81 : Melodi yang Tertunda
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Di belakang panggung, Melodi masih terlihat gelisah, ada badai kecil yang terus berkecamuk di dalam kepala gadis itu. Jemarinya gemetar ketika merapikan gaun kuning sederhana yang ia kenakan sore ini. Pikirannya melayang bukan pada tuts piano yang akan ia mainkan nanti, melainkan pada seseorang yang seharusnya ada di sini.
'Nada.' Batin Melodi memanggil nama kembarannya.
Sejak tadi, ia sering mengintip dari balik panggung, ketika ada pertunjukan yang selesai. Matanya terus mencari di antara penonton, berharap menemukan wajah familiar yang mirip dengannya itu. Tetapi, setiap kali Melodi tak berhasil menemukan hadir Nada, keresahan mulai menyelimuti hatinya, seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
"Aku bisa, aku bisa, aku bisa," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. Melo menarik napas dalam-dalam, namun rasa gugup yang menghantuinya tidak kunjung pergi.
Tok ... tok ... tok
Sebuah ketukan pelan di pintu ruangan make up mengagetkannya.
"Mel? Waktunya siap-siap, ya," ucap Zara sambil membuka separuh bagian pintu. Suaranya terdengar mendesak di telinga Melodi.
"Oke, Zar, bentar lagi, ya," balas Melodi.
Pertunjukan demi pertunjukan sudah dilalui oleh Nada, dari mulai tarian tradisional, tari modern, akustik, pertunjukan band, hingga menyisakan satu acara terakhir, yaitu solo piano klasik dari Melodi.
Nada duduk satu barisan dengan anak-anak Mantra yang lain, Faris, dan juga Ippo. Ia tak banyak bicara, hanya menyaksikan dan sabar menunggu hingga waktu Melodi tampil.
"Kamu enggak sabar nungguin Melo tampil, ya?" tanya Faris.
Nada mengangguk. "Iya, " jawabnya singkat.
"Hidup itu beneran kadang di atas, kadang di bawah," ucap Faris. "Dulu Melodi yang duduk di kursi penonton, waktu kamu tampil sepanggung sama Bunda. Waktu itu, dia nangis ngeliat kamu nyanyi bagus, dia terharu dan banggain kamu ke semua orang. Sekarang, aku enggak sabar liat reaksi kamu."
"Seriusan, Melodi nangis?"
Faris mengangguk. "Iya. Ngeliat rekam jejak kamu waktu masih jaman SMA, yang insecure parah, wajar menurutku dia begitu. Aku pun ikut seneng dan bangga liat kamu di panggung waktu itu."
"Tapi dulu itu panggung bunda, aku cuma numpang aja. Sekarang, meskipun panggungnya lebih kecil, tapi panggung ini punya Melodi sendiri."
"Kalian berdua hebat," ucap Faris.
"Ris." Tiba-tiba ekspresi Nada berubah. "Masih lama enggak, ya?"
Faris agak khawaitr melihat gelagat Nada. "Enggak tau deh. Kamu kenapa, Nad?"
Nada beranjak dari duduknya. "Aku mau ke kamar mandi sebentar." Ia langsung berjalan agak cepat meninggalkan kursinya.
Setelah Nada pergi, tak ada penghalang di antara Faris dan Ippo. Ippo sontak menatap ke arah Faris.
"Aaaaaa ... Melodi yang tampil, Nada yang grogi," ucapnya.
Faris terkekeh. "Koneksi batin, mungkin?"
"Maybe," jawab Ippo.
"Mel, kenapa lagi sih? Lu mau alesan apa lagi buat nunda penampilan lu? Penonton udah nungguin itu!" seru Zara sembari menatap Melodi yang masih duduk di kursi ruangan make up.
"Gua agak gugup, Zar," balas Melodi dengan wajah tertunduk, tak berani menatap mata Zara.
Zara mendekati Melodi dan duduk di sebelahnya. "Kata lu, masalah personal lu enggak akan ganggu perform lu? Mel, please, lu udah berjuang selama ini buat sampe di titik ini, jangan khianatin diri lu dan semua usaha lu selama ini."
"Iya, gua ngerti, Zar, tapi tuh tetep aja. Mau gua berusaha sepositif apapun, rasanya kosong tanpa Nada," balas Melodi.
"Gua emang bukan dukun, tapi gua percaya sama koneksi kembar kalian. Lu enggak percaya sama Nada? Lu enggak percaya dia dateng hari ini? Meskipun dia beneran enggak hadir, tapi sebagai kembarannya, lu harus tetep percaya sama Nada, Mel."
