86 : Puncak Hampa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Mobil yang dikendarai Abimanyu melaju meninggalkan kota Jogja. Deva duduk di bangku belakang, menyendiri. Abi yang menyetir di depan, beberapa kali melirik dari kaca spion, mencoba memastikan keponakannya baik-baik saja. Terpantul bayangan di cermin, Deva yang hanya diam menatap kosong ke luar jendela, wajahnya pias, tanpa ekspresi. Seakan seluruh kebahagiaan yang tadi baru saja ia rasakan kini lenyap, tersapu habis oleh kenyataan yang begitu pahit. Bagaimana tidak? Ketika pada akhirnya ia berhasil menapakkan kakinya di puncak, ternyata tidak ada pemandangan indah seperti kata orang-orang, hanya ada kabut kelabu sejauh mata memandang, yang membuat puncak tersebut serasa hampa.

Pikiran Deva saat ini kacau, tertutup oleh satu suara yang berulang-ulang berbisik dalam benaknya. 'Ibu sudah tidak ada.' Suara itu terdengar bagai gema yang terus menghantam dadanya, perlahan menciptakan rongga hampa di dalam dirinya. Bayangan wajah Mila berkelebat dalam pikirannya, gelak tawanya, suaranya yang selalu lembut, senyumnya yang hangat. Di setiap sudut kenangan itu, rasanya sangat menyakitkan saat membayangkan senyum itu hilang dari hidupnya.

Ia mengingat percakapan terakhir mereka semalam. Mila terdengar ceria, memberi semangat untuk Deva dan berjanji akan segera menyusul ke Jogja untuk hadir di hari spesialnya. Dan Deva yang sempat bertanya bagaimana kondisi kesehatan ibunya, mendapat jawaban penuh ketenangan, seolah tak ada yang perlu ia khawatirkan. Namun kini, ucapan-ucapan itu hanya menjadi kenangan yang makin menambah luka di hatinya.

Deva mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergemuruh di dadanya. Tetapi sia-sia, air mata mengalir tanpa dapat ia cegah. Wajahnya tetap menghadap jendela, tak ingin Abimanyu melihat tangisnya. Napasnya terdengar patah-patah, seakan setiap embusan hanya memperdalam kepedihan yang menusuk hatinya.

Abi menyadari keheningan yang penuh beban itu, tetapi ia memilih tetap diam, membiarkan Deva larut dalam kesedihannya. Abi tahu, saat-saat seperti ini kata-kata takkan pernah cukup. Mungkin hanya waktu yang bisa sedikit meredakan nyeri yang kini mengguncang jiwa Deva.

Sepanjang perjalanan itu, Deva mulai bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia sudah cukup berbakti pada ibunya? Apakah Mila sempat merasa bangga atas pencapaian yang baru saja ia raih? Ribuan pertanyaan tanpa jawaban berseliweran di benaknya, menyisakan perasaan bersalah dan kehilangan yang makin menggigit. Rasanya, tidak ada yang bisa menghapus rasa sepi yang kini bersemayam di dadanya, bahkan dengan semua pencapaian yang sudah ia raih.

"Bu, kenapa harus sekarang?"

Tertinggal satu jam di belakang mobil Abi, dua mobil lain melaju menuju Bandung, menyusul Deva. Harits, Ippo, dan Melodi berada di mobil pertama, sementara Kevin, Cakra, Nada, dan Chica berada di mobil kedua. Masing-masing dari mereka larut dalam keheningan, menyadari beratnya situasi yang harus dihadapi Deva, sahabat mereka yang baru saja kehilangan sosok terpenting dalam hidupnya.

Di dalam mobil pertama, Harits yang biasanya selalu mencairkan suasana dengan candaan, kini duduk diam sambil sesekali menghela napas. Melodi yang duduk di belakangnya, tak kalah hening. Matanya masih sedikit sembap, sisa air mata yang jatuh ketika mendengar kabar tentang ibunda Deva. Ia meremas-remas tangan, hatinya bergolak, ingin sekali melakukan sesuatu untuk membantu, namun tak tahu harus bagaimana. Melodi cukup akrab dengan Mila sewaktu di Bandung dulu, mengingat dirinya dan Deva pernah menjalin tali asmara saat duduk di bangku SMA.

