79 : Komitmen
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
"Beneran?" tanya Deva dengan nada khawatir.
Mila terdiam sejenak sebelum menjawab. "Iya, cuma sedikit flu biasa aja, enggak usah khawatir."
"Udah ke dokter, Bu?"
"Ah, enggak usah, ini karena capek aja," balas Mila sambil terkekeh kecil, jelas mengalihkan topik.
Deva mengernyitkan dahi, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. "Tapi, kalau tambah parah, Ibu bilang ya."
"Iya, Deva. Enggak usah khawatir, Ibu baik-baik aja kok," jawab Mila, suaranya terdengar lemah, meski ia berusaha keras terdengar baik-baik saja. "Ya udah sana, kamu lanjut skripsi, maaf Ibu ganggu kamu malem-malem."
"Enggak kok, Ibu enggak pernah ganggu," balas Deva. "Kalo ada apa-apa, telepon Deva lagi ya, Bu."
"Iya," jawab Mila. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Deva.
Setelah menutup telepon, Deva menatap layar ponselnya sejenak, kemudian menghela napas panjang. Melodi yang duduk di sebelahnya memperhatikan perubahan raut wajahnya.
"Ibu baik-baik aja kan, Dev?" tanya Melodi.
Deva tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Udah berapa hari ini dia telepon mulu, dan dari suaranya kayak belum membaik sih. Doain aja, biar Ibu cepet sehat, Mel."
"Aamiin," balas Melodi. "Aku jadi inget dulu."
Kini atensi Deva terfokus pada layar laptopnya. "Dulu kenapa tuh?"
"Waktu kamu jadi BEM dan lagi sibuk-sibuknya. Kalo ibu kamu nelepon enggak pernah diangkat, sampe dia neleponnya ke aku mulu. Sekarang, enggak ada satu pun panggilan dia yang miss. Waktu emang banyak ngerubah kamu ternyata."
"Karena aku udah berubah, sekarang mau balikan?" tanya Deva berguyon.
"Ya--enggak gitu konsepnya sih."
"Hahahaha, santai, bercandaan doang," balas Deva terkekeh. "Jujur, cinta pertama itu agak sulit dilupain, perasaannya kayak nyengkeram hati gitu, tapi lama-lama udah mulai bisa berdamai sama hal itu sih. Meskipun, kadang ada secuil rindu yang mampir di beranda pikiran."
"Tapi sekarang udah ada gantinya, kan?"
"Mungkin ada," jawab Deva.
"Yang tegas dong jawabnya," sahut Melodi.
"Enggak bisa mastiin, karena masih takut jatuh korban setelah Jashinta."
"Ah ribet." Melodi memutar tubuhnya. "Eh, sini deh. Duduk sini, gantiin aku."
Deva memicingkan mata, lalu menoleh ke arah bar. Ia menangkap hadir Chica di sana. Gadis itu mengenakan jaket denim senada dengan Deva.
Melodi kini tertawa usil sambil beranjak dari duduknya. "Tegasin, Dev, biar jelas!" Ia menepuk pundak Deva, lalu berjalan pergi.
Deva merasa dijebak. "Wah ngaco!"
Chica berjalan ke arahnya menenteng sebotol air mineral. "Aku boleh duduk di sini?"
Deva mengangguk. "Bol--"
"Gantiin Melodi," sambar gadis itu lagi.
Sebuah ucapan bermakna ganda bagi Deva. Ia tersenyum dan memberikan ruang bagi Chica untuk duduk di sebelahnya, menggantikan Melodi. Suasana mendadak akward, tak ada ucapan yang datang, sampai Cakra muncul dan meletakkan menu pesanan Chica.
Namun, Chica memicing ketika melihat ada kentang goreng di mejanya. "Mas, aku enggak pesen ini."
"Oh, Deva yang pesen," balas Cakra.
Deva tak tahu apa-apa, tetapi ia menangkap kode Cakra. "Oh, iya, aku pesen ini."
"Kapan pesennya?"
"Ah, itu ... sengaja sih buat kamu, Ca," jawab Deva dengan wajah merona. "Sengaja pesen makanan, biar kamu makin lama abisnya."
"Ah ... makasih, Dev."
Cakra tersenyum dan meninggalkan mereka berdua. Di sisi lain, Chica mengambil satu batang kentang stick itu dan memakannya.
"Dev, aku ... boleh minta izin enggak?"
Deva sontak menoleh ke arah Chica. "Izin apa?"
"Izin cemb-buru ...."
"Cemburu gara-gara?"
"Tadi, Melodi," jawab Chica.
Deva mengangguk. "Boleh."
"Tapi aku bukan pacar kamu, Dev, enggak apa-apa cemburu?"
"EKHM ... KODE!" celetuk Cakra dari kursi kasir.
"ASIH SHIBAL SEKIYAAAA! URI-GUREM-BOGEM!" seru Harits asal, dengan logat Korea. "KACAW SI MAS!" Lalu berganti dengan logat Jepang.
"Apaan si." Melodi terbahak-bahak mendengar ucapan Harits sambil mendorongnya pelan dengan satu tangan.
Deva mendadak malu karena gelagat para bajingan di belakangnya. Ia menggaruk kepala, meskipun tidak gatal. "Sorry, Ca. Emang rada-rada mereka tuh."
Chica tertawa tipis. "Enggak apa-apa, aku suka."
"Aku juga suka," celetuk Deva.
Wajah Chica sontak memerah. "Maksudnya suka sama suasana Mantra."
Harits memasang ekspresi super meledeknya, dengan mata memicing dan melipat bibir ke dalam. "Aigooo--adaw, daw, daw, daw," pekiknya saat tiba-tiba Melodi menjewer telinganya. Gadis itu memberikan kode untuk Harits, agar ia diam dan memberikan ruang bagi Deva.
