84 : The Twist
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Melodi melangkah keluar dari ruang sidang dengan senyum lega yang tak bisa ia sembunyikan. Rasanya seperti beban berat yang beberapa waktu ini ia pikul, telah terangkat dari pundaknya. Di luar, ia melihat Nada sudah menunggu dengan antusias, wajahnya langsung berseri-seri saat Melodi muncul.
"Gimana?!" tanya Nada. "Lulus enggak?"
Melodi mengangguk sambil menahan tawa, "Luluslah, tanpa revisi!"
Mata Nada tampak berbinar. "Whoaa ... kamu keren, Melo."
Melo menyipitkan matanya. "Kamu lupa? Aku kan selalu sempurna muahahaha canda."
Nada memeluk Melodi erat-erat, sementara yang lain mulai berdatangan. Anak Mantra langsung meneriakkan selamat sambil menggoda-goda dengan candaan khas mereka. Pada satu titik, Melodi melirik ke arah bangku di depan ruang sidang, ada Ippo di sana. Saat pandangan mereka bertemu, Ippo hanya mengangkat kedua ibu jarinya dengan senyum lebar.
Melodi melepaskan diri dari kerumunan teman-temannya dan berjalan menghampiri Ippo. "Hey, Tuan," sapa Melodi.
Ippo terkekeh. "Ya, Nona?"
Melo menjulurkan tangannya. "Mari berdansa untuk merayakan hari ini, Tuan tampan."
Ippo menyambut tangan lembut itu dan beranjak dari duduknya. "Selamat atas kelulusannya, Nona manis."
Sejenak, suasana menjadi hening, seolah semua manusia di sekitar mereka lenyap satu per satu entah ke mana. Dunia seakan milik berdua, ya, ya, ya.
Keduanya mulai berputar pelan, gerakan mereka terlihat santai dan elegan. Melodi menatap Ippo dalam-dalam, senyum tipis terlukis di wajahnya, tetapi diiringi sorot penyesalan di matanya.
"Maaf ya, Tuan, belakangan ini aku jarang kasih kabar ke kamu. Skripsiku agak—tricky."
Ippo membalas senyum Melodi, tatapannya lembut memandang kedua bola mata cantik wanitanya. "Enggak apa-apa, Nona Alunan. Aku paham, kamu lagi berjuang buat yang terbaik. Dan hari ini, kamu berhasil jadi yang terbaik. Selamat, ya," ucapnya sambil mempererat genggaman tangannya.
"Nyahahahaha."
Suara tawa itu membuat momen romansa Melodi dan Ippo rusak. Gadis itu menoleh agak kesal ke arah Harits.
"Gimana rasanya jadi sarjana klasik, Nona kocak?" goda Harits, melemparkan senyum jahilnya pada Melodi dan Ippo.
"Rasanya ancur! Gara-gara suara lu," balas Melodi. "Ngakak lu noh yang kocak!"
"Lah, sea world," balas Harits.
"Sewot maksudnya," tegas Cakra.
"Iya, paham. Udah biasa sama keanehan ini orang," balas Melodi.
Di tengah suasana yang bahagia itu, Melo menatap ke arah Deva yang hanya diam saja sedari tadi. Pria itu mengenakan kemeja putih, celana hitam, dan almamater UGM. "Kamu jam berapa sidangnya, Dev?"
Deva yang merasa ditanya pun menoleh ke arah Melodi sambil melirik ke arah jam tangannya. "Abis makan siang, harusnya masih aman. Sekarang masih jam sepuluh."
"Untungnya jam sidang kalian beda, jadi kita bisa bagi waktu, bukan bagi orang," ucap Nada. "Melo pagi, Deva siang."
"Berarti makan-makannya dua kali, nyahaha. Deva maka siang, Melodi makan malem," celetuk Harits.
"Iye, iye, iye. Ya udah, yuk berangkat sekarang aja biar cepet. Makan di daerah Gejayan, atau Kaliurang bawah aja, biar deket sama Deva," ucap Melodi. Pandangannya berpindah ke arah Ippo. "Kamu ikut, kan?"