"Aku paham sedikit perasaan Deva," ujar Melodi akhirnya, suaranya lirih.

"Tapi agak laen, dia kehilangan ibu," balas Harits.

"Aku kehilangan ayah," sambung Melodi.

"Om Tama? Emang udah--enggak ada?"

"Dulu sempet meninggal, kecelakaan mobil," jawab Melodi.

Ippo memicing. "Lah? Sekarang?"

Melo menatap Ippo. "Sehat walafiyat."

"Enggak usah kaget, dia punya retrokognisi," celetuk Harits. "Gua baru inget, sebelum Walpurgis, Om Tama sama Om Dirga sempet tewas, tapi enggak jadi karena si Melodi muter waktu."

Tatapan Melodi mendadak sendu. "Sejak Om Abimanyu ngasih kabar tentang ibunya Deva, aku coba buat balikin waktu, meskipun aku tau aku bakalan jadi sidang dua kali, tapi enggak apa-apa itu hal kecil. Enggak ada apa-apanya dibanding kehilangan sosok ibu."

"Dan enggak berhasil?" tanya Harits sambil meliriknya lewat kaca spion tengah.

Melodi mengangguk. "Itu kenapa aku ngerasa bersalah dan mau nemenin dia tadi, aku enggak tega liat Deva."

"It's not your fault," balas Ippo sambil menggenggam tangan Melodi erat-erat.

"Kemampuan sebesar itu pasti enggak bisa dikontrol, itu hal yang wajar," sahut Harits. "Lu manusia, bukan Tuhan, Doy. Kalo bisa lu pake seenak hati, lu enggak akan pernah ngalamin patah hati ditinggal cowok di samping lu. Penyesalan itu kan bagian dari proses pendewasaan, tanpa penyesalan, manusia enggak akan pernah belajar dari kesalahannya."

Perjalanan itu terus bergulir dalam keheningan yang kadang pecah oleh pembicaraan singkat. Melodi terdiam setelah mendengar kata-kata Harits, tapi rasa bersalah itu tetap membayanginya.

Suasana hening kembali menguasai mobil, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikiran sendiri, seolah saling memahami bahwa tak perlu ada kata-kata lagi.

***

Di mobil kedua, Nada dan Chica duduk di kursi belakang, sementara Kevin dan Cakra di depan. Sesekali, Cakra melirik ke cermin tengah, memperhatikan ekspresi teman-temannya yang tegang dan muram. Sementara itu, Kevin menatap lurus ke jalan, tangannya mencengkeram setir erat, seolah-olah dengan itu ia bisa membantu meredakan rasa khawatir yang bergolak di dadanya. Kevin dan Deva sudah bersama-sama sejak sekolah dahulu, mereka ada di sekolah yang sama dan tergabung di dalam geng bernama Tantra. Di bandingkan semua yang ada di Mantra, mungkin Kevin adalah yang paling lama bersama dengan Deva.

Mereka melanjutkan perjalanan, diiringi lampu jalanan dan suara kendaraan lain yang melaju. Setelah hampir tiga jam, akhirnya mereka memasuki Bandung yang diselimuti hujan rintik-rintik. Jalanan yang licin dan dingin malam itu seakan mencerminkan suasana hati mereka—berat dan penuh duka.

Ketika dua mobil itu berhenti di depan rumah keluarga Deva, mereka melihat beberapa tamu sudah berkumpul di halaman, berkerumun di bawah tenda putih sederhana. Isak tangis terdengar samar, membawa mereka kembali pada kenyataan yang memilukan. Lantunan ayat-ayat suci mengalir halus di telinga mereka.

Harits turun lebih dulu, diikuti oleh Melodi dan Ippo. Dari mobil kedua, Cakra dan Kevin segera menghampiri, menundukkan kepala sejenak, seolah memberi penghormatan sebelum benar-benar masuk ke dalam.

Di samping restoran keluarga Deva, berdiri Tama dan gerombolan Mantra lainnya, ada Andis, Ajay, dan Tirta di sana.

"Masuk sana, hibur si Deva, tapi jangan malu-maluin," ucap Andis pada Harits dengan logat bercanda.

