82 : Support

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Waktu beranjak perlahan, seperti warna langit yang berubah di ujung senja. Ia menukar setiap peristiwa lama dengan yang baru tanpa disadari, mengukir lembar baru di atas kanvas hidup yang terus bergerak.

Matahari baru saja tenggelam saat ini. Nada menatap langit gelap dari balik jendela kamarnya. Ia sudah kembali ke Mantra beberapa hari sejak konser terakhir Melodi.

Gadis itu sedang duduk di depan laptopnya dengan wajah murung, mengenakan kaos hitam lengan pendek dan celana pendek berwarna senada, sementara kacamata bundar dengan frame hitam bertengger di hidungnya. Melodi dan Deva sudah mendapatkan jadwal sidang skripsi mereka, di sisi lain, Nada masih merasa terjebak di tempat yang sama, belum mampu melangkah maju seperti orang-orang di sekitarnya yang hampir mencapai garis akhir. Waktu berjalan, namun ia merasa tertinggal.

"Udah sampe mana, Nad, skripsi kamu?" tanya Melodi yang baru saja keluar dari kamar mandi kamar mereka.

Nada menghela napas tanpa menoleh ke arahnya. "Masih stuck di bab dua."

Melodi menghampirinya, dan menatap skripsi Nada dari layar laptop. "Kamu butuh apa? Sini aku bantu."

"Eh, enggak butuh apa-apa sih," balas Nada ragu. Sebenarnya, ia sangat butuh bantuan, tapi Nada paham bahwa Melodi tak akan mengerti tentang apa yang ia tulis.

Namun, Melodi merebut laptop Nada, dan membawanya ke tempat tidur. "Sementara, aku bantu koreksi tulisan kamu dulu. Tugas kamu sekarang cari tahu, apa yang bisa aku bantu."

"Kamu fokus aja sama tugas-tugas kamu. Kamu masih harus buat bahan presentasi, kan?"

"Halah, itu mah gampil. Aku bantu kamu dulu," balas Melodi. "Guys, sini, kita bantuin Nada."

Tiba-tiba, Deva, Harits, Cakra, dan Kevin membuka pintu, lalu mengganjal pintu agar tidak tertutup. Bahaya jika terciduk pak RT. Mereka masuk dan langsung duduk di lantai. Deva dan Kevin membuka laptop, sementara Harits dan Cakra membuka browser di ponselnya.

"Judulnya apa, Doy?" tanya Harits.

"Strategi Pengendalian Hama Tanaman Padi Berbasis Penggunaan Agens Hayati di Lahan Pertanian Berkelanjutan," jawab Melodi.

Deva menunjukkan jiwa kepemimpinannya di BEM. Ia langsung berdiskusi untuk membuat strategi menghajar bab dua skripsi Nada. Harits, Cakra, dan Kevin pun tak banyak protes, mereka bergerak secara terorganisir untuk membantu penelitian tentang judul tersebut.

Kevin membuka laptopnya dan segera memetakan masalah dari judul yang Nada pilih. Ia mencari literatur dan jurnal terkait hama tanaman padi serta solusi pertanian berkelanjutan.

Harits fokus mencari informasi tentang agens hayati. Dengan ponselnya, ia menelusuri peran mikroorganisme, predator alami, dan teknologi hayati yang digunakan dalam pengendalian hama di lahan pertanian modern.

Cakra mencari data lapangan berupa kasus sukses penerapan agens hayati di berbagai wilayah pertanian Indonesia, sambil mencatat keberhasilan dan tantangan yang dihadapi petani.

Di sisi lain, Deva mengumpulkan data sekunder dari jurnal ilmiah internasional yang berhubungan dengan strategi pertanian berkelanjutan dan penggunaan agens hayati. Ia fokus mencari perbandingan dengan negara-negara yang sudah maju dalam bidang tersebut.

Melodi bertugas mengatur semua data yang dikumpulkan. Ia membaginya ke dalam beberapa bagian skripsi yang membutuhkan analisis lebih lanjut. Sambil membenahi struktur bab kedua skripsi Nada, ia memastikan bahwa sumber-sumber yang ditemukan teman-temannya bisa terintegrasi dengan baik.

"Cel, nanti lu tolong bantu desain juga, ya," ucap Melodi.

"Oke," balas Harits.

Setelah ini, Harits akan menyusun bahan visual untuk membuat diagram dan infografis sederhana, yang menggambarkan rantai makanan di ekosistem padi serta peran agens hayati dalam menjaga keseimbangan tersebut.