"Emang boleh?" tanya Ippo.
Melodi memeluk lengan Ippo. "Boleh! Emang siapa yang berani larang pacarku ikut, hah? Nanti aku bikin nangis orangnya."
Mereka pun berjalan ke arah parkiran. Namun, berhubung ada Ippo dan mobil Kevin jadi tidak muat, Melodi pun memilih untuk berboncengan motor dengan Ippo saja.
Saat sedang berjalan ke parkiran, Cakra menyadari aksara sendu di wajah Deva. Entah kenapa, tampang pria gondrong itu agak suram sejak pagi tadi. Ia tak banyak bicara, bahkan hanya memberikan selamat pada Melodi secukupnya saja. Awalnya Cakra pikir, itu adalah Ippo effet, tetapi ternyata ada getir lain yang rasanya sedang Deva berusaha sembunyikan.
"Lu kenapa, Dev? Sakit?" tanya Cakra.
"Hah?" Deva menoleh ke arah Cakra. "Enggak."
"Gugup mau sidang?" lanjut Cakra berusaha mengorek.
"Mungkin," jawab Deva singkat.
Cakra tak berkomentar lebih, ia hanya mengamati gelagat pria itu secara diam-diam. Bahu Deva yang sedikit merosot, gerakan matanya yang kerap menghindari kontak langsung, dan napasnya yang tersengal tak teratur, mengisyaratkan lebih dari secuil kecemasan biasa. Dari sudut pandang psikologi, bahasa tubuh Deva menunjukkan gejala overthinking akut, seolah sedang menghindari pikiran tertentu yang terus membayangi pikirannya.
Selain mampu membaca gerak tubuh, mata Cakra juga mampu menangkap rona aura samar saat memperhatikan sesuatu dengan fokus. Aura Deva tampak berwarna abu-abu redup, berdenyut pelan seperti sedang menahan perasaan yang mengganjal.
Sehabis makan siang di sebuah restoran tradisional daerah Kaliurang bawah, mereka semua langsung bergegas menuju kampus Deva, dan menunggu pria gondrong itu di depan ruangan sidangnya.
Cakra menyandarkan punggungnya ke dinding sambil melirik jam tangan yang ia kenakan, memperhatikan setiap menit yang berlalu.
"Si Depoy kenapa, Cak?" tanya Harits yang sekilas menguping percakapan kedua orang itu di kampus Melodi. "Dia agak pendiem, hari ini."
"Perasaan hubungannya sama Chica baik-baik aja," celetuk Melodi yang tiba-tiba membaur dengan obrolan. "Enggak mungkin, kan, seorang Deva gugup cuma gara-gara sidang skripsi?"
"Gua perhatiin sih belakangan ini, dia sering nerima telepon," balas Cakra.
"Oh, itu ibunya," jawab Harits. "Waktu kapan itu, pas gua lagi ngobrol sama dia, ibunya nelepon."
"Setiap dia teleponan, mukanya agak sedih gitu sih gua perhatiin," sambung Cakra. "Kenapa, ya?"
"Mungkin masalah keluarga," balas Harits. "Lu tenang aja, gua udah siapin kado spesial buat si Gondes."
Cakra memicingkan mata. "Lu—enggak aneh-aneh, kan?"
"Nyahaha, santai." Harits memberikan kode dengan matanya, ia melirik ke arah belakang Cakra. Refleks, Cakra pun menoleh, dan memutar tubuhnya. Matanya mendapati sosok Chica yang sedang berjalan ke arah mereka.
"Lah, si Chica," ucap Cakra.
"Halo," sapa Chica.
"Hai," balas semuanya.
"Oi, Cicak, lu bawa itu, kan?" tanya Harits.
Melodi menyipitkan mata. "Itu?"
"Bawa kok." Chica mengambil sebuah selempang beludru berwarna hitam. "Tapi kok tulisannya gini, ya?" tanya Chica yang heran sendiri, karena selempang itu hanyalah titipan custom Harits.