Tak seperti Melodi, Nada, dan Cakra yang salim pada orang tuanya, Harits tidak. Ia lanjut berjalan mengabaikan Andis. Hanya menyapanya dengan peletan lidah dan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong jaket. Orang pertama yang ia salami adalah Dirga yang berdiri di samping pintu, sedang menyambut tamu-tamu yang datang untuk berduka.

"Turut berduka cita, Om," ucap Harits. "Deva udah sampe kan, Om?"

"Makasih, Harits," balas Dirga. "Deva ada di dalam, masuk aja."

Harits masuk ke dalam rumah. Di dalam sana, Deva duduk di ruang tamu yang ramai, tapi terasa sunyi. Wajahnya tampak lusuh dengan pandangan kosong menatap lantai.

Di belakang Harits, yang lain mulai menyusul masuk. Begitu melihat kehadiran Melodi, sorot mata Deva sedikit berubah, seakan menemukan secercah harapan.

"Melodi ...," gumam Deva.

Chica hanya diam, ada rasa cemburu saat namanya tak disebut oleh Deva, melainkan Melodi. Namun, gadis itu sadar, bahwa resiko bersama Deva adalah hal-hal seperti ini. Ia pikir, Deva hanya belum bisa move on dari gadis itu.

Melodi mendekat ke arah Deva sambil menunduk. "Dev, kita semua di sini buat kamu," bisiknya lembut, berusaha untuk menenangkan Deva.

Deva menatapnya sejenak, lalu menempelkan kedua tangannya di bahu Melodi. "Ya, aku yakin kamu pasti dateng."

Deva seolah mengabaikan keberadaan orang lain selain Melodi. Padahal, di dekatnya ada Harits, Cakra, Kevin, Nada, Ippo, dan gadis yang ia sukai, Chica.

"Sekarang, ayo," ucap Deva.

Melodi memicingkan mata. "Ayo--apa?"

"Balikin ibu aku, kayak dulu kamu balikin ayah kita," jawab Deva.

"Dev ...." Tatapan Melodi mendadak sendu. "Aku udah coba, tapi--"

Deva menggelengkan kepala. "Kamu belum coba sekuat tenaga, ayo coba lagi."

Melodi menggenggam kedua tangannya dan memejamkan mata, ia memfokuskan pikiran untuk kembali ke masa lalu. Di sisi lain, Deva tersenyum dan celingak-celinguk menunggu keajaiban. Hanya saja, sampai Melodi kembali membuka matanya, tidak ada yang terjadi.

"Dev, aku ... enggak bisa."

"Bisa!" seru Deva. Semua pelayat sontak menatap ke arahnya. Dirga yang mendengar kegaduhan pun segera menoleh ke dalam rumah. "Aku tau kamu pasti bisa!"

Harits menghela napas. "Dev, Melodi--"

Deva menggoyang-goyangkan tubuh Melodi dengan keras. "Ayo, Melo, kamu pasti bisa."

"Deva, sakit," pekik Melodi.

Suasana di ruang tamu rumah Deva mulai kacau ketika tangisan Deva pecah, disertai teriakannya yang memohon agar Melodi membalikkan waktu. Ia mencengkeram bahu Melodi lebih kuat, bahkan tanpa menyadari bahwa jemarinya mulai mengguncang tubuh Melodi dengan kasar.

"Melodi! Kamu belum bener-bener berusaha!" seru Deva dengan suara parau. "Kamu pasti bisa, kamu pernah berhasil dulu!"

"Deva, tolong tenang ..." Melodi mencoba menenangkannya, namun suaranya nyaris tenggelam dalam tangisan dan emosi Deva yang semakin meluap-luap.

Di sekitarnya, para pelayat mulai saling berpandangan dengan cemas. Mereka tidak berani mendekat, tapi raut wajah mereka memancarkan keprihatinan, sementara bisikan-bisikan mulai terdengar dari kerumunan. Dirga dan Tama melangkah masuk ke dalam rumah. Di sisi lain, Ippo berusaha melerai, namun terhenti ketika Deva kembali mengeluarkan seruan penuh keputusasaan.

"Kenapa kamu enggak mau bantu aku, Melo?" jerit Deva, air matanya bercucuran tanpa henti. "Kamu bisa balikin ayah kamu, kenapa enggak bisa buat ibuku? Jawab, kenapa?!"

