70 : Pergi

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Keesokan paginya, hujan telah berhenti, menyisakan rumput basah dan udara dingin. Melodi keluar dari rumah kecilnya, berjalan menuju motor yang terparkir di dekat kafe. Pandangannya tertuju pada jendela kafe. Ia melihat sosok Nada yang tertidur di sofa dengan selimut biru yang menutupi tubuhnya. Hatinya berdesir, tetapi gengsinya menahan untuk tidak menyapa kembarannya.

Dengan langkah cepat, Melodi melangkah menuju motornya. Namun, saat ia sedang memasang helm, pintu kafe terbuka. Harits keluar menghampirinya.

Harits memandangnya, kemudian beralih tatap ke arah Nada yang masih tertidur di dalam kafe. "Gua nemuin dia semalem, ujan-ujanan di luar. Kan enggak mungkin sleep walking."

"Kok bisa nemu?" tanya Melo.

"Arwah-arwah di sekitar gua yang ngasih tau, kalo dia nangis di depan pintu kafe, keujanan." Pandangannya kini menyorot ke arah dalam jendela. Melodi mengikuti arah tatapnya hingga menemukan sosok Tomo dan Hara di depan bar.

"Oh, ya udah, makasih ya, Cel. Betewe, gua titip Nada. Gua kayaknya bakalan jarang pulang kedepannya karena mau fokus tugas akhir dulu. Capek kalo harus bolak-balik Kaliurang-Bantul."

"Oke aja, tapi sebelum lu caw, enggak mau pamitan dulu sama Nada?" tanya Harits.

Melo terdiam sejenak, lalu menatap Harits. "Titip salam aja. Ya udah, makasih ya, Rits. Gua berangkat dulu."

Melodi langsung tancap gas meninggalkan Mantra. Di sisi lain, Harits menghela napas dan menatap Nada dari kejauhan. Ia berjalan masuk tanpa suara, menuju ke dapur, berinisiatif membuatkan Nada secangkir chamomile hangat dengan madu dan irisan lemon.

Di dapur, Harits menyiapkan cangkir dan memasukkan kantong teh chamomile ke dalamnya. Ia menuangkan air panas, melihat uapnya naik dengan tenang, lalu menambahkan satu sendok makan madu dan mengaduknya perlahan. Terakhir, ia memotong seiris lemon dan meletakkannya di tepi cangkir.

Dengan cangkir teh di tangan, Harits berjalan kembali ke ruang depan kafe. Ia duduk di sebelah Nada yang masih tertidur, lalu perlahan membangunkannya. "Bangun woy, udah pagi."

Nada membuka matanya dan menatap Harits dengan muka bantal. "Selamat pagi Harits."

Wajah bangun tidur Nada membuat Harits teringat saat mereka ke pantai dulu. Kala itu Nada mengendap-endap masuk ke mobil dan tertidur di bagasi. Rasanya de javu.

Harits mengalihkan pandangannya. 'Anjirlah, cakep banget jodoh orang.'

"Kamu tumben ngeteh?" tanya Nada. Ia memejamkan mata dan mengendus aroma minuman yang Harits bawa. "Chamomile?"

"Ini bukan buat aku. Kamu suka teh yang ini, kan? Sengaja aku bikinin buat kamu," balas Harits.

"Buat aku?" katanya dengan suara serak, agak bindeng. "Makasih, Harits."

"Oh iya, Melodi udah berangkat barusan. Katanya dia titip kamu karena bakalan sering nginep di sekitaran kampusnya," ucap Harits.

Nada hanya diam tanpa komentar. Hingga pada satu titik, ia mulai bicara. "Aku juga mau nginep di kosan temenku deh kayaknya selama beberapa hari ini. Aku enggak bisa ngerjain skripsiku sendirian, aku butuh temen yang bisa ngasih insight."

"Yaaa, itu sih terserah aja, tapi kamu sama Melodi baik-baik aja, kan?" tanya Harits.

"Kita cuma butuh waktu sendiri aja, Rits. Udah dua puluh tahun lebih kita sama-sama, mungkin ini titik jenuhnya," ucap Nada, gadis itu berusaha tersenyum. "Tapi enggak apa-apa kok, nanti juga semuanya bakal baik-baik aja."

"Ya udah kalo kamu merasa begitu."

"Rits, bisa minta tolong?" ucap Nada dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca.

"Apa?" tanya Harits datar.

