75 : Nasi Hot Dari Bunda

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Malam ini Melodi menginap di Kolong Langit, perjalanan bolak-balik Bantul-Kaliurang-Bantul sangat memeras energinya. Besok pagi, Ippo berjanji akan mengantarnya pulang ke Mantra.

Melodi berbaring di kasur tipis bersama beberapa anak gadis lain yang juga tinggal di panti asuhan ini. Mereka tampak sudah akrab satu sama lain, bercanda kecil dan saling bercerita sebelum tidur. Melodi merasa diterima, meski ia baru pertama kali menginap di sana. Rasanya tempat ini sangat hangat, seketika itu, ia sontak merindukan kehangatan rumah.

"Bunda lagi ngapain, ya?" tanya Melodi bermonolog sambil menatap langit-langit kamar.

"Bunda kakak masih ada?" tanya salah seorang gadis kecil usia kisaran SMP, ia berbaring di sebelah Melodi.

"Masih," jawab Melodi canggung, entah, ia takut membuat gadis itu bersedih karena salah kata dalam menjawab.

"Bunda kakak ada di mana sekarang?"

Melodi tersenyum tipis pada anak itu. "Jauh."

"Jauhan bunda aku," balas anak itu diiringi kekehan tipis, menampilkan deretan giginya yang putih.

"Ah iya juga ya. Bunda aku ada di Bandung, di rumah," ucap Melodi.

"Kakak kangen sama bunda kakak?"

"Kangen," jawab Melo singkat.

"Kenapa enggak ditelepon kalo kangen?" tanya anak itu lagi. "Nanti kalo udah enggak ada, kangennya kakak enggak bakal bisa diobatin loh."

Melodi terdiam sejenak. Perasaannya yang hangat kini menjelma sesak ketika mendengar nasihat sederhana dari seorang anak yang usianya jauh di bawahnya.

"Makasih nasehatnya ya, adik cantik. Nanti kakak telepon bunda kakak," ucap Melodi.

Anak itu tersenyum mendengar jawaban Melodi. Ia mengganti posisi, kini membelakangi Melodi, lalu menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya. "Kakak pasti seneng ... bisa denger suara bunda kakak," katanya dengan suara bergetar.

Melodi tak membalasnya lagi, ia paham bahwa sekarang gadis kecil itu sedang butuh ruang untuk merindu. Ia pun kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang ke rumah di Bandung, membayangkan wajah Aqilla dan suara lembut yang selalu menenangkan itu. Serangan rindu tiba-tiba melesat tanpa bisa ditahan. Gadis kecil tadi benar, telepon mungkin bisa sedikit mengobati rasa rindu itu, walaupun tidak cukup untuk menggantikan kehadiran yang sesungguhnya.

Ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal, lalu beranjak dari kasur dan melangkah ke luar dari kamar. Melodi kini duduk di teras seorang diri, jari-jarinya ragu, tetapi pada akhirnya berani untuk menelepon bundanya.

"Halo," ucap suara di seberang telepon.

"Bunda belum tidur?" tanya Melodi.

"Kalo udah tidur enggak diangkat dong," balas Aqilla dengan nada bercanda. "Kenapa? Uang kamu abis?"

Melodi tertawa kecil. "Kalopun abis, Melo enggak akan minta sama Bunda kok, tenang aja. Melo udah mandiri, Bun. Makasih ya, udah izinin Melodi kuliah jauh ke Jogja."

"Denger kamu ngomong begitu jadi aneh. Kenapa sih?" tanya Aqilla.

"Enggak apa-apa, cuma kangen saja sama Bunda, kangen sama Ayah, kangen sama rumah," jawab Melodi.

"Kirain lagi berantem sama Nada, makanya bunda jadi pelarian gitu," sindir Aqilla dengan nada bercanda. "Soalnya belum lama ini Nada juga telepon."

Melodi terdiam sesaat. 'Hah? Nada nelepon Bunda?'

"Nada ngomong apa, Bun?"

Aqilla tertawa. "Bener, kan?"

Melodi menatap halaman Kolong Langit yang dipenuhi rumput, mirip seperti halaman Mantra, hanya saja tidak ada pohon besar seperti di Mantra. "Iya, Bun."

