88 : Malam yang Ku Harap Tidak Pernah Berakhir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Malam telah tiba, membawa dingin yang menggigit lembut. Kini, keenam orang punggawa Mantra duduk melingkar beralaskan tikar di depan api unggun yang menari-nari. Suara gitar akustik Deva mengisi udara, mengalunkan nada Wish You Were Here dari Deep Neck. Nada-nada itu meresap ke dalam gelapnya malam, seolah berbicara kepada langit dan dedaunan basah yang kini diam mendengarkan.
"If a picture is all that I have, I can picture the times that we won't get back ...."
Setelah membersihkan diri dan bersiap-siap, mereka semua berkumpul di tenda utama, lalu dilanjutkan membuat api unggun. Deva membuat peraturan, meskipun mereka kemping di halaman, tetapi tidak ada yang boleh masuk ke bangunan Mantra, kecuali ke kamar mandi.
Kevin duduk bersandar pada tas logistik, menatap Harits yang sedang bernyanyi dengan indahnya, sambil sesekali ia ikut menggumamkan liriknya tanpa suara. Melodi bersandar di bahu Nada, memainkan rambut pendek kembarannya yang basah oleh air bekas mandinya, sementara Cakra duduk bersila dengan tangan terlipat, matanya tertuju pada nyala api yang meliuk tenang.
"Aku heran, si Harits itu kalo nyanyi suaranya bagus, tapi kalo ngomong biasa suaranya kayak babi hutan," ucap Melodi.
"Enggak boleh gitu, Melo. Dia itu kalo ngomong biasa cuma kayak orang mencet idung aja, suaranya mirip suara astronot," timpal Nada. "Atau enggak suara satpam yang lagi komunikasi lewat HT."
Selesai bernyanyi, Harits langsung terlihat tidak bisa diam. Ia sibuk menyusun botol-botol minuman di samping Deva, sambil sesekali bersenandung palsu yang membuat Melodi memukul lengannya dengan ringan.
"Lu kalo mau nyanyi, nyanyi sekalian. Jangan senandung-senandung begitu, suara lu bau!" seru Melodi. "Bukannya masuk ke kuping, tapi malah ke idung!"
"Kuping lu tuh buta warna, enggak ngerti estetika warna-warna nada," balas Harits enteng.
Cakra berdehem, memecah perkelahian yang mulai memanas. "Jadi, kapan kita mulai makan-makan?" tanyanya, memandang Kevin yang bertugas sebagai penyedia logistik.
"Langsung!" seru Harits yang bergerak menuju logistik. Deva meletakkan gitarnya dan ikut berjalan di belakang Harits.
***
Dengan sedikit persiapan kecil, kini makanan ringan terhidang di beranda tenda, dan aroma marshmallow yang dibakar perlahan memenuhi udara. Cakra sibuk menata minuman kaleng, sementara Nada menyiapkan teh hangat di termos kecil.
Melodi memeluk lututnya sambil menatap api unggun. Membayangkan kebersamaan seperti ini akan sirna dalam hidupnya, sedikit membuatnya sedih. "Perasaan baru kemaren pertama kali napakin kaki di Jogja, eh, dalam hitungan hari udah mau ninggalin Jogja. Banyak temenku yang bilang, kalo Jogja itu susah dilupain, tapi aku enggak percaya. Seenggaknya sampai hari ini tiba, aku mulai ngerasa sedih e."
Nada menyodorkan secangkir teh hangat kepada Melodi. "Mungkin keseharian kita yang selalu sama-sama hampir selesai, tapi kan masih ada besok, Melo. Kita tinggal janjian aja kalo mau ngumpul bareng lagi."
Harits menyalakan lagu lain dari ponselnya, berusaha menggeser arah obrolan mereka. Musik instrumental berbau horor mengalun lembut, menggantikan keheningan di sela-sela percakapan kecil mereka.
"Ayo, siapa yang mau cerita horor?" seru Harits tiba-tiba, mengangkat alis dengan ekspresi jahil.
