89 : Pohon Harapan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
"Melodi Regita Mahatama."
Suara panggilan itu menggema di ruangan aula kampus ISI yang megah. Melodi berdiri diiringi tepuk tangan meriah, langkahnya terhitung lambat namun pasti. Di hadapannya, terbentang panggung tempat ia akan menerima selempang dan ijazah, simbol akhir dari perjalanan panjang di bangku kuliah.
Seharusnya hari ini menjadi salah satu hari bahagia dalam hidupnya, tetapi entah kenapa, di tengah bahagia itu, ada secuil sesak yang mengganjal.
Langkah terakhir Melo membawa tubuhnya tepat ke hadapan rektor. Ia menerima selempang itu dengan anggukan kecil, mendengar ucapan selamat yang seolah hanya menggema tanpa makna jelas. Sesaat, senyumnya melebar. Kamera menangkap momen itu, sebuah potret kebahagiaan yang sempurna.
Namun di balik senyumnya, ada hati yang terasa berat melepaskan. Mengetahui hari-hari yang biasa ia jalani selama empat tahun ini akan segera berakhir, membuatnya agak sesak.
Melodi berjalan kembali ke tempat duduknya, memegang erat ijazah yang baru saja ia terima. Jemarinya menggenggam kertas itu seperti benda paling berharga yang pernah ia miliki. Di sekelilingnya, suara tepuk tangan dan sorakan masih terdengar.
Ia duduk, menarik napas panjang, mencoba memahami gejolak di hatinya. Ada rasa lega yang luar biasa. Akhirnya semua kerja keras dan malam-malam tanpa tidur itu terbayar. Tetapi, bersamaan dengan itu, ada rasa kehilangan yang mendesak.
Hari-hari yang penuh tugas, tawa teman-teman, dan bahkan air mata saat berjuang bersama kini resmi telah berakhir. Tak akan ada lagi ucapan selamat datang di Mantra Coffee untuk pelanggan yang baru saja datang. Tak akan ada lagi kehangatan bersama anak-anak Mantra. Sebab, Melodi paham, ketika ia memutuskan pergi, maka tak ada jalan kembali. Kelak, semua yang ia tinggalkan tak akan pernah terasa sama saat kembali.
Matanya menatap ke depan, ke panggung yang kini menjadi pusat perhatian semua orang. Ia seharusnya merasa puas dan bangga atas dirinya sendiri, tetapi ada kekosongan kecil yang tak bisa ia abaikan.
Melodi menunduk, memandang selempang itu sekali lagi. Sebuah simbol kemenangan, tapi juga penanda bahwa sebuah fase hidup telah selesai. Ia tahu, hidupnya tidak berhenti di sini. Akan ada perjalanan lain yang menunggu di depan. Namun untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen yang tersisa dengan sebaik-baiknya.
Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan suara tepuk tangan dan musik wisuda menyelimutinya. Di tengah kebahagiaan dan rasa kehilangan itu, ia berbisik dalam hati, kepada dirinya sendiri. 'Kamu hebat sudah berjuang sampai sejauh ini, Melo. Sekarang, waktunya melangkah lagi ke tujuan yang baru.'
Di luar aula, suasa dipenuhi oleh orang-orang yang bergerombol dengan senyum lebar, bunga di tangan, dan suara kamera yang tak berhenti berbunyi.
Pandangan pertama Melodi langsung tertuju pada keluarganya yang menunggu di depan pintu aula. Tama berdiri dengan kemeja batik rapi, tangannya melambai dengan senyum bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di sebelahnya, Bunda memegang buket bunga matahari yang cantik. Sementara itu, adik kecilnya mengangkat karton bertuliskan "Selamat Kak Melo!" dengan huruf warna-warni. Dan tentu saja tak lupa, sang kembaran pun berdiri di sana dengan kemeja putih kasual dilapisi outer abu-abu. Nada tidak membawa apa-apa kecuali senyuman hangat.
"Melo!" Nada berteriak sambil berlari ke arah gadis Bertoga itu. Ia melompat dan memeluk Melodi dengan erat. "Kamu keren banget, Melo! Udah wisuda itu keren!"
Melodi tertawa kecil sambil membalas pelukan Nada. "Makasih, Nad. Kamu juga harus cepet-cepet nyusul aku, ya. Biar keren juga!"
Tama dan Aqilla menyusul. Sang ayahnya menepuk pundak Melo tanpa kata-kata, tetapi sorot matanya penuh kebanggaan. Ia pun mengeluarkan jempol andalan untuk putri tercintanya.
