73 : Kembar Adalah Maut
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Malam di Malioboro tak seramai di era-era dua puluh tahun silam, apalagi di saat weekday. Pulang dari kampus, Nada sengaja pergi ke tempat itu untuk merasakan sendiri di tengah keramaian, berhubung Sherlin malam ini ada kegiatan di luar kota dan tidak pulang sampai dua hari ke depan.
Gadis rambut bondol seleher itu berjalan menyusuri trotoar Malioboro yang kini sepi dari deretan pedagang kaki lima. Suara langkah kakinya bergema pelan di antara deru kendaraan yang lewat. Cahaya lampu jalan memantul pada aspal yang sedikit basah oleh sisa hujan sore tadi, melahirkan bayangan samar yang bergerak mengikuti langkahnya.
Sesekali, Nada berhenti di depan toko-toko. Hanya berdiri sebentar, menatap barang-barang yang dipajang tanpa minat, sebelum melanjutkan langkahnya lagi. Di sepanjang jalan, orang-orang berlalu lalang dalam kelompok kecil atau berpasangan, saling berbicara dan tertawa, sementara Nada hanya mengamati mereka dalam diam, merasa semakin terasing di tengah keramaian yang ada.
Perasaan sepi semakin menghantamnya ketika ia melewati sekelompok anak muda yang sedang bercanda riang di sudut jalan. Mereka tampak begitu bahagia, seolah belum memikul beban kehidupan. Malioboro yang biasanya dipenuhi dengan kenangan manis bersama teman-teman, kini hanya menjadi tempat yang asing.
Nada duduk di salah satu kursi di pinggir jalan, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menepis perasaan negatifnya malam ini. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat rasa kesepian itu mencengkeramnya, seolah Malioboro sendiri bersekongkol untuk mempertegas betapa sendirinya ia malam ini. Tanpa Melodi di sisinya, tanpa teman-teman yang biasanya mengisi hari-harinya dengan canda tawa, Nada merasa kosong.
Cekrek!
Suara shutter kamera membuat lamunannya pecah. Refleks, Nada menoleh ke arah depan dan mendapati sesosok Ippo di sana. Pria dengan rambut belah tengah itu sedang tersenyum sambil membawa kamera di tangannya.
"Sendirian aja?" tanya Ippo.
Nada mengangguk sebagai jawaban. Ippo pun menghampirinya dan duduk di sebelah gadis itu.
"Tumben. Yang lain ke mana?"
Nada mengangkat bahu menandakan bahwa ia tidak tahu-menahu perihal jawaban tersebut.
Ippo agak heran dengan wanita yang satu ini. "Kamu lagi ada masalah?"
Nada menggeleng sebagai jawaban, tetapi senyum tipis di bibirnya menegaskan Ippo bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Ippo sudah hafal gelagat Melodi, yang mungkin saja tak berbeda jauh dari kembarannya. Pria itu menatap gambar terakhir yang ia tangkap dengan kameranya, ada sosok Nada di situ.
"Tapi eksprsi kamu bukan kayak orang yang enggak punya masalah, Nad," kata Ippo. "Kalo emang terasa berat, coba berbagi aja, tapi kalaupun enggak mau, ya enggak apa-apa juga. Cara tiap orang buat ngadepin masalah kan berbeda-beda. Kadang kita butuh waktu sendiri, tapi kadang juga butuh temen buat dengerin."
"Mending kamu nanya gitu ke Melo, dia kayaknya lebih butuh orang buat cerita dan berbagi beban," balas Nada.
"I know ...," lirih Ippo ditemani senyum sendu. "Tapi dia susah dihubungin sejak terakhir nonton konser klasik. Aku khawatir, tapi di sisi lain aku tau dia lagi butuh waktu sendiri, jadi aku hargai itu dan kasih ruang buat dia menyendiri. Aku cuma perlu ada di sini, sampai nanti dia yang dateng sendiri buat numpahin masalahnya."
"Melodi beruntung punya kamu," ucap Nada dengan suara pelan.
"Kamu mau juga?" tanya Ippo dengan nada bercanda.
Nada mengangguk sebagai jawaban.