Melodi memejamkan mata perlahan sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian ia tahan sejenak, sebelum pada akhirnya ia buang lewat mulut. Ketika matanya terbuka, tak ada lagi tatapan ragu.
Zara tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Melodi. "Enggak usah jadi superstar kalo emang rasanya berat. Cukup jadi diri lu sendiri, yang kita semua kenal. Sana, jemput melodi lu yang tertunda."
Melo mengangguk pelan, setelah itu ia berjalan menuju panggung, bersiap untuk segera memainkan permainan terakhirnya di kampus.
"Dan kini, hadirin sekalian, kita sampai pada momen yang telah ditunggu-tunggu. Berdirilah yang tegak, karena di hadapan kita, seorang maestro muda akan membawakan satu lagu penutup di acara Epilog Seni, sekaligus lagu terakhirnya di kampus kita tercinta. Hadirin sekalian, sambutlah dengan tepuk tangan meriah untuk Melodi Regita Mahatamaaaa!"
Melodi memasuki panggung, ia melangkah menuju piano yang sudah menunggunya. Seluruh cahaya lampu kini terfokus padanya. Mata penonton terasa menusuk, membuat detak jantung gadis itu semakin cepat. Melo duduk di bangku piano, sekali lagi, ia menghela napas panjang. Tangannya terjulur, siap menyentuh tuts. Namun, sebuah tekanan misterius membuatnya gemetar ketakutan, mendadak, ia dilanda kecemasan dan mulai ragu kembali. Ketidakhadiran Nada bagi Melodi, adalah bencana besar.
Ketika mulai memainkan piano, jarinya menyentuh tuts yang salah, membuat sebuah Nada sumbang. Di dalam kepala Melodi, badai makin besar. Suara-suara di benaknya bergemuruh, meragukan kemampuan dirinya sendiri.
Untuk sesaat, seluruh ruangan terasa sunyi. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorakan dukungan. Semuanya menghilang dalam badai kegelisahan di kepalanya.
Namun, tiba-tiba ....
"SEMANGAT, MELOOOOO!"
Sebuah teriakan melengking dari arah pintu, memecah kebekuan. Suara itu menggema hingga menggetarkan gendang hati Melodi. Melodi menangkap kehadiran Nada di sana, kembarannya itu kini sedang berjalan cepat ke arah kursinya, lalu duduk sederetan dengan sahabat-sahabatnya, dan juga pacarnya. Melodi tersenyum, badai di pikirannya telah berhenti, tak ada lagi ketakutan yang tersisa.
Melodi merapikan posisi jarinya di atas tuts. Dengan satu tarikan napas yang mantap, jari-jarinya kini mulai menari di antara simfoni.
Nada demi nada mulai mengalun dari pianonya, mengisi ruangan dengan melodi yang indah dan terdengar teduh. Irama awalnya lembut, seolah membawa pendengar ke sebuah bioskop imajiner. Setiap tuts yang disentuh oleh jari-jari Melodi seolah menyatu dengan jiwanya.
Melodi terlihat sangat enjoy membawakan simfoni no 9 tersebut. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seiring musiknya yang semakin mengalun hangat. Seolah jiwanya yang terombang-ambing telah menemukan sandaran.
Saat irama naik ke bagian klimaks, Melodi semakin menyatu dengan musiknya. Simfoni dari Ode to Joy menggema di dalam auditorium, membawa getaran yang membuat setiap penonton terdiam, terhanyut dalam setiap alunan yang gadis itu hidangkan.
Melodi memejamkan mata, berusaha menikmati permainan terakhirnya di kampus yang telah menjadi rumah bagi perjalanan panjangnya. Kini, dengan jari-jari yang meliuk lincah, ia menuntaskan simfoni yang megah itu dengan sebuah tarikan nada akhir yang penuh perasaan, seolah menyampaikan salam perpisahan yang manis. Dan ketika nada terakhirnya menghilang, keheningan kembali mengisi ruangan, hanya untuk dipecahkan oleh gemuruh tepuk tangan yang membahana.
Nada dan deretan penonton lainnya memberikan standing applause untuk Melodi. Namun, Melodi belum memberikan salamnya. Ia justru berjalan ke arah standing mic, dan membuat jajaran rekan-rekan panitia beserta para penampil lainnya heran.
