85 : Takdir Satir

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Bandung.

"Dir, seandainya gadis di masa lalu kamu itu, seandainya Chica masih ada. Kamu bakal pilih aku atau dia?" tanya Mila dengan tatapan dalam ke bola mata Dirga. Wanita itu tampak kurus dan pucat, ia sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

Dirga tersenyum. "Segala sesuatu yang ada di dunia ini udah ada garisnya, Mil. Mungkin kalo kondisi tersebut dan pertanyaan itu muncul sebelum kita nikah, aku enggak tau jawabannya."

Mila terdiam, ia tak memiliki kata-kata untuk Dirga. Gelagat gadis itu tampak getir.

"Tapi karena kamu ada di sini sekarang, artinya jawabannya cuma satu. Biarkan Chica jadi yang terbaik di masanya, karena kamu adalah yang terbaik sepanjang masa. Aku pilih kamu, Mila."

Mila tersenyum. "Makasih, Jagoan."

Tiba-tiba saja, wajah Dirga tertekuk murung. "Mil, apa enggak sebaiknya kita kasih tahu aja Deva soal kondisi kamu sekarang? Hampir tiap malem kamu telepon dia, aku yakin Deva pasti udah sadar kalo kamu enggak cuma sakit flu biasa. Sekarang dia pasti lagi khawatir di Jogja, mikirin kamu.

Mila menggenggam tangan Dirga. "Siang ini Deva sidang, jangan ganggu dia dulu. Takutnya malah enggak konsen, dan takutnya juga, nanti dia malah ninggalin sidangnya demi pulang ke sini kalo tau aku sakit parah."

"Tapi ...."

"Percaya sama aku, kita udah lewatin banyak hal sama-sama," potong Mila. "Nanti, abis aku sembuh, kita ke Jogja dateng ke wisudanya Deva."

Dirga mencoba tersenyum. "Oke, aku selalu percaya sama kamu."

Karmila Urmita Putri, wanita itu didiagnosis mengidap Thalassemia mayor, penyakit genetik yang membuat tubuhnya kesulitan menghasilkan hemoglobin dalam jumlah normal.

Thalassemia adalah penyakit yang mepengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi sel darah merah yang sehat. Akibatnya, Mila seringkali merasa kelelahan dan mengalami pucat yang tampak kentara. Tubuhnya membutuhkan transfusi darah secara berkala. Meski raut wajahnya terlihat lelah, senyuman hangat tetap terpatri saat Dinda datang menghampirinya dengan selembar kertas berisi tugas menggambar yang baru saja ia selesaikan di sekolah.

"Mama, lihat, Dinda gambar bunga-bunga di taman. Kayak di kebun belakang kita, kan, Ma?" Dinda menunjukkan gambarnya dengan bangga. Wajahnya yang polos membuat Mila tersenyum.

Mila mengangguk, memaksakan senyum agar putrinya tetap merasa nyaman. "Bagus banget, Sayang. Taman belakang di rumah kita bagus, ya? Dinda suka?"

"Suka!" jawab Dinda.

Saat sedang tertawa, tiba-tiba Mila merasa sesak dan mengambil napas panjang. Matanya menatap Dirga di tepi ranjang, pandangan mereka saling berbicara tanpa kata-kata. Namun, Dirga paham arti tatap istrinya itu.

Dirga beranjak dari kursinya dan berdiri di samping Mila, tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa semakin ringkih dari hari ke hari. Pada satu titik, pria itu menoleh ke arah putrinya. "Dinda, temenin Mama dulu, ya? Papa mau panggil dokter dulu."

Dinda mengangguk. "Oke, Pa!"

Seperginya Dirga, tiba-tiba saja bocah cerewet itu terdiam dengan pandangan kosong. Dari matanya, ada air yang mengalir turun.

"Dinda kenapa nangis?" tanya Mila.

"Bunda jangan tinggalin, Dinda," gumam bocah itu.

Mila mengusap rambut Dinda. "Bunda enggak akan ke mana-mana kok."

