9 : Dendam Pertama
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits menatap dirinya sendiri yang sedang menatap keluar jendela.
"A-apa-apaan ini?" gumamnya lirih.
Mikail menyeringai. "Coba kau ingat kembali, apa alasanmu membantai para setan itu? Kenapa kau sangat membenci makhluk-makhluk itu sebelumnya? Apa karena kecemburuanmu terhadap Ayahmu yang lebih mengutamakan mereka ketimbang dirimu?" Mikail tertawa. "Coba kau ingat lagi, alasanmu memulai semuanya. Alasan yang membuatmu menjual mata ini untuk penjara jiwa."
Harits memegangi kepalanya yang terasa ingin meledak. Keringatnya bercucuran seperti habis berlari. Sebuah kepingan puzzle memori yang hilang kini kembali utuh.
***
Hari itu ...
Kali ini Harits kecil yang baru saja tiba di rumah sepulang sekolah tiba-tiba duduk di sofa sambil berdiam diri. Ghina yang juga baru tiba pun ikut beristirahat di sofa yang sama. Ia menyadari gelagat Harits yang diam dan sontak menatap adik kecilnya. "Kamu kenapa?"
Raut wajah Harits hari itu tampak begitu sedih. Ia seperti sedang menahan tangisnya. "Mainan Harits ketinggalan di kelas," jawab bocah itu.
Harits bukanlah anak yang memiliki banyak mainan seperti kebanyakan anak-anak lain. Jadi ketika memiliki sebuah mainan, rasanya benda itu benar-benar berharga sehingga bocah itu selalu membawanya ke mana pun ia pergi.
"Ya udah, jangan nangis," Ghina tersenyum sambil membelai kepala Harits. "Kakak ambilin dulu ya ke sekolah Harits. Harits di sini aja, tunggu kakak pulang. Jangan buka pintu kecuali kalo ...."
"Bisa jawab passwordnya!" celetuk Harits.
"Burung?!" tanya Ghina.
"Cendrawasih!" jawab Harits.
Ghina tersenyum. "Bagus! Tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana." Harits membalasnya dengan anggukan kepala.
Harits duduk di sofa sambil menatap televisi yang mati. Lima menit berlalu, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam ... Ghina belum juga kembali.
***
Ghina Sagara ...
Ghina mengayuh sepedanya kembali menuju sekolah Harits yang tidak terlalu dekat dengan rumah. Jika ditanya, apakah Ghina tidak lelah? Jawabnya adalah 'lelah'. Sepulang sekolah gadis itu menjemput adik kecilnya terlebih dahulu, dan kini setelah pulang ia justru kembali lagi ke sekolah Harits untuk menjemput mainannya yang tertinggal di kelas. Sesekali ia seka keringat di keningnya sambil kembali menggenggam stang sepeda.
Sekitar lima belas menit mengayuh sepeda akhirnya Ghina tiba di sekolah Harits. Gedung itu sudah sepi rupanya. Wajar, Harits pun merupakan salah satu anak yang pulang terlambat.
"Permisi, Pak. Saya Kakaknya Harits, mau ngambil mainan Harits yang ketinggalan di kelas," ucap Ghina pada Pak Satpam.
Satpam itu menoleh pelan, ia terdiam sejenak memperhatikan Ghina. "Oh, iya. Masuk aja," jawabnya datar.
Ghina turun dari sepeda dan menitipkan kendaraannya di pos satpam, kemudian berjalan masuk ke dalam sekolah Harits.
Untuk ukuran sekolah TK, tempat ini cukup gelap dan terkesan menakutkan. Wajar, mungkin karena sudah kosong dan kurangnya cahaya matahari, bangunan itu jadi agak gelap.
Langkah Ghina membawanya ke depan kelas Harits. Ia membuka pintu dan hendak masuk, tetapi ketika sebelah kakinya melewati batas pintu, Ghina melihat seorang anak yang sedang duduk membelakanginya. Anak itu tampak sedang memainkan sesuatu.
"Ehmm ...." Ghina berdehem, tetapi anak itu tak peduli.
Ghina berjalan semakin dalam hingga berdiri di belakang anak itu. Rupanya anak itu sedang memainkan mainan milik Harits yang tertinggal.
"Dek, kamu temennya Harits?"
Anak itu menghentikan permainannya. Ia menoleh ke atas, tepat ke arah Ghina yang sedang memandangnya sambil berdiri.
Bulu kuduk Ghina berdiri, sambil menutup mata ia mengambil mainan Harits dan berlari keluar kelas.
"Punyaku ...," ucap anak itu sambil menatap Ghina yang lari terbirit-birit.
Begitu tiba di pos satpam, Ghina langsung mengambil sepedanya dan pergi dari tempat itu cepat-cepat. Pak satpam sudah tak berada di posnya, entah pergi ke mana.
