72 : Sebuah Janji

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Suasana di atas motor terasa canggung. Deva dan Chica sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka, tak ada satu pun yang berani memecah keheningan. Jarak antara mereka begitu dekat, namun ada perasaan asing yang seolah memisahkan. Perlahan pegangan Chica di jaket Deva merenggang, gadis itu berusaha menahan perasaannya yang campur aduk, takut bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa membuat jarak di antara mereka semakin melebar.

Di sisi lain, Deva menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Malam semakin larut, dan dinginnya udara Kaliurang semakin menusuk, seolah bersekutu dengan pikirannya yang rumit.

'Aku mau jagain kamu dari segala sakit hati, Cha, tapi ironisnya, justru aku yang mungkin akan jadi sumber luka terbesar dalam hidup kamu. Makanya, aku minta maaf karena nyakitin kamu tanpa ngasih kamu kesempatan. Maaf. Aku cuma enggak mau nusuk luka yang lebih dalem karena perasaan kita yang semakin bertumbuh.'

Deva terus memacu motornya dengan pelan, seolah berharap perjalanan ini tak pernah sampai pada tujuannya. Ia suka gadis itu, tapi takut menyakitinya. Terlebih, tangisan Chica yang Deva lihat lewat prekognisinya, mengingatkan pria itu pada sosok Jeje.

"Aku cuma pengen kita balik kayak dulu, sebelum saling tau perasaan masing-masing ...," lirih Chica, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin malam.

Deva mendengar kata-kata itu, tapi ia memilih diam, seolah hanya membalas dengan sebongkah kesunyian.

Ketika mereka akhirnya tiba di depan kosan Chica, Deva mematikan mesin motor dan memecah keheningan yang sejak tadi menggantung. "Sampe. Kamu aman sekarang, Cha."

Chica turun dari motor, berdiri di samping Deva sambil menatap pria itu. "Makasih, Dev. Makasih buat semuanya. Maaf udah nyusahin kamu."

Deva menggeleng pelan, dan mencoba tersenyum. "Enggak usah dipikirin. Kamu enggak nyusahin sama sekali kok. Lagian kan, aku yang nawarin bantuan."

"Cah ayu!" panggil seorang wanita dari dalam pagar kos Chica. "Nengdi to?"

Deva dan Chica menoleh ke arah pagar kosan. Seorang ibu-ibu gempal baru saja membuka pagar itu dan berjalan menghampiri mereka.

"Ah, ini, Bude ... aku abis dari ...."

"Ora opo-opo pacaran, tapi ojo lali kunci pintu yo. Iki pintune dibiarin mbukak, tak kira sebentar perginya."

"Hah? Piye, Bude?" tanya Chica.

"Iku loh ...." Bude menjelaskan bahwa Chica pergi keluar dan membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja. Untungnya Bude selaku pemilik kos sedang berada di sana, jadi langsung ia tutup pintu kamar Chica dan diamankan.

Chica menepuk keningnya. "Haduh! Lali aku."

"Kenapa, Cha?" tanya Deva.

Chica menoleh ke arah Deva dengan tampang panik. "Dev, jangan marah ya ... tadi aku abis dari toilet. Toilet ku tuh toilet luar, ada di ujung lorong. Abis dari kamar mandi ternyata aku langsung ke luar, jadi kunci dan lain-lainnya itu enggak ilang, tapi emang aku enggak bawa, alias ketinggalan."

Alih-alih marah, Deva malah tertawa. Ia mendekat pada Chica dan menepuk kepalanya lembut. "Lain kali lebih hati-hati."

Wajah Chica memerah. "Ki-kita baikan nih?"

"Sejak awal kita kan emang enggak berantem. Maaf kalo aku yang bikin kamu ngerasa begitu, Cha."

Bude menggeleng dengan senyum tipis melihat kedua muda-mudi itu. "Jadi iki toh? Cowok yang bikin kamu ngelamun terus belakangan?"

"Ah, apa sih, Bude." Chica berjalan cepat ke arah bude, lalu mendorongnya pelan masuk ke dalam pagar. Bude tertawa meledek gadis itu, lalu pergi memberikan ruang padanya. Setelah itu, Chica kembali ke hadapan Deva. "Maklum udah tua, suka ngawur."

Di sisi lain, Deva menunduk penuh rasa bersalah, tak berani menatap Chica. "Maaf kalo jadi beban pikiran kamu belakangan ini."

"Eh ... enggak kok, Dev."

"Soalnya aku juga sering kepikiran kamu," balas Deva. "Aku cuma ... takut nyakitin kamu kayak orang-orang yang dateng sebelum kamu."

"Kenapa takut nyakitin aku?" tanya Chica.

"Ya, karena ...." Kini Deva memberanikan diri menatap kedua bola mata Chica. Namun, ia hanya diam mematung memandangi gadis di depannya.

Chica mengerutkan kening. "Karena?"

"Karena aku juga suka sama kamu. Makanya, aku takut nyakitin kamu," jawab Deva.

Sekarang giliran Chica yang terdiam sejenak. Hingga pada satu titik, ia meraih lengan jaket Deva dan mencubit bagian pinggirannya.

