69 : Menyusuri Gelombang Kelam
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Melodi duduk di sudut kamar kosan Zara, menatap layar komputer dengan tampang serius sambil memainkan piano digitalnya. Di meja kayu yang sama, buku-buku musik dan catatan berserakan dengan indahnya. Kertas-kertas yang berantakan itu mencerminkan kegelisahan Melo selama beberapa minggu terakhir.
"Lu enggak pulang hari ini, Mel?" tanya Zara.
"Kenapa? Lo ngusir gue?" balas Melodi.
Zara menghela napas. "Enggak, gue sih seneng aja lo di sini, jadi ada temen. Tapi emang lu enggak kasian sama Nada? Sendirian mulu loh dia, sering lo tinggal nginep di sini."
"Biarin aja, Nada udah gede. Lagian juga di sana rame kok, lebih rame daripada di sini. Dia enggak akan kesepian."
"Mungkin sekarang dia lagi khawatir sama lo, kalo tau kondisi lo kayak apa. Saran gua sih, mending lu ganti judul aja kalo emang berat bawain genre klasik."
Melodi sontak menekan keras tuts piano digitalnya hingga terdengar nada-nada kemarahan. "Kalo gua ganti judul, artinya gua nyerah dong? Enggak! Enggak akan gua ganti judul."
Tak seperti Nada yang beberapa waktu lalu baru saja memulai bimbingan pertama. Melodi sudah melalui beberapa bimbingan hingga lulus prososal dan kini masuk ke tahap skripsi. Selain skripsi, gadis itu juga fokus menggarap tugas akhirnya, di mana sebelum sidang nanti, ia akan tampil solo piano mengaransemen lagu Ode To Joy dari Beethoven di acara pameran jurusannya.
"Abisnya, lo ngaca deh. Tampang lo kayak ABG jaman batu," ucap Zara, memandang ke arah Melodi yang di matanya kini terlihat seperti manusia purba.
Rambut panjangnya yang biasa tertata rapi kini tampak kusut, dengan beberapa helai yang menempel di dahi karena keringat. Wajahnya pucat dan mata hitamnya dilingkari lingkaran gelap akibat kurang tidur. Pakaian yang dikenakan Melodi pun hanya sebuah kaos longgar dan celana jogger yang sudah agak pudar, semakin menunjukkan betapa ia tidak memperhatikan dirinya sendiri dalam beberapa minggu terakhir ini. Keringat dingin di kening dan bau kopi yang menyengat dari cangkir yang sudah dingin di sampingnya menambah atmosfer suram di dalam ruangan kos-kosan Zara.
Melodi membuang pandangannya ke arah jendela, menatap hujan yang turun dengan deras di luar. Hujan itu seperti cerminan dari perasaannya yang sepi, penuh keraguan, dan tak kunjung reda. Suara tetesan air yang jatuh ke tanah seolah mencerminkan gejolak batinnya—kebisingan yang tak pernah berhenti mengisi setiap ruang kosong dalam pikirannya
"Lo jangan nyuruh gue nyerah, Jar. Gue pengen ngebuktiin kalo gue bisa. Kalo gue ganti judul, itu artinya gue nyerah dan lari dari masalah yang gue buat sendiri," ucap Melodi dengan suara hampir berbisik, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Zara duduk di sampingnya. "Oke, Mel. Gue cuma pengen bilang, kalo kadang kita tuh butuh jeda. Enggak harus diforsir semua sekaligus. Tubuh lo juga kan punya hak buat dapet waktu istirahat. Kan, enggak lucu kalo lu sakit. Banyak yang khawatir tau."
Mendengar kata 'khawatir', Melo refleks mengecek ponselnya yang sering ia abaikan. Banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab dari pacarnya, Ippo.
"Lo bener deh hari ini, Jar. Gue yang salah. Kayaknya gue mau pulang abis ujan reda. Gua mau istirahat dulu," ucap Melo.
"Nah, gitu dong. Tenangin diri lo dulu, Mel, nanti kalo udah tenang, baru lo mulai lagi. Gue yakin, jenius kayak lo mah pasti bisa."
Melo tak berani memandang balik ke arah Zara. "Jangan panggil gua jenius, Jar. Gua jijik."
"Oke, oke deh. Semangat Melodi."
