80 : Kegelisahan Melodi
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Malam semakin malam. Mantra Coffee sudah tutup beberapa menit lalu, menyisakan suara desir angin dan konser serangga di sekitar bangunan. Cahaya dari lampu-lampu temaram di balkon atas menyelimuti dua sosok yang duduk diam tanpa kata-kata.
"Doy udah, Doy. Ngantuk nih gua," gumam Harits dengan suara lesu.
Melodi yang sedang duduk bersandar di kursi kayu dengan pandangan kosong, kini menoleh ke arah pemuda dengan wajah penuh luka tutul-tutul bekas tusukan garpu di sebelahnya. Bintik-bintik merah itu menghiasi pipi dan dahi Harits, tanda pertempuran yang tak bisa pemuda itu hindari beberapa jam sebelumnya.
Melodi mendengus kecil. "Salah sendiri udah gangguin ketenangan gua. Sekarang tanggung jawab, temenin gua bengong sampe pagi."
"Ah elah, ngapa sih lu?"
Melodi menajamkan pandangannya. "Tanya aja sama upil lu yang mirip muka gua itu."
"Ya elah, tumben amat baper lu," balas Harits. "Kagak dah. Lu kagak mirip upil gua, Doy. Nada yang mirip, nyahahaha."
"Masalahnya, lu tempelin di badan gua! Hampir gila gua, kena upil lu. Jangan jorok-jorok apa jadi orang. Mbok ya, udah jelek, cebol, ngeselin, seenggaknya jangan jorok gitu lah."
Harits terdiam, ia tak ingin menambah runyam suasana, meskipun hatinya memberontak ingin membalas hinaan Melodi. "Oke, dah."
"Sekali lagi lu bikin gua ilfil, gua bakar tuh upil lu sama idung-idungnya."
"Buset, ngeri amat," balas Harits. "Cocok lu, gantiin posisi ketua Satu Darah."
Melodi kembali diam, mengalihkan pandangannya ke arah pepohonan di halaman. Tawa Harits menguap seiring dengan heningnya malam. Kini, kegalauan yang sudah berjam-jam ia pendam mulai muncul kembali, menusuk-nusuk pikirannya.
Besok adalah hari Senin. Hari yang seharusnya gadis itu tunggu-tunggu, namun justru kini terasa mencekam. Di kampus, ia akan tampil solo piano di konser kecil yang diselenggarakan jurusan.
Sudah beberapa hari ia menghubungi kembarannya, dan meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Melodi bahkan mengirim undangan khusus untuk Nada, berharap saudaranya mau datang dan menonton penampilannya. Namun, hingga malam ini, tak ada kabar dari Nada. Tidak ada balasan chat. Tidak ada panggilan yang diangkat. Kini, hanya ada penyesalan atas malam itu yang membeku di hatinya.
"Lu sebenernya kenapa sih?" Harits menatapnya dengan alis berkerut. "Soal Nada?"
Melodi menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Iya, gua udah coba minta maaf, tapi dia enggak respon apa-apa. Padahal besok gua tampil solo piano, gua cuma pengen dia dateng."
"Lu udah coba ngomongin masalah ini sama dia ? Maksud gua, lu udah berusaha?"
"Udah. Gue udah spam chat minta maaf, ngirim undangan via email, nelepon ke nomor Nada, tapi ya gitu deh, enggak ada kabar sama sekali," jawab Melodi, suaranya terdengar getir. "Nomornya enggak aktif. Entah gimana lagi cara ngehubungin Nada, gua pun malu ketemu sama dia sekarang. Entah udah sebesar apa rasa kecewa yang dia tumpuk."
Harits mengusap dagunya, seolah-olah sedang berpikir . "Nada bukan orang yang keras kepala sih, gua yakin dia bukan tipe yang bakal lama-lama marah. Mungkin dia cuma butuh waktu aja buat sendiri. Lagi pula, lu udah lakuin bagian lu dengan baik kok, Doy. Kalo besok dia enggak dateng ... ya jangan biarin itu ganggu penampilan lu. Gua sama anak-anak dateng kok, jadi lu fokus aja."
Melodi terdiam. Ia tahu Harits ada benarnya, tetapi kegelisahan itu tetap saja membayangi. Lagi pula, value nya berbeda untuk Melodi. Kehadiran seorang Nada, jauh lebih bermakna daripada semua anak Mantra.
Harits menatap Melo lebih serius. "Doy, lu kan udah siapin banget dari lama, buat acara besok. Gua yakin Nada juga bangga sama lu, walaupun dia enggak bilang secara langsung. Kadang-kadang orang kayak gitu cuma butuh waktu buat ngulet dari masalahnya sendiri."
"Omongan lu udah kayak kenal lama aja sama Nada," balas Melodi. "Selama-lamanya lu kenal sama Nada, gua jauh lebih lama kenal dia. Kita udah tandeman dari jaman dulu balapan lari sampe ke sel telur, menang sama-sama, dan angkat trofi bareng."