"Kasih aku kata-kata yang lucu, demotivasi kayak yang biasa kamu kasih ke Jaya," ucap Nada lirih.

Harits terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Selalu ada harapan dalam kata 'baik-baik saja', tapi bagi beberapa orang, kata-kata itu cuma ilusi dari sebuah janji hampa yang menutupi pahitnya realita."

"Harits, kok—enggak lucu?"

"Setiap kali seseorang menanyakan kabarnya, ia hanya bisa menjawab dengan senyum palsu, 'aku baik-baik saja'. Namun, dalam keheningan malam, ketika tidak ada yang mendengarnya, ia tahu bahwa segala sesuatunya jauh dari kata baik," lanjut Harits. "Di balik senyum itu, ada pertarungan yang tidak pernah usai. Setiap hari adalah perjuangan untuk bangun dari tempat tidur, berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja."

Harits memberanikan diri menatap kedua bola mata Nada yang hampir pecah kristalnya. "Baik-baik saja telah menjadi kebohongan yang begitu sering  diucapkan, sehingga hampir terasa nyata. Namun, tidak ada yang tahu tentang malam-malam tanpa tidur, atau tentang pikiran-pikiran yang menghantui setiap saat. Nad, enggak apa-apa kalo rasanya enggak baik-baik aja, kamu enggak harus pura-pura kuat kok."

Air mata Nada luruh. Melihat gadis itu menangis, rasanya hati Harits ikut merasa sesak.

"Melodi jahat, Harits ... aku kan ... aku kan cuma berusaha bantu dia, tapi ... tapi ... dia marah sama aku. Aku nunggu dia nanya gimana kabar aku, gimana hari-hari aku, gimana sidang pertama aku, tapi biarpun aku tunggu, dia enggak pernah tanya. Aku coba buat enggak egois, aku tau hari-hari dia berat, tapi ucapan dia bikin hati aku sakit, Harits."

Harits menepuk-nepuk pundak Nada. "Enggak apa-apa nangis, tumpahin aja semuanya. Hujan turun ke Bumi buat menghidupkan tanah, selalu ada yang tumbuh setelah hujan reda. Aku tau kamu kuat kayak pohon beringin, jadi biarin air mata kamu ngalir dan nyuburin hati kamu yang kering terluka. Jangan takut nunjukin kelemahan, karena dari situ ada kekuatan baru. Percaya deh, setelah semua problematika yang ada, kamu akan tumbuh lebih kuat. Kamu enggak sendiri kok, Nad, di sini ada Mantra."

Hari Senin Mantra Coffee tutup. Waktu bergulir lambat hingga siang hari. Kini hanya tersisa Nada dan Kevin di Mantra. Lelaki dingin itu bergantian dengan Harits dan Cakra untuk menemani Nada. Kedua rekannya sudah terlebih dahulu pergi ke kampus belum lama ini. Jika dipikir-pikir, ketiga lelaki itu dulu menyukai Nada dan dibuat menangis oleh gadis itu. Namun, siapa yang sangka bahwa sekarang mereka bertiga bergantian menjaga air mata gadis itu.

Kevin duduk dengan setia di sebrang Nada, dibatasi oleh meja panjang. Kevin berusaha memberikan support sebisanya, meskipun ia bukanlah sosok yang pandai berbicara seperti Harits dan juga Cakra.

Lelaki itu terlihat lebih seperti patung yang berusaha menunjukkan simpati. Namun, justru karena sikap kaku seorang Kevin, Nada jadi sedikit tertawa di antara isakannya. Melihat Nada yang tiba-tiba tertawa, Kevin refleks mengorek hidungnya.

"Enggak, Kebin, enggak ada upil. Aku ketawa gara-gara akward," ucap Nada. "Harits banyak ngomong, Cakra juga, tapi kamu cuma diem aja kayak patung. Kamu pernah enggak sih nangis sambil diliatin orang? Aneh tau."

"Aku enggak jago ngomong kayak mereka," balas Kevin dengan nada datar. "Tapi di luar itu, menurutku ketika ada seorang wanita yang bersedih, perkataan laki-laki itu enggak punya cukup power buat bikin seorang wanita merasa baik-baik aja, terkadang ... mereka cuma butuh kehadiran. Aku cuma berpikir, mungkin ... yang kamu butuhin sekarang itu adalah seseorang yang siap mendengarkan dan ada di sini, tanpa perlu banyak ngomong. Jadi, aku di sini buat itu, Nad, meskipun cuma bisa diem."

