68 : Arwah yang Merindu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Malam ini bulan tampak takut, bersembunyi di balik awan hitam. Layaknya seorang Harits Sagara yang bersembunyi di balik bar kafe. Pria itu terlihat sedang sibuk mengaduk satu-satunya orderan kopi di Mantra Coffee. Mungkin karena hujan yang intens mengguyur bumi Jogja beberapa hari ini, terutama awet dari sore hingga malam, tak banyak pelanggan yang bertamu dan singgah sejenak di sini.
Di dapur yang sama, Nada berdiri di samping Harits, sibuk menyiapkan sajian teh untuk satu pelanggan di meja yang sama dengan pemesan kopi. Sementara itu, Deva dan Cakra membersihkan meja dan menata kursi bekas pelanggan sebelumnya yang belum lama pergi.
"Drong, pesenan meja tujuh nih," ucap Harits pada Deva.
"Oke." Deva meninggalkan Cakra dan berjalan ke arah Harits untuk membawa pesanan tersebut.
"Tehnya juga sekalian ya, Dev." Nada pun baru saja menyelesaikan sajian tehnya.
"Aman, taro aja."
Nada meletakkan cangkir teh dengan hati-hati di atas tatakan yang sudah tersedia, berdampingan dengan kopi buatan Harits. Deva mengambil pesanan tersebut dan melangkah ke arah meja tujuh sambil memastikan bahwa semuanya tertata rapi.
Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah pintu, membawa masuk aroma hujan di luar Mantra. Harits menatap hujan di luar kafe, hingga tak sengaja ia melirik ke arah jendela, tatapannya teralihkan ketika ada seorang pria gemuk memasuki kafe dengan cara menembus tembok.
Harits hanya diam, mengamati arwah itu sambil mengupil dengan satu tangan. 'Bapak siapa lagi itu, nembus tembok.' Batinnya dengan tampang datar seolah tak peduli.
Pria transparan itu duduk di meja dekat jendela dengan ekspresi bingung. Harits mendekat tanpa bicara, ia duduk di depannya sambil memandang arwah tersebut. "Sadar, kan? Di sini bukan tempat arwah gentayangan," tanya Harits, mencoba menjalin komunikasi dengannya.
Arwah itu menatap Harits dengan mata kosong. "Saya enggak tau sudah berapa lama saya meninggal, yang saya sadari sekarang cuma ... saya sudah jadi arwah. Saya cuma mau kasih hadiah buat istri saya. Apa yang harus saya lakukan?"
Harits menatapnya dalam diam. 'Untuk menuntun arwah menemukan kedamaian, mereka harus menyelesaikan urusan yang belum selesai di dunia ini. Enggak ada cara lain, selain bantuin mereka nyelesain urusan yang mengganjal itu.'
"Banyak arwah yang menyarankan saya ke tempat ini, katanya di sini, kami bisa menemukan seseorang yang bisa membantu permasalahan kami?" ucap arwah itu lagi.
Harits menghela napas, lalu memandang arwah itu. "Oke, ayo kita selesaikan ini dengan cepat. Kita enggak bisa ngasih hadiah secara langsung, tapi masih ada ada cara lain."
"Caranya?"
"Kontak mimpi," jawab Harits.
"Kontak mimpi?" arwah itu memicing. "Yang istri saya mau itu kotak musik yang isinya lagu ...."
"Halah, bacot banget. Heh, Om, denger ya, enggak ada hadiah yang paling indah, daripada sebuah pertemuan. Sesuatu yang berharga itu baru terasa berharga ketika kita udah kehilangannya. Istri anda itu udah kehilangan anda, mungkin dalam jangka waktu yang lama, dan enggak ada hadiah terbaik selain kehadiran anda, goblok! Anda harusnya sadar, kalo anda adalah sesuatu yang berharga buat istri anda. Jadi sekarang temuin dia, dan nyanyiin lagu yang dia suka sendiri pake mulut anda, goblak!"
Harits memandang arwah tersebut dengan wajah kesal, tanpa menghiraukan tatapan bingung dan aneh dari Cakra, Deva, Nada, beserta kedua pelanggan Mantra yang hanya bisa melihat pria itu berbicara sendiri sambil marah-marah. Kini Harits diam sejenak, lalu menatap mereka semua.
"Lagi latihan buat teater nyahahaha sorry."
