7 : Opening

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Pagi menyambut dengan gemerlap mentari, dan kopi hitam masih menjadi teman setia. Kopi hitam dan pagi tak terpisahkan seakan menjadi satu kesatuan yang menyatu dengan keindahan alam.

Tepat pukul sembilan pagi Mantra Coffee dibuka. Mungkin efek dorongan sosial media, toko baru ini langsung diserbu banyak pelanggan. Hampir tak ada meja kosong di dalam maupun di luar area sehingga semua awak Mantra sibuk bertugas.

"Choco Mint satu, Mocha satu, sama Americano satu. Chocho Mint sama Mocha dingin, yang Americano hot," ucap Melodi.

"Oke," balas Harits datar. Ia menekuk jempolnya ke arah dalam hingga terdengar suara kretek. Setelah itu Harits langsung menyiapkan Americano. "Nad, urus Choco Mint. Vin, urus Mocha."

"Oke," balas Nada dan Kevin. Mereka berdua segera melaksanakan perintah Kapten dapur.

Di sisi lain Cakra memberikan pesanan lain yang sudah selesai dibuat ke meja pemesannya. Dengan ramah ia meletakkan gelas demi gelas di atas meja. "Silakan, Kak."

"Makasih, Mas," balas salah satu pelanggan di meja tersebut.

Gemerincing lonceng berbunyi. Deva segera mengambil daftar menu, catatan kecil dan pena. Pria gondrong itu menghampiri pelanggan yang baru saja tiba.

"Mas, udah penuh ya tempatnya?"

Deva celingukan melihat sekitar. Matanya menangkap meja untuk dua orang yang masih kosong. "Masih ada yang kosong di area halaman, Kak. Mungkin bisa saya bantu antar?"

"Boleh deh."

"Mari." Deva berjalan diikuti pelanggan barunya. Ia mengantarkan pelanggan tersebut dan mencatat pesanannya, setelah pesanan sudah tercatat, Deva membawanya ke Harits. "Vanilla latte sama kentang goreng, Rits."

"Oke," balas Harits. "Jay, urus kentangnya, lu kan kentang juga orangnya nyahaha."

"Siap, Mas." Jaya segera mengambil kentang di freezer, lalu menggorengnya.

"Perlu aku bantu Vanilla Lattenya?" tanya Nada.

"Enggak perlu. Siap-siap next wave aja," jawab Harits.

"Siap!"

Lonceng kembali berbunyi, kali ini bukan pelanggan biasa yang datang, melainkan seorang Faris Nugroho. Nada menatap Harits. "Harits."

"Ya udah sono, di dapur ada gua, Jaya, sama Kevin."

"Bener enggak apa-apa?" tanya Nada.

"Kalo gua butuh bantuan nanti gua panggil."

"Oke, makasih!" Nada melepas apronnya dan berjalan menghampiri Faris.

Mereka terlihat sedang berbincang. Setelah itu mereka berdua mengambil satu meja di area luar. Nada duduk bersandar di kursi kayu yang berada di depan Faris, angin sepoi-sepoi membuat rambutnya tergerai indah.

Faris menghela napas sambil menatap ke kejauhan. Nada bisa merasakan adanya ketegangan dalam diri Faris.

"Kamu kenapa diem aja?" tanya Nada. Gadis pendiam itu memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Faris mengangkat bahunya, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa cemas yang ada di dalam hatinya. "Entah, aku suka tempat ini. Rasanya kayak enggak mau pergi," jawabnya. Ia tersenyum tipis. "Aku ngerasa tenang di sini."

Nada merasa hatinya menjadi hangat mendengar kata-kata Faris, meskipun tatapan Faris agak dingin hari ini. Ia menatap Faris dengan lembut. "Mungkin kamu butuh seseorang buat cerita, Ris? Aku juga mau denger banyak cerita kamu."

"Ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini," balas Faris. "Aku ngerasa sedikit terjebak."

Nada meraih tangan Faris dengan lembut, berusaha memberikan dukungan pada pria itu. Gadis itu ingin memberikan kekuatan untuk Faris, agar bisa melewati masa sulit yang sedang dihadapinya. Meskipun belum bercerita, Nada paham arti tatap Faris. Pria itu menyimpan problema hidup yang rumit. Sepertinya hari-hari yang ia habiskan selama ini adalah hari-hari yang sulit.

"Enggak apa-apa kalo waktunya belum tepat buat cerita, yang harus kamu inget, Ris ... kamu enggak sendirian. Aku di sini. Aku enggak pergi ke mana-mana lagi."

