71 : Malam Dilema
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
(BTS Simulasi angkatan Authornya yang kebetulan kuliah di kampus Andis dan Harits)
Tak seperti ketiga rekan Mantra yang sudah berada di tahap akhir, sebelum mengerjakan tugas akhirnya, Harits dan angkatannya di jurusan Manajemen Produksi Siaran, Sekolah Tinggi Multi Media Jogja harus menjalani sebuah proyek besar yang disebut Simulasi. Dalam proyek ini, mereka diminta untuk mendirikan dan menjalankan sebuah stasiun televisi kampus sebagai bagian dari simulasi nyata industri pertelevisian. Setiap mahasiswa diberikan peran spesifik yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka.
Sesampainya di kampus, Harits langsung menuju ruang produksi yang telah diubah menjadi pusat kendali stasiun televisi kampus sementara. Di sini, setiap sudut ruang dipenuhi dengan peralatan canggih seperti kamera, mixer audio, komputer untuk editing, dan monitor yang memantau berbagai segmen acara yang akan tayang.
Sebagai Produser Program Musik, Harits bertanggung jawab memastikan acara yang ia kelola berjalan lancar. Program musik ini adalah salah satu acara andalan dalam stasiun televisi kampus mereka, dan Harits ingin memastikan setiap detail diperhatikan dengan sempurna. Ia sudah menyiapkan beberapa konsep segmen, mulai dari penampilan live band lokal, sesi wawancara dengan musisi kampus, hingga segmen edukasi tentang sejarah musik.
Di tengah hiruk-pikuk kesibukan di studio, Harits menangkap sosok yang seharusnya sudah tidak berada di tempat ini.
"Aniki!" sapa Harits pada Wira.
Wira menoleh. "Gila, jadi produser nih bocah kopi," ucapnya pada Harits.
"Mau ikutan simulasi lagi?" tanya Harits. "Masih opec sih kalo mau nyahaha."
"Ah, enggak deh. Mau tenang-tenang aja sambil nunggu wisuda bulan depan."
"Terus ini ngapain sekarang?" tanya Harits.
"Mau mantau aja," balas Wira.
"Kalo gitu, gua lanjut dulu ya, Bang."
Wira mengacungkan jempolnya. "Sip, lanjut dah."
Harits segera mengumpulkan timnya di tengah studio. Mereka terdiri dari seorang penulis naskah, sutradara, penata artistik, dan beberapa asisten produksi. Harits dan tim berdiskusi mengenai jadwal syuting, konsep visual, dan persiapan teknis yang harus dilakukan sebelum siaran pertama.
"Kita punya waktu tiga hari buat persiapan tayang perdana. Fokus kita sekarang buat ngatur set dan make sure semua talent siap," ujar Harits dengan nada tegas. Ia seperti orang yang berbeda dari Komandan Dapur yang kita semua tahu.
Setelah rapat berakhir, Harits langsung menuju ke studio rekaman. Ia berkoordinasi dengan tim tata suara untuk mengatur mic, speaker, dan alat musik agar suara yang dihasilkan saat live performance terdengar jernih dan berkualitas.
"Aman ya, Boy?" tanya Harits pada sohibnya, Iboy.
Pemuda dengan gaya rambut slicked seperti Ajay itu memberikan jempolnya di depan wajah Harits. "Aman, Bos."
Waktu bergulir seperti udara, tak terasa namun selalu mengisi setiap ruang kehidupan. Kini senja telah beranjak pergi, digantikan oleh sang malam.
Harits duduk di kursi parkiran dekat pohon besar yang dulunya menjadi tempat romantisme ayahnya bersama sesosok kuntil anak, dan juga tempat pertama ia bertemu dengan Sekar Pramudiana. Namun, kali ini tak ada cerita romantis di tempat ini, sebab ia duduk bersama Iboy, ngudud dalam lamunan panjang.
"Jadi LDR dong lu sama mbak Sekar, Dab?" tanya Iboy sambil membuang asap rokoknya.