Melihat semua orang membantunya, mata Nada berkaca-kaca. Ia menatap mereka semua tak enak hati, seolah skripsi miliknya adalah proyek bersama-sama. Rasa putus asa yang selama ini mencengkeram dirinya perlahan renggang. Kehadiran anak Mantra mengisi kekosongan dalam diri Nada, tetapi entah mengapa rasanya tetap berat.

"Serius, kalian enggak harus gini," ucap Nada dengan suara bergetar. "Ini masalahku, kalian enggak perlu repot-repot."

Melodi menoleh sambil tersenyum. "Nad, kita ini keluarga. Skripsi kamu emang masalah kamu, tapi otomatis jadi urusan aku juga. Bukan cuma aku, Deva, Harits, Cakra, sama Kevin pun sepakat mau bantuin kamu karena kita semua yang ada di sini juga keluarga, meskipun mereka enggak sedarah kayak kita."

Nada hanya bisa menahan air matanya. Sebelum ia sempat berkata-kata, Cakra menepuk punggungnya pelan.

"Udah, jangan nangis dulu. Kita kerjain pelan-pelan, sambil minum teh biar enggak tegang." Cakra memberikan segelas chamomile hangat yang Harits buatkan beberapa saat lalu.

Harits yang masih sibuk dengan ponselnya menambahkan. "Santai, Nad. Fokus aja ke yang bisa kamu kerjain sekarang. Kita urus risetnya."

"Tapi, kamu aja belum ada progres, kan, Rits?"

Semua menahan tawa mereka saat pertanyaan polos itu terhunus kepada Harits. Namun, manusia tengil itu tak membalas Nada, ia justru ikut tertawa seperti yang lain.

"Nyahahaha, santai. Khusus hari ini, gua bakal jadi orang bener, jadi lu ingetin setiap kata yang keluar dari mulut gua. Hidup itu ibarat barista lagi nyeduh kopi, Nad, enggak usah diburu-buruin, nanti enggak beres hasilnya. Slow but sure, pelan-pelan aja nikmatin setiap proses seduhnya. Segala sesuatu yang dibuat pake hati, pasti bakal nyampe ke hati lagi," jawab Harits dengan nada santainya. "Manusia itu ibaratnya metode seduh, ada yang ditubruk, ada yang di-press doang, ada yang pake dripper, ada juga yang ditaro di kulkas dua belas jam, beda-beda. Vietnam drip enggak perlu liatin tubruk, cold brew enggak perlu iri sama V60, setiap metode punya penikmatnya masing-masing. Rasain aja proses kita masing-masing, karena kopi tubruk enggak akan jadi kopi tubruk kalo diseduh pake metode V60."

"Nada enggak akan jadi Nada, kalo cara hidupnya selalu berpatokan sama orang lain," sahut Deva.

"Kagak usah dijelasin, Poy, biarin dia mencerna kata-kata gua sendiri," balas Harits.

"Tapi kata Melodi, si Nada rada oon."

Melodi memicingkan mata ke arah Deva. "Heh, kapan aku ngomong begitu?"

Deva menoleh ke arah Melodi. "Dulu, waktu awal-awal kita pacaran di Bandung. Kamu pernah bilang, kalo ngomong sama Nada jangan pake analogi, karena dia perasa banget orangnya. Cewek biasa itu perasa, logikanya tipis, kalo Nada tuh beda, karena perasa banget, logikanya jarang-jarang?"

 "Nyahahaha parah juga lu, Doy, diem-diem, nyahahahay."

Melodi kini menatap ke arah Nada yang sedang menatapnya balik. "Ah, enggak pernah kok, Nad. Deva mungkin salah inget, maklum rambutnya gondrong, kerak kepalanya pasti nutupin otak dia, jadi agak enggak mikir kalo ngomong."

Giliran Deva yang memicing memandang Melodi. "Lah, pura-pura lupa ingatan dia."

"Siapa yang pura-pura?" tanya Melodi ketus.

"Coba cek aja pake psikometri, biar tau siapa yang bener," celetuk Cakra.

Di tengah keributan itu, Nada tiba-tiba terbahak-bahak. Ia menjadi pusat perhatian yang lainnya, sampai pada satu titik, ia berhenti tertawa dan menatap mereka semua bergantian sambil menghapus air mata harunya. "Aku enggak tersinggung kok. Emang yang Deva bilang tadi ada benernya, tapi khusus kata-kata Harits sebelumnya, aku ngerti kok."

Melihat wajah gembira Nada yang sudah lama menghilang, membuat senyum tipis di bibir mereka semua muncul.

"Ngomong-ngomong, setelah lulus kalian pada mau ke mana?" tanya Cakra pada keempat orang yang hampir tamat kuliah itu.

Melodi tampak berpikir. "Enggak tau sih, tapi kalo secara planning, aku mau lanjut studi ke Jepang, ngikutin jejak Bunda dulu. Jogja done, Jepang coming soon."