Harits menggaruk pipinya yang gatal karena bekas garpu. "Yaa--terserah lah gimana."
Melodi menghela napas. "Thanks, Cel, udah nemenin gua malem ini. Gua bakal coba buat enggak terlalu mikirin, biar besok bisa perform maksimal."
"Gua janji, enggak bakal bikin ulah besok. Enggak ada lagi upil-upilan. Cuma support penuh buat lu pokoknya, jadi lu harus semangat, biar penampilan lu enggak punya celah buat jadi bahan cengan gua, Doy, nyahahaha." Harits memberikan tos tinjunya pada Melodi.
"Gua harap semuanya lancar, biar lu punya alasan buat sesekali muji gua." Melodi menempelkan kepalan tangannya ke tinju Harits.
"Ya udah, gua tidur dulu yak. Ngantuk banget asli," gerutu Harits.
Melodi tertawa. "Ya udah sono, kasian amat sih lu."
"Lu enggak balik?" tanya Harits.
"Rumah di belakang sepi, Cel. Bukannya gua takut, tapi ada rasa nyelekit aja kalo gua di sana. Rasanya--kangen Nada. Mungkin nanti, agak maleman gua baru balik, sekarang gua masih mau di sini."
Mendengar itu, Harits langsung merebahkan diri di lantai, dan memejamkan mata perlahan.
"Lah, lu enggak masuk? Dingin tidur di luar mah," balas Melodi.
"Nemenin lu bentar lagi, biar lu enggak ngerasa kesepian, Doy."
Melodi melepas cardigan kuningnya dan melemparkannya pada Harits, hingga menutupi wajahnya. "Pake tuh, biar lu anget dikit."
Harits menarik cardigan itu hingga lepas dari wajahnya, lalu memandang ke arah Melodi. "Lah, ntar lu yang kedinginan. Gimana sih lu," balas Harits.
"Anggap aja impas. Lu tidur di sini nemenin gua, gua korbanin cardigan gua buat lu. Gua enggak suka ngutang."
"Terserah dah." Harits menjadikan cardigan Melodi sebagai selimutnya, dan tidur di teras balkon. "Kalo lu mau balik, bangunin gua."
"Oke," balas Melodi.
Keesokan harinya, Cakra duduk di sebelah Kevin yang sedang mengemudi. Keempat laki-laki itu sedang menuju kampus ISI, untuk menonton pertunjukan solo Melodi dan seni dari semester akhir kampus tersebut.
Preeettt ....
"Hem! Dari tadi lu, ya, gua perhatiin!" Deva menahan napas sambil membuka kaca di sebelahnya. "Ah, bener-bener ini anak monyet, bau banget sumpah. Ueeek!"
"Lu salahin noh mantan lu, Megalodon. Ditinggalin di balkon sendirian gua semaleman, asu!" umpat Harits. "Masuk angin akut nih gua!"
Broooott ....
"Ueekk! Anjing lu, ya, kentut berdahak! Ueeek!" umpat Deva dengan mata berkaca-kaca. "Vin, bangku mobil lu basah tuh!
"Bangsat! Kagak cepirit gua, ya!" Harits berusaha berargumen.
"Udah-u-eeekkk!" Cakra nyaris muntah karena aroma brutal kentut Harits.
"Nah, kan, pusing kan lu nyium bau kentut si Harits, Cak," kata Deva.
"Kagak. Itu dia mabok gara-gara maen hape di mobil," celetuk Harits.
Cakra meletakkan ponselnya di dashboard mobil. "Kalo cuma chattingan sih aman, masalahnya kentut lu mau bunuh orang ini."
"Halah! Kevin aja resist noh," balas Harits.
Kevin memang terlihat santai dan tenang. Cakra pun jadi menoleh ke arah pemuda tampan itu untuk mengetahui jurus apa yang digunakannya. Namun, Cakra terbelalak saat melihat Kevin tak sadarkan diri. "Kevin mati woy! Tuker supir!"
Dan pada akhirnya, mobil menepi di pom bensin. Harits berlari ke toilet, sementara Kevin digotong keluar agar mendapatkan oksigen yang kuat. Kerusuhan itu berakhir ketika Harits kembali, sebab ia yang menggantikan Kevin mengemudi.
Kenapa tidak ada Melodi di antara mereka? Wajar, karena keempat orang itu adalah penikmat acara, sementara Melodi adalah penampil. Melodi sudah berangkat sehabis subuh tadi untuk melakukan persiapan acara.
Sesampainya di kampus ISI, keempat pemuda itu melangkah bersama, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka, yang mayoritas adalah mahasiswa kampus tersebut. Mereka terlihat rapi, dengan pakaian formal yang terlihat berkelas, seperti sekelompok mafia modern yang siap menikmati panggung seni.
Harits tampil mencolok dengan kemeja putih dipadu dengan rompi hitam seperti bartender. Dasi kupu-kupu hitam di lehernya menambahkan kesan elegan dan unik, membuatnya tampak seperti karakter dalam film Noir.
