67 : Takdir Satir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Nada melangkah menyusuri koridor kampusnya, Instiper. Suasana kampus pagi ini agak sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tampak sibuk di laboratorium atau duduk di taman kampus. Gadis dengan kemeja putih dibalut vest hitam, lengkap dengan rok hitam itu berhenti sejenak di depan papan pengumuman yang dipenuhi dengan informasi tentang seminar dan ujian mendatang. Matanya tertuju pada sebuah poster pengumuman seminar tentang teknik terbaru dalam perlindungan tanaman yang diadakan dan diisi oleh jurusannya.
Nada selalu datang sendirian dengan terpaksa. Ia merasa pengetahuan akademisnya tidak sebanding dengan teman-teman sejurusannya yang terlihat lebih percaya diri dan bisa berbicara luwes perihal topik-topik yang terbilang kompleks.
Dengan ekspresi tak bersemangat, Nada melanjutkan langkahnya menuju ruangan Kaprodi. Setiap kali ia melewati kelompok mahasiswa yang berdiskusi dengan antusias, ia merasa canggung. Suasana seperti itu sering kali membuatnya merasa terasingkan. Bagi seorang Nada Regina Mahatama, interaksi sosial dan diskusi kelompok adalah hal yang menakutkan.
Langkah gadis itu berhenti tepat di depan ruang Kaprodinya. Dengan jantung berdebar, Nada mengetuk pintu tersebut dengan tangannya yang terbalut sarung tangan hitam, lalu memasukinya. Ruangan itu cukup sederhana dengan beberapa meja kerja yang dipenuhi oleh buku-buku, jurnal ilmiah, dan pot tanaman hias kecil.
Seorang pria paruh baya kisaran usia lima puluh tahun duduk di ujung ruangan sambil menoleh ke arah pintu saat terbuka.
"Masuk, Nada," ucapnya ramah sambil tersenyum.
Dosen itu bernama Riza, rambutnya sudah agak beruban. Ia mengenakan kemeja biru tua. Saat ini Pak Riza tampak sedang membaca sebuah laporan.
"Saya mau bimbingan, Pak," ucap Nada.
"Saya sudah tunggu-tunggu kamu," balas pria itu. "Tinggal kamu saja yang nol jumlah kehadiran bimbingannya, yang lain sudah ada yang dua sampai tiga kali datang bimbingan."
Nada melangkah masuk dengan rasa gugup dan duduk di kursi yang disediakan di depan meja Pak Riza. Sambil membuka tasnya, ia mengeluarkan sebuah kertas yang telah ia persiapkan beberapa hari ini, lalu meletakkannya di atas meja dosen tersebut.
Pak Riza mengambil kertas itu dan membacanya. "Penerapan Teknik Perlindungan Tanaman Terpadu pada Tanaman Sayur dalam Konteks Pertanian Berkelanjutan." Pria itu menghela napas pelan. "Judul kamu umum banget, Nada. Apa latar belakangnya?"
"Itu ada di lembar selanjutnya, Pak. Saya coba menjelaskan pentingnya teknik perlindungan tanaman buat memastikan hasil pertanian yang berkelanjutan," jawab Nada.
Pak Riza membalik lembaran kertas yang Nada bawa, lalu membaca latar belakang yang ditulis gadis itu. "Saya paham niat kamu, tapi menurut saya ini masih kurang dalam. Judul sama latar belakangnya masih terlalu luas dan belum mengarah pada masalah spesifik yang bisa diteliti secara detail."
Nada terdiam, wajahnya terlihat cemas. Keringat-keringat nakal mulai bercucuran, seolah tak peduli bahwa ia sedang berada di ruangan ber-AC.
Pak Riza meletakkan kertas tersebut di meja dan menghela napas sambil menatap Nada. "Pertama-tama, kamu persempit fokus penelitian kamu, Nada. Coba pilih aspek tertentu dari teknik perlindungan tanaman yang belum banyak diteliti atau punya potensi untuk memberikan kontribusi baru dalam bidang ini. Misal, kamu ...."
Disela-sela Pak Riza berbicara dan memberikan masukan, di saat itu pula Nada merasa waktu seolah bergerak lambat. Suara dosen itu tak terdengar di telinganya, digantikan oleh bisikan-bisikan kecemasan. Mendadak ia merasa pusing disertai detak jantung yang berdebar kencang.
"... jadi kira-kira begitu, Nada. Sampai sini ada pertanyaan?" tanya Pak Riza.
Waktu kembali bergerak pada tempo normal. Nada menatap wajah dosen pembimbingnya dan mencoba memaksakan senyum. "Enggak ada kok, Pak. Terima kasih atas saran dan masukannya."
Pak Riza mengangguk. "Oke, kalo gitu sampai di sini saja bimbingan untuk hari ini, saya tunggu kamu di bimbingan selanjutnya. Semoga kamu dapat judul yang bagus."
Nada berdiri dan mengumpulkan kembali kertas-kertasnya dengan tangan gemetar. Ia melangkah keluar dari ruang dosen, meninggalkan Pak Riza yang kembali tenggelam dalam laporan-laporannya.
Setelah keluar dari ruangan, Nada bersandar di dinding sebelah pintu sambil menghela napas berat, lalu melangkah dengan lemas menuju taman kampus. Udara pagi yang sejuk memberikan sedikit ketenangan di tengah rasa cemasnya. Gadis itu memilih tempat duduk di bawah pohon rindang, duduk dengan kaki bersila di atas rumput, dan meletakkan tas di sampingnya.
Nada menatap daun-daun yang bergerak lembut tertiup angin dengan mata berkaca-kaca, rasanya ia ingin menangis, tapi belum saatnya karena malu udah gede masa nangis hiyahiyahiya. Yang jelas, saat ini gadis itu sedang merasa tertekan dan bingung harus memulai dari mana lagi.
