83 : Titik Awal

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"Dah, beres." Melodi berjalan mundur sambil menatap dinding kafe yang baru saja ia pasangi mading.

"Bakal apaan sih?" tanya Hartis yang sedang duduk memandangai kegiatan Melodi.

"Buat sumber informasi, kita bisa nulis info apapun, dan pelanggan juga bisa numpang tempel info mereka," jawab Melodi.

"Bukan madingnya, tapi yang satu lagi," balas Harits.

Melodi kini menatap ke arah pohon harapan yang ia buat bersamaan dengan mading Mantra. Gadis itu tersenyum, lalu menoleh ke arah Harits. "Daripada bikin kotak saran, menurut gua boring. Jadi gua coba bikin wadah aspirasi dalam format lain, buat kritik saran atau pesan apapun dari pelanggan ke Mantra."

"Siapa tau disalah artiin, malah jadi tempat titip-titip salam," celetuk Cakra. "Seru sih. Kali aja ada pelanggan yang saling suka karena sering nongkrong di sini, dan maybe nyampein salamnya lewat pohon harapan." 

"Wah, menarik sih tuh," sahut Mbak Maya. "Siapa tau ada yang diem-diem suka sama kalian."

Nada tiba-tiba saja berjalan ke arah pohon harapan dan mengambil selembar sticky notes, lalu menulis sesuatu menggunakan spidol hitam, dan menempelkannya di salah satu dahan.

Semua penasaran perihal apa yang ditulis oleh Nada, mereka pun merapat untuk membacanya.

Seseorang, temenin aku dong ke kota.

Maya sontak menoleh ke arah Harits. "Rits, kamu katanya mau ke bawah? Tuh temenin Nada gih."

"Iya sih, mau pergi ke bawah, tapi enggak sampe kota juga kali. Orang cuma mau beli beberapa kebutuhan aja," balas Harits.

"Turun gih, sekalian titip ayam preksu dong," celetuk Melodi.

"Gua juga titip, cabe tiga," sahut Deva.

"Gua boleh deh, abe satu aja," ucap Cakra. "Lu mau enggak, Vin?"

Kevin mengangguk. "Cabe satu."

"Gua cabe lima ya, Cel," kata Melodi.

"Aku sekalian deh, cabe tiga kayak Deva," tutur Maya.

"Lah? Siapa yang mau turun ke bawah dah? Lagi males asli," balas Harits.

"Ayo, Harits, mumpung masih sore. Sekalian aku mau konsul lagi," kata Nada.

Melo memicing. "Kamu konsul apaan sama orang kayak dia, Nad?"

"Ada deh, pokoknya rahasia orang-orang gagal," jawab Nada.

"Gua enggak gagal ya, asu!" celetuk Harits. Ucapannya membuat ekspresi Nada agak berubah murung. "Astagfirullah, tidak boleh seperti itu, Harits Sagara," lanjutnya bermonolog. Ia menghela napas sejenak, lalu menggaruk kepala. "Ya udah dah, ayo."

Wajah Nada kembali ceria, mengingatkan Harits akan kelicikan dua kembar itu. Harits dan Nada pun bersiap-siap untuk menempuh perjalanan turun dari Kaliurang. Ia meminjam mobil Kevin karena mobil Deva bensinnya habis nyahaha.

Setelah selesai membeli kebutuhan dan juga membungkus ayam Preksu titipan anak-anak Mantra, Harits melaju dengan santai menuju tempat yang ingin Nada kunjungi. Namun, matanya agak menyipit ketika tiba di tanah kosong yang dulunya merupakan bangunan Ruko Casa Grande.

"Ngapain kita di sini?" tanya Harits.

Nada tersenyum dan melepas sabuk pengamannya, lalu turun dari mobil. Gadis itu berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi di belakang tubuh. Aroma tanah merah dan rerumputan sore mengukir senyum di wajah manisnya.

"Di sini tempat kita memulai segalanya. Aku pikir, di sini juga yang jadi tempat kita berpisah," kata Nada. "Aku, kamu, Melodi, Deva, Cakra, Jaya, Mas Abet, Mbak Fenri, dan pelanggan-pelanggan setia Mantra. Engga kerasa, semua yang udah kita lewatin, sebentar lagi cuma tinggal cerita."

Harits menghela napas saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Nada. Ia memutuskan untuk duduk beralaskan rerumputan tipis sambil menatap gadis itu.

"Aku inget, hari itu aku kebangun tidur gara-gara haus, terus gara-gara air di botol juga abis, aku turun ke bawah. Aku liat kamu lagi manasin mesin mobil, entah mau ke mana," kata Nada.

Harits pun terbawa pada obrolan itu dan terpengaruh pada cara Nada memanggilnya, sekilas ia melupakan logat lu-gua nya. "Aku kebelet berak, terus pergi ke kamar mandi."

Nada tersenyum. "Karena penasaran, aku nyusup ke dalem mobil dan enggak sengaja ketiduran gara-gara kamu lama. Padahal niat awalnya cuma mau ngagetin dan bilang hayo mau ke mana?!"

"Tapi gara-gara itu, kita jadi ke pantai bareng. Niat awalku yang mau lupain kamu, seketika berubah. Jujur, hari itu aku cukup seneng," ucap Harits.

"Gara-gara aku mau diajak bolos jaga shift?" tanya Nada.

"Nyahaha itu juga! Tapi bukan itu sorotan utamanya," balas Harits. Ia terdiam sejenak memandang ke arah langit senja Yogyakarta. "Aku seneng aja, karena takdir bikin akhir dari perasaan itu jadi happy ending, meskipun ya tetep ada nyesknya sih nyahaha."