Nada menggeleng tanpa ekspresi. "Udah malem, jangan bikin rusuh. Kita enggak bawa paranormal, Rits."
"Lah, dia kan paranormal," balas Deva.
"Apaan! Dia itu enggak normal, Deva!" timpal Melodi.
"Eh, ngomong-ngomong, kamu bukannya bisa lihat arwah juga, Mel?" tanya Cakra.
Melo mengangguk. "I-iya sih, tapi cuma sesekali aja. Setelah mulangin Adi sama Ratna, pelan-pelan kayak pengelihatan astralku pudar."
"Terus sekarang, di sini ... ada?" tanya Cakra lagi.
Sudut mata Melodi langsung mengarah ke celah di antara Deva dan Nada. "A-ada sih."
Yang bersangkutan langsung bangun dan pindah tempat. Deva agak bergeser ke Harits, dan Nada semakin merapat pada Melodi.
"Mereka itu arwah penasaran yang haus darah," kata Harits dengan tatapan serius. "Sebenernya, setiap malem di halaman belakang ...."
"Ah, Harits, diem dong," kata Nada, gadis itu ketakutan.
Harits tiba-tiba saja menunjuk ke arah api unggun dengan gerakan cepat, membuat refleks teman-temannya aktif dan agak mundur menjauh dari api.
"Mereka marah," ucap Harits.
Tiba-tiba saja api unggun bergoyang dombret, padahal tidak ada angin yang berembus di sekitar Mantra. Lalu, Harits dengan cepat menunjuk ke arah pohon.
"Mereka menuntu balas dendam," lanjut Harits dengan suara lirih penuh tekanan.
Daun-daun di pohon bergerak, seolah ada yang sedang menggoyangkan rantingnya. Membuat para Mantra histeris ketakutan, termasuk Deva, Cakra, dan yang paling keras teriakannya, Kevin.
"Cel, udah deh," ucap Melodi dengan wajah datar. "Kalo mereka bisa lihat, mereka enggak akan takut."
"Nyahahaha, itulah manusia. Dikit-dikit takut karena pikirannya sendiri. Mereka mikir kalo hantu ini serem, padahal apa, Doy?" tanya Harits.
Melodi menunjuk ke arah api unggun. "Itu bocah lagi lari-larian nembus-nembus api. Mukanya datar, bete disuruh-suruh Harits." Lalu ia menunjuk pohon. "Yang itu abang-abangan, dia lagi gelayutan, kalo dia mukanya seneng, soalnya emang dia paman yang ramah. Aku awalnya takut, tapi lama-lama jadi lucu aja, mikir kenapa takut sama begituan. Bukan karena terbiasa, tapi karena emang mereka enggak seserem itu. Paling sesekali kaget aja, waktu nongol, jalan nembus tembok."
Harits terbahak-bahak melihat ekspresi teman-temannya yang ketakutan. Kalau bukan karena Melodi, ia berniat untuk membiarkan teror itu sampai besok pagi. Harits sudah memberikan arahan pada Hara dan juga Tomo, untuk menggoyang-goyangkan tenda mereka, tapi sepertinya tidak jadi.
Gelap semakin pekat, membawa malam semakin dalam pada kesunyian. Api unggun mulai meredup, menyisakan arang merah yang sesekali berderak, melepaskan bara kecil ke udara. Langit malam bertabur bintang, terang dalam gelap yang hening. Semua aktivitas telah selesai, gelak tawa dan candaan mulai mereda. Mereka kini duduk dilumat kebisuan, menikmati dingin yang membelai kulit.
Nada menatap jauh ke arah bintang yang malam ini rasanya lebih dekat. Di sisi lain, Deva masih memetik gitar dengan suara lirih, hanya memainkan nada-nada tanpa tujuan, lebih untuk dirinya sendiri daripada orang lain.
