2 : Firasat
Vegetasi dari Pos Satu menuju Pos Dua mulai lebat. Rombongan Mantra memasuki kawasan hutan yang didominasi oleh pohon puspa dan damar. Kondisi medan yang ditempuh sedikit lebih menanjak dari sebelumnya.
Mereka terus berjalan hingga kurang lebih satu jam. Namun, kali ini mereka tak beristirahat dan lanjut bergerak kembali menuju Pos Tiga Cemoro Dowo yang berada di ketinggian 2.250 mdpl.
Kondisi medan dari Pos Dua menuju Pos Tiga lebih terjal dari sebelumnya sehingga mereka bertujuh lebih berhati-hati. Selama di perjalanan, rombongan Mantra ditemani tanaman akasia yang berada persis di kiri dan kanan jalur pendakian.
Ajay menoleh ke belakang karena suasana di belakang agak sepi begitu Andis cenderung diam.
"Aduh, capek gua. Istirahat dulu dah," ucap Ajay yang langsung duduk di tepi jalur.
Memang, medan menuju Pos Tiga ini agak berat, tetapi sebenarnya Ajay lebih mengkhawatirkan kondisi Tama yang kelelahan, tetapi tidak berkomunikasi sama sekali. Alhasil, ia yang peka terhadap kondisi mental rekan-rekannya harus menjadi perantara dan mengatur tempo.
"Break dulu, Gengs," ucap Dirga yang menghentikan langkah dan ikut duduk di pinggir jalur.
Kei merapatkan selimutnya. "Dingin enggak?" tanya Kei pada Tama.
Tama mengangguk. Memang, udara di sini mendadak turun agak tak wajar, padahal tidak dalam kondisi hujan atau pun habis hujan.
Kei menyelimuti Tama dengan selimutnya, lalu ia berjalan ke belakang dan berdiri di sebelah Tomo yang sedang menatap ke belakang barisan.
"Liatin apa, Tom?" tanya Kei.
"Enggak," jawab Tomo singkat.
"Jangan dipikirin." Kei mendekatkan mulutnya pada telinga Tomo. "Selama kita enggak ganggu, mereka enggak akan ganggu kita."
Tomo kini menatap tajam ke arah wajah Kei dengan satu matanya. "Kalo emang enggak ganggu, harusnya enggak ngikutin. Mereka penghuni candi tadi."
"Terus harus gimana?" balas Kei.
Dirga menatap ke arah Tirta yang sedang memperhatikan Kei dan Tomo dengan raut was-was. Melihat ekspresi Tirta, Dirga merasa ada kejanggalan yang ia tak sadari. Sudah dari dalam rahim ia mengenal pemuda yang satu itu, Dirga sudah cukup paham gelagat wajah Tirta.
Dari dalam tas kecil yang ia bawa untuk menampung dompet, ponsel, dan rokok. Dirga juga mengeluarkan sekotak kartu yang juga berada di antara barang-barang pribadinya.
Dirga meletakkan tumpukan kartu tarot di atas tanah yang rata. Angin sepoi-sepoi dan suara riak daun di hutan ikut serta dalam proses pemilihan kartu. Sinar matahari sesekali menyinari kartu-kartu tersebut melalui celah-celah dedaunan, menciptakan kilauan seolah pertanda dari alam.
Dengan fokus yang tinggi, Dirga merasakan sekumpulan energi di antara kartu-kartu yang disinari cahaya matahari. Ia membiarkan jarinya menyentuh kartu-kartu tersebut. Tiga kartu yang terpilih, dianggapnya sebagai pertanda tentang perjalanan mereka. Dirga membalik kartu pertama. Terpampanglah sebuah kartu bergambar menara yang runtuh tersambar kilatan petir.
"The tower," gumam Dirga lirih. 'Kartu yang bisa jadi isyarat tentang perubahan mendadak dan kejutan yang enggak terduga. Kayaknya perjalanan ini bakal diwarnain sama beberapa perubahan suasana dan kejutan-kejutan kecil.' Pikirnya.
Kemudian Dirga membalik satu kartu selanjutnya. Sekilas matanya berkedut menatap kartu bergambar iblis.
"The devil," lirih Dirga lagi. 'Bicara iblis berarti bicara tentang godaan, ketakutan, atau kekuatan gelap. Dalam situasi kayak gini, kemungkinan bakal ada teror yang mengintai dalam perjalanan ini.'
Dirga meneguk ludah menatap satu kartu terakhir yang masih tertutup. Perasaannya agak buruk, tetapi karena sudah terlanjur masuk ke dalam permainan, ia pun membuka kartu tersebut hingga menampilkan gambar bulan terang di langit yang agak mendung.
"The moon," lirih Dirga. Ia tampak sedang berpikir. 'Masih ada hal yang abu-abu dan misterius di perjalanan ini. Entah apa itu, tapi yang jelas ini peringatan untuk terus waspada.'