Embusan angin membuat Ippo yang sedang menatap Nada sontak merinding. Tiba-tiba wajah pria itu memerah. 'Diliat-liat, Nada cantik juga.' Batin Ippo. "Tapi, Nad, kamu yang ngomong sama Melodinya."
Nada memicing. "Ngomong apa?"
"Aaaaaa—itu ...."
Nada pun makin puyeng. "Hah?"
"Aaaaaaa—itu, Nad. Kalo kamu mau punya aku juga, kamu yang ngomong sama Melodi biar kesannya enggak kayak aku yang mau poligami gitu."
Nada ikut merinding disko. "Apa sih, orang maksudnya mau kayak Melodi, punya orang yang care kayak kamu. Bukan mau kamu secara harfiah, Ippoppotamus."
"Aaaaaa--begitu rupanya," balas Ippo diiringi kekehan canggung. "Kalo ada Reki, mungkin aja sekarang kamu punya seseorang yang ada di sisi kamu, Nad."
"Kenapa harus Reki?"
"Karena dia suka kamu, dan dia orang baik," jawab Ippo. Ia tersenyum membayangkan wajah almarhum sahabatnya. "Reki orang paling baik yang pernah aku kenal."
"Sayangnya aku punya seseorang yang aku suka, tapi sekarang dia lagi enggak di sini. Kalo Reki masih ada, aku takut nyakitin dia karena itu."
"Reki yang malang." Ippo tertawa dan bersandar di kursi, ia mendongak menatap langit. "Aku sama dia itu udah temenan dari kecil. Meskipun kita digadang-gadang bersaudara karena tinggal di panti yang sama, tapi secara harfiah engga begitu. Jujur, awalnya aku suka sama Melodi itu di tingkat yang wajar, sampe akhirnya tau dia punya kembaran, statusnya naik jadi cinta sejati. Aku yakin, kamu sama Melo bisa jadi cinta sempurna buat jadiin aku sama Reki saudara beneran. Ippo dan Melodi, Reki dan Nada, tapi sayangnya ini bukan cerita dongeng yang punya akhir gembira."
"Terus, meskipun Reki udah enggak ada, perasaan kamu enggak berubah ke Melo?" tanya Nada.
Ippo tersenyum. "Iya, aku terlanjur jatuh terlalu dalam. Entah ada ataupun enggak nya Reki, aku cuma mau Melodi."
Angin malam yang berembus pelan membuat poni rambut Nada tertiup dan menyapu wajahnya. Nada merapikannya dengan menyampingkan poninya yang menghalangi ke atas telinga.
Waktu seolah melambat untuk Ippo ketika tak sengaja menatap Nada yang sedang menyampingkan poninya. Gadis itu—terlihat cantik. Tanpa sengaja, saat Nada menurunkan tangannya, ia menimpa punggung tangan Ippo yang ada di atas kursi, sehingga mereka berpegangan tangan sepersekian detik.
Waktu seolah membeku. Mata mereka saling bertemu sejenak, dan kehilangan tenaga untuk saling membuang tatap. Detak jantung mereka seakan senada, berdetak lebih cepat dari kondisi normalnya. Wajah Nada sedikit memerah, sementara Ippo yang biasanya santai, kini diam kehilangan kata-kata.
"Eh, sori," ucap Nada sambil menarik tangannya lepas dari tangan Ippo. Waktu pun kembali bergerak dengan tempo normal.
"Aaaaa ... o-oke, aman, aman," balas Ippo dengan suara agak serak. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang saat ini masih berlari kencang.
Keduanya duduk dalam diam dilumat rasa canggung, hanya ditemani gemericik angin malam. Detik berlalu dengan lambat, seolah setiap gulirnya merupakan sebuah kesadaran baru akan kehadiran satu sama lain. Ippo akhirnya memecah keheningan dengan deheman pelan, berusaha untuk mengubah suasana.
"Nad, aku lanjut hunting lagi, ya," ucap Ippo.
Nada mengangguk sambil mengeluarkan jempol andalannya. Ippo pun bangun, lalu melangkah maju beberapa langkah. Ia memutar arah dan menatap Nada kembali.
