87 : Di Bawah Langit Jogja
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Senin siang ini teduh, awan seperti melindungi Mantra dari serangan sang surya. Sudah hampir satu bulan berlalu sejak kematian Mila, dan hidup masih terus berjalan, seolah tak peduli pada sisa-sisa luka yang masih masih tertinggal.
Nada dan Melodi berbaring di halaman belakang, beralaskan rerumputan hijau yang melambai-lambai ditiup angin.
"Kamu yakin sama keputusan kamu, Nad?" tanya Melodi.
Nada tersenyum menatap awan yang bergerak di atapnya saat ini. "Yakin. Kamu kalo mau pulang duluan enggak apa-apa, aku masih mau nikmatin waktu-waktu yang ada dulu, enggak mau buru-buru. Takutnya, nanti ada yang ketinggalan dan enggak punya waktu buat balik lagi. Aku enggak mau ada penyesalan."
"Tapi, emang kamu enggak mau lulus bareng-bareng? Kita masuk bareng-bareng, tapi keluarnya beda-beda? Jujur, aku aja sedih."
"Awalnya mau, tapi semakin keinginan itu kuat, kadang aku justru malah ngerasa ketinggalan. Jadi, daripada mikir buat ngejar kamu atau ngejar waktu dan harus buru-buru, aku milih buat fokus dan nikmatin sisa waktu yang ada dengan sebaik-baiknya."
"Kamu keren, Nad," puji Melodi.
"Orang yang lulusnya ngaret keren?" tanya Nada dengan pikiran bobroknya.
"Dalam dunia seni, pelakunya kebanyakan keras kepala dan punya ideologi masing-masing. Dari sudut pandangku, orang yang punya pendirian dan kuat idealismenya, mereka keren," jawab Melodi.
"Gua dong keren?" Harits tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Nada.
"Iya, lu keren buat orang-orang aneh," balas Melodi.
"Jangan gitu, Melo. Harits itu beneran keren tau," balas Nada. "Buat orang-orang mati."
Melodi justru terbahak-bahak, meskipun ucapan Nada ada benarnya. Harits memang agak populer di kalangan hantu dikarenakan reputasi bapaknya. Nada tak bermaksud menghina, hanya saja terkadang kepolosannya parah.
"Halah, bacot!" timpal Harits. "Eh, Nad, ngomong-ngomong, tenda buat agenda kita hari ini naik gunung, ready?"
"Aku udah sewa tenda dua kok, satu tenda kecil buat tiga orangan, sama satu lagi tenda yang agak gedean buat sepuluh orangan. Tenda gedenya buat cowok-cowok dan jadi basecamp kalo mau nongrong sama jadi tempat logistik," jawab Nada.
"Oh oke, mantap." Tiba-tiba atensi Harits teralihkan, menatap sebuah mobil yang datang dari arah depan. "Gua udah minta tolong sama Cakra soalnya, buat sekalian turun beli logistik nyahahaha."
Mobil Kevin parkir di halaman samping. Dari mobil itu, keluar Cakra dan si tampan dengan beberapa tentengan logistik. Di kursi belakang, Deva juga turun sambil menggendong tas daypack hitam.
"Udah balik, Drong?" tanya Harits ketika melihat Deva muncul.
"Kan lu yang suruh balik, Pe'a, katanya mau perpisahan?" tanya Deva balik. "Melodi minggu depan wisuda, kan?
"Iya, abis wisuda dia pulang ke Bandung. Aku ditinggal sendirian, huhu," sahut Nada dengan ekspresi dibuat-buat sedih.
Tepat ketika Kevin, Cakra, dan Deva selesai membawa logistik keluar dari mobil, awan yang sebelumnya hanya teduh tiba-tiba berubah mendung.
Tiba-tiba ponsel Deva berdering, ia segera mengangkatnya. Memang, tidak ada yang bisa mendengar komplit percakapannya, tetapi tentang arahnya tentu saja terendus. Apalagi, wajah Deva mendadak jelek.
Sesaat setelah Deva mematikan panggilan itu, Harits pun mendekat padanya. "Piling gua kagak enak nih. Telepon dari siapa, Poy?"