Mereka semua bertepuk tangan. "Keren, Mas, kayak beneran," ucap salah satu pelanggan.
"Iya, menjiwai banget," sahut pelanggan yang satunya.
Sementara itu ketiga punggawa Mantra mulai sadar, bahwa saat ini mungkin Harits sedang berinteraksi dengan sesuatu yang tak kasat mata. Mereka pun memilih diam tanpa komentar.
Pada satu titik, Harits menatap Deva. "Drong, minta kertas sama pulpen dah."
"Bakal apaan?" tanya Deva.
"Udeh sini, buru!"
Deva menghela napas, lalu berjalan ke arah Harits. Ia memberikan selembar kertas catatan dan pena untuk mencatat menu.
"Makasih," ucap Harits.
"Oke, sama-sama." Deva masih berdiri, menatap kertas yang hendak Harits tuliskan kata-kata.
"Udeh sono, ngapain sih lu? Kepo amat," ledek Harits.
Deva menggeleng pelan sambil memutar arah, dan kembali duduk di sebelah Cakra.
"Jadi gini, coy ...," lanjut Harits berbisik pada arwah itu, "kita gunain kontak mimpi. Ini cara yang bagus buat ngirim pesan atau perasaan terakhir tanpa kontak fisik. Om bisa ngunjungin mimpi istri om dan interaksi secara langsung. Jadi, kalo ada penyesalan, atau apapun yang mau om bilang, om bilangin dah, luapin semua, biar semua beban yang mengganjel itu bisa ilang."
"Caranya?" tanya arwah itu.
"Bentar, sebelum itu saya minta waktunya sebentar. Tolong om bantu tulis dulu, nama, alamat, dan lain-lainnya."
Sebelum melakukan Kontak Mimpi, Harits menyuruh arwah itu untuk melakukan registrasi terlebih dahulu. Ia meminjamkan raganya untuk sekadar mengisi kertas tersebut.
Setelah melakukan registrasi, Harits memfokuskan atma pada arwah itu dan mulai melakukan ritual tanpa perlengkapan khusus. Ia memusatkan energi atma dengan mengarahkan telapak tangannya pada arwah tersebut, menciptakan aura di sekeliling mereka.
Deva dan Cakra saling beradu pandang, lalu menatap Harits kembali. Mereka berdua tak mampu melihat arwah, tetapi beda urusan dengan merasakan aura yang kini menyelimuti Mantra Coffee.
"Dev," panggil Cakra yang baru saja merinding.
"Biarin aja, palingan juga lagi ritual buat mulangin arwah itu bocah satu," balas Deva.
"Merem, fokusin pikiran, bayangin muka istri anda, Sir. Niatin yang kuat, bahwa anda ingin terkoneksi denggan mimpinya," kata Harits sambil menggerakkan tangannya perlahan, seperti menggambar pola tak terlihat di udara.
Arwah itu mengikuti instruksi Harits, menutup kedua matanya dan berusaha fokus menghubungkan pikirannya dengan mimpi istrinya. Aura yang menyebar di sekitarnya, kini perlahan mulai fokus menyelimuti arwah tersebut, memancarkan cahaya yang semakin terang di mata Harits. Semakin lama, cahaya itu semakin intens, tetapi di sisi lain, arwah itu mulai memudar dari pandangan Harits, seolah-olah ia menghilang ke dalam dimensi lain.
Embusan angin membuat mata terpejam itu agak berkedut, dan saat arwah itu membuka mata kembali, ia berada di tempat yang berbeda. Kini dirinya berdiri di sebuah padang awan. Dan dari kejauhan, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Matanya pun terbelalak berkaca-kaca penuh haru.
Perlahan, ia melangkah mendekat pada sosok wanita itu. Kini bisa ia lihat betapa istrinya telah menua. Kerutan di wajahnya dan rambut yang mulai memutih menunjukkan betapa banyak waktu telah berlalu sejak terakhir kali mereka bersama. Namun, meskipun usia telah mengambil alih penampilannya, binar di mata wanita itu masih tetap sama seperti saat pertama mereka berjumpa.
Istrinya menatap ke arah arwah itu dengan mata berkaca-kaca. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, hutang rindu yang menumpuk itu terbayar lunas.
"Sayang," panggil arwah itu lirih dengan suara yang lembut, suara yang bergetar penuh emosi. "Aku ... aku benar-benar merindukanmu."
