74 : Cem Buruh

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Aktivitas di kampus ISI yang sebelumnya ramai mulai mereda seiring dengan kehadiran senja. Mahasiswa yang sibuk dengan kegiatan akademik mereka, satu per satu mulai keluar dari ruang kuliah dan studio.

Pun dengan Melodi. Gadis itu melangkah keluar dari ruangan dosen dengan raut wajah kusut, ekspresi lelah sangat kentara setelah perdebatan panjang dan penuh tekanan dengan dosen pembimbing skripsinya. Sore ini ia mengenakan blus lembut berwarna putih yang dimasukkan dengan rapi ke dalam celana kulot hitam. Sebuah cardigan rajut berwarna kuning menjadi outer-nya, lengkap dengan sepasang sneakers putih yang menambah kesan kasual. 

Saat Melo berjalan di pinggiran taman kampus, pikiran gadis itu masih sibuk bergelut dengan saran yang diterimanya barusan, arah skripsinya kini lebih jelas, meskipun masih membutuhkan banyak revisi. Angin sepoi-sepoi memainkan ujung cardigannya, dan memanjakan rambutnya yang melambai-lambai gemulai.

Namun, angin sepoi itu mendadak berhenti, bertepatan dengan langkah diamnya Melodi ketika menangkap hadir Ippo yang duduk di atas vespa kuningnya, terlihat santai seolah tak ada masalah yang terjadi. Pandangan Melodi langsung berubah masam, perasaan yang berkecamuk sejak malam kini membuncah.

Saat ia mendekat, Ippo menyambutnya dengan senyum paling ceria. "Hai, cantik! Gimana bimbingannya? Lancar?"

Melodi menatapnya tanpa ekspresi, lalu menghela napas panjang. "Kepo," jawabnya dengan nada datar yang terasa dingin di gendang telinga Ippo.

"Mau cerita?" Ippo mencoba meraih tangan Melodi, tapi gadis itu segera menarik tangannya menjauh.

"Enggak! Kamu ngapain sih di sini?" tanya Melodi dengan nada tajam, tatapannya mengunci Ippo di tempatnya.

Sejujurnya, Ippo tak menyangka nada suara Melodi akan meninggi seperti itu. "Aaaaaa—aku cuma mau jemput kamu. Kita udah lama enggak ketemu, aku kangen."

"Aku mau pulang sendiri, udah tiga hari nginep di kosan Zara,"  balas Melodi, emosinya mulai tak terkendali. "Aku lagi sibuk-sibuknya. Kamu enggak ada kerjaan lain selain gangguin aku apa?"

Ippo terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia bisa melihat gusar yang berkobar di mata Melodi, dan ia sadar bahwa kemarahan itu bukan karena sebatas bimbingan skripsi. "Alunan, kamu kenapa sih sebenernya? Kenapa kamu marah begini? Aku ada salah apa?"

Melodi mendengus kesal, dan tanpa menjawab, ia berbalik arah. Ippo segera melompat dari vespa, mencoba menahan Melodi sebelum gadis itu pergi.

"Alunan, tunggu ... denger dulu--"

"Udahlah, Po. Kamu kan udah ketemu Nada semalem, anggap aja dia itu aku, kita kan mirip," potong Melodi.

Ippo memicing. "Apa ini gara-gara foto Nada semalem? Sumpah, enggak ada apa-apa antara aku sama Nada. Kita cuma—"

"Udahlah, Po." Melodi mengangkat tangannya, memotong penjelasan Ippo. "Aku enggak peduli. Kamu bisa bilang apa aja, tapi aku enggak mau denger itu sekarang. Bisa kasih aku ruang buat sendiri? Aku lagi enggak suka diganggu."

Ippo melangkah mundur perlahan, menyingkir dari hadapan Melodi. Ia melangkah ke pinggir, memberi ruang yang diminta oleh gadisnya.

Melodi mendekati vespa kuningnya, menekan starter dengan tangan yang gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena amarah yang bercampur dengan kekecewaan. Mesin motor itu berdengung pelan, namun cukup kuat untuk menenggelamkan suara hatinya yang berteriak-teriak. Tanpa menoleh ke belakang, ia menarik pedal gas dan pergi.