Memang selama menjemput Harits tempo hari tak pernah ada satpam di sekolah itu. Jadi Ghina bersikap seperti biasa meskipun tak sempat pamit pada bapak tadi.
Hanya saja, ada yang tak biasa dari kebiasaannya hari ini. Kini Ghina mengayuh sepeda dengan kecepatan penuh. Napasnya memburu seiring detak jantung yang terpacu. Satu tangannya menggenggam mainan Harits, sementara satunya lagi menjadi poros untuk mengontrol laju sepeda.
Sepeda Ghina yang ringan tiba-tiba terasa berat, seolah ada yang duduk di atas jok belakang. Tak ada Harits di belakang sana, seharusnya sepeda itu sangat ringan, tetapi rasanya saat ini sepedanya lebih berat daripada saat membonceng Harits kecil.
"Kembalikan, itu bukan punya kamu," bisik suara berat yang terdengar familiar. Suara itu persis seperti suara satpam yang mengizinkannya masuk tadi.
Ghina sontak menoleh ke belakang, tetapi tak ada siapa pun di sana. Ia menghela napas lega, lalu menoleh kembali ke depan.
"Punyaku ...."
Gadis itu terbelalak, ia refleks membanting stang ke arah kanan karena seorang anak kecil berdiri tepat di depan Ghina, seolah menghadang jalurnya. Anak itu tampak menyeramkan, persis yang ia lihat di kelas Harits tadi. Hanya saja, kali ini anak itu cuma punya satu tangan.
Hal yang paling membuat Ghina terkejut bukanlah keberadaan anak itu, melainkan ia menyadari ada sebuah tangan yang masih menyangkut pada mainan Harits. Tangan itu masih menggenggam mainan yang Ghina bawa.
TIN! TIN! TIN!
BRAAAK!
Sepeda itu terpental akibat ditabrak mobil bak terbuka dari arah belakang. Ghina terlempar jauh dan terseret aspal sejauh beberapa meter. Darah menghiasi jalanan dari sepedanya hingga posisi tubuhnya tergeletak.
'Harits ... maaf ....' Batin Ghina. Mulutnya tak mampu lagi berkata-kata. 'Kakak enggak bisa bawa mainan kamu pulang.'
Darah itu mengalir hingga menggenangi mainan yang ada dalam genggamannya. Tepat di saat yang sama, Ghina menghembuskan napas terakhirnya masih menjaga mainan adiknya.
***
Kembali ke rumah ...
Harits kecil masih menunggu sang kakak pulang. Meskipun senyumnya pudar, tetapi Harits masih setia menunggu. Mungkin karena bosan, bocah itu melamun tanpa memikirkan apa-apa.
Di tengah lamunannya, Harits menyadari ada sebuah pergerakan. Dari sudut matanya, bocah itu menangkap bayangan yang berjalan ke arah pintu. Terbesit senyum di bibirnya dan dengan cepat ia berlari ke arah pintu.
"Burung?!" tanya Harits kecil.
Tak ada jawaban dari balik pintu. Namun, Harits menyadari ada seseorang yang berdiri di balik pintu, sebab dari celah-celah bawah ada bayangan yang masuk ke lantai.
"Burung?!" tanya Harits sekali lagi.
Masih tak ada balasan, tetapi terdengar suara bisik-bisik di luar sana. Harits kecil penasaran, ia menempelkan telinganya ke pintu.
"Mati ...."
Sontak bocah itu merinding dan menjauh dari pintu ketika mendengar suara lirih tersebut.
Tok ... tok ... tok
Kini pintu rumah diketuk dari luar. Harits tak memiliki keberanian untuk membuka pintu. Suara tadi jelas bukan suara Ghina atau pun orang tuanya.
Tok ... tok ...tok
Kini suara itu berpindah ke jendela. Harits pun sontak menoleh ke arah jendela. Ditatapnya seorang anak kecil berwajah hancur. Anak itu menyeringai memandang Harits.
"Mati," ucapnya.
"Pergi! Aku tidak takut hantu!" balas Harits yang sok berani.
Anak di jendela terkekeh. "Mati ...."
"Aku tidak akan mati," balas Harits.
Anak itu menggeleng menanggapi Harits. "Gadis ... mati ...." Ia mengeluarkan kekehan menyeramkan.
Harits tak mengerti apa yang anak itu ucapankan, hingga anak itu kembali berucap.
"Gadis ... mati ... mati ... mati ... mati."
Tanpa pikir panjang Harits berlari ke pintu, ia membuka pintu dan berlari keluar rumah, membiarkan pintunya terbuka begitu saja. Harits kecil berlari mengikuti jalan menuju ke sekolah. Firasatnya sungguh tak bagus.