Istrinya meneteskan air mata, melangkah maju dan membuka tangan, lalu memeluknya erat-erat. "Akhirnya kamu datang ... aku udah nunggu kamu lama sekali, Sayang ... lama sekali ...."
Mereka pun berpelukan di padang awan itu, sebuah pelukan yang penuh haru dan mengugurkan kerinduan. Perlahan wanita tua itu berubah ke usia mudanya, begitu juga dengan sosok si arwah.
"Aku nyesel, karena enggak bisa ada di samping kamu selama ini, enggak bisa ada di sisi kamu, ketika kamu butuh. Aku nyesel."
"Enggak apa-apa," kata istrinya tersenyum, suara lembutnya dipenuhi kehangatan. "Aku ngerti. Aku belajar buat hidup dengan kenangan kita. Waktu mungkin berlalu tanpa kamu, tetapi cintaku buat kamu enggak pernah pudar sampai rambutku memutih."
"Maaf, waktu itu aku enggak bisa ngasih hadiah yang kamu mau. Sebetulnya pulang kerja hari itu, aku udah beli kado buat ulang tahun kamu, tapi sampai sekarang hadiah itu enggak pernah sampai. Selain kehilangan kado ulang tahun, kamu juga harus kehilangan aku. Sekali lagi maaf, karena udah ngasih luka di hari ulang tahun kamu," lanjut arwah itu dengan nada sedih. "Sekarang, aku mau nyanyiin langsung lagu pernikahan kita buat kamu. Mungkin juga ... lagu ini jadi lagu terakhir sebelum aku pergi jauh."
"If I had to live my life without you near me. The days would all be empty. The nights would seem so long ...."
Arwah itu menyanyikan lagu Nothing's Gonna Change My Love For You dari George Benson. Waktu terasa melambat untuk mereka berdua. Kenangan-kenangan lalu mereka berputar seperti sebuah kepingan puzzle yang kembali tersusun pada papannya, seolah memberikan kesempatan untuk waktu-waktu yang hilang.
"Terima kasih atas waktu-waktu yang berharga itu, Sayang ...," gumam sang suami pada istrinya. Tubuhnya perlahan memudar, tertiup angin menjadi sepihan daki.
Wanita tua itu menitihkan air mata, tetapi ditemani senyum manis yang bergetar. "Selamat tinggal ...."
Di sisi lain, Harits menangkap cahaya di depannya dengan kedua telapak tangan. Setelah cahaya itu perlahan redup, ia pun membuka tangannya, dan menatap seekor kunang-kunang yang bersinar lembut di telapak tangannya.
Harits tersenyum getir, ikut merasakan pilunya perpisahan kedua pasangan itu. "Nah, sekarang udah waktunya."
Nada yang sedari tadi memperhatikan Harits pun agak bingung dari mana asal kunang-kunang di telapak tangan Harits. Yang jelas, saat ini hujan semakin deras hingga membuat pemandangan di luar kafe berkabut.
Kunang-kunang itu terbang ke arah pintu Mantra. Lonceng di pintu berbunyi, meskipun pintu tak terbuka, dan tak ada siapapun yang masuk atau keluar.
"Tom, tolong urus sisanya," gumam Harits.
Tomo tersenyum. "Oke." Ia kemudian berjalan menuntun kunang-kunang itu menembus pintu dan berjalan menerobos kabut yang menyelimuti Mantra. Tak lama setelah kunang-kunang itu pergi, kabut pun perlahan hilang. Hujan juga perlahan berhenti, seolah telah selesai menangisi kepergian arwah barusan.
Keesokan paginya, sinar mentari pagi menyapu lembut sebuah rumah kecil. Di teras rumah itu, sebuah meja bundar dari kayu tua berdiri di samping jendela. Dahulu kala, meja itu sering digunakan untuk sarapan pagi, diisi dengan cangkir teh dan roti bakar yang dibuat dengan sepenuh hati. Namun, waktu merubah segalanya. Entah sejak kapan, meja itu tak lagi memiliki fungsi lain selain penghias beranda.
Hari ini, suasana terasa lebih teduh dari biasanya. Rerumputan hijau di halaman rumah itu masih agak basah, bekas sisa hujan semalam. Seorang wanita yang kini sudah berusia lanjut, melangkah keluar dari pintu rumah dengan langkah pelan dan hati-hati. Pagi yang cerah membawa semangat baru, namun juga menyimpan rasa nostalgia yang dalam perihal masa lalu. Ia mengikat rambutnya yang sudah memutih, sambil menatap ke sekeliling.