"Mau gimana lagi, dia udah dapet kerja di Jakarta. Tinggal nunggu wisuda aja," jawab Harits dengan pandangan kosong. Ia menghisap rokoknya, diam sejenak, lalu membuang asapnya. Ada kerinduan yang ikut keluar dan melebur bersama angin malam.
"Terus, langkah lu ke depan apa?"
Harits berdiri, lalu melangkah ke depan satu langkah. "Ini langkah gua ke depan nyahaha."
"Muatamu! Bukan itu maksudnya," balas Iboy.
Harits tersenyum tipis mendengar respons Iboy. Ia kembali menarik hisapan rokok, membuang asapnya, lalu berkata, "kadang, Boy, kita terlalu sibuk mikirin langkah-langkah besar yang harus kita ambil sampe kita lupa buat apa kita berjalan. Malahan, langkah kecil kayak gini yang bikin kita terus maju. Kita itu hidup—cuma perlu satu langkah kecil, yang penting maju terus. Kadang ... nyiapin langkah besar pun bisa berakhir kecewa, kan? Mending step by step, slow but sure, Boy."
"Halah, ngomong lu kayak orang tua!" seru Iboy diikuti kekehan tipis.
"Itu artinya kan gua ada di jalan yang bener. Iya dong? Nyahahaha. Pemikiran-pemikiran gua yang filosofis ini tanda kalo umur gua nambah, diikutin sama pemikiran gua yang ikut dewasa juga, mateng gitu. Yaaa, enjoy the process aja."
"Enggak semua yang bermulut manis, filosofis dan penuh diksi itu, masuk kategori dewasa, Dab. Contohnya wakil rakyat. Pada tua, ngomongnya manis, tapi apa coba? Egoisnya kayak anak kecil yang serakah ambil sana-sini, ngerasa punya dia semua," sanggah Iboy. "Maju iya, harus, tapi wajib punya rencana dong?"
Harits terdiam, membiarkan kata-kata Iboy masuk ke otak kecilnya. Pandangannya terpaku pada langit gelap yang membentang di atas mereka, tak berbintang, hanya dihiasi sisa-sisa lampu kota yang menerangi malam. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mencari jawaban dari keheningan itu.
"Abis gimana ya ... hidup itu kayak arus. Seumpama lu punya tujuan ke Laut Merah, tapi lu hanyut di Kali Ciliwung, paling banter lu nyampenya ke Laut Ancol. Terus kalo udah gitu, gimana?" tanya Harits.
Iboy memicing. "Iya juga ya, terus gimana itu?"
"Lah au, lu gimana?"
"Lah iya, iya, bangsat! Gimana dong?"
"Nyahaha nah loh!"
"Hahaha." Iboy ikut tertawa, memikirkan logika idiot milik Harits yang ia yakini ada benarnya.
Mereka tertawa gila, sampai pada satu titik berhenti dan suasana dilumat hening. Tak ada kata yang terucap.
"Gua sih maunya lanjutin kafe gua sama anak-anak Mantra, Boy, tapi ngeliat kondisi sekarang ... rasanya kayak hal yang mustahil gitu. Gua berempat punya kesibukan masing-masing, toh selesai kuliah pun pasti mencar, wong punya tujuan masing-masing. Dua orang lagi udah harus sibuk nyari kelompok KKN, enggak ada personil."
"Ya kalian kan punya duit, sewa pegawai lah, Dab," balas Iboy.
"Akhir-akhir ini juga kafe sepi, enggak serame dulu waktu waktu awal-awal opening, beda sama di Maguwo dulu. Kejauhan, segmennya wisatawan doang. Kampus paling deket pun yaaa enggak deket-deket banget. Buat hire pewagai baru rasanya juga berat sekarang-sekarang ini."