"Berarti kamu enggak boleh pergi, Dev. Karena rasa sakit itu hadir waktu kita saling ngejauh. Aku suka ada di sekitar kamu, tapi belakangan ini aku mikir kalo kamu enggak mau ketemu aku lagi. Makanya aku enggak pernah dateng ke Mantra di waktu-waktu kamu jaga. Aku takut ganggu kamu."

Deva melepaskan pegangan Chica dari jaketnya. Chica pun merasa canggung karena hal tersebut, ia menunduk tak berani menatap wajah Deva. Hingga pada satu kesempatan, Chica terbelalak ketika Deva tiba-tiba duduk di depan pagar kosannya.

"Kalo gitu aku enggak akan pergi lagi kayak kemarin," ucap Deva. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?" tanya Chica.

"Seandainya—ada hal-hal dari aku yang nyakitin kamu, tolong bilang. Aku bukan cenayang yang paham isi hati perempuan. Jangan bertingkah seolah semua baik-baik aja setiap saat. Masa laluku itu beracun, pernah ngebunuh hati seseorang yang berharga. Aku enggak mau itu kejadian lagi. Jadi—kasih aku kesempatan buat jadi penawarnya saat racun dari masa laluku nyakitin kamu."

Chica ikut duduk di atas aspal jalan, tepat di samping Deva.

"Aku beda sama kebanyakan perempuan, Dev. Di saat kebanyakan perempuan di luar sana nunggu buat ditemukan, di sini aku berusaa buat nemuin kamu. Menurutku, hidup itu pilihan. Berani nyatain perasaan, berarti harus paham kalo ada resiko ditolak. Berani memulai, harus berani berakhir, tapi entah akhirnya kayak gimana—enggak ada yang tau. Bisa berakhir tragis, tapi bisa juga bahagia, kan?"

"Dalam pengelihatan prekognisi, aku liat kamu nangis, Cha. Itu sebabnya aku takut nyakitin kamu," balas Deva.

"Kamu yakin?"

Deva mengangguk. "Meskipun sifatnya prediksi, tapi 60% kemungkinan terjadinya."

"Bukan. Kamu yakin, aku nangis gara-gara sedih? Gimana kalo nangis terharu?"

Wajah Deva mendadak murung. "Kamu waktu itu—kelihatan tersiksa. Itu bukan wajah seseorang yang bahagia."

"Terus kamu yakin, tangisan itu terjadi di masa depan yang jauh? Gimana kalo sakit hati itu terjadi gara-gara kamu pergi sekarang? Gimana kalo tangisan aku yang kamu liat lewat prekognisi itu terjadi karena pilihan kamu dalam waktu dekat ini? Terus kalo apa yang aku bilang sekarang beneran terjadi, lantas apa yang berubah?" tanya Chica. "Kalo kamu beneran juga suka sama aku, harusnya kamu perjuangin aku. Daripada takut bikin aku terluka, harusnya kamu lebih mikirin gimana caranya bikin kita sama-sama bahagia, kan? Dalam sebuah hubungan, terluka itu pasti ada. Entah asmara, keluarga, persahabatan ... kita enggak bisa menghindar dari itu. Tinggal gimana cara kita buat bersikap aja."

"Tapi ...."

"Jangan sampe, gara-gara kamu mikirin orang lain, justru malah kamu yang terluka, Deva," celetuk Chica memotong. "Kamu pulang gih, udah malem."

Deva terlihat resah, rasanya ia tak berani menatap Chica untuk sementara waktu ini. Di tengah badai pikiran itu, tangan hangat Chica mnepi di punggung tangan Deva.

"Boleh aku ke Mantra besok?" tanya Chica.

Kini Deva menoleh, memberanikan diri kembali untuk menatap gadis itu. "Boleh, kebetulan aku yang jaga."

Chica tersenyum. "Iya, aku tau."

"Kalo gitu sampe ketemu besok," kata Deva. "Aku ... tunggu."

"Kalo kamu merasa enggak nyaman aku ada di sekitar kamu, bilang ya," ucap Chica.

"Justru, aku suka kamu berkeliaran di sekitar aku," balas Deva. "Maaf sok keras dan sok heroik waktu itu. Pada akhirnya aku enggak bisa jagain apapun. Kamu bener, Cha, mungkin udah waktunya aku buat lepas dari jerat bayang-bayang masa lalu."

"Masa lalu kamu biarin jadi bagian dari kamu, Dev. Tanpa itu, enggak akan ada Deva yang sekarang, tapi jangan takut sama bayangan yang udah lewat. Di depan kamu ada cahaya. Kegelapan yang selalu kamu bawa di belakang kamu itu, cuma ketakutan kamu sendiri aja. Kasih aku ruang buat buktiin bahwa semua baik-baik aja, boleh?"

Deva mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Ya, boleh. Aku nantiin itu."

Chica memberikannya sebuah kelingking dari tangan kanannya. "Janji enggak akan takut lagi?"

Deva berusaha menghapus keraguannya, ia melumat kelinking mungil Chica dengan jari kelingkingnya. "Ya, aku janji."

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top