Mendengar itu, Melodi menggeleng pelan, hatinya terasa remuk. Ia memahami kepedihan Deva, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan. "Dev, aku udah coba," jawabnya, air mata mulai jatuh dari pipinya. "Tapi ... kekuatanku enggak bisa digunain."

Deva semakin memperdalam cengkeramannya sambil memandang Melodi dengan tatapan putus asa. "Enggak bisa? Atau kamu cuma enggak mau?!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Deva. Arah matanya langsung menyorot ke arah pemilik tangan ringan milik Harits Sagara.

"Apa lu tolol?" tanya Harits. "Apa lu dongo?"

Deva masih memegangi pipinya yang merah sambil menatap Harits dalam diam.

"Mantan lu itu orang, bukan Tuhan. Lu juga bukan nabi, asu," lanjut Harits. "Kita semua di sini buat lu, kita berduka buat lu, kita itu sahabat yang saling dukung, saling rangkul. Kalo ada satu yang jatuh, kita terluka sama-sama, terus kita bangkit lagi sama-sama. Jangan ngelunjak kalo minta sesuatu ke orang. Inget, lu doa aja enggak pernah, lu minta sama Tuhan aja enggak pernah, jadi jangan minta ke manusia, kita bukan harapan yang lu cari, tapi kita bisa jadi harapan lain buat lu. Gua tau lu merasa hancur sehancur-hancurnya, lu merasa kehilangan, tapi jangan sampe lu juga kehilangan diri lu sendiri. Kita di sini bukan buat ngasih lu mukjizat, tapi buat ngingetin lu kalo hidup lu masih harus terus jalan. Ibu lu juga pasti enggak mau liat anaknya kayak gini, hancur gara-gara kepergian dia."

Cakra mendekat, menepuk bahu Deva. "Gua tau ... gua tau, hari ini, hari yang berat. Enggak ada yang bilang ini bakal gampang. Tapi kita semua di sini buat lu, satu-satunya yang harus lu lakuin sekarang adalah terus bertahan. Bukan buat kita, tapi buat diri lu, buat ibu lu, dan buat masa depan yang dia selalu impikan buat lu. Lu pasti pernah cerita mau jadi ini, mau jadi itu ke ibu lu, kan? Kalo gitu, sekarang lu harus fokus buat wujudin semua omongan lu, terus lu buktiin kalo didikan ibu lu berhasil. Biar dia bangga sama lu dari alam sebelah."

Nada tersenyum, gadis itu melangkah maju dan menghadap ke arah Deva. "Deva, aku tau ... rasanya pasti sulit banget buat ngadepin semua ini sendirian. Tapi kamu enggak pernah bener-bener sendirian. Kita semua di sini buat kamu, karena kita percaya kamu bisa ngelewatin ini. Kamu itu orang yang kuat, Dev. Ibu kamu pasti bangga banget liat kamu bertahan sejauh ini, dan aku yakin, di dalam hati kecil kamu, ada kekuatan yang bisa ngerangkul semua rasa sakit itu dan bikin kamu jadi manusia yang lebih kokoh."

Kevin yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. Ia mengangkat pandangannya, menatap Deva dalam-dalam. "Gua enggak bakal banyak omong. Tapi satu hal yang gua percaya, lu bukan tipe orang yang gampang nyerah. Lu udah ada di titik ini, Dev. Jangan biarin ini semua sia-sia. Lu selalu punya pilihan buat bangkit. Hari ini mungkin hari yang berat, tapi satu langkah kecil aja, gua yakin lu bisa maju lebih jauh lagi. Kita ada buat bantu lu kalo lu mulai ngerasa goyah."

Melodi menatap Deva dengan sorot mata yang tajam. "Dev, aku sedikit banyak, ngerti apa yang kamu rasain saat ini. Tapi, kadang,  kehilangan itu ngasih kita ruang buat tumbuh. Ibu kamu mungkin udah enggak ada di samping kamu , tapi semua kenangan, semua pelajaran, itu akan selalu abadi. Buat aku, Deva yang aku kenal itu selalu punya semangat yang enggak gampang padam. Jadi terusin langkah kamu, pelan-pelan aja. Kita di sini emang enggak ada yang bisa ngegantiin rasa kehilangan kamu , tapi buat nemenin kamu sampe rasa pedih itu luntur, kita siap kapan aja pasang badan."