Ippo hanya bisa mematung, tak sanggup mengejar atau membantah lebih jauh. Di matanya, punggung Melodi yang semakin jauh terasa berat, seolah membawa pergi sesuatu yang tak bisa ia ambil kembali. Ippo hanya bisa berdiri di sana dengan rasa bersalah, sementara sosok Melodi mulai mengecil dari pandangannya hingga tak terlihat lagi, menjauh dari dirinya dan dari apa pun yang mungkin ia coba sampaikan. Angin sore yang dingin merayap di sekitar kampus, membawa perasaan hampa yang semakin menghimpit di dada pria itu.

Perjalanan dari ISI Bantul menuju Kaliurang atas memakan waktu sekitar satu setengah hingga dua jam, tergantung pada kondisi lalu lintas. Melodi menempuh jarak itu dengan perasaan campur aduk. Seiring kilometer yang ia lalui, pikirannya semakin tenggelam dalam pusaran emosi yang bahkan ia tak mengerti.

Tiba di Mantra Coffee, Melodi memarkir motornya di tempat yang sudah tak asing lagi. Ia memandang bangunan yang kini terlihat lebih sunyi, seolah tempat itu ikut merasakan beratnya langkah yang membawanya ke sana. Melodi menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Harits menatapnya dari balik bar. "Selamat datang di Mantra Mart, selamat belanja."

Tak sengaja ia berpapasan dengan sang mantan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Deva Martawangsa.

"Hai," sapa Melodi.

"Halo," balas Deva. Setelah membalas sapaan Melodi, Deva melewatinya dan duduk di kursi pelanggan, menemani seorang pembeli yang merupakan Chica.

Melihat Deva malam ini membangkitkan sedikit nostalgia. 'Dulu Deva enggak pernah deket sama cewek lain, kan? Jadi aku enggak ngerti tentang apa itu cemburu. Setelah aku pikir-pikir, dia cowok yang baik.' Pikir Melodi.

'Ippo lebih baik, tapi dia agak genit. Aku tau dia setia dan cuma suka sama aku doang, tapi meskipun tau itu, api cemburu enggak bisa ditepis. Meskipun cewek yang sama dia itu Nada, tapi di saat kondisi mentalku lagi enggak beres, rasanya kayak—sakit. Aku paham mereka enggak macem-macem, tapi tanpa kabar dan tiba-tiba berduaan gitu, apa aku enggak boleh ngerasa cemburu?'

Melo menatap sekeliling, ia tak menemukan Nada di dapur. Sontak ia menoleh pada Harits. "Nada mana, Cel?"

Harits mengangkat bahu. "Meneketehe, udah beberapa hari ini enggak pulang kayak lu."

Melodi memicing. "Hah? Enggak pulang?"

Kevin yang sedang minum tiba-tiba tersedak. Hanya pria batu itu yang tahu keberadaan Nada, dan ia sudah berjanji tidak akan membocorkan tempat persembunyian Nada pada siapapun, termasuk Melodi.

"Terus dia ke Malioboro sama siapa?" tanya Melodi. "Dijemput Ippo?"

Giliran Harits yang memicing. "Hah? Malioboro? Ippo?"

"Udahlah, enggak ada gunanya ngomong sama kurcaci! Hah-hoh-hah-hoh kayak orang bego." Melodi segera keluar lagi dari Mantra.

Beberapa pelanggan dan punggawa Mantra menertawakan Harits. Pemuda itu sontak merasa kesal karena hinaan Melodi yang tak terprediksi.

"Lah, berengsek ... otak lu noh kendor!" balas Harits. Ia berlari mengejar Melodi. "Woy, odor! Otak kendor!" Namun, secepat angin malam, Melodi langsung tancap gas, pergi entah ke mana.

"Mau ke mana lagi tuh dia?" tanya Cakra.

"Nyari bengkel buat ngencengin otak nyahaha," balas Harits.

Cakra paham, bahwa saat ini Melodi sedang burn out dan gampang tersinggung. Pertanyaan gadis itu pada Harits membuatnya ikut penasaran. "Masalah si kembar itu rumit kayaknya."

Namun, di sisi lain, Cakra tersenyum tipis melihat Deva dan Chica yang sudah berbaikan dan kini duduk berdua, mengobrol santai dengan sesekali diikuti tawa. Ironisnya, saat kebahagiaan hadir bagi sebagian orang, justru ada sebagian lainnya yang harus menelan pahitnya luka.