Cakra kini terbaring diam di tikar, menatap langit dengan tangan di belakang kepala. Kevin, duduk bersila dengan posisi sempurna, matanya sesekali melirik ponselnya yang redup, menanti sebuah pesan yang tak pernah datang.
Melodi dan Harits duduk bersebelahan, hanya dipisahkan oleh jarak tiga jengkal. Melodi menggenggam secangkir teh yang masih hangat, sedangkan Harits menyalakan rokok, asapnya berbaur dengan angin malam.
Lama mereka terdiam. Mendengarkan orkestra alam, dari nyanyian jangkrik, lolongan anjing dari kejauhan, dan daun-daun yang bergesekan halus.
Melodi akhirnya memecah keheningan dengan suaranya yang lirih. "Kenapa waktu itu terasa lambat kalo kita bosen? Tapi cepat banget kalo lagi seru?"
Tidak ada yang langsung menjawab. Harits menarik napas panjang, rokok di jarinya nyaris habis. Ia meniupkan asap ke udara sebelum menjawab pelan. "Mungkin karena kita takut bahagia itu habis."
Melodi menunduk, matanya menatap cangkir di tangannya. "Gua takut, Cel ... takut enggak bisa kayak gini lagi. Kalo nanti kita semua sibuk sama dunia kita masing-masing, apa kita masih sempet ketemu dan ngehabisin waktu kayak gini?"
Harits yang biasanya paling petakilan, kali ini bicara dengan nada yang jauh lebih lembut dari biasanya. Mungkin karena terbawa oleh suasana. "Kita mungkin bakal sibuk, Doy. Tapi bukan berarti kita lupa. Momen kayak gini tuh enggak bakalan ilang, karena bakal jadi core memori. Tinggal gimana kita bikin janji sama diri kita sendiri buat selalu solid. Percuma janji sama orang, minimal janji sama diri sendiri, biar kalo ingkar, ye kecewa sendiri."
Nada menoleh ke Harits tanpa kata-kata, ia hanya mengacungkan jempol andalannya.
Deva tersenyum tipis, tapi matanya terlihat sendu. "Kalo hati kita masih di sini, enggak peduli seberapa jauh kita pergi, kita enggak akan pernah bener-bener ninggalin tempat ini."
Melodi tersenyum tipis, menatap mereka satu per satu. "Makasih, ya. Kalian bikin aku enggak takut lagi ninggalin Jogja. Kalian bikin aku percaya, kalo rumah itu bukan cuma tempat ... tapi juga orang."
Nada menghela napas. "Kadang tuh, aku iri sama kalian, yang bisa pergi ninggalin segala hal demi impian kalian. Tapi seiring waktu, aku juga belajar ... kalo hidup itu bukan cuma soal apa yang kita kejar, tapi apa yang kita tinggalkan. Dan terkadang, yang kita tinggalkan itu jauh lebih berharga dari apa yang kita kejar. Dengan pikiran itu, aku jadi legowo buat ngelepasin kalian pergi duluan, toh semua orang punya waktu buat bersinar, kan?"
Semua orang menatap Nada tanpa kata, mereka hanya memberikan jempol andalan mereka semua pada gadis rambut bondol tersebut. Dalam diam itu, sebuah kesepakatan tanpa kata terjalin di antara mereka. Entah bagaimana, malam itu terasa abadi, seperti sebuah fragmen waktu yang akan terus mereka bawa, bahkan ketika kelak dunia mereka berubah.
Dalam hitungan jari, Melodi akan merayakan wisuda. Ia akan menjadi orang pertama yang pergi meninggalkan Mantra. Gadis itu menatap teman-temannya yang sudah tampak lelah.
'Aku ingin terjaga selama mungkin, agar malam ini menjadi malam yang panjang, dan aku berharap, malam ini tidak akan pernah berakhir, sebagaimana perjalanan kami di Jogja.'
Nada sudah tertidur di tenda kecil, sementara Deva, Cakra, dan Kevin tidur di tenda besar, menyisakan dua manusia yang masih terjaga dalam diam.