"Dari Mas Barjo, pendamping gua waktu KKN di Mangli. Kebetulan, dia itu ranger di sana," jawab Deva. "Katanya, jalur yang mau kita tuju ditutup sementara. Ada aktivitas kecil di gunung Sumbing. Terus, karena curah hujan lagi tinggi-tingginya, ada kejadian tanah longsor baru-baru ini."
"Merapi lagi enggak bisa jadi opsi, Sumbing juga, gimana kalo kita pindah destinasi ke Sindoro?" tanya Nada.
"Udah pernah naik ke Sindoro?" tanya Deva.
Nada menggeleng sebagai jawaban.
"Berarti enggak ada yang paham medan," lanjut Deva. "Ditambah, cuaca gila. Kayaknya agak berat."
"Apalagi bawa Melodi," celetuk Harits. "Makin berat."
Melodi menatap sinis. "Emangnya gua gendut?"
"Secara body mah enggak, tapi secara ego iya," jawab Harits.
"Ego gimana sih?" tanya Melodi.
"Nanti siapa yang bawain tas lu?" tanya Harits.
"Ya pake nanya. Elu lah," jawab Melodi.
"Kalo kita nyewa porter gimana?" timpal Nada. "Bisa dianggap, ada yang berpengalaman di rombongan kita. Terus, buat nambel kebebanan Melodi di alam."
Melodi memicing. "Kok kamu menyebalkan juga sih, Nad?"
"Kamu emang pro kalo di mall, dan aku linglung, aku akuin itu. Tapi sebaliknya, Melo, kamu kalo di alam jadi linglung. Kamu selalu menghindar dari tanah becek dikit, teriak kalo ada serangga, capek dikit duduk mulu."
"Enggak, ya!"
"Ya udah gini aja. Kalo semisal di gunung, kamu mau ee malem-malem, aku enggak temenin enggak apa-apa?" tanya Nada.
Melodi tersenyum kering. "Jangan gitu dong."
"Ya udah, intinya tetep gas nih?" tanya Harits.
Melo mengangguk. "Iyain deh, abis wisuda gua udah pergi soalnya, jadi entah kapan lagi kita bisa ngumpul bareng kayak sekarang," ucap Melodi. Kini arah tatapanya berubah ke arah Cakra. "Nanti pas kita di mobil, kamu astral projection, Cak. Buat mantau situasi cuaca dan ngehafalin jalur kalo seumpama enggak ada porter."
Cakra memicingkan mata. "Apaan dah? Capek dong, berasa nanjak dua kali."
"Kan tinggal terbang," balas Melodi.
"Iya kalo enggak ditangkep setan gunung nyahahaha. Kalo ditangkep, yang repot kita cowok-cowok," tambah Harits.
"Intinya enggak segampang itu sih," kata Cakra. "Kalo segampang itu, mungkin dari dulu aku udah keliling dunia kali pake wujud roh."
Mereka semua sepakat untuk tetap berangkat, dengan asumsi bahwa cuaca akan membaik begitu mereka sampai di Magelang.
Namun, alam seolah bersikeras. Ketika hendak berangkat, mobil Kevin mendadak mati mesin, sementara mobil Deva bannya kempes parah, bocor entah dari kapan. Mereka berusaha mencari solusi, tetapi semesta terang-terangan menurunkan hujan deras dan angin kencang saat itu juga, seolah tak memberikan jeda pada mereka untuk berpikir. Kini, mereka semua hanya berdiri di teras kabin si kembar sambil menatap derasnya hujan.
Melodi menghela napas, lalu menatap mereka semua sambil tersenyum masam. "Kayaknya emang takdir ngelarang kita buat perpisahan di puncak."
"Berarti semesta emang sebegitunya, ngeyakinin kita kalo enggak ada kata perpisahan," balas Cakra.
"Gua harap juga begitu, tapi perjalanan hidup enggak sereceh itu sampe ngebiarin kita terus di titik yang sama. Jangankan kita, yang baru dipertemukan di masa-masa penghujung remaja kita. Orang tua kita yang dari kecil bareng aja, pada akhirnya mencar buat ke tujuan mereka masing-masing."
"Halah, bacot lu pada." Harits tiba-tiba saja berlari mengambil pasak tenda, lalu membawanya ke tengah halaman belakang.
"Kamu mau ngapain ujan-ujanan, Rits?" tanya Nada.