Karena Melodi yang jarang di Mantra akhir-akhir ini, Cakra lebih banyak menghabiskan waktu di kafe untuk menggantikan Melodi. Lelaki itu menatap ke arah Deva yang saat ini sedang off, dan menikmati waktu dengan duduk di meja pelanggan sambil mengetik di laptopnya. Sesekali pria gondrong itu terlihat sibuk melirik ke arah pintu depan, seolah mencari-cari sesuatu.
"Ujan, Dev," ucap Cakra yang sesekali juga menatap hujan deras di luar Mantra.
"Iya, tau," balas Deva sambil menyeruput kopi tubruk panasnya.
"Iya, maksudnya ... jangan dicariin mbak komikusnya," sambung Cakra.
Kopi panas itu melesat ke meja setelah Deva refleks menyemburkannya. "Hah?"
Cakra tersenyum. "Yah elah, Dev, Dev."
"Siapa yang nyariin dia?" Deva masih berusaha mengelak, padahal bagi Cakra rindunya jelas terbaca.
Cakra menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, sembari terus mengamati Deva yang kini mulai gelisah. "Warna aura lu sekarang tuh kentel banget, Dev. Kayak parfum mahal yang lu semprot berlebihan. Aroma rindu lu tuh nyengat banget."
Deva mengalihkan tatap, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membuka laptopnya kembali. "Gua serius nih, Cak. Gua enggak nyariin siapa-siapa."
Cakra tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Lu tau kan, gua bisa baca orang. Aura rindu lu tuh kayak lampu neon, terang banget. Setiap kali pintu kafe kebuka, lu selalu ngeliat ke sana, berharap Chica yang masuk. Ya, kan?"
Deva mencoba mengabaikan ucapan Cakra, tapi gelagatnya seperti orang salah tingkah. "Serius deh, lu terlalu dramatis."
"Ah, masa?" Cakra mengangkat alisnya, menantang. "Warna aura lu tuh berubah warna mulu waktu transisi ngelirik ke arah pintu, dari biru terang jadi ungu. Rindu lu tuh kebaca banget, Dev."
Deva menghela napsa. "Whatever, Cak."
"Jujur, di mata gua tuh kalian kayak lagi main petak umpet belakangan ini."
"Petak umpet apa maksud lu?" tanya Deva.
"Secara, dia itu tau jadwal shift lu. Dia biasanya dateng di hari-hari lu jaga, dia sering merhatiin lu dan mungkin tau pola atau jadwal kapan lu jaga kafe. Meskipun yaaa ... belakangan ini dia selalu enggak bisa nemuin lu di hari-hari itu sih, karena lu sibuk dan lagi sering di kampus, tapi poinnya adalah, hari-hari dia dateng tuh mutlak," jawab Cakra.
"Teurs? Hubungannya apa sama petak umpet?"
"Sejak dia nyusulin lu ke perpus, jadwalnya berubah. Dia dateng di hari-hari lu off day, kayak sekarang. Seumpama enggak ujan, gua yakin dia bakal dateng kok hari ini," ucap Cakra. "Di mata gua dia kayak lagi menghindar dari lu aja gitu."
"Tunggu, tunggu, tunggu, bentar ...." Deva memicing. "Lu kok tau gua sama dia ketemu di perpus?"
"Lu pikir, kenapa dia ada di perpus?" tanya Cakra balik. "Ada kalanya, manusia itu enggak tau jawaban dari setiap pertanyaan, kan? Dan ada peran orang lain buat dapetin jawaban itu."
"Yaaaaa ... intinya, apapun yang terjadi di antara gua sama dia, itu bukan urusan lu, Cak," ucap Deva ketus. "Jadi, jangan pernah ikut campur lagi."
"Gua enggak ikut campur sih, cuma ngasih tau cewek yang lagi galau aja gara-gara enggak nemuin pangerannya di istana," balas Cakra.
"Ya itu namanya ikut campur."
"Enggak dong, enggak ada jaminan dia dateng juga, kan? Meskipun gua kasih tau posisi lu ada di mana, tapi kalo ternyata dia dateng, artinya yaaa mungkin dia emang nyariin lu, Dev."
Deva terdiam tak memberi komentar balasan. Melihat warna aura Deva yang semakin memerah, Cakra memutuskan untuk ikut diam dan tak menimpalinya lagi.