"Lu kagak tidur, Doy?" tanya Harits yang masih duduk di sekitar arang bekas api unggun.
"Kadang ya, gua sebel sama lu yang selalu lempar pertanyaan yang jawabannya udah ketauan. Kalo gua udah tidur, gua enggak di sini, kan."
"Kan, gua nanyanya lu kagak tidur, Doy? Gua nanya alesan. Bukan nanya, lu udah tidur, Doy?" sanggah Harits.
"Lu kok jadi cowok enggak mau ngalah sih?" tanya Melodi.
"Entah, kalo adu argumen sama lu, gua ngerasa enggak boleh kalah aja, nyahahaha," jawab Harits.
"Kayak cewek lu, dasar!"
Setelah itu, keadaan mendadak hening. Harits dan Melodi kehabisan kata-kata, bahkan untuk sekadar kata-kataan seperti biasa. Namun, pada satu titik, mereka menoleh bersamaan.
"Eh, Doy."
"Eh, Cel."
Pandangan mereka beradu.
"Lu dulu."
"Lu dulu."
Mereka sama-sama menghela napas, lalu diam, seolah menunggu salah satu untuk bicara terlebih dahulu.
"Lu dulu, cepetan," ucap Melo.
Harits mengorek hidungnya, mencari sebuah harta karun di dasar jurang kegelapan berbulu. "Enggak jadi."
Melo kembali menghela napas berat, lalu memeluk lututnya sambil tersenyum getir. "Kadang, gua ngebayangin pagi gua tanpa ceng-cengan lu, agak aneh juga pasti. Meskipun lu nyebelin, tapi quotes-quotes abstrak lu pasti bikin kangen."
"Lu kesurupan arwah tape uli ape gimane?" tanya Harits. "Tiba-tiba jadi sopan gitu?"
"Jujur, gua tuh kadang mau akrab sama lu bukan dalam hal berantem. Lu tuh emang ngeselin, tapi gua paham, lu baik. Waktu gua ngerasa hampa gara-gara kepergian Ippo, lu yang bikin gua bangkit meskipun cara lu kayak anti-hero."
Harits menyandarkan kepalanya di kepalan tangan, sikunya ditopang lutut yang duduk dalam posisi sila. Ia menatap Melodi menggunakan ujung matanya.
"Sebetulnya gua mau ngomong sesuatu. Awalnya gua pikir lu enggak harus tau, tapi makin dipikirn, gua berubah pikiran. Apa yang mau gua omongin mungkin punya potensi bikin hubungan kita berubah, maybe agak renggang, tapi lu udah siap mau denger emang?"
"Sebetulnya gua enggak peduli, tapi karena lu ngomong begitu, gua jadi kepo. Ya udah, beberin aja," balas Melodi.
"Sebetulnya ini udah gua pendem lama, bahkan sejak libur SMA dulu gua ke Bandung. Diperkuat sama kadaan kita yang terhubung lewat Mantra Coffee, perasaan itu semakin berkembang," kata Harits.
"Jadi?"
"Gua benci sama lu," jawab Harits, singkat, padat, dan jelas.
Melodi tersenyum tipis mendengar pernyataan Harits.
"Dari waktu gua ke Bandung dulu, gua ngeliat lu itu tipikal orang yang gua benci. Di rumah lu, lu itu satu-satunya orang yang enggak ramah sama gua, yang posisinya tamu di sana. Padahal kita enggak saling kenal dan enggak ada masalah, kan? Kedua, lu jebak gua dengan pura-pura jadi Nada. Sampe pada akhirnya gua malah nyatain perasaan gua dan berakhir tragis. Bagi lu itu cuma hiburan. Lu enggak mikirn perasaan gua, atau perasaan Nada. Apa yang lu lakuin selama ini, itu cuma buat nuntasin hasrat keegoisan lu."
Melodi terdiam tak memiliki kata-kata untuk dikomentarkan. Ia hanya memandang Harits tanpa bisa merespons.