Kakinya terus berlari, tetapi bisikan itu masih tertinggal di gendang telinga Harits. 'Mati ... mati ... mati.'
Kedua kaki itu terpacu hingga menemui jalanan yang sangat ramai. Selain kerumunan manusia, terdengar suara sirine ambulans yang agak memudar dari telinga Harits. Bocah itu tak begitu mengerti mengapa jalanan di sini sangat ramai siang ini. Hanya saja, satu benda yang tergeletak di aspal jalan membuatnya memahami apa yang terjadi.
Mainan berupa figure karakter film kartun yang ia tinggalkan di kelas, kini tergeletak di aspal jalan. Harits mendekati benda tersebut dan memungutnya. Namun, tak seperti mainannya yang tertinggal dengan kondisi bersih di kelas, mainan yang satu ini memiliki bercak noda merah. Noda itu terasa lengket dan beraroma cukup anyir.
Jantungnya berdetak semakin cepat hingga Harits kecil memegangi dada bagian kirinya. Begitu ia menoleh ke arah kerumunan yang mulai membubarkan diri, matanya terbelalak menatap sepeda rusak di pinggir jalan. Waktu seakan melambat untuk Harits kecil. Mainan bernoda merah dan sepeda yang hancur.
Harits tak tahu mengapa dadanya terasa sakit. Ia celingak-celinguk mencari pemilik sepeda itu, tetapi tak dapat ia temukan sosok tersebut. Di tengah pencariannya ...
'Mati ....'
Bocah itu memutar arah ke belakang, menatap sosok anak kecil berwajah hancur dengan seringai yang membentang lebar dari ujung pipi ke ujung pipi lainnya.
"AAAAAAAAAAAAAAAA!!!!"
Sosok Harits kini menjadi sorotan lantaran ia tiba-tiba berteriak histeris seperti itu di tengah jalan.
Semua mata memandang heran. Bocah itu menunjuk lurus ke depan seolah sedang menunjuk seseorang. Namun, tak ada siapa pun di pengelihatan orang-orang.
Air mata mengalir dari mata melewati pipi Harits dan tertahan di dagu, sebelum pada akhirnya bermuara di tanah. Harits tak tahu harus sedih atau marah. Yang jelas, di balik tangisnya, ekspresinya terlihat gusar.
Anak yang histeris itu tiba-tiba berlari dan memukul udara. Sebab semua orang tak bisa melihat sosok yang menjadi target amarah Harits.
Harits tak peduli lagi pada sekitar, masa bodo dianggap gila. Ia terus memukuli anak setan itu sambil berteriak marah dan sedih. Namun, anak setan itu malah tertawa, Keadaan makin ramai, semua orang yang datang kini menertawakan Harits seperti anak tersebut. Mereka yang datang bukanlah manusia, melainkan arwah yang ikut meledek Harits, termasuk seorang pria berpakaian satpam.
"Mati ... mati ... mati ...." Anak itu tiba-tiba berlari sambil bergumam tak jelas. Harits yang marah pun berlari mengikutinya.
Mungkin karena sudah dilumat amarah dan kesedihan yang mendalam, Harits tak sadar jika orang-orang di sekitarnya memanggil anak itu dengan raut khawatir. Mereka berteriak, tetapi Harits tak mendengarnya. Bahkan ada yang berlari mengejar Harits kecil.
"Awas!" teriak salah satu warga yang mengejar Harits.
Di depan Harits ada sebuah tebing yang cukup tinggi. Di bawah tebing itu ada sungai yang berbatu dan memiliki air yang dangkal.
Namun, warga terlambat mengejar Harits yang memiliki kecepatan di atas rata-rata anak seusianya.
"Mati," ucap anak itu pada Harits.
Waktu seolah berhenti untuk Harits. Ia kehilangan pinjakan pada kakinya. Dalam sepersekian detik, waktu kembali berputar. Ia tergelincir jatuh ke tebing. Bocah itu berguling-guling dengan cepat menuruni tebing bak sedang bermain di perosotan kematian.
Kepalanya terhantam batu besar dan terkapar di tepi sungai. Kini sebagian aliran sungai berwarna merah darah.
***
Harits kecil membuka mata, ia celingak-celinguk menatap sekelilingnya. Tak ada lagi jalan, tak ada lagi sungai, tak ada lagi warga. Kini ia berada di tempat yang sepi dan berkabut.
"Hoeek!"
Aroma anyir yang menusuk membuatnya muntah dan berlutut di tanah. Harits memandang ke atas, di tatapnya langit merah yang ramai dengan burung-burung pemakan bangkai.
Harits memang kecil, tetapi ia tak bodoh. Bocah itu duduk dengan kedua lutut tertekuk. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Bukannya membalaskan dendam untuk Ghina, ia malah ikutan mati.