"Misal nih, lu mau nerusin itu Mantra Coffee, terus buat apa lu kuliah ngambil jurusan Prodiksi Siaran? Wajar kalo sekarang lu kerja di sana buat sampingan, toh pendapatan lu kan dari sana, tapi nanti abis lulus gimana? Emang lu enggak mau masuk ke TV? Atau buat production house gitu? Atau .. entah apapun itu yang sejurusan sama bidang lu?"
"Awalnya pengen, tapi lama-lama berubah passion nyahaha. Itu kenapa gua ngerasa buat apa nge-planning sesuatu? Kalo pada akhirnya, dalam proses itu sendiri, apa yang kita mau berubah?"
Iboy masih menatap Harits. "Terus sekarang apa yang lu pengen?"
Harits tersenyum. "Kebahagiaan gua sekarang itu, sesimpel liat orang lain bahagia dengan apa yang gua sajikan. Semakin gua pikirin, gua mulai ngerasa salah jurusan, makanya gua enggak pernah pikirin dan fokus jalanin aja step by step nya," jawab Harits.
"Tapi gua ngerasa lu kompeten di broadcasting. Buktinya lu dipercaya jadi Produser di simulasi kita."
"Kompeten enggak berarti bahagia, kan? Banyak orang yang didikan orang tuanya DICK-TATOR. Dia maunya apa, malah diarahin ke mana. Gini deh gampangnya, misal ada orang yang mau jadi seniman, tapi malah dipaksa jadi dokter. Dengan semua pendidikan dan ilmu yang dia punya, apakah dia enggak kompeten?" Harits menggeleng. "Dia kompeten di bidang dia belajar, tapi hatinya enggak di sana. Seniman harus berada di depan kanvas, harus ada di balik piano, harus pusing mikirin ide kreatif yang beda dari seniman lain."
"Emang lu terpaksa masuk broadcasting?" tanya Iboy.
Harits menghela napas. "Bukan itu poinnya, Boy. Lu nangkep enggak sih maksud gua?"
Iboy mengangguk pelan. "Ngerti, Dab. Intinya mah, gitu dah."
Harits ikut mengangguk. "Iye bener, intinya gitu nyahaha."
Deva mengendarai motornya perlahan menyusuri jalanan Kaliurang. Udara dingin khas dataran tinggi menyapa sejuk. Jalanan terpantau tak terlalu ramai, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, menerangi jalan dengan lampu-lampu mereka yang redup.
Karena haus, Deva memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah mini market yang terletak tidak jauh dari kampus UII. Ia memarkir motornya di depan mini market, lalu melangkah masuk.
"Selamat datang di Indomarkus, selamat belanja," sapa kasir mini market dengan nada kentang.
Deva melangkah ke dalam, matanya menyapu ruangan, mencari produk minuman yang menarik perhatiannya. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang familiar di depan kasir. Alih-alih sebuah produk, malahan hadir sesosok wanita yang lebih menarik perhatian pria gondrong itu.
Dengan setelan piama tidur berbalut hoodie putihnya, Chica sedang berdiri di sana, hendak membayar belanjaannya di meja kasir. Ia tak menyadari kehadiran Deva. Wajahnya terlihat tegang. Gadis itu terlihat panik sambil mengecek segala kantong di hoodie dan celananya. Deva segera mengambil minuman random dan berjalan ke arah kasir.
"Duh, mana ya?" lirih Chica bermonolog.
Deva meletakkan botol minumannya di meja kasir. "Totalnya jadi berapa semua? Minuman saya sama belanjaan mbak yang lagi mau bayar."
Chica sontak menoleh. "Eh—enggak us—ah ...." Ia terdiam seribu bahasa, ketika melihat sosok pria yang selama beberapa hari ini ia hindari.
"Daripada enggak bayar, kan?" ucap Deva.
Chica akhirnya menyerah. Ia agak menunduk, malu pada Deva. "Ya udah, tapi nanti aku ganti. Dompet, hape, sama kunci kamar kosku ilang, maaf ngerepotin."
Deva hanya mengangguk. Sambil membayar, ia menanyakan, "Kok bisa ilang semua?"
