78 : Deklarasi
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Udara dingin dari malam yang mendung berhembus lembut membuat suasana terasa sejuk. Nada duduk di kursi rotan di beranda, sementara Faris memilih bersandar di tiang kayu, menatap kosong ke arah langit yang gelap dan tampak menyembunyikan banyak misteri.
"Kamu apa kabar, Ris?" Nada memulai pembicaraan, suaranya sedikit serak gara-gara habis menangis.
Faris menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. "Baik kok, malahan punya kabar baik buat kamu, tapi kayaknya waktunya enggak cocok buat diobrolin sekarang. Besok kamu ada acara?"
Nada menggeleng sebagai jawaban.
"Besok aku jemput boleh?"
"Mau ke mana kita?" tanya Nada.
"Entah, tujuanku ke sini cuma kamu, jadi enggak punya tujuan lain. Paling kita muter-muter Jogja aja naik motor kayak di Bandung dulu. Terus kalo ada yang keliatannya seru, kita mampir," jawab Faris.
Nada mengangguk pelan, seberkas senyum tipis muncul di bibirnya. Kenangan tentang masa-masa SMA mereka di Bandung mengalir perlahan dalam pikirannya, membunuh segala pikiran-pikiran negatif sebelumnya. Rasanya hangat di tengah dinginnya malam.
Setelah itu, keheningan kembali merajai malam. Mereka tak butuh kata-kata lebih untuk saat ini. Hanya dengan duduk berdekatan dan berbagi angin malam, itu sudah cukup untuk mengisi kekosongan hati yang masing-masing mereka bawa.
Hari telah berganti. Siang ini Melodi sibuk di tengah hiruk-pikuk persiapan event musik yang akan menjadi kegiatan terakhirnya sebelum lulus. Aula Fakultas Seni Pertunjukan telah disulap menjadi panggung yang megah. Acara itu akan diadakan senin depan untuk mahasiswa lintas jurusan di fakultas tersebut yang sudah menyelesaikan skripsi mereka dan mempresentasikan tugas akhirnya dalam bentuk seni pertunjukan.
Di sekelilingnya, para mahasiswa sedang sibuk berdiskusi tentang urutan acara dan memastikan segalanya berjalan lancar. Melodi duduk bersama beberapa teman sekelasnya, merapikan rundown acara di layar laptop. Zara duduk di sebelahnya dan membicarakan detail teknis yang masih perlu dipastikan.
"Kita mulai sama band indie, nanti selang-seling sama solo. Kamu jadi penutup nanti, Mel." Zara menatap Melodi dengan tatapan paling serius. "Penampilan solo piano kamu bakal jadi highlight acara ini, karena siapa sih yang enggak kenal seorang Melodi Regita Mahatama? Anaknya super seleb, Aqilla Maharani. Takutnya kalo kamu duluan, nanti penontonnya bubar abis nonton kamu, terus yang lain kebagian sepinya doang."
Melodi mengangguk. "Oke, tapi jangan ada pandangan gitu deh, di sini kita semua setara. Enggak ada yang lebih baik dan lebih buruk. Kalo aku sehebat itu, aku enggak akan mau jauh-jauh buang waktu buat belajar di sini."
"Ya terserah deh, intinya lu hidangan penutup," balas Zara terkekeh.
Sementara mereka terus merapikan konsep acara, pikiran Melodi mulai melayang, kembali pada seseorang yang sudah berulang kali menyita perhatiannya, Nada. Rasa-rasanya sudah cukup lama sejak pertemuan terakhir mereka. Meskipun kesibukan persiapan ini mengalihkan sebagian besar fokusnya, Melodi tak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan wajah Nada dari benaknya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia rindu pada belahan jiwanya itu.
"Mel? Mel? Melodi!" Suara Zara melenyapkan lamunannya. "Kamu dengerin aku enggak?"
Melodi pun menampilkan cengirnya padah Zara. "Hehe, maaf."
Zara menggeleng tipis sambil menghela napas panjang. "Dengerin nih, gua enggak mau ngulang lagi. Jadi gini ...."
Mereka berdiskusi dengan intens perihal event terakhir mereka di kampus.