"Waktu kita pertama kali tinggal di Jogja, gua pikir lu berubah, tapi ternyata makin parah. Lu enggak punya rasa bersalah dan malah musuhin gua seakan-akan lu itu korbannya. Popularitas lu itu, kadang bikin lu jadi kurang disiplin masalah waktu, dan terlalu menggampangkan banyak hal. Lu enggak pernah mikirin orang lain dengan kesibukannya, selama ini lu cuma mikirin diri lu sendiri. Salah satu contohnya, mungkin selama tiga tahun awal, hidup lu udah kayak tuan putri yang selalu di anter-jemput, lu enggak mikirn posisi orang yang harus anter-jemput lu, apakah dia jauh, apakah dia sibuk ... lu itu tipikal orang yang gua benci. Makanya, gua enggak mau kalah sama lu dalam urusan apapun."
Melodi tertawa tipis. "Ternyata gua seburuk itu, ya? Gua enggak sadar. Kalo emang selama ini rasanya berat buat lu bertahan di deket gua, gua minta maaf, Rits."
"Tapi sadar lu bakal pergi dari hidup gua, gua lebih terluka dari apapun. Gua sadar, malem ini gua udah jadi bajingan, gua juga berengsek, tapi entah kenapa, gua cuma pengen lu tau aja."
"Enggak kok, lu enggak bajingan, lu juga enggak berengsek. Jadi, jangan pernah nyalahin diri lu sendiri. Makasih udah ngasih tau tentang perasaan lu ke gua, jadi gua bisa introspeksi diri."
"Gua belom bilang apa-apa, itu baru brijing. Kenapa gua nyebut diri gua bajingan dan berengsek? Alasannya sederhana. Karena di saat gua punya seorang pacar, di saat yang sama juga ...." Harits menoleh ke arah Melodi. "Gua suka sama lu."
Melodi memicingkan mata. "Kadang gua enggak bisa bedain antara bercanda lu sama serius lu."
"Gua enggak bercanda. Itu kenapa gua takut lu berubah setelah ini, tapi enggak apa-apa, toh kedepannya juga kita bakal jarang ketemu. Intinya, gua enggak tau sejak kapan, tapi gua enggak bisa bohong, kalo gua suka caper ke lu dan berharap lu notice, meskipun caranya dengan saling lempar hinaan."
Melodi masih menatap Harits. Pria itu sekarang terlihat seperti pengecut yang bersembunyi, ia tak berani menatap balik.
"Lu serius, Cel? Suka sama gua? Emang pacar lu enggak asik apa gimana?" tanya Melodi.
"Bukannya enggak asik. Dia itu cewek yang unik, dan gua bersyukur karena dia mau jadi bagian dari hidup gua. Dia itu nembak gua duluan, dan menurut gua itu keren. Dia bisa nurunin ego dan gengsinya demi orang yang dia suka. Dia itu wanita yang mahal," ucap Harits memuji Sekar. "Makanya gua berusaha keras menghina lu biar bisa lepas dari kutukan keluarga lu nyahahaha, tapi susah, asu. Semakin gua hina-hina, malah semakin gua berharap lu bales. Semakin gua ngebenci lu, tanpa sadar, benci itu malah berubah jadi hal yang gua suka."
Melodi meneguk ludah saat melihat senyum itu keluar dari wajah Harits. Tangannya kini meraih tangan Harits. "Kalo gitu, gua juga bajingan dan berengsek yang jilat ludah gua sendiri. Gua juga--suka sama lu masa."
Harits celingak-celinguk menatap sekitar, memastikan tidak ada orang lain di dekat mereka, lalu memandang Melodi kembali. "Tai kali?"
"Serius, gua juga enggak tau dari kapan, tapi tiap adu hinaan sama lu, gua ngerasa kayak lagi dipuji dah. Pokoknya tiap lu ngehina gua, gua berpikir itu bentuk satir aja," kata Melodi. "Kalo lu bilang gua jelek, gua tuh jadi kepedena nganggep diri gua cakep."