Dirga yang sedang melamun tiba-tiba merasa diperhatikan, sontak ia menoleh ke arah Tirta, dan benar saja. Pria itu sedang menatap ke arahnya.
"Sial, gua lupa ada ini orang," ucap Dirga.
Jika Dirga memiliki kemampuan supranatural yang mampu memprediksi masa depan dengan prekognisi lewat pertanda alam, kartu tarot, mimpi, bahkan visualisasi pikiran. Maka Tirta pun memiliki kemampuan supranatural juga, tetapi berbeda dengan Dirga. Tirta mampu mengirimkan telepati dan berkomunikasi telepati dua arah dengan pengguna telepati lainnya, selain itu kemampuan telepatinya memungkinkan Tirta mampu membaca pikiran orang lain.
Tirta berjalan ke arah Dirga, meninggalkan tas carriernya di tanah. "Dir, gimana nih?"
Dirga tampak sedang berpikir. Setidaknya saat ini hanya empat orang yang mulai sadar akan situasi perjalanan ini, meskipun Dirga dan Tirta tak terlalu tahu detailnya. Namun, yang mereka tahu adalah bahwa saat ini rombongan mereka sedang tidak baik-baik saja.
"Nanti kita adain urgent meeting di Pos Tiga deh. Kita juga harus denger cerita dari Kei sama Uchul buat mutusin arah mana yang harus diambil. Lanjut naik, atau sebaiknya turun," jawab Dirga.
"Ya udah, sekarang kita keep ini berdua aja dulu. Biarin Kei sama Uchul yang lebih tau soal situasi dan kondisi sekarang. Sisanya biarin buta dan tuli, jangan kasih tau mereka apa-apa dulu."
"Oke," balas Dirga.
Tomo dan Kei berpisah. Sepertinya mereka pun sudah selesai membahas perihal keresahan yang dirasakan oleh Tomo. Melihat itu, Dirga pun bangkit.
"Cuy, lanjut yuk. Nanti istirahatnya di Pos Tiga aja," ucap Dirga.
"Masih berapa lama lagi?" tanya Andis.
Dirga tersenyum. "Sebentar lagi juga nyampe, deket kok."
Andis menghela napas. Ia mengangkat kembali tas miliknya sambil melirik ke arah Tama dan Kei yang hanya menggunakan tas daypack. Ada rasa iri di hatinya melihat dua orang itu lebih santai.
Untuk ekspedisi kali ini, Dirga membawa carrier berisi kebutuhan tim, sementara Tirta membawa carrier berisi barang pribadinya dan Dirga, juga beberapa kebutuhan bersama seperti obat-obatan. Bisa dibilang Dirga membackup rombongan Mantra dan Tirta membackup saudara kembarnya. Di sisi lain Andis pun membawa carrier berisi perlengkapan tim, dan Tomo berfungsi seperti Tirta yang membackup Andis dan dirinya sendiri. Kemudian ada Ajay yang membawa sebagian peralatan tim dan barang pribadinya bersamaan. Terakhir Tama dan Kei yang hanya membawa barang pribadi mereka saja.
Mengingat Tama dan Kei yang paling mudah kelelahan, sebenarnya Dirga sudah membagikan porsi sesuai dengan kapasitas mereka. Jika ada yang keberatan, tak masalah membuka suara, tapi tak ada yang protes termasuk Andis. Yaaa ... hanya saja efek kelelahan membuat jiwa iri Andis agak meronta.
Setelah menempuh total satu setengah jam perjalanan dari Pos Dua menuju Pos Tiga, akhirnya mereka tiba di Pos Tiga Cemoro Dowo. Setengah amunisi air sudah habis karena medan menuju Pos Tiga yang cukup terjal membuat mereka sering berhenti untuk beristirahat sejenak.
"Tir, tolong ambil air gih buat amunisi mumpung lagi di Pos Tiga," ucap Dirga.
Cemoro Dewo memang disebut sebagai Pos mata air. Tirta pun tak protes dan mengambil beberapa botol yang sudah kosong. Melihat Tirta yang kesulitan, Ajay dan Tomo bergerak untuk membantu, sementara yang lain duduk dengan kaki selonjor.
"Cuy, nanti abis tim refil air balik, kita rapat dulu ya bahas strategi," ucap Dirga.
"Oke," jawab Andis.
Sementara itu Tama hanya memberikan likes nya pada Dirga tanpa meninggalkan komentar.
***
Singkat cerita, akhirnya Tirta, Ajay, dan Tomo kembali membawa sumber kehidupan. Mereka pun langsung ikut duduk melingkar di dalam shelter yang ada di Pos Tiga.
Begitu mereka semua berkumpul, hujan deras turun tanpa permisi disertai angin yang membelok-belokan daun-daun pepohonan. Tak ada tanda hujan, tetapi inilah yang terjadi.