Di tengah masa-masa akhir simulasinya, Harits pun mulai menyusun proposal untuk tugas akhir. Meskipun kesibukannya mulai bertambah, tetapi tanggung jawabnya sebagai barista tak pernah ia pinggirkan. Baginya, membuat kopi merupakan sebuah pelepas penat.
Kini ia baru saja tiba di Mantra dan langsung bergelut dengan mesin-mesin kopi, membantu Maya, Cakra dan Kevin. Waktu berlalu, pada satu titik, saat tak ada pesanan yang masuk, Cakra duduk di depan bar, menatap Harits.
"Gay lu ya?" tanya Harits yang risih diperhatikan begitu.
"Dih," balas Cakra. "Kalo pun gua gay, gua juga milih-milih kali. Kalo ada Kevin, kenapa harus milih gantungan konci?"
"Asu," sambar Harits.
"Kenapa asu-asu? Lebih seneng kalo gua suka sama lu?" tanya Cakra dengan nada menggoda.
Bulu kuduk Harits berdiri. "Seumur-umur berurusan sama setan, gua lebih merinding kalo harus berurusan sama gay. Mending punya urusan sama Lucifer dah kayaknya."
Cakra terkekeh, lalu menatap Harits dan juga Kevin yang duduk tak jauh dari mereka. "Kalo dipikir-pikir, kita bertiga ini korbannya Nada, tapi bisa hidup berdampingan sama orang yang ngasih kita luka. Bahkan sering bantuin dia kalo dia dapet masalah. Kadang gua bertanya-tanya, apa alasannya?"
"Gua pernah nguping pembicaraan dua orang gila," kata Harits. "Mereka bilang, 1+1 itu sama dengan dua. Terus 2-1 itu sama dengan satu."
Cakra diam menyimak ucapan Harits tanpa kata-kata.
"Jadi, pada dasarnya seseorang yang jadian dan kemudian putus, itu cuma ibarat 1+1-1. Dia enggak kehilangan apapun, tetap jadi angka satu yang berdiri tegak," lanjut Harits.
"Oke, itu berlaku buat gua sebagai mantannya, tapi lu sama Kevin gimana? Yang ditolak sebelum nembak?" balas Cakra.
"Bangsat. Gini-gini gua pernah pacaran sama dia, seharian dong tapi. Nyahahahaha," balas Harits. "Kepin noh, minus." Harits tertawa lepas setelah melontarkan leluconnya.
"Apa yang minus dari gua?" tanya Kevin sambil menatap Cakra dan Harits bergantian.
"Hey, Bung." Harits memicing sebal sambil menunjuk pria tampan itu. Sebetulnya pertanyaan Kevin tidak punya maksud apa-apa, hanya saja karena kesempurnaannya, Harits tersinggung. "Lu tuh minus karena dari awal udah enggak punya kesempatan buat nembak Nada."
Kevin menggelengkan kepala sambil tertawa kecil pada Harits. "Kalo gitu, nilai kita sama-sama minus."
"Ya enggak dong. Apa yang bikin lu mikir gua juga minus, hah?" Harits berusaha menyanggah perkataan Kevin.
"Kita kesampingkan Nada," kata Kevin. "Gimana Melodi?"
Cakra tiba-tiba menahan tawa. "Pffttt ...."
"Melodi? Kenapa si Melodi?" tanya Harits memicing.
"Lu juga suka sama dia, kan?" tanya Kevin. "Dua kembar itu?"
Mata Harits semakin sipit. "Bego lu, ya?"
"Udah-udah," lerai Cakra. "Pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang menang, siapa yang kalah, kan? Udah keluar dari pertanyaan gua di awal nih."
Harits menghela napas sambil menyalakan mesin espresso. "Kadang, kita harus belajar damai sama situasi. Lu bisa terus sakit hati dan ngerasa kalah, atau lu bisa liat sisi baiknya. Kita semua masih ada di sini. Enggak kehilangan apa-apa. Itu yang penting."