Di sisi lain, Aqilla menyodorkan buket bunga matahari yang ia bawa. "Teruntuk anak Bunda yang paling cantik dan paling hebat," katanya sambil tersenyum.
"Makasih Bundaaaaa. Bunganya cantik banget, mirip bunda." Melodi menerima bunga itu dengan senyum lebar. "Makasih Bunda. Makasih Ayah. Aku enggak akan sampai sini tanpa kalian."
Namun sebelum ia sempat benar-benar terhanyut dalam momen kekeluargaan itu, suara dari arah lain memecahnya.
"Udah selesai nih pelukan-pelukannya? Kalo enggak ikutan dipeluk, kita balik aja ke mobil, deh," tukas suara cempreng itu.
Melodi menoleh dan langsung melihat Harits, dengan gaya tengil khasnya, berdiri di samping Deva yang hanya mengangkat bahu. Di belakang mereka, Kevin, Cakra, dan Ippo menunggu dengan senyum-senyum kecil.
"Ya udah sono! Emang lu pikir gara-gara lu balik, gua enggak jadi wisuda gitu?" balas Melodi, setengah tertawa, setengah kesal.
Nada mendekati Harits dan menyenggol bahunya. "Kamu tuh kurang poster karton kayak Vian, Rits."
"Parah, mentang-mentang si Harits masih anak-anak juga," celetuk Deva.
"Mending lu diem , Drong," balas Harits sembari menatap Deva kesal. "Daripada nanti wisuda lu gua acak-acak, kan?"
Senyum itu tak bisa lepas dari wajah Melodi. Ia berjalan mendekati mereka semua, matanya bergantian melihat orang-orang yang selalu menemaninya selama ini. "Kalian bener-bener dateng semua?"
Harits mendekati Melodi dan menyentuh kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Iyalah, gila. Pikir dong pake otak, lau kan lulusan terbaik."
"Yeee! Kirain kan lu lagi sibuk ngusir hantu."
"Udah, lu diem aja. Kita semua bawa kado buat lu nih," ucap Harits.
Melodi memicingkan mata. Pasalnya, ia sama sekali tak melihat anak-anak Mantra membawa apapun. Tiba-tiba saja, Harits, Cakra, Deva, dan Kevin menyebar ke kanan dan kiri, membukakan jalan untuk sang pangeran. Sepertinya, hari ini Ippo sudah dimandikan, ia tampak lebih segar dipandang. Tak ada lalat hijau yang hinggap di sekitarnya.
"Selamat menikmati hadiahnya, Nona," gumam Harits diiringi senyum tipis.
Ippo berjalan melewati tembok manusia di sisi kanan dan kirinya. Pria itu membawa setangkai bunga bawar. "Selamat atas kelulusannya," ucap Ippo.
"Enggak kurang banyak bunganya, Tuan?" tanya Melodi melihat setangkai mawar yang Ippo bawa.
"Meskipun cuma setangkai, tapi mawar ini yang paling cantik di antara semua mawar di toko bunga," balas Ippo.
Melodi mendekatinya. Ia mengambil mawar yang disodorkan oleh Ippo dan menghirup aromanya. "Makasih ya, aku suka bunga mawar yang kamu kasih. Mawar ini mawar paling wangi yang pernah aku cium aromanya."
Harits hendak meledek adegan romantis itu dengan humor anehnya, tetapi sebelum itu terjadi, Tama tiba-tiba saja melangkah.
"Anak-anak, ayo kita cari makan," ucap suara berat Tama. "Yang terakhir sampe, cuci piring."
Deva, Cakra, Kevin, dan Harits pun mengangguk dan berjalan mengikuti Tama. Ippo hendak pergi, tetapi Aqilla menahannya. "Kamu di sini dulu aja, temenin anak Bunda."
"Aaaaaa ... oke, Bunda," balas Ippo.
Bunda tersenyum. Ia berjalan sambil menggandeng Vian, diikuti Nada. Kini hanya tersisa Melodi dan Ippo. Suasana canggung pun sirna. Melodi langsung memeluk pria itu.
"Makasih udah bertahan sejauh ini buat ada di samping aku. Aku bukan wanita yang baik, tapi Tuhan menghadirkan kamu ke dalam hidupku, aku merasa beruntung, Po. Tapi, aku punya satu dosa yang harus kamu tau."
"Enggak tahu pun enggak apa-apa. Selama bisa terus ada di sisi kamu, itu udah cukup."
"Masalahnya soal perasaan, Ippo."
Ippo tersenyum. "Harits, kan?"
Melodi memicing. "Kok? Kamu?"
Ippo hanya terkekeh. "Udah lama aku cemburu."
