3 Teror Malam
Setelah istirahat, shalat, makan dan berteduh sekitar tiga jam, akhirnya para rombongan Mantra memutuskan untuk menerobos hujan dengan mantel, mengingat angin sudah lebih jinak dari sebelumnya.
Jalur dari Pos Tiga menuju Pos Empat cukup menanjak. Di daerah ini pohon pinus menjadi teman yang menemani di sekitar jalur pendakian. Karena medan yang ditempuh licin, tempo mereka pun menurun dan butuh waktu sekitar dua jam untuk bisa sampai ke Pos Empat.
Sesampainya di Pos Empat, hujan sudah berhenti, tetapi kabut mulai menyelimuti pandangan. Rombongan Mantra beristirahat sejenak sambil mengatur ulang strategi.
Dirga mengambil tambang dari tasnya, lalu melilitkannya ke tubuh, setelah itu ia oper ke Tirta. Tirta pun mengikat tambang tersebut ke tubuhnya, lalu mengopernya ke belakang.
"Kasih jarak lima sampai enam meter ke orang di belakang. Karena kabutnya makin tebel, jarak jangan terlalu jauh," seru Dirga. "Kalo di tengah jalan ada yang mau istirahat bilang aja, kita berhenti, tapi jangan lepas tambangnya. Paham?"
"Paham," jawab yang lain.
"Nanti di Pos Lima enggak ada shelter. Gua rasa kita enggak perlu istirahat di sana," ucap Uchul memberikan saran. "Kalo cape istirahat aja enggak apa-apa, jadi enggak usah terpaku sama Pos Lima."
"Emang gitu niatnya," ucap Dirga. "Dari Pos Lima, kita langsung hajar ke Gupak Menjangan. Sekarang udah sore, estimasi sampe sana itu pas udah gelap. Pokoknya sampe Gupak Menjangan kita istirahat total, buka tenda. Terus lanjut jalan lagi dua jam sebelum matahari terbit. Kita incer sunrise."
Tak ada yang protes. Setelah seluruh anggota rombongan Mantra sudah mengenakan tambang tersebut di pinggang mereka, Dirga langsung memulai langkah pertamanya dari Pos Empat menuju Pos Lima. Hari sudah sore, ditambah kabut yang mulai menebal, ini bukan sesuatu yang bagus.
"Kei, jangan tidur di jalan!" seru Tomo dari belakang.
Semua terkekeh meskipun jarak pandang mereka hanya sampai satu orang di depan dan satu di belakang saja.
Kini Dirga lah yang menentukan apakah mereka berjalan di jalur yang benar, atau justru kabut ini menjadi kejutan lain yang akan menyesatkan mereka. Dirga tak terlalu memikirkannya. Ia hanya fokus berjalan dengan sebuah senter di tangannya.
Perjalanan semakin sulit di tengah kabut tebal yang menyelimuti jalur. Langkah mereka terasa lebih berat, dan kerap kali harus berhenti sejenak untuk memastikan jumlah rombongan dan mencari arah yang benar.
Di belakang, Tomo berjalan mengikuti arah tali dengan hati-hati. Hanya ada Andis yang berjalan tak jauh di depannya, selebihnya tertutup kabut tebal.
"Berhitung!" seru Dirga dari arah depan. Wujudnya tak terlihat di mata Tomo. Satu per satu suara hitungan pun terdengar merambat dari arah depan, menjadi absen untuk Dirga.
"Enam!" seru Andis.
"Tujuh!" sambung Tomo.
"Delapan ...," lirih suara di belakang membuat Tomo merinding. Embusan napas pekat terasa di tengkuknya, tetapi ia enggan menoleh.
Tomo menyimpan ketakutannya seorang diri dan terus berjalan cepat hingga posisinya dan Andis hampir sejajar.
"Lu ngapa, Tom?" tanya Andis. "Mau berak lu, ya?"
Wajah Tomo terlihat pucat. Ia tak berkata apa pun dan memilih diam. Perlahan ia mengatur napas, lalu kembali menjaga jarak dengan Andis.
Gumam-gumam lirih seolah berputar-putar di kepalanya, melahirkan ilusi mata merah menyala yang mengintai dari balik kabut. Saat ini Tomo merasa sedang berada di tengah kerumunan makhluk halus. Ia merasa pusing, tetapi masih bisa untuk dikondisikan.
Sebuah tangan dengan kuku-kuku panjang perlahan melewati samping telinganya, membuat Tomo bergidik ngeri. Ia sontak menoleh ke belakang, tetapi tak ada apa pun di belakangnya.
Sejenak ia menghela napas, lalu kembali menghadap ke depan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, ia terpingkal ke belakang akibat terkejut dengan kehadiran makhluk yang berada di depannya.