Di luar, suara hujan semakin deras memainkan irama monoton yang mengiringi keheningan Mantra. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati kopi sambil menatap jendela berkabut.
Tiba-tiba, suara deru motor terdengar mendekat. Semua mata tertuju ke arah pintu depan saat gemerincing lonceng berbunyi. Melodi dengan jas hujan berwarna kuning terang memasuki kafe. Rambutnya yang agak basah menempel di kening dan sebagian wajahnya.
Nada segera menghampiri dan meraih tangan kembarannya. Ia membantu melepas jas hujan yang basah kuyup dari tubuh Melodi. "Kok enggak langsung ke kamar aja?"
"Aku lupa bawa kunci," jawab Melodi.
Nada merogoh kantong celana dan mengambil kunci kamarnya. "Nih, mandi terus istirahat gih. Kamu kayaknya capek banget."
"Aku di sini dulu aja deh, Nad. Toh, baju sama celanaku enggak basah kok. Cuma muka aja agak lepek gara-gara ujannya badai."
"Aku buatin teh anget ya?"
Melo mengangguk. "Oke, makasih ya, Nad."
Nada pun tersenyum. "Oke, sama-sama, Melo."
Melodi duduk di depan bar sambil mengamati kembarannya yang sedang membuatkannya teh hangat. Dari sisi kanan, sebuah handuk kecil terlempar dan mendarat ke atas kepalanya. Melodi menoleh dan menangkap sesosok Harits yang sedang duduk di balik bar, sedang memperhatikannya.
"Keringin tuh rambut, tar masuk angin lu," ucap Harits.
Melodi menggunakan handuk itu untuk mengeringkan rambutnya yang agak basah, terutama di bagian depan. "Tumben lu baik."
"Kalo gua bilang itu bekas ngelap pantat gua, lu masih berpikir kalo gua baik?"
Melo menghentikan kegiatannya, lalu menatap handuk yang baru saja ia gunakan untuk mengelap wajah dan rambutnya.
"Serius lu? Pantes ada bau bangke cumi-cumi," ucap Melodi.
Nada datang membawakan teh manis hangat untuk Melodi. "Enggak kok, itu handuk baru buat ngelap tangan di westafel, tapi belum dipake."
"Nyahaha panik."
Saat ini anggota Mantra sedang berkumpul full squad. Ada Deva yang sedang duduk sebagai pelanggan, ada Cakra dan Kevin yang stand bye di posisi pelayan, juga Nada dan Harits sebagai tentara dapur, terakhir, Melo yang baru saja tiba. Rasanya sudah agak lama mereka tidak pernah berkumpul dengan komposisi lengkap.
Malam semakin larut, hujan tak kunjung berhenti. Alih-alih reda, semakin malam justru semakin membabi-buta, kilat pun merobek langit. Kini Mantra Coffee sudah tutup, kembar Mahatama telah kembali ke rumah kecil mereka di halaman belakang.
"Nad, kamu kesepian enggak sih kalo aku tinggal-tinggal? Kok aku merasa bersalah ya?"
Nada yang sudah berbaring di kasur, hanya menatap gelapnya langit-langit kamar. "Gimana ya ... jujur sih iya, tapi aku tau kamu lagi sibuk. Justru ada di sekitar temen-temen kamu, kamu dapet banyak insight tentang tugas akhir, kan? Dari kecil kita nempel terus, dan aku sadar kalo enggak selamanya kita akan nempel terus. Mungkin, ini awal mula pendewasaan. Kelak, kita juga pasti pisah, kan? Pergi ninggalin cangkang yang lama, buat sebuah cangkang baru."
Melodi tersenyum tipis. "Iya sih, kamu bener."
"Oh iya, Melo, aku boleh dengerin cerita kamu? Aku mau denger semua keresahan kamu," ucap Nada.
"Enggak ada yang perlu diceritain, Nad, everything will be fine kok. Udah malem, tidur yuk."
Nada merasa khawatir. Meskipun Melo berkata semua baik-baik saja, tetapi raut wajah gadis itu tak terlihat begitu saat tadi di kafe. Mereka sudah bersama sejak dalam kandungan, jika ada sesuatu yang tidak biasa, tentunya satu sama lain pun akan sadar.