Nada menatap Kevin dengan mata yang masih sembab. "Itu udah cukup kok, terima kasih, Kebin."

Pria dingin itu mencair, memberikan senyumnya pada Nada sebagai respons balasan.

"Oh iya, Kebin. Aku bisa minta tolong sama kamu?"

Kevin mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Tolong anterin aku ke suatu tempat," lanjut Nada.

Ya, tak ada salahnya bagi Kevin untuk mengantar Nada sebentar, toh kebetulan tidak lama lagi ia ada janji dengan Dokter Abimanyu di rumah sakit tempat paman Deva itu bekerja.

"Oke," jawab Kevin.

"Kalo gitu aku siap-siap dulu ya." Nada pun tersenyum padanya, lalu berjalan keluar dari Mantra dan pergi menuju sarangnya di halaman belakang.

***

Hampir satu jam lebih Kevin menunggu, kini Nada muncul dari kandangnya dan berjalan ke arah pria tampan itu. Namun, melihat Nada, Kevin pun memicing.

"Kamu mau ke mana?" tanya Kevin bingung melihat Nada membawa koper, tas ransel yang terlihat penuh, dan tas selempang kecil berwarna hitam.

"Aku ngerasa jadi beban di sini," lirih Nada. "Enggak bisa naik motor sendiri, jadi selalu ngerepotin kamu, Harits, Cakra, Deva, sama Melodi. Dulu waktu di Maguwo, kampusku deket, jadi aku bisa berangkat sendiri, tapi di sini enggak bisa, Vin. Jadi ya—aku mutusin buat ngungsi dulu sementara waktu di deket kampus, sekalian buat ngejar ketertinggalan skripsi aku, aku butuh temen konsul."

"Yakin cuma itu alasannya?" tanya Kevin.

Nada menunduk. "Kalo kamu mau denger alasan utamanya, kamu harus janji satu hal sama aku."

"Apa?"

"Kalo ada yang nanya Nada di mana, termasuk Melodi, kamu cukup jawab nginep di rumah temennya aja. Cuma kamu yang tau aku ke mana, dan aku marah kalo kamu ngasih tau lokasiku ke siapa pun. Oke?"

Kevin mendekat ke arah Nada sambil merogoh kantong celananya. Ia mengambil bros kecil berwarna merah berbentuk bunga wijaya kusuma, lalu memberikannya pada Nada. "Oke, aku janji, tapi kamu harus bawa ini ke mana pun kamu pergi dan pasang. Biar aku tau, kamu baik-baik aja."

Nada meraih bros itu, lalu memasangnya di dada. "Oke."

Setelah itu mereka berdua pergi ke kota mengendarai mobil Kevin. Di jalan, Nada menceritakan tentang pertengkarannya dengan Melodi. Kevin pun kembali pada karakter patungnya yang diam tanpa komentar sama sekali.

No I'm never gonna leave you darling.

https://youtu.be/jwk4573hviQ

Ever Enough dari A Rocket to the Moon mengalun indah, mengisi ruang-ruang kosong di dalam mobil yang Nada tumpangi.

"Lagu kesukaan Bunda ...," lirih Nada.

"Bunda Aqilla suka ARTTM?" tanya Kevin.

Nada mengangguk sambil menatap pemandangan di luar jendela. "Iya, kalo lagi di mobil sering dengerin lagu ini."

Dua orang yang aslinya pendiam jika tidak ada trigger itu pada akhirnya hanya duduk menikmati perjalanan tanpa ada kata, seperti dua patung, sampai pada akhirnya mereka tiba di tempat tujuan Nada.

Nada dan Kevin turun dari mobil. Kevin membuka bagasi, membantu Nada menurunkan, serta membawa koper miliknya masuk ke halaman sebuah rumah.

Seorang wanita berambut panjang disanggul keluar dari dalam rumah dengan kemeja longgar dan celana pendek. Ia menatap pemuda tampan yang sedang membawa koper dan meletakkannya di lantai teras rumahnya. Wajah Kevin tak begitu asing, tapi wanita itu lupa pernah melihatnya di mana.

"Ini ada apa, ya?" tanyanya pada Kevin.

Dari belakang, Nada berlari kecil membawa ransel di punggungnya. "Kak Sherlin!"

Sherlin menatap adiknya yang muncul dari gerbang pagar. "Loh, Nada."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top