"Tapi—Dinda bisa lihat," balas bocah itu masih dengan tatapan kosong.

Kedua mata Mila tiba-tiba saja membulat utuh. Kertas berisi gambar Dinda kini terlepas dari tangannya dan jatuh di lantai rumah sakit.

***

Di lorong rumah sakit, Dirga berjalan pelan dengan kepala penuh pikiran. Langkahnya berat, setiap langkah terasa seolah menghentak ke dalam dadanya yang dipenuhi cemas, namun dipaksanya untuk tetap tenang.

Namun, mendadak semuanya berubah. Dirga merasakan sebuah firasat, seketika, terdengar dengung di kepalanya, lalu terlintas bayangan buram yang menusuk pandangannya. Waktu seakan melambat di sekelilingnya. Cahaya lampu di koridor mulai meredup, dan ruangan-ruangan di sampingnya bergeser menjadi siluet samar. Dirga melihat Mila terbaring lemah, napasnya tersengal, perlahan mengendur ... hingga akhirnya benar-benar terhenti.

Dirga tertegun, tubuhnya membeku di tempat. Dalam sepersekian detik, penglihatannya kembali normal, waktu pun berjalan dengan ritmenya kembali. Ia langsung menoleh kembali ke arah kamar Mila dengan hati tercekam takut. Tak lama, teriakan memilukan terdengar dari dalam kamar itu, teriakan penuh kepedihan yang segera ia identifikasi adalah—tangisan Dinda.

"Bundaaaa!" Tangis Dinda menggema, mengguncang hati Dirga.

Dengan refleks, Dirga segera berlari menuju kamar istrinya dengan napas yang memburu. "Mila!" Ia memanggil nama Mila dengan suara penuh getir sambil melambai meminta pertolongan.

Seorang dokter dan beberapa perawat segera mendekat begitu menyadari situasi darurat itu. Begitu tiba di dalam kamar, Dirga menyaksikan tubuh Mila yang sudah dalam kondisi kritis. Wajahnya tampak begitu pucat, dan napasnya lemah. Bagi Dirga saat ini, waktu adalah ancaman, setiap detik yang berkurang menikam nyalinya.

"Mila! Tolong, selamatkan istri saya, Dok!" Suara Dirga pecah, terdengar gemetar sambil meraih tangan Mila yang dingin. "Bertahan, Mila ... demi aku ... demi Dinda ... demi Deva."

Dokter segera bertindak, memeriksa nadi Mila yang semakin lemah. Peralatan dipasang, berbagai instruksi diberikan, perawat bergerak cepat mencoba segala upaya untuk menyelamatkan Mila.

Namun, meski upaya medis telah diupayakan sepenuh hati, keheningan perlahan merayap masuk. Dokter akhirnya menggelengkan kepala, tatapan iba terpancar dari matanya. Ia menatap Dirga penuh duka.

"Maafkan kami, Pak Dirga. Kami sudah berusaha sekuat tenaga."

Tubuh Dirga goyah, dunianya yang bahagia seketika runtuh begitu saja. Tangannya gemetar saat memegang tangan Mila yang menggigil. Di sebelahnya, Dinda menangis terisak, wajah mungilnya basah oleh air mata. Pandangan kosong bocah itu tertuju pada tubuh ibunya yang terdiam dalam keheningan abadi.

Deva terkekeh sambil celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang. "Pasti orangnya lagi ngumpet nih. Palingan cuma prank, iya kan? Pasti--"

Namun, tatapan serius dari teman-temannya tak berubah. Abi, yang merupakan keluarga jauhnya, menatap pemuda malang itu dengan sorot mata penuh simpati yang menyakitkan.

"Deva ... enggak ada orang yang bercandanya kelewatan begitu sampe harus bawa-bawa orang tua," tegas Abi. "Mila baru aja meninggal dunia."