Kevin memilih tampilan yang lebih klasik. Ia mengenakan jas hitam dengan kemeja abu-abu terang di dalamnya, tanpa dasi. Satu tangannya terus berada di saku celana, menunjukkan seberapa dingin dirinya.
Deva yang berkarakter lebih laid-back, memakai setelan hitam dengan celana chino hitam yang dipasangkan dengan kemeja biru tua, serta jas berwarna charcoal.
Terakhir, Cakra. Ia memilih tampilan yang sedikit berbeda, dengan kemeja putih yang digulung lengannya hingga siku, dan blazer biru navy sebagai outer. Celana slim-fit hitam membuatnya terlihat ramping dan modis.
Namun, di balik semua diksi di atas, ternyata mereka berempat berjalan sambil menahan malu, karena hanya mereka berempat yang formal di tempat itu, sementara yang lain--casual.
"Melodi, bajingan!" umpat Harits yang kesal. "Kita ditipu, asu!"
Deva memukul bagian belakang kepala Harits. "Udah tau malu, jangan ditambah bikin malu. Udah, lu diem aja. Awas lu kentut sembarangan. Kalo tai lu jatoh, langsung pungut., oke?"
"Udah sembuh gua, asu!" balas Harits.
Di tengah kegaduhan itu, tiba-tiba Cakra berhenti mendadak, sehingga terjadi tabrakan beruntun di antara mereka berempat.
"Lu jangan tau-tau berhenti jalan dong, Cak!" seru Harits.
"Au lu, nyaris aja gua kena pantan Harits yang masih basah," timpal Deva.
"Nada, kamu dateng beneran?" tanya Cakra, mengabaikan gerutuan Harits dan Deva.
Kini, ketiga pemuda lainnya baru menyadari, bahwa ada sosok Nada yang berjalan dari arah berlawanan. Gadis itu bergandengan tangan dengan Faris.
"Datenglah, ini kan acara Melodi," jawab Nada.
"Lah, kata Melodoy, nomor kamu enggak aktif?" tanya Harits. "Tau dari mana kalo sekarang di sini ada acara dia?"
Nada menunjuk Cakra. "Cakra yang ngasih tau, terus aku jadi nge-charge hape, dan baca semua chat dari Melodi."
Harits memicingkan mata. "Lah, kan hapenya mati. Gimana cara ngasih taunya? Lewat mimpi? Astral projetcion?"
"Gua nguping obrolan lu semalem sama Melodi," jawab Cakra. "Terus, gua baru inget kalo gua punya nomornya Faris, dari Nada dulu. Prediksi gua, mereka lagi barengan, jadi gua coba kontak si Faris. Abis itu, Faris yang ngasih tau sisanya ke Nada."
"Ngomong-ngomong." Deva menatap tangan Nada dan Faris yang saling bergandengan. "Kalian pacaran?"
Nada menggeleng, ia melepaskan gandengan tangan itu dan menunjukan jari manisnya pada anak-anak Mantra. Sebuah cincin berwarna perak berkilau, membuat mata keempat pemuda itu tersilau-silau.
"Itu hadiah dari ciki?" tanya Harits.
"Dih, oneng!" Nada menarik tangan Faris dan menunjukkan cincin yang sama di jari pemuda itu. "Aku sama Faris enggak pacaran. Kita tunangan."
Harits, Kevin, dan Cakra terbelalak. Ketiga pemuda yang pernah menyukai Nada itu refleks memegangi dada mereka, dan terhunyung-huyun jatuh ke lantai.
Kini giliran Nada yang dibuat heran. Ia sontak menatap Deva yang masih berdiri tegak. "Mereka kenapa, Dev?"
Deva terkekeh. "Peluru kamu tinggal berapa, Nad?"
Nada mengerutkan kening. "Peluru?"
Pemuda gondrong itu menunjuk ketiga rekannya yang terkapar. "Itu? Udah kepake tiga buat ngebunuh Harits, Cakra, sama Kevin."
"Perasaan, aku enggak ngapa-ngapain," balas Nada polos.
Jawaban Nada membuat ketiga pemuda yang pura-pura mati itu tersenyum, dan terbahak-bahak. Mereka bertiga kembali bangun dan berjalan ke arah Faris. Cakra jadi orang pertama yang menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Selamat, ya, Ris," ucap Cakra.
"Ah, iya, makasih, Cak," jawab Faris.
"Selamat, coy." Harits jadi orang kedua yang memberikan selamat.
"Selamat." Kevin memberikan selamat ketiga untuk Faris.
Mereka membaur dan bertanya-tanya, kapan dan bagaimana bisa tiba-tiba kedua orang itu bertunangan? Sejujurnya, meskipun sudah lama move on, tetapi masih ada sedikit rasa sesak di dada mereka.
Di belakang panggung, Melodi masih terlihat gelisah. Ia belum tahu, bahwa Nada sudah berada di sekitarnya saat ini.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top