Harits mulai terlihat sibuk menancapkan pasak di tanah. "Siapa yang butuh puncak? Kalo ada tempat yang lebih indah dari pucak? Di sana enggak ada apa-apa, kebersamaannya masih di sini, ketinggalan."
Semua tersenyum melihat Harits yang mempioniri pergerakan. Nada bangkit, menyusul Harits dengan membawa beberapa pasak tenda lainnya.
"Aku bantu," katanya sambil melemparkan pasak ke tanah di dekat Harits. "Tapi kalo roboh, jangan salahin aku, ya."
"Nyahahaha bisa diatur," jawab Harits diiringi cengiran.
Deva yang sedari tadi berdiri sambil menatap mereka, menghela napas. "Ya udah, sekalian aja gua bantu juga. Mana palunya?"
Kevin ikut bergabung tanpa banyak bicara. Ia langsung mengambil tali tenda dan mulai menariknya ke sudut yang pas. Cakra yang sebelumnyahanya berdiri saja, sekarang mengangkat kedua tangan sambil berjalan ke arah mereka. "Oke, gua jadi mandor aja, ngasih arahan biar enggak ada yang salah."
"Kamu kerja juga, Cak, aku yang mandorin," balas Melodi yang kini ikut dicumbui tetesan hujan.
"Oke, oke." Cakra membantu menahan tenda sambil memperhatikan tali yang diikat Kevin.
"Eh, Melo, sini bantuin juga dong!" seru Nada sambil sibuk merapikan salah satu pasak. "Biar tangan kamu ada kerjaan."
Melodi mendengus, tapi akhirnya menyerah dan bergabung. Ia jongkok di samping Harits dan menyenggolnya dengan sengaja sampai Harits jungkir balik di tanah yang becek. "Uhhhh, tangan lembutku dipaksa kerja kasar."
Harits bangun dan mendorong Melodi sampai gadis itu jungkir balik juga, bahkan lebih parah. Wajah cantiknya kini agak kotor karena nyungsep ke tanah berlumpur.
"Nyahahaha makan tuh tai kebo."
"Wah, songong!" Tak terima dibuat begitu, Melodi pun menyerang balik. Namun, Harits menghindar dan kabur darinya. Melodi segera bangkit dan berlari mengejar Harits, mereka berlari mengelilingi tenda yang belum jadi.
"Heh, kerja! Siapa yang suruh malah pacaran?" ucap Nada.
"Siapa juga yang mau pacaran sama King-kong berkedok manusia!" Harits pun segera kembali ke tempat dan kembali memasang pasak. "Udah, ah, Doy!"
"Ya, makanya jangan mulai!" balas Melodi. "Aku juga enggak sudi, Nad, kalo harus pacaran sama kodok afrika."
"Lah, playing victim! Kan lu duluan yang mulai, Megalodon," sahut Harits.
"Udah, udah, jangan kelahi," kata Nada. "Kalian malah makin cocok tau!"
Kedua orang itu membuang tatap dan mulai bekerja kembali. Kini, Harits sibuk menancapkan pasak sambil berdecak kesal, menggerutu tanpa akhir. Nada memastikan semua tali terikat kencang, sesekali mengatur posisi karena merasa tenda miring. Kevin fokus mengencangkan simpul tanpa banyak bicara, sedangkan Cakra terus memantau sambil sesekali mengomentari upaya mereka. Melodi? Melo hanya fokus menjahili Harits dan yang lainnya, seolah menjadi utusan semesta untuk menghancurkan tenda yang teman-temannya buat.
Setelah hampir setengah jam, tenda besar akhirnya berdiri kokoh di tengah halaman belakang. Meskipun mereka semua basah kuyup karena serangan sang hujan, tak satu pun dari mereka mengeluh. Sebaliknya, mereka justru tertawa melihat kondisi masing-masing yang acak-acakan.
"Heh, kalian! Ini kok tendanya miring sih? Enggak bener nih kerjanya," tanya Melodi yang berdiri sambil memiringkan kepalanya.
"Ya terang aje, otak lu miring! Nyahaha," sahut Harits sambil menunjuk kepala Melodi.
Nada mendekati tenda yang baru saja mereka dirikan, menepuk-nepuk kainnya untuk memastikan tidak ada air yang merembes ke dalam. "Enggak nyangka, kita bisa kerja bareng kayak gini," katanya dengan senyum tipis.