"Berhitung, mulai! Satu!" seru Dirga dari arah depan. Seperti sebelumnya, mereka semua saling berhitung sebagai pertanda absensi.
"Enam!" seru Andis.
Hanya saja tak ada seruan tujuh di antara mereka. Andis pun sontak menatap ke belakang. "Holy mama mia lezatos," gumamnya.
"Tujuh mana, woy?!" teriak Dirga dari arah depan.
"Uchul ilang!" balas seruan Andis. "Tambangnya putus!"
Mengetahui ada anggota yang menghilang, semua pun merapat pada Andis. Ketika mereka hendak membahas ke mana perginya Uchul, dari arah belakang terdengar suara langkah yang memburu.
Samar-samar terlihat siluet orang yang sedang berlari ke arah mereka. Apa pun yang akan datang, Dirga memiliki firasat yang kurang bagus.
Tomo menembus kabut dan terlihat di pandangan keenam rekannya. Hanya saja wajahnya tampak panik.
"LARI!" seru Tomo.
Tanpa pikir panjang, semua anggota Mantra berlarian seolah dikejar sesuatu. Tomo telah kembali, tetapi ia tak sendirian. Samar-samar terdengar gending gamelan. Semakin cepat mereka berlari, semakin cepat pula tempo gending tersebut.
"Suara apaan itu?" tanya Dirga.
"Entah, yang jelas kayaknya bukan orang!" balas Tirta
Meskipun jalurnya agak terjal, tetapi ketika dalam kondisi terdesak tanpa sadar manusia mampu mengeluarkan potensi tertingginya. Sama halnya seperti anggota Mantra yang saat ini sedang berlari cepat menerobos segala rintangan sampai pada akhirnya kabut menipis dan membawa mereka pada padang sabana yang luas. Ya. mereka tiba di Gupak Menjangan.
Rombongan Mantra tiba di Gupak Menjangan dengan perasaan lega setelah berhasil melarikan diri dari kabut misterius dan gending gamelan yang mengejar mereka. Mereka semua mengatur ritme napas yang terengah-engah sambil sesekali melirik ke arah belakang untuk memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang mengikuti mereka.
Saat ini mereka agak tenang ketika melihat ada banyak tenda di Gupak Menjangan, yang artinya ada banyak pendaki di tempat ini.
"Istirahat bentar, abis itu diriin tenda yok," ucap Dirga.
Semua mengangguk sepakat dan melepaskan ikatan tambang di tubuh mereka. Andis berjalan mendekat pada Uchul.
"Ada apaan tadi, Chul?"
"Bikin api unggun dulu deh. Nanti kita cerita-cerita nya pas api unggun udah jadi aja," balas Uchul yang langsung bangun kembali dan menyiapkan api unggun.
Di sisi lain Dirga mengeluarkan tenda dari dalam tas yang ia bawa. "Tir, tolong bantu buka sama pasangin pasaknya."
Tirta mengangguk, dan keduanya mulai melebarkan tenda di lokasi yang sudah ditentukan. Mereka meletakkan tenda dengan hati-hati, memastikan dasar tenda rata dan tidak ada batu atau akar yang mengganggu. Selanjutnya, mereka mulai memasang tiang tenda, menyusun mereka di lapisan tanah yang kuat.
Sementara itu, Ajay dan Tama sibuk dengan tenda kedua. Mereka berdua berdiri di samping tenda yang sudah terbuka dan siap untuk dirakit. Ajay membuka tas perlengkapan tenda, sementara Tama mengamati desain dan struktur tenda dengan cermat.
Setelah tenda pertama mereka berhasil dipasang, Dirga dan Tirta membantu Ajay dan Tama untuk merakit tenda kedua. Mereka bekerja sama agar tenda-tenda mereka benar-benar kokoh dan siap untuk melindungi mereka dari udara dingin yang menggigit.
"Tam, lu prepare makan malem aja. Biar gua bertiga yang lanjutin," ucap Dirga.
Tama mengacungkan jempol andalannya, lalu pergi menyiapkan kebutuhan masak.
Saat tenda-tenda mereka sudah berdiri, Dirga dan Tirta menghampiri Andis dan Uchul yang sedang mengatur kayu bakar.
Di sisi lain, Tama memasak nasi dengan kompor portable, sementara Ajay menyiapkan sayuran dan daging untuk dimasak di atas api unggun. Suasana perkemahan mulai terasa hangat dan ceria, meskipun ketegangan dari peristiwa sebelumnya masih terasa di udara.
Setelah semua persiapan beres, mereka semua makan malam di depan perapian. Andis yang selalu menjadi poros keceriaan rombongan, mencoba mengalihkan perhatian dari peristiwa sebelumnya. "Gara-gara si bajak laut kita jadi lari-larian. Kenapa sih tadi? Ada apaan?"
