8 : Perjanjian Yang Terlupakan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Kini Harits dan Agha duduk berdua di lantai atas Mantra. Semua jendela tertutup sehingga ruangan itu gelap tanpa sepeser pun cahaya.

Agha mengikatkan tali di pergelangan tangan Harits, ia mengikatkan tali itu bersama dengan sebuah lonceng.

"Saat urusan selesai, bunyikan lonceng itu. Seorang pembawa lentera akan datang mengantarmu pulang. Jika ia bertanya perihal sesuatu, jangan dijawab. Cukup diamkan saja dan terus ikuti ia sampai kau melihat cahaya," ucap Agha.

"Emang kenapa kalo gua jawab?"

"Jangan pernah berharap bisa pulang," jawab Agha.

"Cuma itu, kan?"

Agha mengangguk.

"Oke, gas."

Kini Agha menyentuh tangan Harits sambil tangan satunya membuka penutup mata yang menutupi mata kirinya. Begitu penutup tersebut dibuka, mata itu masih tertutup rapat seolah memberi peringatan terakhir pada Harits. Harits menangkap tanda dari Agha dan mengangguk pelan sebagai persetujuan.

"Tutup matamu," ucap Agha.

Harits mengikuti perintah Agha, ia segera memejamkan kedua matanya.

Begitu Agha membuka mata kirinya, Harits langsung merasakan sebuah sensasi yang mengerikan dan membuatnya sontak merinding. Ia seakan ditelan kehampaan. Udara dingin tiba-tiba menusuk kulit beriringan dengan datangnya aroma anyir yang menyengat.

Ketika membuka mata, Harits berada di sebuah tempat yang gelap dan berkabut. Pria bertopi biru itu sudah tak berada di tempatnya semula.

Bagaimana bisa Harits berpindah tempat?

Sebenarnya Harits tidak benar-benar berpindah tempat secara harfiah, melainkan hanya rohnya saja. Pria dengan penutup mata itu yang membuat roh Harits berpindah alam. Mata kiri Agha bukanlah mata biasa, melainkan mata suratma yang merupakan gerbang penghubung antara dunia nyata dan dunia kematian.

Saat ini roh Harits berada dunia orang-orang mati. Alam Suratma namanya, alam yang terletak di antara dunia dan akhirat, alam yang menjadi tempat singgah bagi para arwah.

Jeritan manusia dan nyanyian burung pemakan bangkai menjadi instrumen utama yang disuguhkan oleh Alam Suratma. Lagi-lagi bulu kuduk Harits merinding, sudah lama tak ia rasakan sensasi ngeri seperti ini.

"Ke mana nih ya?" Ini bukan kali pertama Harits pergi ke sana, tapi meskipun begitu, ia bingung harus melangkah ke mana. Sebab Alam Suratma merupakan tempat yang gelap yang penuh dengan kabut. Salah-salah mengambil langkah ia bisa saja tersesat, meskipun pada dasarnya ia memang sudah tersesat begitu tiba di Alam Suratma.

Celingak-celinguk ke kanan dan kiri, hingga Harits mendengar embusan napas dari arah belakang. Udara dingin bersemayam di tengkuknya. Ketika ia menoleh, wajah seorang nenek-nenek dengan kedua mata berlubang penuh darah sudah menunggunya.

"Asu!" Harits terkejut dan terpingkal jatuh ke belakang.

Setelah kemampuan untuk melihat mereka yang tak terlihat hilang dari hidupnya, rasanya semua kebiasaan pun ikut hilang. Karena sudah lama tak pernah melihat sosok mengerikan, Harits agak takut melihat yang satu ini.

Sosok nenek itu hanya diam tak bergerak, ia seperti patung, tetapi mampu bernapas dan berkedip dengan mata berlubangnya.

Harits berjalan menjauhi sosok itu. Di tengah rasa takutnya, suara tawa terdengar seolah meledeknya.

"Siapa itu?!"

Keadaan menjadi hening. Dari kegelapan di depannya, muncul siluet pria yang berjalan mendekat. Harits pun sontak menghentikan langkahnya.

'Makhluk apaan lagi ini?' Batin Harits.

Di tengah rasa was-was itu raut wajah Harits berubah. Seorang pria dengan wajah yang familiar membuat senyum tipisnya muncul. "Ken ...."

Kenzie, salah satu sahabat sekaligus rekan Harits di Simfoni Hitam dahulu muncul di hadapannya. Rasanya sudah lama sekali Harits tak melihat wajah itu. Tentu saja ia rindu.

"Selamat datang di Alam Suratma. Jadi, udah waktunya lu mati, Rits?" tanya Kenzie. Setelah bertanya, ia terkekeh melihat ekspresi Harits yang mematung.

Harits tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Sorry, emangnya elu nyahaha," balas Harits dengan candaan khasnya.