Kini tatapan Cakra berpindah ke arah Deva. "Kalo lu?"

"Ikut-ikut organisasi mungkin, nyari relasi. Sama mau ngambil sertifikat JLPT," jawab Deva.

Japanese Language Proficiency Test atau JLPT adalah TOEFL versi Jepang. Sertifikat bahasa Jepang yang diakui secara internasional.

"Berarti nanti punya planning nyusul Melodi dong ke Jepang?" tanya Cakra lagi.

Deva melirik Melodi. "Maybe, kalo sama-sama di Jepang, tapi bukan artinya ke Jepang gara-gara dia, ya. Kan, emang jurusan gua Sastra Jepang, jadi enggak nutup kemungkinan kalo gua ke sana juga, kan?"

"Hiyahiyahiya, nyahahaha."

Tatapan Cakra berpindah pada Harits. "Kalo lu, Rits?"

"Nada dulu aja," balas Harits.

Cakra tersenyum. "Jawabannya udah agak ketebak sih."

"Apa?" celetuk Nada.

"Belum tau?" tanya Cakra.

Nada mengangguk. "Iya, bener lagi. Aku belum tau."

Harits menghela napas. "Gua kayaknya enggak akan ke mana mana."

Semua mata memicing. "Kok?" tanya Cakra heran.

Harits menutup mata sejenak, membayangkan segerombolan pelanggan yang sedang berbincang sambil sesekali menyeruput kopi yang ia buat. Mereka sesekali tertawa dan terlihat bahagia. "Gua lebih cocok di sini." Sejenak ia menjeda kalimatnya. "Kebahagiaan gua sesederhana liat orang lain bahagia dengan apa yang gua sajikan."

"Berarti lu salah jurusan dong? Terus buat apa lu kuliah jauh-jauh? Tinggi-tinggi?" tanya Melodi.

"Gua punya cita-cita, tapi dalam perjalanan ke sana, gua pun sadar kalo ternyata bukan itu yang gua mau. Sebelum pada akhirnya gua nyesel, karena enggak pernah gagal di jalan yang gua mau, jadi, ya, gua masih mau berusaha di jalan ini," jawab Harits. "Makanan tuh, bukan cuma soal rasa. Kadang, ada memori yang membekas di sana. Gua ngerasa kayak, setiap hidangan punya sejarah, meskipun itu menu yang sama."

Deva menghela napas. Ia mencondongkan diri ke arah Harits dan menepuk pundaknya. "Gua serahin Mantra Coffee, jaga baik-baik, oke?"

"Nyahaha, gua kira apa." Harits menatap tajam mata Deva. "Gua pasti jaga sampe titik darah penghabisan, kawan."

Setelah itu, mereka semua melanjutkan kerja kelompok untuk membantu Nada. Dalam dua jam, mereka semua sudah berhasil menyusun bab dua dengan rapi, sekaligus menyusun strategi untuk bab selanjutnya.

Malam semakin malam, Nada melangkah pelan mengikuti Harits yang berjalan di halaman belakang Mantra Coffee. Malam itu sunyi, hanya ada suara angin malam yang menyentuh daun-daun di sekitar mereka. Nada berjalan sambil terus merenung, mengumpulkan keberanian untuk bertanya sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Ngapain si ngikutin orang?" tanya Harits.

Nada menoleh kedepan agak terkejut. "Itu, Rits ...."

Harits memicing. "Hah? Itu apa? Lu emang enggak takut setan? Gua lagi keliling buat ngecek pager ghaib."

"Gimana caranya ... fokus sama diri sendiri dan enggak terus-terusan bandingin diri sama orang lain?"

Harits berhenti melangkah, ia berbalik menghadap Nada, lalu menatapnya. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

Nada menunduk, ia merasa malu dengan pertanyaannya sendiri. "Aku ngerasa ... selama ini aku terlalu sering ngeliat orang lain. Ngelihat mereka udah sejauh mana, udah ngapain aja, sedangkan aku kayak ... enggak pernah maju. Aku baru sadar, kalo kamu itu orang paling keren yang aku kenal, kamu bisa fokus sama diri kamu sendiri dan enggak ngeliat hidup orang lain sebagai tolak ukur."

Hidung Harits membesar saat dipuji. "Nyahahaha, gampang." Ia berjalan pelan ke bangku kayu di dekat sumur, lalu duduk. "Sini, sini, sini, duduk dulu bentaran."