"Lah." Deva yang masih menggulung tali sisa, menimpali dengan dahi berkerut dan senyum tipis. "Terus selama ini, di Mantra kita ngapain, Nad? Keramas?"
Harits menoleh ke arah Deva sambil duduk di atas salah satu pasak yang belum dirapikan. "Namanya juga Nada, kadang kosong bocahnye."
Nada memicingkan mata. "Kosong gimana sih? Maksudnya kerja sama gini, loh. Beda vibes-nya sama di kafe, meskipun sama-sama kerja sama," balas Nada.
Melodi duduk di sebelah Nada. "Enggak apa-apa, Nad, lanjutin aja. Aku lebih suka kamu yang banyak ngomong tapi kosong, daripada kamu yang jarang ngomong kayak dulu. Kosongnya beda gitu, kosong hampa sama kosong oon."
Nada memandang Melodi, lalu berpindah tatap pada yang lainnya satu per satu. "Berarti itu jadi bukti, kalo ternyata kekosongan itu udah ada yang isi, kan? Meskipun ... kosong juga?"
"Nyahahaha, iya iya iya."
"Jadi gaes, intinya gini," ucap Cakra mencoba memberikan klarifikasi. "Nada yang dulu itu kosong, dia ngerasa insecure, ketinggalan, enggak berdaya, dan jauh dari harapan orang-orang. Perlahan, kita masuk ke dalam kehidupan dia dan ngisi dia dengan beragam kenangan, pelan-pelan ngebuat karakter Nada yang lebih hidup dan percaya diri, merasa punya seseorang di tengah kekosongannya. Dan, ya, ketika Nada udah mutusin buat buka lembaran baru, artinya dia harus mulai semuanya dari nol lagi. Filosofinya gitu, kosong itu adalah bentuk dari sejati."
"Manusia dilahirkan kosong, dan kelak akan ditinggalkan di dalam kekosongan," timpal Kevin yang sedari tadi hanya diam kayak tugu Jogja.
Harits tersenyum mendengar ucapan Cakra dan Kevin yang sok iye. "Emang bener, Nad?"
"Enggak tuh, emang siapa yang bilang?" tanya Nada pada Cakra.
"Nyahahaha, sabar, Cak."
Cakra hanya diam sambil tersenyum tanpa nyawa.
"Eh, sekalian aja kita ngadu kata-kata, yuk? Ngutip dari orang lain juga boleh kalo emang se-enggak punya otak itu," ucap Melodi memecah kecanggungan. "Rits, mulai!"
Harits memicing ke arah Melodi. "Hah?"
"Lu kan yang paling bijak dan pandai dalam berkata-kata?"
Dipuji sedikit, jiwa star syndrome-nya kumat. "Oke kalo gitu, kita lomba." Ia diam sejenak untuk memikirkan kata-kata terkerennya. Tatapannya lurus ke arah tenda.
Semua ikut terdiam memandangi tenda yang berdiri kokoh di tengah gerimis. Angin senja membawa aroma basah tanah bercampur dengan udara dingin, yang menjadi kontra dengan perasaan hangat yang mereka rasakan.
Harits menunduk sejenak, lalu kembali mendongak dengan sorot mata yang tajam "Gua pernah baca, katanya kebersamaan itu kayak api kecil. Nyala terus, walaupun kadang enggak kelihatan terang. Kehangatan kecil itu, yang terkadang bikin kenangan terasa hangat dan membuat kita ingin pulang."
Deva mengangkat alisnya. "Lu baca dari mana? Bungkus gorengan?"
Harits tertawa. "Nyahaha baca dari pikiran gua lah!" Ia kemudian berdiri, menatap tenda dengan kedua tangan di pinggang, lalu memutar arah dan menunjuk Deva. "Next,Gondrong!"
Deva mengerutkan kening. "Kapan gua setuju ikut-ikutan?"
"Udahlah, Dev, ayo buru," pinta Melodi.
Karena Melodi yang nyuruh, Deva pun merasa harus memenuhinya. Ia menghela napas, lalu berpikir. Si gondong itu mengusap dagunya sambil menatap tenda, lalu berkata dengan nada pelan, tapi dalam. "Kadang kita enggak sadar, perjalanan yang kita anggap biasa ternyata adalah momen paling berarti. Bukan soal tujuan, bukan soal hasil, tapi tentang siapa yang ada di samping kita saat melewatinya."