Chica menghela napas panjang. "Aku enggak tau, mungkin jatuh di jalan. Aku pun enggak nyadar kapan ilangnya."
"Aku bantu cari abis ini," ucap Deva.
"Eh—enggak usah," balas Chica canggung.
"Udah malem soalnya, daripada enggak bisa masuk ke kosan," balas Deva.
Keras kepala Deva membuat Chica menghela napas dan membiarkan pria itu membantunya. Keduanya keluar dari mini market dan mulai menyusuri jalan kecil menuju kosan Chica. Udara malam Kaliurang semakin menusuk dingin, tanpa sadar Chica memepetkan lengannya dengan lengan Deva.
Sepanjang jalan, mereka terus mengamati sekitar, berharap menemukan keberadaan barang-barang Chica yang hilang. Namun, setelah sampai di depan pagar kos, mereka tak menemukan apapun.
"Coba sekali lagi deh," ucap Chica.
Deva mengangguk. "Oke, kalo enggak ketemu, nanti aku anter pake motor. Kamu nginep aja di kamar temenmu dulu. Ada temen kan di kosan?"
Chica mengangguk pelan. "Ada kok."
Mereka pun kembali menyusuri jalan yang sama, kali ini dengan langkah yang lebih lambat dan fokus yang lebih tajam. Setiap sudut diperiksa, setiap bayangan diperhatikan, namun hasilnya tetap nihil.
Sampai akhirnya mereka kembali ke depan mini market, Deva berpikir sejenak, terlintas seseorang yang mungkin bisa membantu Chica.
"Cha, gimana kalo kita ke Mantra dulu? Ada orang yang bisa bantuin kamu nemuin barang-barang kamu yang ilang," ucap Deva.
Chica memicing. "Bantuin gimana?"
"Kamu tau Nada, kan? Barista cewek yang pake sarung tangan? Nah, dia itu psikometri."
"Psikometri?" tanya Chica heran. "Dev, meskipun aku komikus genre supranatural, tapi di dunia nyata aku ngerasa kekuatan kayak psikometri tuh enggak ada."
Deva menghela napas. Ia memejamkan matanya sejenak. "Pajero hitam, turun ke arah kota."
Chica semakin bingung. "Pajero hitam?"
Tak lama berselang, sebuah mobil Pajero hitam melintas dari arah Kaliurang atas, turun menuju kota.
"Ada cewek, bonceng tiga dateng ke mini market," ucap Deva lagi.
Chica menatap sekitar, tapi tak ada hal seperti itu. "Maksudnya?"
Namun, dari arah bawah, ada sepeda motor yang datang dan berbelok ke arah mini market. Benar kata Deva, ada tiga perempuan dalam satu motor itu.
"Kok—kamu bener lagi?" Chica memicing menatap tiga perempuan muda itu.
"Mantra Coffee itu isinya orang-orang modelan cerita di komik kamu. Nada psikometri, kalo aku punya prekognisi. Aku tertarik sama komik kamu karena yaaaa—relate aja gitu sama aku, di luar story yang kamu buat emang keren."
"Jadi, kalian semua ... manusia super?!"
Deva terkekeh. "Bukan kok, cuma orang biasa dengan label indigo."
Karena sudah mengetahui kebenarannya, Chica pun penasaran dengan psikometri. Akhirnya ia bersedia ikut Deva ke Mantra Coffee. Mengendarai motor Deva, mereka pun segera tancap gas menuju Mantra.
Setelah mereka sampai di Mantra, Deva dan Chica langsung turun dan masuk ke dalam kafe. Namun, mereka tak menemukan Nada di sana.
Deva sontak menoleh ke arah Kevin. "Vin, Nada ada?"
Kevin menggeleng sebagai jawaban.
"Nada belum pulang," sahut Cakra yang tersenyum melihat Deva datang bersama Chica.
"Nada belum pulang?" tanya Deva. "Tumben."