Tak lama kemudian, seorang gadis muda dengan almamater kampus muncul dan menghampiri Nada. Ia duduk di sebelah Nada dengan senyum lebar di wajahnya.
"Sendirian aja, Kak?" tanya Pita, adik tingkatnya yang berada dalam satu angkatan di Mapala Kapataka.
Nada memaksakan senyum, meski tampak jelas dari matanya bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. "Kan biasanya juga begini," ucap Nada.
"Iya sih, tapi sendiri sama merasa sendirian itu beda loh, Kak Nad," sahut Pita. "Kalo sendiri itu ya emang karena enggak ada orang lain di sekitar kita, tapi kalo merasa sendirian itu, bisa terjadi bahkan di saat kita lagi di tengah keramaian orang."
Nada terdiam tak memiliki komentar untuk Pita. Entah tak punya atau hanya malas saja. Tidak butuh alasan untuk diam dan tidak bicara, bukan?
"Raut muka Kak Nad itu gampang dibaca tau, karena punya base yang datar. Jadi kalo berubah dikit udah kebaca ekspresinya, entah lagi seneng atau lagi sedih. Kalo kakak butuh temen ngobrol, cari Pita aja ya, Kak Nad. Kadang ngobrol itu bisa bantu ngeringanin beban tau. Kalo Kak Nad mau cerita, Pita ada kok."
"Justru itu, Pita ... entah harus mulai dari mana rasanya bingung. Yaaa—karena emang enggak tau mau cerita apa," balas Nada. Wajahnya menunduk menatap rerumputan dari celah kakinya. "Cuma takut kalo semua usaha selama ini sia-sia, takut ngecewain dan enggak bisa jaga harapan orang-orang di sekitar."
"Menurut Pita ya, Kak, kadang kita sebagai manusia emang perlu ngerasa gitu sih, Kak Nad. Ngerasa bingung, ngerasa semua usaha kita sia-sia, ngerasa takut ngecewain orang-orang di sekitar kita. Tapi bukan berarti kita harus nyelesain semua masalah-masalah itu sendirian. Meskipun orang-orang di sekitar kita enggak bisa bantu nyelesain masalah-masalah itu secara harfiah, tapi seenggaknya, saat kita merasa ada seseorang yang selalu ada di samping kita dan memihak kita aja, rasanya udah cukup buat ngerti, kalo kita enggak sendirian dalam perjalanan ini. Kadang, dukungan dan kehadiran seseorang itu lebih berarti daripada solusi konkret. Kalo rasanya berat, berarti kita udah ada di jalur yang benar. Ada tantangan besar, itu pasti dan harus. Karena tanpa proses yang berat, kita enggak akan jadi versi diri kita yang lebih baik dari hari kemarin."
Nada menghela napas panjang, meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Pita. Meski agak menampar, kata-kata tersebut banyak benarnya. Nada perlahan mengangkat wajahnya dan memandang Pita dengan senyum tipisnya. Ia hendak berterima kasih, tetapi ...
"Ah! Pita lupa!" seru anak itu.
"Kenapa, Pita?" tanya Nada.
Pita bangun dari duduknya sambil membersihkan rumput-rumput yang menempel di celananya. "Pita ada kelas, Kak! Kabur dulu deh."
Nada tertawa melihat Pita yang sesekali lebih ceroboh darinya. "Ya udah sana, sebelum makin telat."
"Oke, oke." Pita hendak pergi meninggalkan Nada.
"Pita," panggil Nada lagi.
Pita menghentikan niatnya sejenak dan menyempatkan diri menoleh ke arah Nada kembali. "Ya, Kak?"
"Makasih banyak ya buat pagi ini. Maaf kalo mulai sekarang, aku bakal banyak ngerepotin kamu. Enggak apa-apa, kan?"
Pita tersenyum. "Aku tunggu cerita-cerita Kak Nada, ya." Kini ia memutar arah dan melanjutkan langkah, pergi meninggalkan Nada.
Di sisi lain Nada merogoh tasnya dan mengambil ponsel. "Tapi maaf ya Pita, kamu cuma jadi orang kedua. Karena aku punya seseorang yang selalu ada di samping aku, dari dalam kandungan." Ia menghubungi kembarannya, Melodi.
Melodi menjawab panggilan Nada. "Halo, Nad, kenapa?"
"Nanti malem aku mau banyak cerita hehehe," ucap Nada dengan senyum di wajahnya.
"Harus banget malem ini?" tanya Melodi. "Lain kali aja deh. Aku malem ini enggak pulang dulu, mau nginep di kosannya Zara buat ngulik musik bareng dia, maaf ya, Nad."
Senyum itu langsung luntur dari wajah gadis yang masih duduk sendirian di taman kampusnya. "Oke deh kalo gitu, lain kali aja. Maaf kalo enggak bisa bantu kamu ya, Melo."
"Santai, Nad, bukan salah kamu kok. Kita kan emang beda jurusan, wajar kalo kamu kurang ngerti musik. Ya udah, aku matiin ya, masih agak padet nih di kampus. Kalo kamu takut tidur sendiri, minta temenin Mbak Maya aja dulu ya, Nad. Byeeee."
Panggilan itu berakhir. Nada menatap layar ponselnya dengan getir yang pada akhirnya tertumpuk di bibir menjelma senyum satir. Takdir memang begitu, terkadang memelintir.
"Seharusnya kamu tanya ... gimana bimbingan pertama kamu, kan?" lirih Nada yang mengharapkan bahwa setidaknya ada satu orang di antara seluruh manusia yang tidak pernah membuatnya merasa sendiri seperti saat ini.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top