"Hahahanjasss," celetuk Harits. Kini ia menunjuk orang selanjutnya. "Sekarang Cakra!"
"Sure." Cakra melangkah maju dengan gaya seperti seorang orator. "Kita semua adalah pengembara dengan tujuan yang berbeda, tapi tiga tahun lebih ini kita selalu ada di persimpangan yang sama. Jadi, nikmati saja perjalanan kita malam ini, karena mungkin ... kita akan berbeda arah di persimpangan berikutnya."
"Aku, aku, aku!" Nada berdiri, berbicara dengan lembut. "Aku dulu takut sama yang namanya kosong. Tapi ternyata, kosong itu bukan akhir. Kosong itu ruang, ruang buat kita isi sama kenangan, tawa, atau bahkan luka yang nantinya jadi cerita. Dan terima kasih ... kalian udah ngisi ruang kosong di dalam hidupku."
"Babi lah, katanya ngadu kata-kata mantep," ucap Harits yang matanya terlihat memerah. "... ngapa jadi halal bihalal gini dah?"
"Sabar, Rits, namanya juga orang delay. Mungkin dia baru kepikiran soal topik kosong tadi," balas Deva.
Setelah itu, suasana mendadak hening, hanya terdengar suara gerimis yang semakin tipis. Melodi menghela napas sambil memeluk kedua lututnya. Gadis itu pun memecah keheningan dengan kata-katanya.
"Kalo dipikir-pikir ... kebersamaan itu kayak lagu favorit. Enggak peduli udah diputer berapa kali, selalu ada bagian yang bikin kita senyum tanpa sadar. Jadi, makasih ya, udah bikin hari ini jadi salah satu lagu favoritku. Meskipun liriknya ancur gara-gara enggak jadi muncak, meskipun ada nada sumbang gara-gara ketawa cempreng Harits, walaupun nuansanya mendadak sendu banget, tapi aku suka lagu hari ini."
Semua mata tertuju pada Kevin, yang masih duduk bersila dengan tangan terlipat. Ia mendongak sedikit, menatap anak Mantra tanpa banyak ekspresi.
Kevin menyipit, kepalanya agak naik seiring dengan tarikan napas dalamnya. "HATJIH!" Pria tampan itu tiba-tiba saja bersin dengan kecepatan peluru, ditambah suara garang full bass, full volume, hingga membuat tenda yang mereka bangun bergetar kaget, bahkan sampai lompat dikit.
"Nyahahahaha ngeri bat kek bunyi--" Belum juga selesai Harits berbicara, tatapan teman-temannya seketika berubah, dan agak menjauh darinya. "Ngapa lu pada?"
Cakra tertawa hambar sambil menunjuk wajah Harits. "Hehe, itu--ingus si Kepin nempel di pipi lu hehe."
"Hah?" Matanya mendadak gelap seperti sunya milik Jaya. "Nani?"
(Hah? Apa?)
Harits melirik pipinya dengan ujung matanya yang kosong dan menutup mata yang satunya agar lebih fokus. Rupanya benar, ada sejenis--slime di sana.
Melodi jadi orang pertama yang terbahak-bahak memecah keheningan sesaat itu. Namun, merasakan aura membunuh Harits yang memancar, ia pun terdiam dan merinding sambil sesekali menelan ludah.
"La-lari!" seru Melodi. "Dia mau bunuh orang."
Benar saja, Harits berlari sambil mencondongkan pipinya ke depan untuk melempar masalah. Karena takut tercemar, Melo, Deva, Cakra, dan Nada pun berlarian, kabur dari si pemburu. Mereka mengitari Kevin yang sedang mengusap hidungnya setelah bersin.
"Manusia itu kayak tenda. Berdiri karena tali-tali kecil yang saling mendukung. Kalo satu lepas, mungkin enggak roboh, tapi pasti ada yang kurang. Jadi, selagi masih ...." Suaranya mendadak pelan dan hilang. Ia menatap orang-orang yang bertingkah aneh, dan malah lari-larian seperti sedang bermain sesuatu. Meskipun tidak sadar karena sudah menjadi pembuka tragedi lendir itu, Kevin bangun dan ikut berlari tanpa tahu apa akar masalahnya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top