"Mau ngapain dia, Zar?" tanya seorang penampil, pada Zara.
"Entah, tapi biarin aja dulu. Ini kan momen terakhir kita, mungkin ada sesuatu yang mau dia sampein ke penonton," jawab Zara.
Melodi berdiri di depan mic, matanya menunjukkan sesuatu yang dalam, seperti aksara rindu misalnya.
Gemuruh tepuk tangan mulai mereda. Suasana auditorium berubah menjadi hening saat semua orang menunggu apa yang hendak diucapkan oleh gadis itu. Melodi mengangkat kepalanya, pandangannya mencari-cari di antara lautan penonton hingga pada akhirnya, ia menangkap tatapan seseorang yang paling ia butuhkan.
"Terima kasih." Suara Melodi pecah dengan lembut, terdengar di seluruh ruangan yang kini sunyi senyap. "Terima kasih buat semua yang udah hadir di sini. Buat dukungannya, tepuk tangan kalian ... aku bersyukur banget bisa berdiri di sini. Tapi sebelum aku melangkah lebih jauh dari kampus ini, ada satu hal yang mau aku lakuin di panggung ini."
Melodi menelan ludah, suaranya mulai bergetar. Ia mencoba menguasai dirinya, tetapi emosi mulai memenuhi dadanya.
"Ada satu orang di sini ... yang selama ini selalu ada buat aku, yang selalu jadi bagian dari hidup aku, dari langkah-langkah yang aku tapaki. Dia adalah bagian dari setiap nada yang aku mainkan malam ini," ucapnya, matanya mulai basah oleh air mata yang tertahan. "Dan orang itu adalah kembaranku, Nada Regina Mahatama."
Nada hanya diam memandangi Melodi, sementara Harits, Deva, Cakra, Kevin, Faris, dan Ippo tersenyum serempak menyaksikan detik-detik kedamaian si kembar lagi. Rasanya, sudah lama kedamaian itu hilang dariMantra.
Melodi berhenti sejenak, menarik napas dalam, sebelum melanjutkan dengan suara yang semakin berat. "Aku mau minta maaf, Nad. Selama ini ... mungkin aku terlalu fokus sama diri sendiri, sama perjuanganku. Aku lupa kalo kita ini selalu berjuang bersama, dari kita lahir, sampai sekarang. Aku terlalu egois, sampai aku merasa hilang saat kamu enggak ada. Padahal, kamu selalu ada buat aku. Maaf udah bentak kamu malam itu."
Beberapa penonton mulai tersentuh. Nada, yang duduk di bangkunya menatap Melodi dengan wajah penuh keharuan, menahan air mata.
"Aku mau bilang, terima kasih, Nad," lanjut Melodi dengan suara yang lebih lembut. "Buat semua yang udah kamu kasih ke aku. Dan aku enggak akan bisa melangkah keluar dari sini tanpa ngajak kamu. Karena bagaimanapun, setiap langkah aku juga adalah langkah kamu."
Nada terdiam, dadanya sesak oleh emosi yang menggulung. Di sisi lain, Melodi melanjutkan, suaranya pecah oleh air mata yang mulai jatuh. "Nada ... aku mau kamu naik ke sini, ke atas panggung sama aku."
Auditorium hening. Nada mendadak panik, ia refleks menatap Faris. "Yah, gimana nih? Masa aku dipanggil, suruh naik ke panggung? Matilah aku, Ris."
Faris berusaha menenangkannya. "Udah, enggak apa-apa. Percaya sama Melodi."
Namun, saat Nada menoleh ke sisi kiri, Harits bagaikan iblis memberikan kode padanya untuk jangan naik. "Itu jebakan ...," lirih pemuda itu.
"Nad, tolong naik ke sini," ucap Melodi lagi.
Terdengar gumam-gumam dari kursi penonton. Nada tak ingin membuat Melodi malu, ia menghela napas dan memberanikan diri untuk naik ke atas panggung itu. Ia bangun dan berjalan ke sana, diiringi tepuk tangan.
Setiap langkah Nada terasa begitu lambat di mata Melodi, namun ketika akhirnya Nada berdiri di sampingnya, suasana auditorium terasa penuh kehangatan. Melodi meraih tangan Nada dan menggenggamnya erat.
"Maafin aku, Nad," bisik Melodi.
Nada mengangguk. "Aku juga minta maaf, ya."
Melodi memeluk Nada penuh keharuan, kembar Mahatama itu sudah berbaikan kembali. Terbesit senyum iblis di wajah Melodi. Ia melepaskan pelukannya.