Tatapan Cakra berubah sendu. "Sadar enggak sih, kalo bukan Nada yang nyakitin kita, tapi waktu? Waktu yang ngobatin perasaan kita, tapi dia juga yang kelak akan buat kita kehilangan segalanya, termasuk kehilangan nyawa kita sendiri."
Kevin diam di tempatnya dengan lamunan. "Waktu, ya?"
Gemerincing lonceng di pintu membuat ketiga orang itu menoleh. Kedatangan seorang pelanggan membuyarkan perbincangan mereka.
"Selamat datang di Mantra Coffee," sapa mereka bertiga.
Cakra mengambil daftar menu dan catatan, lalu berjalan menghampiri pelanggan tersebut. Sementara itu, Harits dan Kevin pun bersiap siaga dengan pesanan yang akan datang.
Maya hanya memandangi mereka sambil menggeleng pelan. "Wah, wah, semangat para pasukan patah hati."
Sore itu, angin pantai Depok berhembus lembut menyambut kedatangan Faris dan Nada. Mereka baru saja tiba setelah perjalanan panjang seharian ini menyusuri jalanan Jogja dengan motor. Suara deburan ombak yang saling bertabrakan dengan pasir pantai memberikan jeda yang menenangkan dari hiruk-pikuk kota dan segala persoalan hidup. Namun, di tengah ketenangan itu, Nada merasakan sesak di dadanya.
"Kenapa—ke pantai, Ris?" tanya Nada dengan nada yang terdengar getir.
"Kamu enggak suka laut?" tanya Faris.
Nada mengeratkan pegangannya pada ujung jaket Faris. "Setiap nyium aroma laut—entah kenapa perasaan aku sakit. Ada kenangan indah, sekaligus kenangan buruk di sini. Meskipun udah berdamai sama laut, tapi rasanya masih canggung."
Faris tersenyum. "Itu kan pantai ini beberapa tahun lalu, bukan pantai yang sama, sama hari ini kita datengin."
"Sama aja, Faris," balas Nada.
"Dulu, waktu kenangan buruk itu hadir, aku enggak di sini. Apa itu sama?"
Nada terdiam, tak menjawab pertanyaan Faris.
"Nad, setiap manusia itu pasti punya kenangan manis dan pahit, tapi itu bukan jadi alasan buat membenci sesuatu. Yang aku tau, kamu itu manusia yang paling cinta sama alam. Laut juga bagian dari alam, dan setiap hari ada sesuatu yang laut bawa ke tepi pantai entah dari mana. Perasaan sakit kamu itu harusnya udah ilang, karena sejatinya, laut juga ngambil sesuatu dari sini dan ngebawanya entah ke mana. Pergi, ke tempat yang jauh, dan mungkin ditemuin sama orang lain. Laut itu koneksi bumi buat menghubungkan banyak hal, termasuk perasaan. Pernah enggak sih, kamu ngerasa sedih sendiri di pantai, tapi enggak tau sedih gara-gara apa? Atau kadang ada rasa seneng, kagum, bahkan tenang aja gitu kayak enggak mikirin apa-apa? Yang aku percaya, semua perasaan random itu datang dari penjuru bumi lain."
Nada menatap Faris dari kaca spion kiri, mencoba memahami perkataan pria itu. Di sisi lain, Faris melanjutkan. "Analoginya kayak pasang surut air laut. Laut itu ngebawa sesuatu dari pantai, terus ngebawa sesuatu yang lain juga ke pantai. Kadang, kita ngerasa diseret sama arus kenangan dan emosi yang ngebuat kita tertekan. Hidup itu, Nad, kayak lautan. Kita bisa mengandalkan perubahan. Laut yang surut pasti kembali pasang, dan begitu juga dengan kita. Kadang, kita harus ngelepasin sesuatu dalam hidup kita biar bisa menerima yang baru."
"Jadi, menurut kamu, aku harus bisa nerima kenyataan dan menghadapi masa lalu biar bisa ngelanjutin hidup, Ris?"
