76 : Sepi Mendadak

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, dan hari berganti minggu, tetapi Nada tetap tidak terbiasa hidup tanpa Melodi. Setiap hari yang biasanya dipenuhi dengan tawa dan cerita mereka kini terasa dingin.

Sudah hampir seminggu ini Nada tidak menyalakan ponselnya yang mati sejak terakhir kali ia dan Aqilla teleponan di malam yang sama dengan Melodi. Nada lebih banyak menghabiskan waktu di kampus bersama Dini, rekan KKN nya dan juga Pita, rekannya di Mapalakata.

Sore ini, Nada, Pita dan Dini duduk di bangku kayu di taman kampus Instiper, di bawah teduhnya pepohonan mahoni yang menjulang tinggi. Udara siang itu terasa sejuk, meski matahari bersinar terik, karena angin semilir sesekali berhembus.

"Mau coba pake judul aku, Nad? Aku punya dua judul sih jaga-jaga kalo judul utamaku ditolak," ucap Dini. "Karena judul utamaku di approve, jadi mubadzir nih yang satunya."

"Curang dong kalo gitu?" tanya Nada.

"Ya enggaklah, Nada. Aku kan cuma ngasih judul aja, paling sama latar belakang kenapa aku pilih judul itu. Nanti tetep kamu sendiri yang penelitian dan ngulik skripsinya," balas Dini.

"Emang apa judulnya, Kak?" tanya Pita.

Nada menatap Dini agak ragu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada kilatan rasa ingin di matanya. Wajar saja, selama seminggu terakhir ini pikiran Nada terasa kabur, seolah hidupnya berjalan dalam kabut yang tebal, dan hal tersebut membuatnya sulit fokus dalam berpikir. Hubungan dengan Melodi pun terasa suram, memperburuk perasaannya. Namun Nada sadar, bahwa hidup tetap berjalan dengan semestinya.

"Judulnya, Strategi Pengendalian Hama Tanaman Padi Berbasis Penggunaan Agens Hayati di Lahan Pertanian Berkelanjutan," jawab Dini.

Nada mengerutkan alisnya. "Agens hayati? Menarik sih, tapi aku kurang paham detailnya."

"Tenang aja, Nad," balas Dini dengan nada dan ekspresi wajah yang meyakinkan, bak seorang sales yang sedang menawarkan sebuah produk berkualitas tinggi. "Pengendalian hama dengan agens hayati itu fokus sama penggunaan organisme alami kayak predator, parasitoid, atau patogen buat ngendalikan populasi hama. Ini lebih ramah lingkungan dibanding penggunaan pestisida kimia. Plus, ini topik yang lagi hot karena banyak orang sekarang lebih peduli tentang pertanian berkelanjutan."

"Aku suka judulnya, Kak. Sekarang tuh emang lagi banyak petani yang mulai beralih ke metode organik, kan? Ini bisa jadi kontribusi penting buat petani-petani di daerah kita," sahut Pita.

Nada tampak berpikir. "Tapi aku ...."

"Halah, mbuh! Tapi aku, tapi aku mulu!" potong Dini. "Udah, kamu ambil aja. Kalo enggak ngerti nanti aku bantu sampe ngerti."

"Ya udah, kalo gitu aku pake ya judul kamu," ucap Nada dengan senyum di wajahnya.

"Iya, pake aja, Nad." Dini membalas senyum Nada.

"Makasih, Dindin."

"Sama-sama Nanad."

Saat mereka hendak pergi, tiba-tiba Dini merogoh kantong celana dan jaketnya seperti kehilangan sesuatu. Pita yang menyadarinya pun bertanya. "Kenapa, Kak Din?"

"Kunci motorku kok ya ilang, ya?"

Mereka bertiga pun mencarinya di sekitar taman kampus, tetapi tak menemukannya. Hingga pada satu titik, Nada menghela napas dan membuka sarung tangan hitam pada tangan kanannya. Gadis rambut bondol itu berjalan ke arah Dini, lalu menyentuh lengannya. Sekelebat ingatan terpampang di dalam bioskop pikirannya, Nada menyaksikan sedikit masa lalu Dini dan menemukan bahwa Dini meninggalkan kunci motornya di kantin pagi tadi.

"Eh, kenapa, Nad?" tanya Dini saat tangannya di genggam oleh Nada.

"Kamu tadi pagi ke kantin, ya?" tanya Nada.

"I-iya," jawab Dini. "Kok kamu tau?"

"Kunci motor kamu ketinggalan kayaknya," jawab Nada.