Di atas meja bundar, matanya menangkap kehadiran sebuah kotak musik yang berdiri di samping sepucuk surat. Mendapatkan mimpi bertemu almarhum suaminya semalam, ditambah melihat kotak musik di atas meja terasnya, alam seolah berbicara tentang cerita dari waktu yang telah berlalu. Wanita tua yang merupakan istri arwah semalam mendekati meja tersebut dengan rasa penasaran. Setiap detail di meja itu terasa akrab baginya, seperti bagian dari memori indah yang baru saja terbangkitkan kembali.
Wanita itu meraih kotak musik dari meja bundar, jari-jarinya lembut menyentuh permukaan halusnya. Dengan hati-hati, ia memutar tuas kecil di samping kotak musik. Lagu instrumental yang khas dari kotak musik mulai mengalun lembut, melodi dari 'Nothing's Gonna Change My Love For You' membuat kedua matanya berkedut dan berkaca-kaca. Aroma rindu mulai terendus.
https://youtu.be/I_Guk2Kbfck
Setiap nada yang dimainkan seolah membangkitkan kenangan indah yang perlahan memudar. Kemudian ia menatap surat di samping kotak musik tersebut, lalu membukanya perlahan. Aroma kertas dan tinta yang menempel di surat itu seakan membangkitkan kembali semua kenangan indah yang pernah ada.
Sayangku,
Aku ingin kau tahu betapa bahagianya aku saat kita bersama. Setiap waktu yang kita lalui adalah harta karun yang tidak ternilai harganya. Senyummu, tawamu, dan setiap detik yang kita habiskan bersama adalah kenangan terindah dalam hidupku. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa bersyukurnya aku telah kau pilih sebagai bagian dari hidupmu.
Maafkan aku yang hanya bisa membuatmu merindu, menatap wajahku dari balik bingkai foto. Aku menyesal karena aku tak bisa lagi berada di sampingmu, mendukungmu, dan berbagi setiap momen indah yang pernah kita ceritakan dan kita impikan. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku merasa bersalah atas waktu yang terbuang dan rencana yang tidak sempat kita capai bersama. Perpisahan ini adalah rasa sakit yang tak tertahan, dan aku hanya bisa berharap kau akan menemukan kebahagiaan di tempat yang lebih baik daripada yang bisa aku berikan.
Ketika lagu ini mengalun, biarkan itu menjadi pengingat bahwa cintaku untukmu tak akan pernah berubah sampai kapanpun. Aku meninggalkan kotak musik ini dan surat ini sebagai simbol dari semua yang belum sempat kuucapkan. Saat kau mendengarnya, ingatlah bahwa aku akan selalu mencintaimu, selamanya. Selamat tinggal, sayangku. Aku akan selalu berada di hatimu, seperti engkau selalu ada di hatiku.
Dari aku, pria yang paling mencintaimu.
Wanita itu menangis sambil memeluk sepucuk surat yang entah datang dari mana, ditemani lagu instumental dari kotak musik kecil. Entah itu berasal dari suaminya atau bukan, baginya perasaan dari surat itu tersampaikan dengan sempurna.
"Sekarang gimana?" tanya Tomo pada Harits yang berdiri di depan pagar, bersembunyi sambil mencuri-curi pandang ke arah teras rumah. "Rasanya pasti nyesek."
"Ya enggak gimana-gimana, dia harus ikhlas. Enggak semua orang punya kesempatan buat ngasih ucapan terakhir. Wanita itu beruntung," balas Harits. "Meskipun udah berlalu lama, tapi dia beruntung pernah dicintai pria sebaik itu."
"Makasih, Rits. Udah bantuin arwah itu buat tenang," ucap Tomo tersenyum. "Kamu mirip ayahmu."
"Cuma lagi mood aja, jangan samain sama dia. Lagian juga ...." Harits melangkah pergi dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam kantong celana.
Tomo memicing bingung. "Lagian juga apa?"
Harits sejenak menghentikan langkahnya dan mendongak ke arah langit pagi yang cerah. 'Sesuatu yang hilang selalu punya cara sendiri untuk kembali.'
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top