"Dari hari apa gitu, dia nelepon bunda, cerita kalo udah maju bimbingan skripsi. Ada rasa lega karena berani maju, meskipun judulnya ditolak sama dospemnya," ucap Aqilla.

"Judulnya ditolak?" tanya Melodi dengan kening mengerut.

"Iya, terus tadi dia maju lagi dan ditolak lagi," jawab Aqilla. "Sempet mau nyerah, tapi udah bunda kasih semangat."

"Tapi dia enggak cerita tentang pertengkaran kita, Bun?" tanya Melodi.

"Enggak kok," jawab Aqilla.

"Tapi kok bunda bisa nebak kalo kita berantem?"

"Kalian tuh dari kecil bareng. Tiap Nada ada masalah, dia cuma cerita sama kamu. Satu-satunya momen dia ngerasa butuh orang tua itu cuma di saat kalian enggak akur. Jadi kesimpulannya, kalo sekarang dia butuh bunda, berarti kamu lagi enggak ada di samping dia. Bener, kan?"

Wajah Melodi tertunduk. "Iya, Bun. Aku sebetulnya khawatir dia ada di mana."

"Udah kamu tenang aja, dia ada di tempat yang aman kok. Nada mungkin cuma butuh waktu buat fokus sama skripsinya."

"Emang dia di mana?" tanya Melo.

"Di rumah Sherlin," jawab Bunda.

Melodi menepuk keningnya. "Aduh, lupa aku kalo ada Kak Sherlin di Jogja. Kok ya aku enggak kepikiran gitu?"

"Kalian tuh kenapa sih?" tanya Aqilla.

Melodi menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk bercerita pada Bunda Aqilla. "Jadi, Bun, Melo tuh lagi burn out banget. Jujur, Melodi lagi ngerasa stuck dan takut ngecewain harapan Bunda sama Ayah, Melo takut ngecewain semua orang karna yang mereka tau Melo itu jenius. Melo takut, ketika Melo gagal, Bunda yang malu. Ngearansemen lagu yang Melo ambil buat tugas akhir ini nguras otak banget karena ngambil lagu klasik, Bun. Kadang ... hal kecil di sekitar Melo itu rasanya bikin sebel, meskipun yaaaa--sebetulnya biasa aja, Melodi aja yang lagi sensian. Nah, Melo tau maksud Nada baik, tapi waktu Melodi tidur, dia diem-diem gunain psikometri buat ngulik masa lalu Melodi. Karena lagi sensi, Melo pecahlah di situ dan bentak Nada. Toh, Melo kan juga punya privasi yang enggak harus Nada tau."

"Tapi kamu cerita tentang masalah kamu ke Nada?" tanya Aqilla.

"Enggak," jawab Melodi.

"Kamu nyempetin waktu buat ngobrol sama Nada? Tanya-tanya tentang hari ini, berat atau enggak? Ada apa di kampus?"

"Enggak, Bun, Melo enggak sempet. Melodi lagi sibuk banget, asli."

"Melodi Regita Mahatama, semua orang di dunia ini sibuk. Kita itu hidup di antara prioritas. Kesibukan kita itu cuma sebatas mana yang prioritas, mana yang bukan. Prioritas kamu saat ini adalah skripsi, tapi bukan artinya kamu mengabaikan orang-orang di sekitar kamu."

"Iya sih, tapi, Bun--"

"Kamu sadar enggak, kalo kamu sekarang lagi ada di posisi yang biasanya diisi sama Nada?" potong Aqilla. "Yang ngerasa gagal, yang ngerasa takut ngecewain orang lain, yang tertutup dari orang-orang terdekatnya, yang berusaha keras, tapi prosesnya mengkhianati hasil?"

Jika dipikir-pikir, omongan Aqilla ada benarnya. Melodi pun merasa bahwa sekarang ia memang lebih terlihat seperti Nada yang dulu.

"Apa kepedulian yang kamu biasanya kasih ke Nada itu salah?" tanya Aqilla. "Bukannya kamu yang berusaha ngelakuin seribu satu cara buat bisa bantuin Nada bangkit? Kenapa pas posisi kalian dituker, kamu protes?"

Melodi terdiam seribu bahasa. Jika dikaji lebih dalam, rupanya roda kehidupan memang berputar. Sekarang ia memikirkan Nada yang selalu berada di titik ini, dan selalu mampu bangkit. Kini ia paham, seberapa hebat kembarannya itu.