"Sepi nih." Setelah memastikan area clear, kini Harits menatap Melodi. "Ciuman, yuk, Doy?"
Melo mengerutkan kening. "Gua enggak sebinatang itu sih sampe harus ciuman sama tapir. Gua sadar punya cowok, dan enggak bermaksud selingkuh, apa lagi sampe sejauh itu. Ogah! Karena lu udah jujur, jadi gua jujur-jujuran juga, tapi ya udah, sebatas itu aja."
"Orang yang gua cium, itu udah keitung haji, Doy, jadi lu enggak perlu ke Arab lagi," ucap Harits.
"Yang ada langsung sariawan bibir gua! Mulut lu kan sampah, rumahnya kotoran, tiap pagi aja dikerubungin lalet ijo," balas Melodi merasa jijik. "Gua jadi curiga kalo pacaran lu agak menyimpang. Udah ngapain aja lu?"
"Lah, gua aja baru bilang suka, lu langsung megang tangan gua? Lu kali yang pacarannya brutal?" balas Harits lagi.
Melo langsung menarik tangannya dan bangun. "Idih! Kapalan dah tangan gua. Lebih alus pasak tenda daripada tangan lu, Cel."
"Mau ke mana lu, Doy?" tanya Harits.
Melodi mengambil gitar dan membawanya ke Harits. "Nih, lu mainin."
"Kan jagoan lu, lu aja yang maen."
"Udah, buru maenin!" Melodi kini duduk di sisi kanan Harits dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Lagu apa aja, buru!"
"Galak bener kayak cupang aduan, nyahaha."
"Dipetik aja pelan, jangan digenjreng, nanti yang lain bangun," gumam Melodi.
"Oke." Harits mulai memetik senar gitarnya lirih dan memainkan lagu Tak Ingin Usai dari Keisya Levronka.
"Berharap suatu saat nanti, kau dan aku kan bertemu lagi. Seperti yang kau ucapkan, sebelum kau tinggalkan aku."
"Cel, enggak apa-apa kan malem ini kita jadi bajingan?" tanya Melodi.
Harits masih memetik senar gitar tanpa arah dan tujuan. "Gua pernah sama Nada kayak gini, pacaran cuma satu hari. Dari subuh sampe sore, malemnya saling melupakan. Bedanya dulu emang enggak punya pacar sih. Kalo gini jatohnya selingkuh harusnya, tapi asal besok kita saling melupakan perasaan malem ini sih, kayaknya enggak apa-apa, meskipun apa-apa juga. Enggak ada pembenaran buat perbuatan bajingan, apapun alesannya."
Melodi bangkit dari pundak Harits. Ia memicing menatap pria itu. "Kapan lu sama Nada?"
"Udah lama, jaman-jaman masih ada Mas Abet. Waktu itu gua sama dia bolos, terus diomelin."
"Kok Nada enggak pernah cerita?" tanya Melodi.
"Entah," jawab Harits. "Gua sih enggak membenarkan perasaan kita malem ini. Gua tau kita sama-sama nanggung dosa sama pacar kita masing-masing, tapi enggak apa-apa. Lain waktu kita bisa ngaku dan harus nerima konsekuensinya. Yang jelas, setelah matahari terbit, kita harus saling ngelupain perasaan kita dan balik ke kondisi sebelumnya."
"Tunggu, tunggu ... gua masih shock. Berarti lu sama Nada pernah pacaran gitu? Satu hari?"
"Iya, makanya gua bilang kan tadi, gua kena kutukan keluarga lu," jawab Harits.
"Padahal kan ... lu jelek, ya? Kok bisa sih, gua ... sama Nada ... yang cantik dan jelita ini, sama-sama pernah suka sama cowok yang mukanya mirip taneman pokcoy? Lu kan ahli supernatural, jangan-jangan lu pake pelet, ya?! Atau pasang susuk?!"