Bantul ke Kaliurang, Kaliurang ke bantul, berputar-putar seperti roda kehidupan. Kini Melodi yang tampak lusuh turun dari motornya yang terparkir di halaman Kolong Langit. Setelah belum lama mengusir Ippo dan pergi begitu saja, kini giliran dirinya yang mencari Ippo.

Kebetulan, Ippo sedang duduk di teras bersama dengan Kintan, rekan di Katarsis dulu. Mereka berdua memulai usaha foto dan video untuk berbagai macam event.

"Alunan ...," lirih Ippo saat melihat kehadiran Melodi, ia segera bangkit dan menghampiri wanitanya. "Kamu ngapain di sini?"

Dengan wajah kesal, Melodi memukul pelan dada Ippo. "Jahat!" Tatapan gadis itu penuh emosi yang sudah tak bisa ia bendung lagi.

"Jahat!" ucap Melodi lagi lebih tegas, seolah ingin melepaskan semua beban yang mengganjal di hatinya.

Ippo paham, tak ada kata yang mampu membuat Melodi merasa lebih baik. Pria itu langsung mendekap erat wanitanya. "Enggak apa-apa nangis, kamu enggak keliatan lemah kok."

"Aku cemburu, Po. Aku cemburu sama Nada. Aku tau kalian pasti punya alesan, tapi aku tetep cemburu. Gimana dong?" ucap Melo sambil menangis.

"Kamu inget enggak, dulu kita pernah ketemu di Malioboro juga? Kamu tau kan, aku itu fotografer lepas. Aku cuma polisi keabadian yang lagi nyari tahanan, dan enggak sengaja ketemu banyak orang-orang, siapapun itu, termasuk kamu sama Nada. Aku cuma agak khawatir aja karena dia sendirian dan keliatan sedih. Aku pikir dia sama kamu, atau sama anak Mantra yang lain, tapi tarnyata dia beneran sendirian dan kita jadi enggak sengaja berdua."

"Aku lagi enggak dalam kondisi baik-baik aja, hal kecil kadang bikin aku jadi emosi ... galau ... aku pikir, kalian punya hubungan spesial," ucap Melodi. "Kalian itu dua orang terbaik dalam hidup aku, mikirin kalian punya sesuatu di belakang aku, yang aku enggak tau bikin aku ngerasa sakit."

"Cuma ada satu wanita dan cuma dia satu-satunya wanita yang aku mau. Dia adalah kamu, Melodi. Jadi tolong, percaya sama aku apapun yang terjadi."

"Iya, aku percaya, Po, tapi tetep aja cemburu," balas Melodi.

"Maaf kalo bikin kamu enggak nyaman dan ngerasa cemburu, tapi seenggaknya di sisi yang lain, aku seneng karena ada rasa cemburu di dalam diri kamu. Hal sederhana yang mempertegas bahwa aku emang ada di hati kamu dan kamu cukup egois karena kamu enggak suka liat aku sama  perempuan lain. Makasih, Alunan. Kedepannya, aku akan lebih hati-hati jagain perasaan kamu. Maafin aku, ya."

"Kamu enggak salah, Po, aku aja yang lagi enggak jelas. Aku juga minta maaf," balas Melodi.

"Enggak apa-apa. Biarpun aku enggak salah, aku akan tetep minta maaf karena aku sayang kamu, Alunan," lanjut Ippo dengan suara lembut. Ia masih memeluk Melodi erat di dadanya. "Rasa sayang ini lebih besar dari egoku. Jadi, kalo itu bikin kamu ngerasa lebih baik, aku bakal minta maaf berkali-kali. Toh, orang yang minta maaf itu bukan orang yang kalah, justru dia menang lawan egonya sendiri."

"Makasih udah hadir lagi di dalam hidup aku ya," ucap Melodi, ia melepaskan diri dari dekapan Ippo. "Jadi, Nada ada?"

"Ada di dalem tuh." Ippo memutar arah, hendak pergi masuk ke dalam rumah. "Nad!"

"Dasar bajingan!" Melodi menarik baju Ippo dengan tampang kesal.

"Aaaaaaa ... tapi boong
Dia enggak di sini dan aku enggak tau dia ada di mana karena kita emang enggak pernah kontakan."

'Kalo Nada enggak di sini, terus dia di mana dong? Dia kan enggak punya banyak temen.' Melodi merasa resah, khawatir dengan kembarannya, tetapi masih gengsi untuk memulai percakapan dengan Nada.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top