"Pfftt." Semua berusaha menahan tawa mereka agar tidak keluar. Jika biasanya tulisan di selempang tersebut berisi nama dan gelar, yang satu ini berbeda. Harits memesan tulisan berisi 'Siap Melamar'.
"Kan wajar, abis lulus Deva pasti ngelamar kerjaan," jawab Harits. "Nanti kamu yang pakein ya, Cicak, nyahahaha."
Sengaja Harits custom begitu, agar ambigu dan bermakna ganda. Sehari sebeumnya, ia meminta bantuan Chica untuk mengambil barang tersebut terlebih dahulu sebelum datang ke sidang Deva, berhubung Harits tak bisa mengambil barang tersebut dikarenakan harus berangkat pagi ke sidang Melodi di ISI.
Di tengah suasana penuh guyon itu, sesosok yang tidak asing pun datang dari arah depan sambil berlari kecil. Ia menghampiri Harits dan kawan-kawan dengan jas dokter yang terlipat di tangannya.
"Har, si Deva mana?" tanya Abimanyu dengan napas terengah-engah.
"Noh, masih di dalem, Om," jawab Harits. "Enggak lama lagi juga kelar. Santai aja, enggak usah buru-buru, Deva enggak ke mana-mana kok, nyahaha."
Abi terdiam sejenak, mengatur napasnya. "Kalian belum dapet kabar apa-apa?"
Harits dan yang lain saling beradu tatap secara bergantian. "Kabar apa, Om?" tanya Harits.
Abimanyu menjelaskan informasi yang ia dapatkan kepada semua yang berada di depan ruang sidang. Wajah mereka semua sontak berubah ekspresi mendengar kabar membagongkan tersebut. Senyum-senyum mereka seketika diluluh lantakkan oleh sebuah kabar dari pria yang baru datang itu.
"Ini ... bukan prank, kan?" tanya Harits.
"Sejak kapan saya suka bercanda, Harits?" tanya Abi balik. "Apa lagi bercanda sama kamu."
Deva mengembuskan napas lega saat dosen penguji terakhir mengucapkan selamat dan mengulurkan tangan padanya. Ia tersenyum, sembari membalas salam hangat dari para dosen di ruangan itu.
"Terima kasih, Pak, Bu," ucapnya dengan suara lega. Setelah berbulan-bulan bergelut dengan skripsinya, momen ini akhirnya tiba. Ia siap untuk keluar dan merayakan keberhasilannya bersama teman-temannya yang sudah menunggu di luar.
Deva mendorong pintu keluar, dan melompat pelan sambil melebarkan kedua tanyannya. "Tadaaaa!"
Namun, tak seperti sidang Melodi yang berakhir riuh dan heboh tadi, kali ini suasana sangat sunyi dan mencekam. Deva mendapatkan pemandangan yang berbeda dari ekspetasinya. Tidak ada senyum sumringah atau teriakan "Selamat!" dari teman-temannya. Justru yang menyambutnya adalah wajah-wajah tegang beraroma pekat getir. Nada, Melodi, Ippo, Chica, Harits, Kevin dan Cakra berdiri kaku, seperti sedang menahan napas, sementara Abimanyu menatapnya dengan sorot mata yang amat sangat serius.
Deva berhenti di ambang pintu, mengerutkan alis melihat semua orang yang menunduk dan tampak menahan kata-kata mereka. "Kenapa dah? Lemes amat pada?" tanya bingung. Suaranya yang sempat antusias mendadak terhenti oleh kecanggungan yang mencekam.
Harits si biang bercanda menatapnya sejenak sebelum memalingkan wajahnya kembali. Tak ada jawaban. Keheningan mengisi udara di lokasi tersebut, terasa lebih berat daripada seluruh ujian yang baru saja Deva lewati di dalam ruangan tadi.
"Dev," panggil Abimanyu dengan nada lirih, tetapi penuh tekanan. "Ibu kamu baru aja meninggal."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top