Pada satu titik, Dirga dan Tirta saling berpandangan seolah paham bahwa ini adalah salah satu pertanda yang muncul. Dirga mengangguk seolah mengerti apa yang ada di pikiran Tirta.
"Gua mau nanya, Tom," ucap Dirga.
Tomo menatap Dirga dalam diam dengan sorot mata yang penuh pertanyaan, tetapi ia sabar menunggu.
"Ada apaan di belakang kita?" tanya Dirga.
Tama, Andis, dan Ajay refleks menoleh ke belakang mereka, tetapi tak ada apa pun yang terlihat aneh. Sementara itu, Tomo menghela napas dalam-dalam, lalu menatap ke arah Kei yang sudah menggulung diri di dalam selimut birunya.
"Situasinya agak ganjil." Tomo akhirnya menjawab dengan suara pelan. "Gua ngerasa kayak ada sesuatu yang ngikutin kita sejak dari candi Kethek tadi. Agak ngengganggu, tapi enggak yakin apa itu. Mungkin cuma perasaan."
Dirga pun menjelaskan apa yang ia liihat lewat kartu tarotnya, setelah itu rombongan Mantra berkumpul dalam keheningan. Volume air hujan yang semakin deras melumat habis pembicaraan dan memaksa mereka untuk berteduh untuk sementara waktu.
"Kita harus putusin sekarang, gaes," kata Dirga dengan tegas. "Mau terus lanjut atau turun? Situasinya terlalu abu-abu. Ujan deres dadakan ini, sama hasil prediksi tarot tadi bikin gua was-was."
Andis yang duduk di sampingnya mulai membuka suara. "Gue setuju sama lu, Dir, kalo mungkin situasi sekarang lagi kurang baik. Tapi kalau turun sekarang, artinya kita kalah. Gua tau kalo jawaban gua egois, tapi gua mau lanjut."
Tomo ikut memberikan saran. "Gua setuju sama Andis. Turun emang bakal lebih aman, tapi buang-buang waktu, uang, dan tenaga. Sekarang cuma ada satu hal yang harus lu pada tanemin di dalam otak lu." Tomo diam sejenak dan menatap mata seluruh rekannya, kecuali Kei. "Kita enggak bisa main-main lagi sama situasi sekarang dan harus tetep nge-grup. Have fun boleh, tapi ada waktunya. Kita di gunung, semua kemungkinan dari yang terbaik sampe yang terburuk bisa terjadi."
Tatapan Dirga kini berpindah ke arah Ajay, dan Ajay pun paham makna dari tatapan tersebut. Ia menghela napas, lalu memberi jawaban.
"Gua rasa keputusan yang lebih baik adalah lanjut. Jujur, denger situasinya dari Tomo emang agak serem sih, tapi kita udah sejauh ini. Turun dan nunggu hujan reda bisa jadi pilihan, tapi itu juga berarti kita bakal ngulang perjalanan ini lagi. Menurut gua sih, yaaa ... kita harus yakin dan berani ngambil resiko. Gua yakin kok, kalo bareng lu semua, kita bisa ngelewatin apa pun yang nunggu di depan sana," jawab Ajay.
"Tam, ngomong lu," ucap Dirga dengan tatapan tegas pada Tama.
"Sama," ucap Tama singkat mengikuti keyakinan Andis, Ajay, dan Tomo.
Dirga menyeringai. "Ini baru Mantra yang gua kenal, Boy! Enggak ada yang bisa ngerontokin kita! Enggak ada yang bisa bikin kita mundur! Enggak ada yang bisa bikin kita takut, KECUALI?!"
"Ratu Iblis Jamileee!" Jawab yang lain diiringi tawa renyah sambil memandang ke arah Tomo.
Tomo menggeleng pelan diiringi senyum tipis. "Sialan lu pada."
"Mumpung ujan dan kita enggak bisa lanjut, gimana kalo kita masak dulu buat makan siang?" tanya Dirga. "Kalo perut udah ke isi dan hujan agak reda, kita lanjut jalan!"
"Tam, urus, Tam!" timpal Andis.
Tirta menjitak kepala Andis. "Giliran masak aja lu ngandelin Tama! Biasanya mah sinis bener lu sama dia."
"Ya gua sih enggak munafik. Kalo soal masakan, Tama enggak ada obat sih," balas Andis. "Sini, sini gua bantu siapin. Lu butuh apa, Tam? Bilang sini."
Andis dan Tirta menyiapkan peralatan dan bahan-bahan untuk makan siang, sementara Tama yang akan memasak untuk mereka. Di tengah hujan badai dan tekanan spiritual ini, rombongan Mantra masih bisa tertawa menikmati perjalanan mereka.
Yaaaa, mungkin itu semua karena hari belum gelap ....
Tu Bi Kontinyu Gesss ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top