Nada mengikutinya, duduk di samping Harits dengan gugup. Ia menunggu kata-kata dari pria yang selama ini terkenal dengan filosofi dan analogi-analogi anehnya. Namun, meskipun terkadang aneh dan melampaui batas kemanusiaan, makna atau bahkan sarkas Harits cukup on point dan banyak benarnya. Hidup hampir empat tahun dengannya, membuat Nada tersadar, bahwa meskipun sering kekanak-kanakan, tetapi jiwa Harits sudah sepenuhnya dewasa.

Setelah beberapa detik terdiam, Harits mulai bicara, suaranya tenang seperti angin malam ini. "Lu pernah minum kopi yang udah nguap semua aromanya?"

Nada mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Ya, kopi yang udah nguap aromanya. Rasa manisnya udah ilang, tinggal pahitnya doang yang kesisa. Itu sama kayak hidup lu kalo terus-terusan bandingin diri sama orang lain," jawab Harits santai. "Setiap orang punya waktunya masing-masing, kayak kopi yang diseduh, ada yang cepet selesai, ada yang butuh waktu lebih lama biar sempurna. Kalo lu fokusnya ngeliat kopi orang lain yang udah jadi, sedangkan lu lupa sama kopi lu sendiri, nanti lu malah kehilangan kesempatan buat nikmatin rasa kopi lu, Nad. Nih ya, waktu itu kayak tai, bikin kopi lu jadi dingin tanpa lu sadarin. Jadi, selama masih ada angetnya, lu harus nikmatin kopi lu, jangan peduli sama kopi orang lain."

Nada menatap Harits, mencoba mencerna maksud dari analaogi pria itu. "Jadi ... aku harus lebih fokus ke prosesku sendiri?"

Harits tersenyum tipis. "Iya, Nad. Hidup itu bukan perlombaan. Enggak ada garis finish yang harus lu kejar biar lebih cepet dari orang lain. Yang penting, lu nikmatin perjalanan lu sendiri. Lu enggak akan pernah jadi versi terbaik dari diri lu kalo lu terus-terusan ngikutin standar orang lain."

Nada merinding, kata-kata Harits berputar di kepalanya. Ia tahu Harits benar. Selama ini, ia terlalu sibuk melihat orang lain dan melupakan proses yang harus ia lalui.

"Sederhananya gini, Nad," lanjut Harits sambil menatap langit malam. "Kalo lu selalu ngeliat orang lain, lu bakal lupa seberapa jauh lu udah berjalan. Padahal, setiap langkah yang lu ambil, sekecil apa pun itu, itu tetap sebuah kemajuan."

Nada menatap Harits dengan pandangan yang lebih tenang. Rasanya, beban yang ia pikul mulai terlepas dari pundaknya. "Makasih, Rits," ucapnya pelan.

"Kalo lu butuh temen cerita, cari aja gua." Harits beranjak dari duduknya.

"Maaf ya, Rits, pernah nyakitin kamu. Waktu hujan dulu, waktu ulang tahun kamu, waktu di Bandung, waktu di pantai ...."

Harits tersenyum. "Santai, cuma masa lalu. Lagian, tanpa luka-luka itu, enggak ada Harits yang keren kayak sekarang, kan? Nyahahaha."

Nada ikut tertawa, tertular kekehan Harits. "Iya, kamu bener. Ngomong-ngomong, jangan berubah ya sampai tua nanti, tetep jadi Harits yang aneh, yang kocak, yang solid, dan baik."

"Yang keren?" tanya Harits.

Nada mengangguk. "Yang super keren."

"Nyahahaha." Harits memberikan jempolnya. "Lu juga jangan pernah berubah, yak. Apa lagi jadi Martawangsa."

"Woy! Apa-apaan lu bawa-bawa keluarga gua?!" seru Deva yang sedari tadi mengamati mereka dari lantai atas jendela kamarnya.

Harits mencengkeram wajahnya pelan dengan satu telapak tangan. "Nyang bisa mengalahkan seorang Martawangsa, hanyalah Martawangsa seorang, nyahahaha. Kabur, Nad, ada orang gondrong ngamuk." Harits berlari ke samping kafe, sementara Nada hanya menggeleng pelan, lalu berjalan kembali ke rumah kabinnya. Teriakan Deva terdengar dari arah atas, sampai ke telinga Nada.

"Yeh, keluarga lu noh, Sagara, kocak semua kek bapak-bapak komplek!" seru Deva tanpa terlihat lagi wujudnya dari pandangan Nada.

"Bacot, Deva Margasatwa, nyahaha, uuaa-uuaa."

"Yeh, Sagara, sampah negara!"

"Dih, tolol."

"Lu duluan yang mulai."

"Udah apa, udah, berisik banget lu berdua!" suara Cakra tiba-tiba muncul. Setelah itu, tak ada lagi teriakan-teriakan yang terdengar dari para santri laki-laki tersebut.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top