Tawa Deva mulai meredup. Ia masih tersenyum, tetapi senyum itu terlihat kaku, seolah sedang dipaksakan untuk mengelabuhi nuraninya. Wajahnya menunjukkan usaha keras menolak kenyataan yang baru saja dilontarkan di hadapannya. Perlahan, tawa yang semula riuh berubah menjadi lirih, tertahan, dan menggantung di antara keheningan. Kabar duka dari Bandung itu masih mengambang di dadanya dalam bentuk keraguan.

"Enggak ... pasti ini cuma miss komunikasi ... ibuku ... tadi malem dia masih telepon aku ... dia bilang mau ke Jogja buat datang ke wisudaku ..." Deva berusaha menyusun kata-kata, suaranya bergetar. "Dia janji bakal dateng ... dia janji ...."

Deva mengambil ponsel di kantong almamaternya, ia ingin menghubungi nomor ibunya. Namun, belasan panggilan tak terjawab dari Dirga membuat kedua matanya berkedut.

Satu per satu, temannya mendekat, mengelilingi Deva dengan tatapan iba. Bahkan, si Harits yang biasanya suka bercanda, kini menundukkan kepala, tak sanggup menatap Deva secara langsung.

"Dev, ayo kita pulang. Om di sini buat jemput kamu," ucap Abi.

Deva terdiam, napasnya terasa memburu. Seketika, dunia di sekelilingnya seperti bergulir lebih lambat. Suara teman-temannya terdengar sayup, seakan tenggelam dalam kabut pikiran yang semakin pekat. Tubuhnya melemas, tak mampu menerima kenyataan yang menghantam dengan sangat tiba-tiba. Hari yang harusnya berakhir bahagia ini, justru menjadi pisau tertajam yang menikam nalarnya.

Tangan Deva terangkat, menyeka air mata yang mulai turun tanpa disadarinya. Suara isakannya pelan, nyaris tak terdengar, namun semua yang ada di sana bisa merasakan kepedihan pemuda itu.

Abimanyu merangkul Deva dan memeluknya. "Ayo kita pulang."

Deva yang masih terguncang mengikuti langkah Abi. Melodi hendak maju, niatnya ingin ikut bersama mereka untuk menemani Deva yang saat ini begitu rapuh. Melodi paham perasaan itu, bahkan mungkin lebih dalam dari apa yang pernah menimpa gadis itu saat kehilangan Ippo.

"Aku ikut," ucap Melodi.

Namun, Harits dengan halus menahan lengannya. "Jangan ikut-ikutan," ucapnya pada Melodi.

Melodi menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Lepasin, Harits. Deva butuh seseorang di sampingnya. Aku cuma mau ada buat dia."

Harits menatap Melodi dalam-dalam, lalu berkata dengan suara rendah, seolah ia sendiri memahami rasa sakit itu. "Cuma pria yang bisa memahami rasa sakit pria lainnya."

Melodi memicingkan matanya mendengar kalimat Harits. "Hah?"

"Nanti ada waktunya, tapi enggak sekarang," jawab Harits. "Enggak ada kehadiran yang Deva mau saat ini, selain ibunya. Kalo lu bukan ibunya, biarin dia sendiri."

"Gua enggak bisa ya, ninggalin temen sendirian, apa lagi di saat dia terlihat butuh bantuan!"

"Bedain, antara ninggalin temen sendiri dan ngasih ruang temen buat sendiri," balas Harits. "Air mata pria bukan sebuah tontonan. Kita susul Deva, tapi sebelum itu, kita siap-siap dulu."

Melodi menundukkan kepala. "Oke ...."

"Kalo gitu, ayo kita pulang dulu, siap-siap, terus caw ke Bandung," ucap Harits.

"Aku ... boleh ikut?" tanya Chica.

Harits tersenyum. "Makanya kita harus pulang dulu, biar bisa pake dua mobil. Gua bawa mobil si Depoy, Kevin bawa mobilnya, kita split dua rombongan. Motor lu sama Ippo titip aja di kafe, intinya kita enggak mungkin tek-tok karena waktu. Minimal harus bawa salinan buat sehari, kita balik kanan besok."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top