Kini semua mata menatap ke arah Tomo, alias Uchul. Pria dengan penutup mata satu berwarna putih itu menggeleng sambil terkekeh.
"Gitu tuh kalo si bangke bangun, langsung bikin ulah, kan." Tomo berusaha berbohong agar yang lain tidak kehilangan nyali mereka sekali pun harus mengkambing hitamkan kepribadian lainnya.
Namun, dari gelagatnya Ajay paham bahwa Tomo sedang berbohong. Tirta pun tahu karena sempat menguping isi pikirannya, tetapi mereka berdua memilih diam.
"Intinya, tetep harus hati-hati," ucap Tirta. "Kita ini tamu di sini, jadi jaga sopan santun."
"Kei mana?" tanya Dirga yang tak menemukan kehadiran Kei di antara mereka.
"Wah, gawat ini." Andis segera bangkit diikuti yang lainnya.
Mereka semua serempak menatap ke arah hutan sambil meneguk ludah. Mengingat Kei bisa saja tertidur di segala kondisi dan situasi, bisa jadi pria itu tertinggal karena ketiduran.
"Tadi yang di belakang ngerasa ngelewatin Kei enggak?" tanya Dirga.
Andis dan Uchul menggeleng. Mereka pun tak menyadari apa pun saat berlari tadi.
"Cari." Dirga hendak pergi, tetapi suara dengkuran membuat semua menoleh ke arah salah satu tenda mereka.
Semua saling bertatapan dan mengintip ke dalam tenda. Seketika itu, mereka merasa lega ketika menemukan Kei yang sedang tidur di dalam tenda tersebut. Setidaknya pria berambut agak ikal itu tak tertinggal di dalam hutan.
"Sisain makanannya buat Kei, nanti bangunin dia, Tam," ucap Dirga. "Belum makan tuh si Kei."
Tama mengangguk, dan mereka pun kembali ke perapian. Namun, di depan perapian pun mereka tak berlama-lama, sebab karena lelah, mereka semua ingin beristirahat.
Sebelum masuk ke tenda, Dirga menatap salah satu tenda yang mana dihuni oleh sekumpulan pendaki pria. Mereka tampak kompak dan terlihat tertawa bersama di depan api unggun kecil.
Dirga, Tirta, Tama dan Tomo tinggal di dalam tenda yang agak besar, sementara Andis, Ajay, dan Kei tidur di tenda yang lebih kecil. Malam itu mereka semua tidur melepaskan rasa lelah.
***
Malam semakin larut, dan tak sengaja Ajay terbangun dari tidurnya karena hendak buang air kecil. Namun, karena takut, ia membangunkan Andis yang kebetulan hanya pria itulah opsinya. Ajay lebih takut membangunkan Kei daripada kencing sendirian.
"Dis, bangun. Temenin gua kencing yok," ucap Ajay.
"Bacot lu, Tam, jangan tang-mentang lu ganteng lu punya kuasa," ucap Andis mengigau, lalu tidur membelakangi Ajay.
Ajay hanya bisa menghela napas sambil menahan pedih. Sebelum keluar, ia putuskan untuk mengintip keluar terlebih dahulu.
Matanya terbelalak mendapati pemandangan di luar. Bulu kuduknya merinding diiringi tubuhnya yang gemetar takut.
"Dis, Dis, lu harus bangun, Dis," lirih Ajay sambil menggoyang-goyangkan tubuh Andis.
Ia tak tahan lagi, tetapi ia pun tak berani keluar. Sebab di luar sana, tenda-tenda pendaki lain yang seharusnya ramai mendadak sirna dan digantikan puluhan pocong yang berdiri mematung.
"Dis, bang ...." Mata Ajay membulat utuh saat merasakan ada embusan napas di tengkuknya. Ia refleks menoleh. "WAAAAA!" Ia terkejut melihat wajah besar di depannya. Sontak Ajay menampar wajah itu.
"Babi lu, ya. Udah bangunin gua, sekarang gua ditampar-tampar," ucap Andis marah. "Ngapa sih lu?"
"Po-po-po ...." Ajay mendadak gagap.
"Tinkiwinky, Dispy, Lala, Po?" tanya Andis.
Ajay mengangguk. "Po-po-po."
Andis menempeleng kepala Ajay.
"Pocong, Dis!" Ucapannya mendadak lancar.
Andis semakin heran. "Pocong?"
"Di-di luar."
"Minggir lu." Andis menggeser posisi Ajay dan mendekat ke arah jendela tenda. "Where is my Pokong?!" Ia membuka kain yang menutupi jendela. "ASTAGFIRULLAH! MUKE GILE LU!"