"Entah." Faris tersenyum sambil melirik Nada dari kaca spion. "Yang jelas, pantai bisa jadi tempat buat kamu ngelepasin beban dan nemuin ketenangan. Laut mungkin ngebawa balik kenangan, tapi dia juga bisa ngebawa sesuatu yang baru. Setiap gelombang yang datang dan pergi, adalah bagian dari proses kita buat damai sama masa lalu, Nad."
Nada tersenyum kecil. Perlahan tangannya bergerak memeluk Faris dari belakang. "Awalnya aku takut."
"Takut?" Faris memicing. "Takut apa? Pantai?"
"Emmm ...." Nada menggeleng. "Aku takut sama rumah baru, takut sama lingkungan baru, takut adaptasi lagi di sekolah baru. Banyak hal yang aku takutin waktu mau pindah dari Jakarta ke Bandung dulu."
"Terus sekarang masih takut?" tanya Faris.
Lagi-lagi Nada menggeleng. "Aku tiba-tiba keinget cowok pertama yang aku temuin di lingkungan baru aku di Bandung. Dia diri dipager rumah, waktu aku lagi nyiram tanaman. Kata dia, aku cantik. Mungkin buat dia itu sepele, tapi buat aku itu berarti banyak. Seenggaknya, rasa percaya diriku nambah jadi 0,01%."
"Cuma 0,01% tuh?" tanya Faris diiringi senyum.
"Iya, awalnya cuma segitu, tapi ternyata kita ada di satu sekolah yang sama dan sekelas pula. Dia suka aku, aku suka dia, tapi komunikasi kita jelek. Jadi aku ngambil keputusan bodoh buat pacaran sama cowok lain buat pelampiasan. Tapi biarpun kita sama-sama terluka, sama-sama egois, dia tetep jagain aku dari orang-orang yang ngebully aku di sekolah. Bahkan sampe sekarang, dia buktiin bahwa meskipun kadang dia ilang, tapi dia enggak pernah pergi. Aku jadi percaya, bahwa satu orang bisa ngerubah banyak hal. Enggak salah Pak Soekarno minta sepuluh pemuda buat ngerubah dunia. Aku percaya itu bisa terjadi."
"Aku laper, Nad, makan yuk," ucap Faris melempar topik pembicaraan.
"Ayo, aku juga laper," balas Nada.
Faris memarkirkan motornya. Lalu mereka berdua berjalan ke pantai dan duduk di sebuah restoran seafood pinggir pantai. Faris dan Nada memesan beberapa menu seperti kerang bakar, cumi goreng tepung, lobster, dan ikan laut. Sambil menunggu makanan mereka dibuat, Faris dan Nada hanya diam sambil sesekali saling melirik.
Wajah Faris tiba-tiba memerah, ia seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu tertahan oleh keberaniannya sendiri. Hingga pada satu titik, ia menunjuk ke arah laut. "Liat deh."
Nada sontak memutar arah dan menoleh ke arah laut di belakangnya. Gadis itu memicing, merasa tidak ada yang menarik perhatiannya di sana. "Ada apaan?" Sambil mencari, ia teringat sesuatu, perihal Faris yang sedang senang, tetapi belum sempat bercerita padanya.
"Oh iya, Ris. Ngomong-ngomong ...." Ucapan Nada terhenti saat ia menoleh kembali. Matanya melirik pada sesuatu di atas meja. Sesuatu yang sebelumnya tidak ada di sana, tetapi sekarang ada.
"Aku suka bunga, Nad, tapi cuma kamu yang bisa bikin aku berbunga-bunga. Aku suka bunga karena cantik dan wangi, tapi aroma kamu pagi itu lebih wangi dari semua jenis bunga yang aku tau. Senyum kamu pagi itu, adalah bunga tercantik yang pernah aku liat. Detik itu juga aku suka kamu. Aku mau ngerawat bunga yang cantik itu biar terus mekar."
Faris mengambil kotak kecil di atas meja, lalu membukanya. Ada sebuah cincin perak di dalamnya.