Namun, Nada tak mau memaksa kembarannya untuk bercerita. Jika ia memang belum mau, mungkin lain waktu.
Semakin larut, Nada merasa semakin resah. Mungkin karena cuaca yang dingin dan semakin mencekam berkat musik gemuruh, ia pun tak bisa tidur.
Tiba-tiba, terdengar suara meracau dari tempat tidur Melodi. Nada langsung terduduk. Dalam gelap, ia memandang kembarannya yang tampak gelisah dalam tidurnya. Melodi mengerang pelan, tangannya bergerak-gerak seakan mencoba mengusir sesuatu.
"Melo? Melo, kamu kenapa?" bisik Nada cemas.
Melodi tidak menjawab, ia tetap meracau dengan suara yang semakin lirih. Nada mendekat, duduk di tepi tempat tidur Melo. Dengan hati-hati, ia menyentuh tangan Melodi dengan tangan telanjang
Sebuah ruangan gelap dengan kilsan-kilasan masa lalu terpampang bak sebuah tayangan layar lebar. Nada menyaksikan sebuah sinema, tentang betapa menderitanya melodi belakangan ini karena sebuah kebuntuan.
"Tenang, Melo, aku di sini," bisik Nada, mencoba menenangkan. Ia memusatkan pikirannya, mencoba mengirimkan perasaan tenang dan hangat kepada kembarannya melalui sentuhan tangan. "Kamu aman, aku ada di sini."
"Berhenti!"
Sinema itu tiba-tiba saja berakhir, menjadi bioskop tanpa layar. Nada perlahan membuka matanya. Kilatan petir membuat jelas ekspresi Melodi yang gusar memandang Nada.
"Melo, aku cuma mau—"
"Kamu enggak punya hak buat nyusup ke dalam pikiran aku tanpa izin, Nada! Aku benci kalo kamu ngelakuin itu tanpa persetujuan aku! Kita emang kembar, kita keluarga, tapi aku punya privasi!" bentak Melodi.
Nada terkejut, ia mundur sedikit dengan mata terbelalak. "Melo, maaf. Aku cuma khawatir sama kamu ...."
"Khawatir? Kamu cukup khawatirin diri kamu sendiri aja. Aku tau kamu juga tertekan karena skripsi, aku tau kamu baru maju bimbingan. Maaf kalo enggak bisa bantu apa-apa, karena aku juga lagi butuh bantuan orang lain."
"Aku cuma nyoba—"
"Enggak usah nyoba-nyoba! Kamu enggak bisa bantu apa-apa, Nada, kamu enggak bisa," potong Melodi. "Udah, kita fokus masalah kita sendiri-sendiri aja, ini juga bagian dari langkah pendewasaan. Mulai terbiasa hidup tanpa aku dan kamu."
Nada terdiam, setiap kata yang keluar dari mulut Melodi malam ini menusuk hatinya. Gadis berambut bondol itu mengangguk pelan, tak mampu menahan air mata yang mulai mengalir. Tanpa berkata apapun lagi, ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah pintu kamar.
"Nad, mau ke mana?" tanya Melodi, suaranya sedikit melembut.
"Aku butuh sedikit udara seger aja," jawab Nada singkat.
"Tapi kan, di luar ...."
Tanpa menunggu ucapan Melodi, Nada membuka pintu dan keluar, disambut oleh derasnya hujan.
"Ujan ...," lirih Melodi merasa bersalah karena sudah membentak Nada.
Nada melangkah cepat menerjang badai, berlari kecil menuju Mantra Coffee yang sudah gelap. Dingin dan basah menggigit kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Hujan seolah mengaburkan semua rasa sakit yang dirasakannya. Kini di depan pintu yang terkunci, gadis itu terduduk lemas sambil menangis.
Suara derasnya hujan dan kilat yang menyambar-nyambar langit malam seolah menjadi saksi bisu atas kegalauan hatinya. Nada merasakan kesepian yang begitu dalam. Perasaan terasingkan dari satu-satunya orang yang selama ini selalu ada di sampingnya.
Tangannya gemetar ketika ia mencoba mengeringkan air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di wajahnya.
"Kenapa jadi kayak gini sih?" bisiknya pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu menggantung di udara, dan tak disertai jawaban yang datang.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top