"Kata Kevin dia nginep di kosan temennya," balas Cakra.
"Nginep?" Deva kini berpindah tatap ke arah Chica, takut gadis itu kecewa.
"Kenapa cari Nada?" tanya Cakra.
Deva pun menceritakan kondisi Chica pada Cakra dan Kevin.
"Kalo gitu, mending lu anter dia pulang dulu aja. Udah malem juga kan. Besok cari lagi," ucap Cakra.
Deva menoleh ke Chica yang terlihat semakin cemas. "Cha, yuk aku anter pulang. Nada enggak pulang malem ini."
Chica hanya bisa mengangguk pasrah. Mereka pun keluar dari Mantra, meninggalkan suasana hangat di dalam untuk kembali menyusuri jalan malam yang semakin dingin. Chica naik di jok belakang Deva, berpegangan tipis pada jaket Deva karena takut terjatuh.
Jalanan Kaliurang yang ramai di siang hari, kini terasa lengang, hanya ada segelintir kendaraan yang melintas. Seolah memberi ruang pada mereka untuk merasa sedang berduaan di dunia.
Angin malam menerpa wajah mereka, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Suhu yang turun drastis membuat udara semakin menusuk, memaksa Chica untuk merapatkan pegangan pada jaket Deva, mencari sedikit kehangatan dari pria itu. Cahaya lampu jalan yang temaram hanya sesekali muncul di tikungan, menciptakan bayangan panjang yang seolah menari-nari di sekitar mereka.
"Ngomong-ngomong, yang tadi enggak usah diganti, Cha," suara Deva terdengar samar di tengah deru angin yang melintas.
Chica mendekatkan diri sedikit ke arah Deva agar suaranya tak hilang di antara angin malam. "Enggak mau, aku harus ganti," balasnya tegas, meski terdengar sedikit getir.
Deva menghela napas panjang, sambil mengarahkan motornya dengan tenang melewati tikungan jalan yang menurun. "Ya udah, lain waktu dateng aja ke Mantra kalo gitu. Udah lama kamu enggak mampir, kan?"
Chica menunduk sedikit, menghindari udara dingin yang semakin menggigit.
"Aku masih sering ke sana kok," balas Chica. "Tapi sengaja ngehindarin kamu. Jadi aku dateng di hari-hari yang bukan jadwal kamu jaga."
Deva terdiam, pandangannya fokus ke depan menyusuri jalan yang mulai sepi dari cahaya. Mereka melewati beberapa rumah yang jendelanya telah gelap, seolah penduduknya sudah terlelap dalam damai, tak menyadari dua orang yang sedang bergulat dengan perasaan mereka di tengah malam yang dingin ini.
"Maaf," lirih Deva. "Maaf kalo aku nyakitin kamu sampe segitunya. Aku emang cuma bisa nyakitin perasaan orang lain, maaf."
Chica tersenyum getir, meski Deva tak bisa melihatnya. Matanya menatap lurus ke depan, menembus malam yang seolah tiada berujung.
"Bukan gitu, tapi aku cuma takut buat kamu ngerasa enggak nyaman. Aku enggak mau buat hari-hari kamu jadi bad day gara-gara ngeliat aku dateng. Sebab aku ... bukan apa yang kamu cari."
Deva menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Malam semakin larut, dan dinginnya udara Kaliurang semakin menusuk, seolah bersekutu dengan pikirannya yang rumit.
'Aku mau jagain kamu dari segala sakit hati, Cha, tapi ironisnya, justru aku yang mungkin akan jadi sumber luka terbesar dalam hidup kamu. Makanya, aku minta maaf karena nyakitin kamu tanpa ngasih kamu kesempatan. Maaf. Aku cuma enggak mau nusuk luka yang lebih dalem karena perasaan kita yang semakin bertumbuh.'
.
.
.
TBC
Sekilas info: Dab itu panggilan sejenis mas, bang, bro, rek (Arek Suroboyo) versi Jogja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top