Begitu Andis membuka jendela, sosok pocong itu sudah menunggu dengan posisi menunduk, menatap ke arah jendela tepat di depan mata Andis tadi. Andis sempat berpandangan dengan makhluk berwajah hancur itu beberapa detik
Tiba-tiba dari luar seperti ada yang menggoyang-goyangkan tenda. Samar-samar mulai terdengar suara seperti wirid yang ramai dari arah luar, tetapi bacaan yang dilantunkan bukanlah kalimat-kalimat Allah.
Ajay dan Andis saling berpelukan karena takut. Mereka menangis karena tak tahu harus berbuat apa. Meskipun Andis indigo, tetapi ia tak pernah secara langsung berurusan dan diganggu seperti ini. Kakinya menendang-nendang Kei, tetapi pria itu tertidur seperti mayat.
Ajay dan Andis berpandangan dalam rasa takut. Mereka terperangkap di dalam tenda sementara suasana di luar semakin mencekam. Sosok pocong di luar tenda tetap menunggu dengan posisi menunduk, dan suara wirid yang tidak lazim semakin memenuhi malam di Gupak Menjangan.
Andis mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. "Jay, kita harus cari tau apa yang terjadi di luar. Kita enggak bisa tinggal di dalam tenda selamanya. Sana lu keluar."
Ajay memicing. "Kok gua? Lu aja sana."
Pada akhirnya, Andis terpaksa menggunakan otaknya yang sudah lama tak pernah berpikir. "Gua coba komunikasi dulu, siapa tau mereka cuma butuh sesuatu atau mau ngusir kita doang dari sini."
Andis memejamkan mata dan berusaha fokus kali ini. Begitu matanya terbuka, ia seperti orang yang berbeda. Tatapannya tajam dan auranya terasa menenangkan.
"Halo, Assalmualaikum," ucap Andis.
"Waalaikumsalam," jawab Ajay.
Mereka kembali berpandangan. "Gua enggak ngucap salam sama lu," ucap Andis.
"Terus lu berharap setan-setan ini ngucap waalaikumsalam gitu?" balas Ajay. "Aneh lu."
Saat sedang bertengkar, tiba-tiba suara riuh di luar mendadak sirna dan tenda kembali diam seperti semula. Ajay dan Andis merasa lega, tetapi di sisi lain mereka pun semakin was-was.
"Nah loh tiba-tiba hening." Andis menatap Ajay, tetapi telinganya berusaha mendeteksi suara-suara di sekitar tenda.
"Dis, kita keluar bareng gimana? Pindah ke tenda sebelah," usul Ajay.
"Si mayat gimana?" tanya Andis sambil melirik ke arah Kei.
"Gua bawa," jawab Ajay.
"Gua aja." Andis mendekati Kei, berusaha membangunkannya, tetapi Kei belum juga terbangun. Ia pun terpaksa harus menggendong Kei di punggungnya. "Yuk, tapi lu duluan. Gua kan bawa orang."
"Sial lu, Dis, jadi ini akal bulus lu biar gua yang jadi tumbal?"
Andis tersenyum licik. "Enggak kok."
Ajay memberanikan diri untuk keluar demi mengungsi ke tenda pertama. Langkahnya mendadak berani dan akhirnya keluar dari tenda. Andis segera mengikuti, hanya saja saat baru keluar ia menabrak tubuh Ajay.
"Jalan woy!" seru Andis dengan nada pelan.
"Dis, kena tepu kita, Dis," ucap Ajay dengan nada gemetar.
Andis terbelalak menatap sekitarnya, yang mana pocong-pocong itu masih berada di sekitar mereka. Keheningan ini hanyalah jebakan.
"Damn, is a prank," timpal Andis.
"Mundur, Dis. Kita masuk lagi ke tenda deh." Nyali Ajay mendadak ciut, mengingat bahwa di depan tenda Dirga ada satu pocong yang menutupi jalan masuk mereka ke tenda pertama.
Kreeek
Namun, begitu mundur, tak sengaja Ajay menginjak salah satu ranting kering yang sempat mereka jadikan kayu bakar untuk api unggun sebelumnya. Kayu itu terjatuh di sana.
Serempak, pocong-pocong yang berada di Gupak Menjangan menoleh pada satu titik yang sama di mana Ajay menjadi pusatnya.
"Mampus lu, Jay," gumam Andis.
Pocong-pocong berwajah hancur itu mengeluarkan suara-suara aneh dan tak lama berselang wirid aneh itu terdengar kembali, tetapi kali ini temponya lebih cepat.
"AAAAAAAAAAA!" Ajay dan Andis yang panik langsung berlari, tetapi bukan masuk ke tenda, melainkan terus menuju atas ke arah Pasar Dieng.
Tu Bi Kontinyu Gesss ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top