"Ehmm ...."

Faris dan Nada menoleh ke arah Melodi yang berdiri di samping meja. Mereka berdua tak sadar kapan Melodi datang.

"Kenapa, Melo?" tanya Nada.

Melo tersenyum ke arah Faris. "Enggak mau pesen apa gitu?"

"Oh iya, lupa." Faris terkekeh. "Aku mau Chamomile aja."

Nada tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Sebentar, aku buatin."

"Kamu di sini aja, temenin Faris," ucap Melodi. "Masih ada tri mas getir di dapur."

"Teh terbaik diracik oleh barista terbaik. Harits mungkin yang terbaik kalo kita ngomongin kopi, tapi kalo teh? Enggak ada yang lebih baik dari aku, Melo."

Melo tersenyum. "Rasa percaya diri dari mana? Faris?"

"Ini bukan percaya diri, Melo, tapi fakta lapangan." Nada berjalan melewati Melodi. "Teh terbaik hanya untuk pelanggan terbaik."

Seperginya Nada, Melo menatap Faris. "Jangan mentang-mentang tamunya Nada, dan dapet teh buatan Nada kamu jadi enggak bayar ya, Ris." Ia mengepalkan tangannya. "Tonjok lu!"

"Ya elah, dikira gua apaan?" balas Faris. "Tenang aja, kalo itu enggak akan lupa kok.

Gadis lawan bicaranya tersenyum. "Ya udah, silakan ditunggu ya, Kak." Melodi berbalik arah dan pergi mengurusi pelanggan lain.

Faris duduk sendirian di pelataran kafe, tatapannya kosong tanpa arah. Pada satu titik ia memandang langit yang terlihat begitu biru dan tenang. Sangat bertolak belakang dengan hatinya yang bergolak dalam kegelisahan.

Tiba-tiba, ingatannya terbawa jauh ke masa lalu. Kenangan-kenangan indah bersama Nada sewaktu SMA mengalir deras di benaknya, menyentuh setiap bagian dari jiwa Faris. Ia berusaha menahan air matanya yang hampir tumpah.

Namun, tiba-tiba suara langkah kaki datang mendekati. Faris mengangkat kepalanya dan melihat Nada, datang mendekatinya.

"Satu cangkir Chamomile," ucap Nada yang meletakan cangkir itu di atas meja, lalu duduk kembali di kursi depan Faris.

Begitu melihat wajah Nada, rasanya semua lara yang terpendam itu sirna. Faris menghela napas, seolah-olah melepaskan beban besar yang selama ini ia rasakan.

"Aku beruntung," ucap Faris.

"Beruntung kenapa?" tanya Nada.

"Sejujurnya, alasan kenapa aku enggak bales chat kamu bukan karena aku sibuk ...."

Nada memicing. "Terus kenapa? Kamu ... udah punya orang lain yang kamu suka?"

Faris terkekeh sambil menggelengkan kepala. Ia memajukan tubuhnya untuk menyampingkan poni Nada ke atas telinga. "Kalo aku merasa udah dapetin kamu, aku enggak akan seberjuang ini. Aku enggak mau jadi orang yang cepet puas."

Wajah Nada memerah karena ucapan Faris, gadis itu tersipu malu, ia tak mampu berkata-kata.

"Aku itu pesimis, Nad. Sejujurnya aku enggak percaya diri kalo kamu akan pulang ketika kamu udah nemuin bahagia selain aku. Aku itu jahat." Wajah Faris menunduk. "Aku merasa beruntung karena kamu putus sama pacar baru kamu."

"Ris, kamu ...."

"Ibuku kerja di rumah kamu, aku pun tau seberapa kaya orang tua kamu. Mungkin kamu enggak akan ngerasain apa yang aku rasain, tapi rasanya malu suka sama kamu. Bukan malu yang gimana, tapi rasanya tuh kayak enggak pantes aja. Aku bukan siapa-siapa dan enggak punya apa-apa, bahkan setelah tahu kemampuan spirituil kamu dan orang-orang di sekitar kamu, aku merasa semakin kecil, Nad. Aku enggak punya kelebihan lain selain suka sama kamu lebih dari siapa pun."