Di tengah kekecawaan itu, seorang pria muncul dan duduk di sebelahnya. "Belum saatnya kau ada di sini," ucap suara berat itu.
Harits menoleh. Ia terdiam menatap pria berpakaian pastur dengan rambut belah tengah. Pria itu putih dan bersih, tetapi cukup aneh bagi Harits. Sebab ia menggunakan kain hitam untuk menutup kedua matanya.
"Apa kau juga hantu?" tanya Harits.
"Sama sepertimu saat ini," jawab pria itu.
Harits terdiam sejenak, ia membenamkan kepala di antara kedua lututnya.
"Kenapa manusia tidak bisa menyakiti hantu? Sementara hantu bisa menyakiti manusia?"
Kini giliran pria itu yang terdiam beberapa saat.
"Manusia tidak bisa melukai hantu, begitupun sebaliknya, tetapi ada caranya agar hantu bisa melukai manusia dan manusia bisa melukai hantu," jawabnya.
Harits mengepalkan tangannya. "Aku ingin membunuh hantu."
"Ada cara yang lebih mudah untuk membunuh hantu tanpa mengotori tanganmu sendiri."
Harits mengangkat kepala menatap pria itu. Tatapannya seolah bertanya tentang bagaimana caranya.
"Biarkan saja hantu lain yang mengurusnya," lanjut pria itu.
"Bagaimana caranya?" tanya Harits.
Pria itu mengeluarkan buku hitam dari balik jubah pendetanya. Tertulis sebuah huruf aksara yang tak dapat dipahami oleh Harits. "Tulisan apa itu?"
"Buku Sagara," jawab pria itu. "Buku ini merupakan penjara bagi makhluk-makhluk halus. Makhluk apa pun yang tertangkap, ia akan menjadi bawahan si pemegang buku."
"Sagara? Kita punya nama yang sama, Paman," ucap Harits.
Pria itu membuka buku tersebut. Ia menggigit jarinya hingga berdarah, lalu ia tumpahkan tetesan darah itu ke atas lembaran kertas di buku itu.
Tiba-tiba muncul anjing hitam penuh borok dari bayangan pria itu. Anjing itu menatap tajam ke arah Harits dengan liur yang tumpah ke tanah seolah kelaparan. Harits sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Ia sangat takut melihat anjing hitam itu.
"Tenang, ia patuh padaku," ucap pria itu tersenyum. Pria itu menoleh ke arah anjing hitam di hadapannya. "Pergilah." Seketika itu juga anjing hitam itu lenyap menjadi kepulan asap hitam.
Harits tak tahu harus berkata apa, tetapi jika ia memiliki anjing hitam itu, sudah pasti ia akan gunakan untuk membunuh anak setan yang sudah membuatnya dan Kakaknya mengalami kecelakaan.
Eskpresinya kosong. "Aku mau buku itu," gumam Harits.
Mikail tersenyum. "Buku ini tidak gratis."
"Bagaimana caraku membayarnya, Paman?"
Pria itu menunjuk mata Harits. Ia menyeringai. "Aku ingin matamu."
Harits terdiam. Harga yang terlalu mahal jika harus ditukar dengan pengelihatannya.
"Bukan matamu, tetapi mata Sagara yang kau miliki," lanjut pria itu. "Kau tidak akan kehilangan pengelihatanmu, juga pengelihatan astralmu. Buku ini mampu menggantikan mata Sagaramu yang hilang."
"Baiklah, ambil yang kau mau," balas Harits.
"Jika suatu saat kau mengingkan mata ini kembali, datanglah padaku, wahai anak Sagara."
***
Satu minggu berlalu ...
Harits membuka mata. Ia menatap Ayah dan Ibunya yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua memeluk Harits sambil menangis. Kedua orang tua itu hampir saja kehilangan kedua anaknya dalam waktu bersamaan. Di balik kesedihan, mereka juga bahagia. Setidaknya, putra bungsu mereka masih diberikan kesempatan hidup setelah mengalami koma akibat pendarahan di kepala.
"Kakak Ghina mana?" tanya Harits.
Isak kedua orang tuanya semakin menjadi-jadi karena pertanyaan itu. Mereka belum siap memberitahukan kenyataan pahit yang menimpa Ghina pada Harits kecil. Meskipun Harits sudah tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri, tapi setidaknya ia berharap ada keajaiban yang membuat Ghina kembali.
Dalam dekap orang tuanya, ekspresi bocah itu tidak terlihat sedih atau pun senang. Ia justru terlihat gusar dengan mata kanan berwarna hitam pekat dan iris berwarna biru. Ada sebuah buku hitam yang muncul di tangan kanannya, tetapi buku itu tiba-tiba saja menghilang kembali. Begitu buku itu menghilang, mata Harits terlihat normal kembali.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top