"Nad, maaf kalo selama ini nyusahin kamu dan bikin kamu ngerasa sendiri. Maaf enggak pernah selalu ada di saat-saat tersulit kamu selama ini. Aku malu sama ekonomiku yang selama ini terus-terusan ditopang keluarga kamu, jadi setelah lulus aku serius buat ngerubah nasib aku, biar bisa sejajar sama kamu. Alasan utamaku dateng ke sini, karena aku tau kamu lagi di fase tersulit kamu, dan mau ada di sisi kamu nglewatin badai itu. Alasan lainnya karena aku lagi persiapan buat study di Jogja. Aku dapet beasiswa penuh dari perusahaan buat syarat naik jabatan. Aku tau rasanya kecepetan banget buat lanjut ke jenjang yang lebih serius, tapi aku mau kamu tau kalo aku beneran serius suka sama kamu."
Kini Nada menatap pria itu. "Faris ...."
Faris menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya bergetar di tengah angin pantai yang riuh. "Aku mau kita tunangan, Nad. Aku mau kita ngelangkah lebih jauh bareng-bareng, meskipun perjalanan kita belum sepenuhnya jelas. Aku tau kita enggak pernah pacaran, enggak ada kata-kata cinta yang romantis juga, tapi aku yakin sama perasaanku. Setiap kamu ada di deket aku, rasanya waktu bergerak lebih cepet dan berlalu gitu aja. Aku enggak mau kamu cuma jadi wanita yang singgah sebentar di hidup aku, terus pergi entah ke mana. Makanya selama ini aku enggak pernah nembak kamu, enggak pernah minta kamu jadi pacar aku, karena aku takut kita jadi asing nantinya. Aku mau kamu di setiap waktu dan sisa waktuku, Nad."
Nada terdiam, matanya menatap cincin perak yang berkilauan itu. Di dalam dirinya, ada keraguan yang tak kunjung reda. Perasaan itu bukan tentang Faris, melainkan tentang dirinya sendiri.
"Ris ...." Suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku ... belum siap."
"Nad, dengerin aku ...."
Nada langsung menyela ucapan Faris. "Aku bahkan enggak tahu siapa diri aku, Ris, apa yang aku mau. Aku belum selesai sama diri aku sendiri. Jangankan buat lanjut ke jenjang serius, aku aja masih bingung sama masa depan aku. Kuliah aku masih berantakan, aku belum tau apa impian aku sampe detik ini. Gimana aku bisa jadi pasangan yang baik buat kamu?"
Faris menatapnya dalam-dalam. "Nad, aku tau kamu perlu waktu, jadi jangan dijawab sekarang kalo kamu belum siap. Kalo pun pada akhirnya kamu nolak, itu hak kamu, aku akan berusaha baik-baik aja dan nerima keputusan kamu lapang dada, tapi kalo alasannya karena hal-hal yang kamu sebutin tadi, jujur aku kecewa."
Nada terdiam, tak punya kata-kata balasan untuk Faris. Ia memejamkan mata dan kecewa pada dirinya sendiri. Namun, faktanya memang ia merasa belum siap.
"Kalo kamu ngerasa enggak tau siapa kamu, kalo kamu ngerasa belum tau impian kamu, apa yang kamu mau. Ayo, kita cari bareng-bareng, Nad. Berdua lebih baik daripada sendirian. Kita temuin bareng-bareng semua hal yang kamu rasa abu-abu itu."
"Ris, aku udah terlau banyak ngerepotin kamu dari dulu ...."
"Itu tugas pasangan, kan? Saling melengkapi, Nad," potong Faris. "Kalo kamu punya beban, ayo kita pikul sama-sama. Kalo aku punya beban, kamu juga harus bantu aku. Biarin aku jadi pria yang ketawa sama kamu di saat kamu seneng, dan ikut nangis di waktu kamu sedih. Kita sama-sama saling menguatkan, sama-sama saling jaga."
Nada menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi, Ris ... gimana kalo aku enggak pernah yakin? Gimana kalo aku enggak pernah bisa nemuin siapa aku sebenernya? Apa yang aku mau?"
"Kamu enggak harus nemuin semuanya sekarang. Kita bisa belajar bareng-bareng, pelan-pelan, sambil jalan. Aku enggak butuh kamu jadi sosok yang sempurna. Aku cuma butuh kamu jadi diri kamu, yang apa adanya."