"Aku pun kadang ngerasa bingung. Kenapa di sekitarku berserakan orang-orang berkekuatan aneh. Mereka semua baik dan peduli, dan aku enggak tau gimana caranya harus bersikap sehingga sering kali aku suka sama siapa pun yang deketin aku. Aku ... aku enggak tau rasanya jadi kamu, tapi aku pikir semua orang punya pikiran yang seharusnya enggak perlu dipikirin. Aku rasa semua yang terjadi dalam hidup kita itu adalah sebuah skenario takdir, segala pertemuan dan hal yang terjadi dalam hidup kita adalah bukan kebetulan. Kita cuma perlu bersyukur. Awalnya aku takut pindah ke Bandung, karena aku harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, tapi ternyata semua ketakutan itu enggak perlu. Aku bersyukur pindah ke Bandung, karena di kota itu aku dibuat jatuh cinta sama seorang laki-laki yang lewat di depan rumah."

Faris tersenyum. "Salah nih aku dateng ke Jogja."

"Loh, kenapa?!" Nada terlihat murung.

"Semakin kita ketemu, semakin suka aku sama kamu, Nad. Rasanya aku enggak mau pergi lagi."

Nada memandang Faris. "Yaaaa ... jangan pergi ...."

"Itu dia masalahnya." Faris menggeleng. "Aku cuma bisa minta kamu buat sabar, sekarang belum waktunya. Di pertemuan kita yang selanjutnya, aku janji itu akan jadi pertemuan yang luar biasa. Boleh aku minta satu hal?"

Nada mengangguk.

"Langkah kamu udah cukup jauh, sekarang kamu enggak perlu bertualang lagi. Maaf kalo egois, tapi aku mau minta kamu buat nunggu aku sampe waktunya tiba."

"Aku tunggu," balas Nada. "Aku tunggu pertemuan kita yang selanjutnya."

"Serius enggak apa-apa?"

"Sekarang bukan waktunya kamu nanya, gantian! Aku juga mau minta satu hal dari kamu, Ris," ucap Nada.

"Apa?"

"Bisa aku percaya sama kamu, kan?"

Faris tersenyum. "Kalo enggak bisa dipercaya, enggak ada artinya aku jadi Bang Toyib selama ini, Nad."

"Janji?" Nada menyodorkan kelingkingnya.

Faris juga memberikan kelingkingnya. "Ya, janji."

***

Pesanan sudah mulai reda, Harits beristirahat sambil menatap sekeliling. "Harus coba buka full day ini mah," ucapnya.

"Buka lowongan aja buat tiga orang," balas Deva yang duduk di depan bar. "Gimana menurut lu? Jadi tiga orang ini yang jaga pagi sampe sore, nanti kita pulang kuliah baru tuker shift. Atau dua orang juga bisa sih, tapi tergantung jadwal kita nantinya. Yang senggang bisa bantu-bantu, tapi enakan tiga sih."

"Tiga aja kali ya, biar kita punya waktu fleksibel buat hal lain juga," celetuk Cakra.

"Radhi aja suruh," ucap Jaya.

"Radhi kan juga kuliah, dia enggak bisa," balas Deva

"Kalo orang yang enggak kuliah sih saya ada, nanti coba saya tanya deh dia minat atau enggak," balas Jaya.

Di tengah percakapan itu, lonceng kembali berbunyi. Kini giliran seorang pria dengan satu penutup mata yang masuk ke Mantra Coffee.

"Nah, akhirnya dateng juga," ucap Jaya.

"Itu orangnya?" tanya Deva.

"Bukan, kalo dia itu pesenannya Mas Harits."

Deva menatap Harits. "Lu pesen apaan?"

Harits melepas apronnya dan berjalan menghampiri pria tersebut. "Yo," sapa Harits.

Pria itu tak membalas sapaan Harits, bisa dibilang ia lebih dingin dari seorang Kevin Wijayakusuma. Ia menoleh ke arah Melodi seolah tak peduli dengan kehadiran orang lain. Pada satu titik ia menatap tajam pada Harits.

"Bisa kita mulai sekarang? Aku tidak punya banyak waktu," ucapnya sambil berbalik arah dan berjalan keluar kafe.

Harits hendak mengikutinya, tetapi Deva mencengkeram pundaknya. "Lu pesen apaan sama dia?"

"Lu semua ngeluh banyak gangguan kan di sini?" tanya Harits. "Gua bilang tenang aja, gua punya cara sendiri buat ngurusin masalah itu."

"Caranya?" tanya Cakra.

"Gua butuh Mata Suratma buat ketemu sama seseorang yang udah mati. Saat ini, cuma dia yang bisa bantu gua dapetin informasi perihal kekuatan gua yang hilang," jawab Harits. Ia berjalan mengikuti Agha Wardana keluar dari area Mantra.

.

.

.

TBC






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top