"Eh, cibai, gua emang paham gitu-gituan dan bisa nyantet orang, tapi kalo urusan hati, itu alamiah. Akuin aja, gua ganteng nyahahaha. Katakanlah, gua tetep jelek di mata lu, tapi kalo bisa bikin nyaman, cewek bisa apa?"
"Berarti, gua sama Nada punya rasa simpati yang tinggi. Gua jadi ragu kalo yang gua rasain ini rasa suka. Jangan-jangan malah rasa iba? Karena tiap liat lu kayak kasian, lu nya jelek soalnya kayak bo'ol monyet."
Harits mencubit pipi Melodi hingga merah. "Terus, kalo enggak ganteng, apa yang bikin kamu suka sama aku? Enggak mungkin karena iba dong?"
"Lepasin, enggak," ucap Melodi. "Dan kenapa sekarang jadi aku kamu gitu ngomongnya?"
Bukannya dilepas, Harits malah mencubit pipi yang satunya. "Besok juga berubah lagi. Jadi mumpung ada waktu, boleh kan aku-kamu, kayak dulu waktu kita jadi bunda sama ayahnya dua arwah penunggu rumah ini?"
Melodi mengeluarkan ludah dan menahannya di ujung bibir. "Lepasin atau aku semprot ludah?"
"Nyahahaha, oke. Kamu lucu soalnya kalo kesakitan, jadi bawaannya pengen nyakitin terus." Harits melepaskan cubitan itu, lalu mengusap kepala Melodi lembut. "Enggak usah nunggu pagi, semakin kita bermanis-manisan, rasa bersalahku ke Sekar semakin besar. Aku tidur duluan, ya, berharap mimpi basah."
"Yeee! Sana mimpi basah mimpiin Arai Purok!" balas Melodi. "Ya udah sana tidur. Awas kalo mimpi macem-macem tentang aku, ya." Melodi mengepalkan tangannya dan menunjukkannya pada Harits sebagai ancaman.
"Nyahahaha, oke deh. Selamat malam, gigi kuning," ucap Harits tersenyum.
"Oke, selamat tidur, upil kering," balas Melodi dengan senyum manisnya.
Harits pun berjalan pergi meninggalkan Melodi, masuk ke dalam tenda. Tak lama berselang, terdengar suara dengkuran yang mirip seperti suara babi hutan.
Melodi menggelengkan kepala sambil terkekeh. "Dasar, kocak." Setelah itu, ia pun bergegas pergi ke tenda kecil untuk tidur juga.
Malam tadi Cakra tak bisa tidur, ia diam-diam menjadi saksi perselingkuhan absurd antara Harits dan Melodi, meskipun hanya mendengar obrolan mereka saja. Namun, para bajingan itu tak membuat Cakra merasa berbeda. Ia punya satu misi yang belum tuntas. Cakra bangun dan berjalan keluar dari tenda.
Ia berdiri di antara tenda besar dan kecil, mengamati langit malam sambil tersenyum. "Maaf, kakak-kakak senior, cuma ini yang bisa aku hadiahin buat kalian." Angin dingin yang menusuk kulit tak membuatnya goyah. Cakra duduk bersila, membiarkan napasnya menyatu dengan irama alam, dan menutup mata perlahan.
Saat ia membuka mata kembali, dengan nada rendah ia mengucapkan satu kata. "Brujeria."
Seketika itu juga, aura biru memancar dari tubuhnya, mengalir seperti gelombang air yang meluas, menyelimuti setiap sudut tenda dan para penghuni di dalamnya. Aura itu terasa hangat dan menenangkan.
Brujeria adalah teknik yang ia pelajari dari musuh lamanya. Seorang dream bender juga, yaitu Rama Sanjaya, salah satu punggawa Satu Darah.
Cakra menarik kesadaran teman-temannya ke dimensi mimpi tanpa mereka sadari. Ia membuka pintu imaji dan membawa mereka ke puncak gunung yang tinggi, tempat di mana dunia terasa begitu damai dan sempurna. Tujuan awal mereka, sebelum berakhir di halaman belakang.