Kenzie pun paham, sebenarnya pertanyaan tadi hanyalah basa-basi saja. Roh Harits masih memiliki aroma kehidupan. Kedatangannya ke tempat ini cukup mengundang penghuni Alam Suratma. Makanya merasakan kehadiran Harits, Ken segera menemuinya sebelum ada roh jahat yang mengincarnya.

"Gua lagi nyari orang di sini," jawab Harits.

Ken terkekeh. "Sayangnya enggak ada orang di sini. Adanya yang modelan begitu." Ken menunjuk ke arah sosok nenek-nenek mengerikan yang masih belum jauh dari posisi mereka.

"Enggak deh makasih," balas Harits.

Ken tersenyum. "Jadi, nyari siapa?"

"Orang buta," jawab Harits.

Ken memicing. "Orang buta?"

"Pria buta dengan kain penutup mata hitam." Ekspresi Harits kini terlihat tegas. "Mikail Sagara." 

"Pimpinan Peti Hitam generasi tiga, ya ... pria yang berusia cukup panjang."

"Ya, dia orangnya."

"Kenapa tiba-tiba nyari dia?" tanya Ken.

Harits menunjuk matanya. "Cuma dia yang bisa ngasih gua petunjuk tentang misteri di balik mata keluarga Sagara. Enggak ada Sagara lagi yang gua kenal bisa jawab pertanyaan gua."

Ken menghela napas. "Kalo gua enggak mau bantuin pun, lu akan nyari seribu satu cara, kan?" Ken memutar tubuhnya. "Sini ikut. Gua enggak bisa biarin sahabat gua nyasar dan malah jadi penghuni tetap di sini."

Harits tak banyak bicara. Ia berjalan mengikuti Kenzie hingga perlahan mereka berdua ditelan tebalnya kabut Alam Suratma. 

Alam Suratma merupakan tempat yang rumit. Baru berjalan sebentar, Harits merasakan sensasi seperti sebelumnya, seolah dunia berputar dan membuat kepalanya pusing. Harits memejamkan matanya sejenak dan memijat keningnya. Namun, saat membuka mata kembali, Kenzie sudah tak berada di depannya.

Harits menoleh ke segala penjuruh arah untuk mencari pria yang tadi menuntun langkahnya di depan. "Ken?"

"Pemuda tadi sudah pergi," tutur suara berat yang Harits cukup kenali.

Perlahan kabut Alam Suratma menipis dan sirna. Tatapan Harits menajam menatap Mikail Sagara yang duduk di bawah pohon tua yang sudah mati. Pohon itu berwarna hitam dan terlihat sudah mengering tanpa daun. Beberapa burung hantu bertengger di ranting-ranting pohon tersebut. Burung-burung itu serentak menoleh ke arah Harits.

"Akhirnya kita bertemu lagi, Harits Sagara."

Harits berjalan mendekat dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong celana. "Gua rasa lu udah paham kenapa gua ada di sini sekarang."

Mikail tertawa kecil. Perlahan tawanya semakin membesar hingga terbahak-bahak. Namun, pada satu titik, pria dengan penutup mata berupa kain hitam itu terdiam. Ia melepas kain hitam yang menutupi matanya. Terlihat kedua mata yang masih terpejam. Mikail menyeringai sambil menunjuk ke arah matanya. "Mencari ini?"

Harits agak tersentak saat Mikail membuka matanya dan mendapati sosok itu tidak buta. Mikail memiliki dua mata sempurna yang saat ini sedang menatapnya.

"Kau ingat saat kita pertama kali bertemu?" tanya Mikail. "Kau datang meminta kekuatan dan aku memberikanmu buku itu, tapi ada bayarannya."

Jauh sebelum perang Walpurgis dan dihempaskan ke masa lalu oleh Melodi, Harits sudah pernah bertemu dengan Mikail saat ia kecil. Hanya saja karena membuat kesepakatan dengan Mikail, banyak hal yang ia lupakan dan seiring berjalannya waktu ingatan itu perlahan kembali.

Buku penjara jiwa yang Harits miliki sebelumnya adalah milik Mikail. Terbukti dari Widyatama yang terkurung di dalamnya. Buku itu tidak serta merta bisa begitu saja berada di tangan Harits. Rupanya ada kesepakatan kecil yang pernah ia lakukan dengan Mikail.

"Kita tarik waktu kembali," ucap Mikail. Kabut-kabut Alam Suratma menebal kembali dan membuat pandangan Harits menipis. Tak lama berselang, kabut itu kembali sirna, tetapi ada yang berubah. Tak ada pohon tua tempat Mikail singgah di depan Harits. Kini ia berada di rumah yang familiar dengannya. "Kita bawa kenangan buruk itu kembali."

Pria bertopi biru itu menatap seorang bocah kecil yang sedang duduk menatap keluar jendela. Harits terbelalak ketika menyadari bahwa bocah itu adalah dirinya sendiri saat masih kecil. Napasnya tiba-tiba memburu tak beraturan. Harits ingat betul, hari itu adalah hari yang tak pernah bisa ia lupakan. Sebab tepat di hari itu adalah hari terakhir ia melihat Kakaknya.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top