"Nad, aku foto sekali lagi, boleh?"
Nada mengangguk. "Ya udah, tapi aku enggak bisa gaya."
"No problem," ucap Ippo tersenyum ramah. "Be your self."
Ippo mengarahkan kameranya, membidik Nada yang duduk di kursi dengan latar belakang malam Malioboro. Raut wajahnya yang natural dan sedikit tersenyum menciptakan momen yang cukup manis, seolah melawan segala kecanggungan yang sempat melanda.
Cekrek!
Ippo menekan tombol shutter, kamera mengklik, dan dalam satu detik, Nada tertangkap dalam keabadian.
"Aaaaaa ... aku kirim ke Melodi, ya?"
"Terserah kamu," jawab Nada.
Ippo pun pamit sebelum ada bibit baru yang tumbuh di hatinya. Ia melangkah pergi dan lanjut menangkap keabadian lain di Maliobro ini.
Di sisi lain, Nada menatap layar ponselnya. Sejak ia dan Melodi bertengkar, ponselnya sama sekali tak mendapatkan notifikasi dari kembarannya tersebut. Pada akhirnya, ia pun beranjak pergi meninggalkan Malioboro untuk kembali ke rumah Sherlin.
Malam semakin malam, suasana di kamar kosan Zara terasa tenang. Hanya ada suara mesin ketik laptop yang menemani sang malam. Tiba-tiba, ponsel Melodi bergetar, mengusik ketenangan malam. Melodi meraih ponselnya. Di layar, terlihat sebuah pesan chat dari Ippo, Melo memicingkan mata ketika membuka pesan tersebut, lantaran foto Nada yang diambil di Malioboro muncul di hadapannya.
"Loh, kok Ippo sama Nada?" tanya Melo bermonolog. Ia belum tahu, bahwa kembarannya itu sudah beberapa hari tidak pulang ke Mantra, yang Melo tahu hanya—saat ini Nada bersama Ippo. Aroma cemburu mulai terendus, memainkan perannya, meresap ke setiap sudut pikiran.
Melodi memandangi layar ponselnya lebih lama, matanya terpaku pada foto Nada yang tersenyum tipis, duduk di bangku di Malioboro. Tatapan Melodi beralih ke pesan singkat dari Ippo yang hanya berisi kalimat sederhana. "Ku kira Alunan, ternyata Alesan."
Pejuang skripsi itu meletakkan ponselnya di samping meja, pikirannya tak bisa berhenti memutar pertanyaan-pertanyaan yang mengusik logikanya. Kenapa Nada tak memberi tahu kalau ia pergi ke Malioboro? Dan kenapa bersama Ippo?
Aroma cemburu yang semula samar kini mulai menyeruak lebih kentara. Bukan hanya karena Nada sedang bersama Ippo, tetapi juga karena ada rasa aneh yang sulit dijelaskan—seolah ada sesuatu yang terjadi di luar pengetahuannya. Kegelisahan merayap pelan, membuat Melodi semakin sulit berkonsentrasi pada karya yang sedang ia kerjakan.
Melo bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kamar yang menghadap ke jalanan sepi di luar. Udara malam yang sejuk menerobos masuk ketika ia membuka jendela, tetapi tidak cukup sejuk untuk menenangkan pikirannya panas terbakar api cemburu.
Melodi kembali mengambil ponselnya, jari-jarinya mulai mengetik balasan.
Melodi: Berdua doang?
Ippo : Rame-rame kok
Melodi: Coba PAP
Ippo : Nih
Ippo mengirimkan foto selfie-nya sendiri.
Melodi: Bukan muka lu, kocak!
Ippo : Hahaha rame-rame sama manusia bumi lainnya
Melodi: O
Ippo : Kamu marah?
Melodi menghela napas, lalu mematikan ponselnya dan melemparkannya ke kasur tidurnya yang menempel dengan lantai.
"Dasar bego!" umpat Melodi kesal. "Pikir aja pake otak! Pake nanya lagi."
"Kenapa sih?" tanya Zara yang terbangun dari tempat tidurnya. "Marah-marah mulu."
"Gpp."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top