"Gaesss! Bangun, gaes!" teriak Cakra.
"Apaan sih? Baru juga tidur perasaan, elah," gerutu Melodi. Ia dan Nada langsung keluar dari tenda, begitu juga dengan cowok-cowok di tenda besar.
https://youtu.be/ABs7uaqojsY
Mereka terbangun di tengah kabut tipis dan udara dingin. Langit di atas mereka adalah kanvas biru keemasan, matahari terbit perlahan, memercikkan warna merah muda dan oranye ke cakrawala. Angin sejuk membelai wajah mereka, dan aroma rerumputan basah bercampur bunga liar terasa begitu nyata. Dari tempat setinggi itu, mereka seperti bisa menatap dunia.
"Ini ... puncak?" Melodi bertanya setengah sadar, matanya mengamati sekeliling dengan kagum.
"Kok--bisa?" tanya Nada. Ia sedang berdiri di sebelah Melodi sambil meregangkan badan.
Tidak ada yang menjawab. Seolah mereka semua merasa tidak perlu tahu jawabannya. Hanya menikmati kedamaian dan melarutkan semua pertanyaan dalam pikiran mereka.
Deva duduk di sebuah batu besar, kembali memetik gitar yang entah dari mana munculnya. Melodi duduk sambil mendekap lutut, menikmati semilir embusan angin, sementara Kevin berdiri di tepi jurang, menatap matahari yang baru saja terbit.
Cakra diam-diam tersenyum. Ia tahu mereka tidak menyadari bahwa ini hanyalah mimpi yang ia bangun. Bukan untuk menipu, melainkan untuk memberi mereka kenangan yang tak terlupakan, bahkan jika hanya dalam jurang ilusi.
Waktu berlalu tanpa terasa. Mereka berbincang, bercanda, tertawa, dan menikmati kebersamaan ini seperti tidak ada hari esok yang harus mereka hadapi.
Harits dan Melodi berdiri berjauhan, mereka sesekali beradu lirikan, tapi tidak bertukar hinaan. Seperti yang sudah Harits bilang, saat ia terbangun, maka melupakan perasaannya terhadap Melodi adalah sebuah keharusan.
Namun, seiring matahari semakin tinggi, warna-warna di sekitar mereka mulai berubah. Langit biru memudar, menjadi kelabu, dan pemandangan indah di puncak perlahan memudar seperti lukisan yang larut dalam air.
Cakra membuka matanya di dunia nyata, tubuhnya masih bersila di tempat semula. Di dalam tenda, teman-temannya mulai terbangun satu per satu.
"Eh, kok--aneh, ya?" gumam Nada sambil mengusap wajahnya. "Masa aku mimpi kebangun, terus kita ada di puncak?"
"Hah?! Serius? Kok aku juga?!" tanya Melodi balik.
"Iya, kah?! Rasanya nyata banget, Melo. Aku ngerasa kalo itu bukan mimpi."
Deva keluar dari tenda, ia menatap Melodi dan Nada yang berdiri di depan tenda mereka dengan tampang bingung. "Gua juga mimpi sama dah. Kayak ... tadi bangun tidur, tapi pas keluar tenda tiba-tiba udah di puncak."
Harits tertawa kecil. "Seriusan? Gua kira cuma gua doang yang ngerasa begitu."
Kevin melirik ke arah Cakra yang sedang terduduk beralaskan rumput. Cakra tersenyum kecil menatap Kevin, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia menempelkan jari telunjuknya di bibir, agar rahasia itu tetap menjadi miliknya sendiri. Bagi Cakra, memberikan kebahagiaan meski hanya sebentar di dunia mimpi adalah misi yang cukup untuk malam tadi.
Meskipun, kenyataannya mereka semua menyadari bahwa apa yang mereka alami barusan bukan hanya kebetulan semata, melainkan karya dari seorang teman yang diam-diam menjembatani dunia nyata dan khayal.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top