"Sumimasen ga sukaaaaaa!" ucap Harits dengan logat Jepangnya lagi. Suaranya membulat dibuat agak tebal.
"Lu apaan si? Belajar gitu dari mana si? Aneh," balas Melodi.
Harits melepaskan jeweran Melodi dari telinganya. "Ojo koyo ngono, Ndes! Watashi wa ga sukaaaaaaaaaaaa!"
Melodi kini memasang wajah ilfil. "Lu kesurupan samurai, ya?"
Chica tertawa dengan tingkah anak-anak Mantra. "Temen-temen kamu lucu."
Deva sedang fokus memandang Chica. "Lucuan kamu."
Gadis itu tersipu malu ditatap Deva sebegitunya. "Dev, jangan diliatin, malu."
"Orang pacaran kurang-lebihnya kayak begini, Ca. Gombal-gombalan, ketemu berduaan ... menurutku, pacaran itu cuma sebatas status. Semakin dewasa, aku ngerasa yang dibutuhin dalam hubungan itu bukan statusnya, tapi komitmennya. Banyak di luar sana orang yang mengklaim orang lain sebagai haknya, tapi apa? Perselingkuhan di mana, terlalu banyak trust issue. Jadi, aku mau mau tanya, kamu boleh jawab sekarang, boleh juga kamu jawab nanti."
Chica mengangguk sebagai respons dari uapan Dirga. "Kalo bisa jawab sekarang, aku pasti jawab sekarang."
"Aku suka sama kamu," ucap Deva singkat. "Entah sejak kapan, aku pun enggak sadar. Sejak kita saling menghidar kemarin, rasa ingin nemuin hadir kamu tuh kuat banget rasanya. Di situ aku baru sadar, kalo aku suka waktu kamu berkeliaran di sekitar aku. Aku enggak mau biarin kamu lewat gitu aja, cuma jadi selingan takdir. Jadi aku mau tau tentang perasaan kamu."
Chica melirik ke arah Melodi, Harits, dan Cakra, lalu kembali menatap Deva. "Di sini banget?"
Deva mengangkat bahu. "Up to you. Boleh sekarang, boleh nanti."
"Aku rasa kamu pun tau tentang perasaan aku. Aku suka sama kamu, sebelum kamu suka sama aku," jawab Chica.
Deva meraih tangan gadis itu dan mengusap punggung tangannya. "Kamu mau komitmen sama aku, Ca? Aku enggak mau kita pacaran, karena aku masih punya kegelisahan. Aku mau tau seberapa komitmen aku, dan mau liat seberapa komitmen kamu. Sebentar lagi aku lulus, mungkin kita bakal terpisah jarak. Aku enggak mau ngiket kamu dengan rantai hubungan bernama pacaran. Kamu boleh pergi kapan aja, kalo kamu mau, atau nemu yang lebih baik dari aku. Kamu boleh mutusin komitmen itu kapan aja, tanpa sepertujuan aku."
"Hal yang sama berlaku juga buat kamu?" tanya Chica.
Deva mengangguk. "Iya."
Wajah Chica tertunduk. "Tapi aku ngerasa hubungan kayak gitu cuma akan bikin kita enggak menghargai satu sama lain ...."
"Ketika seorang cowok ngajak kamu pacaran, belum tentu dia berkomitmen. Tapi, ketika ada seorang pria yang ngajak kamu berkomitmen, aku rasa kamu enggak akan butuh pacar lagi. Jangan remehkan komitmen seorang pria, Ca. Puncak dari komitmen itu nanti, waktu ijab qabul. Pernikahan itu bukan hubungan, tapi bentuk sejati komitmen, karena ada hak, kewajiban, dan tanggung jawab di sana. Aku bukan lagi anak-anak yang cuma main simulasi sejenis pacaran, Ca."
Chica merinding menatap ekspresi wajah Deva yang saat ini terlihat tegas dan serius. Suasana mendadak sunyi di sekitar mereka, meskipun hiruk-pikuk Mantra masih berlangsung menjadi latar belakangnya.
Chica mengangguk pelan. Ia kini menatap dalam-alam bola mata Deva. "Iya, aku mau komitmen sama kamu, Dev. Kita jalanin bareng-bareng. Aku juga enggak mau cuma sekedar status, aku mau sesuatu yang lebih berarti."
Dari kejauhan, Harits yang masih mengamati mereka memasang tatapan usil, lalu berbisik ke Melodi, "Aigoo, makin romantis saja!"
Melodi mendengus sambil mendorong bahu Harits. "Berisk, Harits! Mulut lu bau kuda tau, enggak?"
"Dih!" Harits menatap wajah Melodi, lalu menunjuk hidungnya. "Upil lu loh."
Melodi refleks menyeka hidungnya dengan tangan, kemudian menatap tangannya. "Mana? Enggak ada?"
"Nyahahaha, muke lu kayak upil," celetuk Harits.
"Dih, garing!"
Harits tiba-tiba saja berjalan keluar dari bar sambil mengupil, lalu memeperkan upilnya ke bagian bahu baju Melodi. "Noh, upil garing." Setelah menodai Melodi, Harits berlari keluar kafe sambil terbakah-bahak.
'Nyahahaha.'
'Nyahahaha.'
'Nyahahaha.'
Tawa Harits terngiang-ngiang di benak Melodi. Gadis itu terdiam, menatap upil Harits dengan tatapan kosong, hampir mencapai sunya. Urat kemanusiaannya putus, ia mengambil garpu dan berlari mengejar Harits seperti makhluk primordial.
Di sisi lain Cakra hanya tertawa sambil menggeleng. "Aigoo, kalian lebih romantis, sialan!"
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top