"Kok enggak bilang?!"
"Karena kalian waktu itu punya misi. Aku juga tahu kok, seberapa berharganya aku di mata kamu, jadi aku percaya, kamu enggak akan pergi dari aku, Alunan."
Wajah Melodi tampak sangat merasa bersalah. "Maaf ...."
Ippo mengusap kepala gadisnya. "Kalau kamu merasa sebersalah itu. Cukup jadiin pelajaran biar enggak ada dosa lain kedepannya."
"Janji," ucap Melodi.
"Aku pun janji, enggak akan ada wanita lain selain kamu, meskipun cuma seuprit rasa suka. Aku janji akan selalu menurunkan pandangan dan jaga mata aku, biar enggak ada yang lebih baik dan lebih cantik dari kamu."
"Makasih ya, Ippo ...." Melodi berjalan mundur satu langkah, melepaskan dekapannya.
"Oh iya, rencana kamu buat pulang hari ini jadi?" tanya Ippo.
Melodi mengangguk pelan. "Jadi. Aku udah kargoin barang-barangku kemarin, jadi nanti tinggal bawa badan aja ikut ayah sama bunda naik mobil ke Bandung."
"Aaaaaa ....." Ippo menggaruk kepala. Ia terlihat seperti orang yang bingung.
"Kenapa?" tanya Melodi.
"Meskipun dulu kita belum pacaran, tapi aku udah ngerasain sakitnya LDR waktu berobat di Amerika. Aaaaaaa ... dan aku enggak yakin bisa bertahan dari itu lagi."
Melodi kini menggenggam tangan Ippo erat-erat. "Kita harus bisa lewatin semua jenis badai. Pasti sulit, tapi aku yakin kita bisa. Enggak apa-apa jauh, biar kita sama-sama mampu menghargai pertemuan."
Ippo tersenyum. "Ya, aku akan berusaha bertahan."
"Kalo gitu, yuk, kita susul yang lain. Aku laper," kata Melodi.
"Gas." Ippo berjalan sambil menggandeng tangan Melodi.
Meskipun pelan, waktu terus berjalan. Setelah makan siang tadi, Melodi dan keluarganya berpisah sejenak, Tama, Aqilla dan Vian kembali ke hotel untuk packing barang mereka. Sebentar lagi, mobil Tama akan segera menjemput putrinya itu di Mantra.
Sebelum orang tuanya datang untuk membawa Melodi pergi dari kota Yogyakarta, gadis itu membawa dirinya sendiri ke bangunan utama Mantra Coffee dan berdiri menatap sekeliling interior di dalam kafe. Aroma kopi seperti ini, mungkin tak lagi bisa ia nikmati setiap hari, setelah hari ini berlalu.
Jogja. Kota ini sudah menjadi saksi bisu ratusan episode dalam hidupnya. Sebentar lagi, kota yang istimewa ini akan menjadi bagian dari masa lalu seorang Melodi Regita Mahatama.
Melo menghela napas pelan, pandangannya menyapu setiap sisi dan sudut Mantra. Sudut tempat duduk favoritnya di dekat jendela, rak buku kecil yang sering ia singgahi untuk membaca novel tua saat sedang sepi pelanggan, hingga lantai kayu yang berderit lembut setiap kali seseorang melangkah masuk. Mantra bukan hanya kafe baginya. Mantra Coffee adalah pelarian, ruang aman, tempat pulang, dan wadah cerita yang kelak hanya akan ada di dalam ingatan.
Ransel kuning yang sudah lusuh bertengger di pundak gadis itu, seolah menanti untuk membawanya ke petualangan yang baru. Tapi untuk saat ini, Melo hanya ingin menikmati detik-detik terakhirnya di tempat yang terlanjur ia cintai ini. Dengan langkah pelan, Melodi berjalan menuju pojok mading yang dihiasi cat warna pastel dan lampu kecil berbentuk daun. Pohon harapan, begitu mereka menyebutnya, tempat pelanggan menulis harapan, cerita, atau pesan di atas kertas warna-warni untuk digantungkan.
Melodi meraih salah satu kertas, membacanya dengan senyum tipis. Lalu tangannya bergerak lagi, membaca yang lain.
"Untuk Nada dan Melodi. Jangan sering berantem. Kalian lucu banget kalau lagi akur," gumam Melodi pelan. "Dari username _Heavenize."
Melodi menatap tulisan itu sesaat, lalu tersenyum kecil sebelum menaruh kertas itu kembali.
"Melo sama Harits, jokes nya always mood," kata gadis itu membaca kertas lainnya. "Dari Wulan."