"Ris, jangankan ngurusin kamu, ngurusin skripsi aja aku enggak becus. Aku ketinggalan sama Melodi dan yang lain. Gimana bisa aku jalan sejajar ngimbangin kamu nantinya?"
"Setiap orang punya kecepatannya masing-masing, Nad. Hidup ini bukan perlombaan siapa yang paling cepet. Dunia ini enggak punya garis finish selain kematian. Kalo emang Melodi larinya kenceng, kamu enggak harus ngejar dia. Biarin aja dia lari secepet yang dia mau, karena itu hidup dia. Kamu juga punya hidup, Nad, yang enggak harus orang lain jadi patokannya. Selama kita ngelakuin yang terbaik, itu udah cukup. Kita cuma perlu jadi lebih baik dari versi diri kita yang kemarin."
"Kamu enggak ngerti, Ris, rasanya selalu jadi orang yang tertinggal, selalu jadi yang terbelakang," balas Nada.
"Nad, aku enggak ngeliat kamu dari seberapa cepet kamu lari atau seberapa banyak hal yang udah kamu capai. Aku ngeliat kamu dari gimana kamu menjalani hidup kamu, dengan semua keunikan dan keindahan yang kamu bawa. Setiap orang punya jalannya masing-masing, dan aku mau jalan bareng kamu, bukan di belakang, bukan di depan—tapi di samping kamu. Meskipun lama, perjalanan jauh itu bisa menyenangkan kalo ada yang nemenin. Aku harap, di sisa perjalanan hidupku, kamu orangnya."
Nada menatap Faris dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu dari seseorang yang selalu ada di saat ia merasa rapuh. Nada menundukkan kepala, menatap cincin perak yang berkilau di hadapannya.
"Aku selalu takut, Ris, selalu takut dan ngerasa kalo aku enggak cukup baik. Tapi kamu selalu ada di setiap rasa takut itu, dan percaya sama aku bahkan ketika aku sendiri ragu sama diriku sendiri." Nada menjulurkan tangan kanannya dengan jari-jari yang berjarak. "Aku harap kamu jangan berubah, ya, Ris."
Faris terdiam sejenak, menatap jari-jemari Nada dengan mata berkaca-kaca. "Jadi—kamu mau, Nad?"
Nada mengangguk pelan dan tersenyum tipis memandang Faris. "Menurut ... kamu?"
Dalam sekejap, wajah Faris yang semula tegang berubah cerah. Senyum lebarnya tampak tak bisa ditahan lagi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil cincin dari kotak kecil itu, lalu perlahan memasangkannya di jari manis Nada. Sentuhan perak itu terasa dingin, tapi ada kehangatan yang menjalar di hati gadis itu.
Nada menatap cincin perak di jarinya, rasanya ada beban yang terangkat dari pundaknya. Sementara itu, Faris menatapnya dengan senyum paling manis yang ia miliki.
"Ris, kalo aku tersesat, atau jatuh, atau ragu, pegangin ya. Jangan biarin aku terpuruk sendirian," ucap Nada. "Bukan artinya aku jatohin kamu, tapi aku harap kamu bisa jadi alasan aku bangkit lagi tiap kali terpuruk."
Faris meraih tangan Nada dan menggenggamnya erat-erat. "Janji."
"Kita udah tunangan, tapi aku masih butuh banyak waktu. Kalo dalam perjalanan itu kamu nemu perempuan lain, jangan selingkuh, ya. Kamu bilang aja, enggak apa-apa."
Faris tersenyum lebar, ia genggam tangan Nada lebih erat. Lalu ditatapnya bola mata Nada dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah janji yang tak akan pernah patah.
"Nad, di dunia ini ada jutaan bunga yang cantik, tapi aku cuma mau satu bunga yang tumbuh dari perjalanan hidupku, yang aku rawat dengan hati-hati. Enggak ada bunga lain yang bisa ngalahin keindahan bunga itu. Karena buat aku, bunga itu cuma ada satu dan enggak akan aku biarin layu karena aku suka."
Nada menatap cincin di jari manisnya. "Bunga itu juga suka sama kamu, Ris."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top