Ippo menghela napas panjang, mengganti wajah yang biasanya ceria dengan tampang serius. Ia mengusap tengkuknya, lalu berkata, "Aaaaa ... gua tau kadang hidup itu enggak adil, kayak mau ngerjain kita terus. Tapi, di balik semua kesialan yang kita alami, selalu ada kesempatan buat belajar. Lu tau, mungkin kedengeran klise, tapi dari semua orang yang pernah gua kenal, lu itu orang yang paling bisa bangkit dari segala hal. Ibu lu pasti ngeliat itu di lu, makanya dia selalu percaya sama lu."

Ippo menepuk bahu Deva sambil melanjutkan. "Gua ini emang jarang serius, tapi kali ini beneran, Dev. Gue percaya hidup lu bukan cuma tentang kesedihan. Lu pernah ngajarin gua buat berani ngambil mimpi yang besar Jadi, kalo sekarang gua bisa bantu lu walau cuma sedikit, gua bakal terus bantu. Jangan pernah ngerasa lu harus jalanin semua ini sendirian, bro. Selama gua ada, gua enggak bakal ninggalin lu."

"Tunggu dah," celetuk Harits. "Kapan Deva pernah bilang gitu ke lu?"

Ippo terdiam, lalu mengganti arah tatap dari Harits ke Deva. "Oh, itu bukan lu, ya? Sorry hehe, tapi intinya gitu ... paham?"

"Nyahaha pe'a juga nih orang." Harits menarik Ippo untuk memberikan ruang bagi kata-kata penutup.

Kini, Chica mengambil langkah lebih dekat dengan Deva, sampai tatapan mereka bertemu. "Deva, hidup ini punya banyak rahasia, banyak cara buat nyembuhin luka. Mungkin sekarang semuanya keliatan gelap buat kamu, tapi kamu enggak perlu nyari cahaya sendirian. Ada aku di sini, aku pasti akan bantu kamu buat menghapus setiap lara yang kamu derita. Kalo satu-satunya yang bisa aku lakuin buat hari ini cuma nemenin kamu, ya aku bakal lakuin itu. Karena, buat aku, ngeliat kamu bangkit lagi itu adalah harapan. Jangan pernah ngerasa sendiri, Dev. Setiap langkah yang kamu ambil, meski kecil, kita semua akan selalu ada buat nyaksiin kamu bangkit dari sini."

Melihat semangat-semangat dari teman-teman putranya, rasa khawatir Dirga perlahan sirna. Ia seperti melihat dirinya sendiri dan teman-teman yang selalu ada untuknya. Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah siklus konkret, ada sedikit rasa iri, sebab hari ini Dirga sudah melalui banyak perpisahan. Teman-temannya sudah tidak sebanyak Deva.

Pada satu titik, Deva melepaskan cengkeramannya yang tersisa dari bahu Melodi, tubuhnya mendadak gemetar, merasa sedih dan malu pada diri sendiri karena sudah bertindak kelewatan.

Harits melebarkan tangan dan memeluk Deva. "Enggak apa-apa, Men, kalo mau nangis. Kita tutupin. Abis nangis nanti kita baca Yasin."

Melodi, Nada, Cakra, Kevin, Ippo, dan Chica ikut memeluk Deva, menjadi selimut baginya, yang menghangatkan Deva dari dinginnya kepedihan.

Kabut kelabu yang menutupi pemandangan indah di puncak mulai memudar, menampilkan sedikit keindahan yang hangat, walau belum sepenuhnya terlihat dan hanya bisa dirasakan.

.

.

.

TBC

.

.

.

Sebetulnya part ini enggak pernah ada dalam rencana, tapi tetiba inget salah satu kejadian temenku dulu waktu kita sama-sama ngerantau ke Jogja. Hal tersebut terjadi, waktu dia keluar dari ruangan sidang, dia langsung dihantam fakta bahwa ibunya sudah tidak ada lagi. Bedanya, dia pulang sendirian naik kereta, dan dia bilang, dia enggak berhenti nangis sampe Jakarta.

Al-Fatihah untuk keluarga-keluarga kita yang sudah pergi terlebih dahulu sebelum kita. Semoga amal ibadah mereka diterima di sisi Allah dan ditempatkan di sisi terbaik. Aamiin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top