Nada tak punya komentar perihal ucapan tersebut. Namun, untuk sesaat ia mengingat bagaimana cara Harits tertawa kala itu. Berbeda dengan tawanya saat ini, tawa Harits malam itu terdengar—menyakitkan. Wajar, ia tertawa sambil membuang luka di hatinya. Padas atu titik, Nada menunjuk ke arah jalan raya di depan lokasi mereka.

"Di situ, dulu ada kucing ketabrak," kata Nada. "Terus, seorang pria aneh bertopi biru lari ke jalan dan langsung nyuruh aku ikut ke rumah sakit hewan."

"Waktu itu aku mikir, jadi kucing enak kali, ya? Eh, tiba-tiba si Kerdil ketabrak," sahut Harits.

"Enggak ada yang punya ekspetasi kamu bakal ngasih nama kuing itu Kerdil," ucap Nada.

"Iya emang, sialan banget. Semua nolak, tapi  untung kamu dukung, jadi mereka semua ikut dukung dan ngalah nyahaha."

Nada tersenyum. "Siapa yang sangka, di bandingin kita semua, dia jadi teman terbaik kamu, Rits."

"Udah ah, jangan bahas Kerdil. Jadi kangen, sialan."

"Jaya juga, kalo bukan karena kamu, mungkin dia enggak akan pernah jadi bagian dari kita, dia mungkin kesepian," ucap Nada.

"Cuma kita keluarga yang dia punya," balas Harits. Ia membuang tatapnya berlawanan arah dengan Nada. "Udah ah, jangan bahas dia juga, sial."

Keadaan mendadak hening. Situasinya menjadi akward, karena Harits berusaha tidak membahas sahabat kecil dan sahabat dapurnya. Ia hanya takut menangis di depan umum.

"Tanpa psikometri, kita bisa ngobrolin masa lalu seolah kejadian-kejadian itu belum lama terjadi, tapi kalo diinget-inget lagi, ternyata waktu emang udah berjalan terlalu jauh. Dan di situlah kita baru sadar, kalo waktu tuh terlalu berharga karena enggak bisa diulang," kata Nada. "Alasanku minta ditemenin ke sini, bukan karena mau gunain psikometri buat nonton masa lalu-masa lalu itu, tapi cuma mau sedikit kembali ke titik awal aja, biar aku punya alasan buat enggak ketinggalan dan jadiin segelintir masa lalu itu jadi pengalaman berharga."

Harits menatap tanah merah dan rerumputan liar yang perlahan mulai menguasai bekas bangunan itu, tempat mereka dulu berkumpul dan menertawakan hidup tanpa beban. Di balik lelucon dan nostalgia, ada rasa perih yang menyesap diam-diam—tahu bahwa tempat ini hanya akan tersisa di ingatan. Perlahan, ia bangkit dan berjalan mendekati Nada, berdiri bersisian menatap matahari yang mulai tenggelam.

"Kita semua pasti pisah, karena tujuan akhir kita semua itu beda," ucap Harits agak lirih. "Tapi jangan pernah lupa, kalo kita pernah punya satu tujuan yang sama."

"Rits, dulu di sini kamu, aku, sama Jaya jadi tim yang kompak. Aku ngurus teh, kamu ngurus kopi, dan Jaya hybrid dua-duanya. Aku agak kangen sama suasana itu, tapi sekarang semua udah enggak sama lagi. Boleh aku denger quotes aneh kamu lagi? Udah lama rasanya enggak denger guyonan kalian."

Harits menghela napas panjang sambil menggaruk kepala. "Sekali ini aja, ya. Kalo disuruh refleks dadakan gitu, agak bingung sebetulnya."

Nada mengangguk sambil memberikan jempol andalannya.

"Satu qoutes buat seorang Nada yang selalu mau ngejar orang lain," ucap Harits.

Kini pria itu menatap Nada dengan serius, aura di sekitarnya berubah. Nada yang awam pun mampu merasakan perbedaan atmosfer di sekitar Harits, dan sontak membuatnya merinding.

"Hidup itu, enggak perlu buru-buru, Nad. Santai aja. Inget, kamu udah ketinggalan jauh nyahahaha."

Meskipun tau itu hanya jokes, tapi raut wajah Nada berubah sendu. Menyadari perbedaan pada ekspresi gadis itu, membuat Harits menurunkan volume tawanya dan agak sedikit serius.

"Nad, kalo kamu merasa terlambat, jangan sekali-kali ngeliat sekitar kamu, jangan pernah juga ngeliat berapa banyak waktu yang tersisa. Fokus aja di jalan kamu sendiri dan kepalkan tangan kamu, yakinin satu hal, kalo waktu yang kamu takutin itu ada di dalam genggaman tangan kamu," ucap Harits. "Itu yang bikin aku agak nyantai, meskipun Deva sama Melodi udah mau sidang. Aku cuma ngerasa, kalo aku punya waktuku sendiri, dan enggak perlu ikutin waktu orang lain. Mindset kita yang buat kita berpikir ketinggalan, tapi kenyataannya kita enggak pernah ketinggalan apapun di dalam hidup kita."

Nada terdiam, mencoba mmahami kata-kata Harits barusan. Ia baru menyadari satu hal, bahwa Harits memandang waktu bukan sebagai perlombaan yang membuatnya harus selalu mengejar orang lain, tapi lebih sebagai perjalanan pribadi yang punya ritmenya sendiri. Baginya, kehidupan tidak diukur dari seberapa cepat atau lambat seseorang dalam mencapai sesuatu, tapi dari bagaimana ia menikmati setiap langkahnya. Harits mungkin tidak selalu punya jawaban atas semua pertanyaan hidup, tapi ada kedamaian dalam caranya menerima waktu—bahwa semua akan datang di saat yang tepat, tanpa perlu merasa terburu-buru atau tertinggalkan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top