tirta.

Mereka pun bersiap-siap, lalu pergi ke luar tenda. Dirga hendak menghampiri salah satu tenda pendaki, tetapi niatnya tiba-tiba urung dan malah berhenti melangkah.

"Kenapa?" tanya Tirta.

Dirga menunjuk salah satu pendaki yang sedang duduk mengobrol, kemudian tertawa bersama rekan-rekannya.

"Tunggu bentar," ucap Dirga. Ia fokus memperhatikan orang-orang itu. 

Tak lama berselang, para pendaki itu kembali tertawa bersama. Melihat itu mata Dirga memicing. Jarinya bergerak seolah sedang menghitung.

Beberapa detik berlalu, mereka kembali tertawa. Dirga masih fokus menatap mereka sambil berhitung dalam hatinya, Tirta ikut menghitung mengikuti suara hati Dirga.

"Kenapa sih?" tanya Tirta.

"Tadi lu bilang kalo mereka aneh, kan? Sekarang gua tanya sama lu dulu. Apa yang bikin lu berpikir kalo mereka aneh?" tanya Dirga.

"Gua baru sadar waktu gua bangun dan nyariin Tama sama Uchul ke tenda dua. Yang gua maksud aneh itu adalah dari sekian banyak tenda dan pendaki yang ngecamp di sini, gua enggak denger sama sekali isi pikiran mereka. Padahal normalnya di tempat begini itu rame banget buat gua, karena gua bisa baca pikiran orang-orang di sekitar gua dan itu bersifat pasif."

Dirga dan Tirta saling bertatapan. "Kalo lu?" sambung Tirta.

"Gua juga baru sadar, kalo pola aktivitas mereka itu kayak film yang diputer diulang-ulang," jawab Dirga.

Tirta memicing. "Maksud lu?"

Dirga menunjuk tenda dengan pendaki yang selalu terlihat tertawa bersama dengan teman-temannya. "Dari awal kita dateng, itu tenda yang paling heboh. Lu perhatiin, masa enggak ada capeknya ketawa begitu. Belum lagi, mereka konsisten ketawa setiap tiga belas detik sekali." Lalu Dirga menunjuk tenda di sebelahnya, ada seorang gadis yang sedang duduk seorang diri di depan api unggun kecil, ia sesekali meminum air di botol yang ia pegang. "Nah, yang itu setiap tiga belas detik pasti minum, tapi airnya enggak abis-abis."

Tirta meneguk ludah. "Jadi maksud lu ...."

"Iya, dari awal kita cuma sendirian di Gupak Menjangan," celetuk Dirga. "Enggak ada manusia lain selain kta bertujuh."

Begitu Dirga berucap begitu, serempak semua pendaki itu menoleh ke arahnya. Menyadari sedang dipandangi, Dirga dan Tirta meneguk ludah.

"Tenang, tenang. Gua bisa aja buat banyak opsi, tapi balik lagi, gua butuh lu buat nentuin desisi," ucap Tirta.

"Apa lagi coba," balas Dirga. "Lari!" Ia langsung berlari tanpa aba-aba.

Tirta pun langsung berlari dengan kecepatan terbaiknya berkisar beberapa senti di belakang Dirga.

"Kita naik ke arah Hargo Dalem! Di sana ada warung, ada desa kecil," ucap Dirga.

Padang sabana di Gupak Menjangan ini cukup luas. Bahkan di arah yang mereka tuju ada beberapa tenda dan pendaki ghaibnya. Mereka semua berdiri dengan pandangan kosong ke arah Dirga dan Tirta. Wajah mereka semua pucat dan terlihat kaku.

Perlahan musik gamelan terdengar samar di telinga mereka. Begitu musik itu hadir, suasana semakin dingin. Para pendaki ghaib itu perlahan melayang ke arah Dirga dan Tirta.

"Dir, lu enggak takut?" tanya Tirta yang melihat punggung Dirga. Kembarannya itu sama sekali tak gemetar sepertinya.

"Gua takut," jawab Dirga. "Tapi gua mimpi setengah dari kita ilang dan enggak ketemu. Daripada setan begini, gua lebih takut sama mimpi gua, Tir. Jadi enggak ada alasan buat takut sekarang!"

"Kalo emang semua demi Mantra, gua harap sekarang lu misahin urusan pribadi lu dulu sama keluarga kita. Lu punya topeng itu, kan? Benda itu bisa bantu kita lolos, minimal dari Gupak Menjangan, Dir."

Dirga menghentikan langkahnya sambil memejamkan mata ke arah langit. "Enggak akan."

"Dude, come on. Kalo kita enggak selamet dari sini, kemungkinan yang setengah itu kita berdua!" ucap Tirta.

Dirga menyeringai sambil membuka matanya perlahan. "Kalo gua yang dulu, pasti udah bilang begitu, tapi gua yang sekarang lebih punya otak, jadi lu tenang aja, serahin semua sama abang lu yang beda berapa menit doang lahirnya sama lu ini."

Dirga melebarkan kakinya, ia menutup mata sambil berusaha fokus seiring dengan tarikan napasnya. Satu kakinya bergerak maju dimbangi dengan tubuhnya yang menari. Kini Dirga sedang melakukan tarian malangan untuk memanggil topeng pusasaknya.

Tirta semakin berkeringat, para pendaki ghaib ini semakin mendekat dari segala arah. Mereka berdua sudah kehilangan jalan keluar dan terkepung habis.

"Dir, masih lama lu?!" tanya Tirta panik.

Semakin para arwah gentayangan itu mendekat, semakin dingin hawa di sekitar Tirta. Ia merinding setengah mati dan hanya bisa berdoa pasrah.

Wajah-wajah pucat para pendaki itu semakin terlihat jelas. Tirta merapat pada Dirga yang masih menari-nari.

Pada satu titik, Dirga menghentakkan kakinya ke bumi dan membuat seluruh arwah itu berhenti untuk sejenak.

"Angkat wajahmu, Tumenggung."

Dirga mengangkat wajahnya dengan sebuah topeng merah malangan yang sudah terpasang secara misterius. Tirta merespons dengan lompatan ke arah punggung Dirga.

Dalam sekejap, Dirga dan Tirta menghilang dari Gupak Menjangan, para arwah pendaki itu juga ikut menghilang, meninggalkan dua tenda yang berdiri tanpa tuan-tuannya.

Tu Bi Kontinyu Gesss ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top