"Yok, sekarang kita main lagu terakhir," ucap Melodi yang berjalan ke pianonya kembali.
"Hah?" Nada semakin panik. "Main apa?"
"Lagu waktu kamu tampil di acara bunda, Time to Say Goodbye," balas Melodi.
"Ih, itu udah lama banget tau. Aku enggak pernah nyanyi lagi, dan kita belum latihan ...."
"Percaya sama aku," celetuk Melodi. "Mungkin ini panggung pertama kita sama-sama, dan mungkin juga panggung terakhir. Sebelum lulus, aku mau mainin lagu yang pernah kamu bawa dulu sama bunda, buat nganter perpisahan anak-anak semester akhir ISI."
"Tapi, emangnya boleh?" tanya Nada.
Melodi menoleh ke arah Zara yang berdiri di pinggiran panggung bersama panitia lain. Zara tersenyum dan mengacungkan jempolnya pada si kembar Mahatama. "Satu lagu," katanya.
"Tuh, boleh satu lagu aja," sambung Melodi.
Nada berjalan hingga berdiri di samping Melodi, jantungnya berdebar kencang. Ia memejamkan mata sejenak mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya lewat mulut sambil membuka matanya perlahan, menatap Melodi yang tersenyum padanya.
"Percaya sama aku, Nad," gumam Melodi.
Gadis itu memberikan anggukan kepala pada Melodi.
Melodi mulai memainkan intro dengan lembut. Sementara, Nada mendengarkan setiap nada yang dimainkan Melodi. Tidak ada jalan kembali, ini adalah panggung mereka.
"Quando sono sola, sogno all'orizzonte, e mancan le parole."
(Saat aku sendirian, aku memimpikan cakrawala, dan kehilangan kata-kata)
https://youtu.be/ueVKUYb2VsU
Semua yang ada di auditorium seakan membeku saat mendengar Nada menyanyikan lagu tersebut. Harits, Cakra, dan Ippo merinding. Mereka bertiga belum pernah mendengar Nada bernyanyi, terlebih dengan teknik seriosa.
Nada menyanyikan Time to Say Goodbye dengan penuh penghayatan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan membawa kenangan lama, impian dari masa lalu, dan perasaan yang selama ini mereka simpan. Melodi terus memainkan pianonya dengan sempurna, membuat harmoni di antara mereka berdua mengalir begitu indah.
"E io sì lo so che sei con me."
(Dan aku tahu bahwa kamu bersamaku)
Nada menatap Melodi, dan Melodi menatapnya balik, senyum tipis menghiasi wajah mereka. Mereka tak perlu bicara, lirik-lirik tersebut berbicara lebih banyak dari yang pernah mereka ungkapkan satu sama lain. Nada memejamkan matanya, semakin terhanyut dalam nyanyiannya. Ketika masuk pada bagian reff, Nada memberikan segala yang ia miliki.
"Time to say goodbye."
Waktunya mengucapkan selamat tinggal untuk semua perjalanan yang telah Melodi lalui di kampus ini. Gadis itu terus memainkan pianonya, seolah membimbing Nada untuk memberikan yang terbaik.
"Con te partirò."
(Bersamamu, aku akan pergi)
Nada pun paham, bahwa ia sedang berada di ambang perpisahan dengan dunia kampus yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Setiap nada yang dinyanyikan Nada membawa perasaan berat tentang perpisahan yang sudah di depan mata.
Saat nada terakhir menghilang di udara, keheningan yang sempat menggantung di auditorium pecah oleh gemuruh tepuk tangan. Sorakan dari teman-teman seangkatan Melodi memenuhi ruangan.
Melodi berdiri dari pianonya, mengambil napas panjang, lalu menoleh ke arah Nada. Keduanya bertukar pandang tanpa perlu kata-kata lagi. Ada rasa puas, bercampur setitik getir di dalam tatapan mereka. Momen ini adalah satu-satunya momen di mana Nada dan Melodi berada di panggung yang sama sebagai penampil musik.
Saat mereka berjalan meninggalkan panggung, Melodi merasakan genggaman tangan Nada di sisinya, yang terasa erat dan hangat. Mereka telah melewati banyak hal, dan kini, babak yang sedang mereka jalani nyaris usai. Namun, pertengakran kemarin membuat mereka paham, bahwa selagi mereka bersama, tak ada yang benar-benar hilang.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top