"Enggak, enggak, enggak. Aneh banget ini yang nulis. Aku aja enggak mood kalo dicengin dia." Melodi menggeleng pelan, sebelum berpindah ke kertas berikutnya.
"Buat Tama, pertahanin cool nya hahaha." Melo memicingkan mata. "Kok jadi Ayah yang dapet pesan? Ya udahlah ya, dari mtazhr__."
Saat tiba di kertas selanjutnya, tiba-tiba saja, senyum Melodi sedikit memudar. Ada keheningan yang ia rasakan dalam tulisan itu.
"Tetap jadi Harits yang baik dan menghibur semuanya. Jangan nyimpen luka lu sendiri, lu selalu jadi tempat pulang orang-orang, tapi lu enggak bisa pulang kemanapun, lu selalu jadi orang yang mengerti mereka, jadi lu juga perlu dimengerti," gumam Melodi lirih. "Ya, begitulah si Boncel. Dia emang orang baik yang munafik hehe, dari Diah."
Melodi menghela napas, tangannya menyusuri kertas yang mulai usang di bagian pinggir pohon harapan.
"Terkhusus Harits, yang konyolnya lebih dari Andis, leadershipnya kayak Dirga, kepintaran mirip Tama, dan kepekaan model Ajay. Teruslah menjadi diri lu sendiri dan coba lebih fokus ke diri sendiri ketimbang orang lain. Teruntuk Mantra, teruslah abadi dengan slogan 'Selamat datang di Mantra Coffee'." Melodi terkekeh tipis. "Really, Harits lagi? Dari Ar."
Melodi tersenyum kecil, ia terhibur saat membaca kata-kata di kertas yang tertempel di pohon harapan. Pikirannya melayang pada kenangan-kenangan yang ia miliki selama beberapa tahun ini. Bukan hanya bersama keluarganya di Jogja saja, tetapi juga bersama para pelanggan yang setia menemani Mantra Coffee sampai sejauh ini.
"Mantra Coffee buka cabang di Depok dong ahahaha," ucap Melodi lagi. "Dari, RainHeart."
Setelah membaca semua itu, ia berdiri diam beberapa saat, membiarkan matanya tertuju pada mading yang penuh warna dan cerita. Perlahan ia mengambil sebuah sticky notes kecil di pinggir pohon harapan dan sebilah pena. Di sana, Melodi menulis sesuatu. Sebuah pesan sederhana untuk ditinggalkan.
Ia menempelkan kertasnya di salah satu sudut yang masih kosong, lalu mundur selangkah untuk melihat hasilnya. Melodi tersenyum kecil saat membacanya.
"Melo, itu mobil ayah udah dateng," ucap Nada yang kepalanya masuk, menyelinap dari celah pintu kafe.
"Oke, aku ke sana," jawab Melodi. Gadis itu memutar arah. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke arah pintu. Sekali lagi, tangannya menyentuh bingkai kayu pintu Mantra untuk terakhir kalinya. Sebelum melangkah keluar, gadis itu menoleh sekali lagi, membiarkan semua memori dan aroma kopi masuk lebih banyak ke dalam benaknya.
'Untuk setiap langkah yang membawa kita pergi, selalu ada jejak yang tertinggal. Mantra akan selalu jadi bagian dari setiap langkah itu. Terima kasih untuk kenangan, rasa, dan hangat yang tak tergantikan. Teruntuk para pelanggan Mantra Coffee yang datang dan pergi, yang singgah dan berlalu, terima kasih atas waktu yang kalian berikan selama ini.'
Melodi menandatangani pesan itu dengan inisial kecil M.R.M.
Gadis itu berjalan keluar dari pintu Mantra, meninggalkan sebuah lubang yang tak akan pernah bisa diisi dan ditambal kembali.
.
.
.
TBC
.
.
.
Author Notes:
Entah, mungkin karena hari ini lagi di Jogja. Jiwa mau menamatkan Mantra Coffee Origin/Nexgen ini sangat menggebu-gebu. FYI, SATU bab lagi akan menjadi akhir dari cerita ini.
Beberapa pesan di Pohon Harapan yang dibacain sama Melodi di bab ini, sebetulnya pernah aku sayembarakan di Instagram, jadi open buat siapapun yang ingin menuangkan aspirasinya atau apapun itu teruntuk Mantra or maybe Authornya? Buat yang ketinggalan dan mau menulis kesan dan pesan selama beberapa tahun ini, dipersilakan di kolom komentar bab ini, aku berharap bisa lebih banyak membaca kesan dan pesan kalian :)
Big Thanks, Erzullie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top