"Kamu yang selalu bilang ke Nada waktu dia cuma ngomong pake gestur badan, 'ngomong, Nad!', tapi giliran dia udah terbiasa bicara, sekarang kamu diemin dia? Bunda yakin, Nada berharap kamu nanya kabar dia, nanya gimana bimbingan dia, tapi selama ini dia diem dan nurunin egonya karena dia tau, kamu juga lagi berjuang. Satu-satunya upaya dia sekarang itu cuma berusaha ngejar kamu, Melodi."

Melodi terdiam meresapi kata-kata bundanya yang menohok. Ia menyadari betapa selama ini ia hanya fokus pada permasalahan sendiri, hingga tanpa sadar mengabaikan perasaan dan usaha Nada. Ketika roda kehidupan berputar dan ia berada di posisi yang biasa ditempati kembarannya, Melodi akhirnya bisa merasakan betapa berat beban yang biasa dipikul Nada.

Melodi menghela napas panjang, berusaha meredakan gejolak emosi yang membuncah di dalam dirinya. "Bunda bener," katanya lirih. "Melo terlalu sibuk sama urusan sendiri, sampe lupa kalo Nada juga butuh Melo."

Aqilla tersenyum di seberang telepon. "Kalian itu jauh dari rumah, cuma punya satu sama lain, jadi harus saling peduli. Karena dalam hidup ini, kita enggak selalu bisa kuat sendirian. Kalo kamu merasa berat, kasih ruang buat orang-orang yang ada di sekitar kamu buat bantu, termasuk Nada."

Melodi menunduk, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. "Melo kangen banget sama Bunda. Rasanya pengen pulang, Bun. Melodi mau dipeluk sama Bunda."

"Kamu bisa pulang kapan aja kok, rumah ini selalu terbuka dan akan selalu jadi tempat kalian pulang," jawab Aqilla. "Enggak ada yang neken kamu buat cepet lulus, meskipun lebih cepat lebih baik. Bunda mau kamu nikmatin aja prosesnya, jangan merasa tertekan, apalagi takut sama omongan orang tentang kamu. Yang perlu kamu inget cuma satu, kamu punya tanggung jawab di sana yang harus kamu selesaikan. Kalo kamu merasa harus membuat sebuah karya yang membagongkan, tapi butuh waktu lama buat persiapannya, sok, monggo. Bunda sama Ayah itu alumni almamater kamu, jadi paham watak keras darah seniman yang haus idealis kayak kamu."

Melodi mengusap air matanya dan mengangguk pelan, meski saat ini Aqilla tak bisa melihatnya. "Iya, Bun. Melodi bakal berusaha sebaik mungkin. Terima kasih udah selalu ada buat Melo ya, Bun."

"Selalu, Sayang," ucap Aqilla lembut. "Sekarang, coba tenangin pikiran kamu dulu, terus istirahat yang cukup. Besok selalu jadi hari yang baru, kamu bisa mulai pelan-pelan," ucap Aqilla.

Melodi tersenyum tipis, ia merasa lebih baik setelah mendengar nasihat bundanya. "Iya, Bunda. Melo sayang banget sama Bunda."

"Bunda juga sayang banget sama kamu. Selamat malam, Sayang. Istirahat yang nyenyak, ya."

"Selamat malam, Bunda," jawab Melodi sebelum menutup telepon.

Ia duduk diam sejenak di teras Kolong Langit, menikmati sejuknya malam dan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Meski masih ada sisa dari sesak di dadanya, kini gadis itu merasa lebih baik. Ia sadar, bahwa di balik segala kesulitan yang ia hadapi, selalu ada orang-orang yang mencintainya dan siap membantunya bangkit kembali.

Melodi beranjak dan kembali masuk ke dalam kamar. Gadis kecil yang tadi menemaninya sudah terlelap. Kini Melo berbaring di kasur tipisnya, menatap langit-langit Kolong Langit sambil memikirkan perbincangannya dengan Bunda Aqilla barusan.

Malam ini, Melodi belajar banyak tentang kehidupan, bahwa di manapun gadis itu berada, ia tidak pernah benar-benar sendirian. Masih ada orang-orang yang peduli dan siap memberikan dukungan bahkan di saat-saat tersulit sekalipun.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top