Dini meneguk ludah, ini bukan kali pertama Nada mampu membantunya menemukan sesuatu yang hilang. Di tempat KKN mereka, Nada sering menjadi penyelamatnya dan juga rekan-rekan lainnya. Namun, ia tak pernah tahu bahwa sebenarnya Nada memiliki kemampuan bernama psikometri, yang ia tahu hanya--tangan ajaib pemenu barang hilang.

Setelah itu mereka pergi ke kantin dahulu dan bertanya tentang kunci motor pada seorang penjual di kantin, dan benar saja, salah satu penjual itu menyimpan kunci Dini yang tertinggal pagi tadi.

Senja mulai meredup. Ketika Naa pulang ke tempat Sherlin dan membuka pintu depan, aroma masakan yang menggoda langsung menyambutnya.

"Eh, Nad, pas banget baru mateng nih masakannya. Makan sini," sambut Sherlin dari dapur.

Nada melihat kakaknya yang sibuk di depan kompor, sedang mengaduk-aduk panci dengan spatula.

"Iya, Kak. Maaf ya, aku pulang agak telat karena ada diskusi skripsi bareng Dini," jawab Nada sambil meletakkan tasnya di kursi ruang tamu. "Lagi masak apa, Kak?" Nada bertanya sambil melangkah ke dapur dan melihat ke arah panci.

"Mie nyemek spesial! Pake sayuran, ayam, sama telur. Kamu pasti suka," jawab Sherlin sambil tersenyum ramah. "Kamu kelihatan capek, Nad. Gimana hari ini? Ada cerita apa?"

Nada menarik napas dalam-dalam. "Lumayan, Kak. Aku diskusi sama Dini dan Pita tentang judul skripsi. Dini ngasih aku judul tentang agens hayati buat pengendalian hama di tanaman padi."

Sherlin mengangkat alisnya, merasa terkesan. "Hmmm ... topiknya bagus, Nad. Kalau kamu serius ngerjainnya, bisa jadi skripsi yang kuat itu."

Nada mengangguk, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan terhadap kapasitas dirinya sendiri dalam menggarap judul tersebut. "Iya, aku harap bisa fokus ngerjainnya, Kak."

Sherlin meletakkan sendok pengaduknya dan berbalik arah, menatap adiknya yang bertampang lelah. "Ya udah yuk, makan dulu."

Nada tersenyum. "Yuk!"

Mereka pun makan malam bersama dengan bumbu tawa yang tercipta dari cerita-cerita unik Sherlin dan pengalamannya. Juga tentang awal pertemuannya dengan Tama dahulu, sewaktu berada di Jogja Undercover.

Sepulang dari kegiatannya di kampus, Harits menyusuri jalanan kecil di sepanjang Selokan Mataram, motor tuanya berderu pelan. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, tetapi hatinya terasa jauh lebih dingin daripada udara yang mengelilinginya. Sebuah rokok terselip di antara jari-jarinya. Pada satu titik, ia menepi di pinggir jalan, mengamati air yang mengalir tenang di sungai kecil di sebelahnya.

"Aneh," gumamnya bermonolog. "Kenapa tiba-tiba nyesek, ya?"

Hari-hari yang diisi dengan canda, obrolan, dan secangkir kopi hitam bersama teman-temannya di Mantra Coffee kini terasa seperti cerita novel yang hampir habis. Sebentar lagi, mereka semua akan lulus. Masing-masing mengejar impian mereka, sementara Harits ... jauh di dasar hatinya tak ingin semua yang ia punya saat ini pergi dan berakhir begitu saja. Sudah terlalu banyak perpisahan yang mengikis hatinya dari waktu ke waktu.

Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya bersamaan dengan kepulan asap rokok yang membubung. Mantra bukan sekadar kedai kopi. Tempat itu adalah kapal yang telah mengarungi lautan bersama mereka, membawa mimpi dan banyak cerita. Namun, seperti hanya semua perjalanan, pada akhirnya mereka akan sampai pada pelabuhan terakhir dan melanjutkan perjalanan baru di jalan masing-masing.

"Yaaaa--kapal enggak bisa berlayar selamanya sih nyahahaha," gumamnya. "Ada yang lanjut jalur darat, ada yang mungkin butuh jalur terbang, atau juga yang masih lanjut litas samudra, tapi dengan kapal yang berbeda."

Rasa sepi merayap di dada Harits. Meski masih ada waktu tersisa, rasanya tak cukup. Takkan pernah cukup.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top