65 : Tertinggal

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Perpustakaan Kota Yogyakarta selalu memiliki aura tenang yang memikat. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh rak-rak buku yang tinggi, menyimpan harta karun pengetahuan dari berbagai zaman. Suara lembaran kertas yang dibalik dan desahan napas para pembaca menjadi musik latarnya.

Deva berjalan pelan di antara rak-rak buku tersebut. Hari ini ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans biru gelap dan sepatu sneakers hitam. Rambut gondrongnya terikat rapi. Di pundaknya tergantung tas selempang berwarna cokelat bermerk Martawangtas.

Saat sedang sibuk mencari buku, tiba-tiba ia merasakan aura kehadiran seseorang dan refleks menoleh. Matanya menangkap kehadiran Chica yang sedang berdiri di ujung rak, sedang memandangi deretan buku. Chica mengenakan blus putih dengan renda halus di bagian leher dan lengan, dipadukan dengan rok panjang berwarna biru laut. Sepatu flat berwarna krem melengkapi penampilannya.

Deva terdiam sesaat, seperti terhipnotis oleh penampilan Chica pagi ini. Mungkin karena merasa diperhatikan, gadis itu menoleh balik ke arahnya. Pandangan dua manusia itu bertemu dan saling berlabuh di bola mata masing-masing.

Chica mengerutkan kening. "Loh, Deva?"

"Halo," sapa Deva. "Kamu ngapain di perpus?"

"Cari sesuatu," jawab Chica dengan sedikit senyuman. "Kalo kamu? Emang sering ke perpus?"

"Oh, enggak sih, cuma lagi nyari referensi buat skripsi aja," balas Deva. "Ngomong-ngomong, sesuatu yang kamu cari tuh buku apa? Biar aku bantu cari."

'Sesuatunya bukan buku, tapi kamu, Dev.' Batin Chica.

"Eh ... apa, ya? Random aja ... sih ..." Chica tampak berpikir. "Mungkin ... buku-buku seni buat inspirasi teknik baru ngewarnain gambar," jawab Chica sambil mengangkat buku sketsa yang dibawanya.

Deva mendekat dan mulai melihat-lihat rak di sekeliling mereka. "Coba kita cari bareng-bareng, siapa tau nemu yang bagus."

"Kalo kamu cari buku apa? Nanti kalo ketemu aku ambilin buat kamu," ucap Chica.

"Tentang sejarah perang Jepang, aku lagi mau riset tentang Masamune Date sama Yukimura Sanada."

"Emang, niatnya mau ngambil judul apa deh?" tanya Chica.

"Pengaruh tokoh-tokoh sejarah perang Jepang terhadap karya sastra modern, aku ambil studi kasusnya Masamune Date sama Yukimura Sanada," jawab Deva.

"Ahhh, i see."

"Kamu tau dua tokoh itu?" tanya Deva.

"Pernah main game jadul bekas orang tua dulu sih, nama game-nya Sengoku Basara 2 sama Samurai Warrior, yaaa—tentang perang di Jepang gitu deh, mereka berdua jadi karakter yang lumayaan kuat."

Mereka berdua mulai mencari bersama, suasana yang awalnya sunyi berubah menjadi lebih hangat dengan obrolan ringan. Deva merasa nyaman dengan kehadiran Chica, sementara Chica merasa senang bisa membantu Deva. Di tengah pencarian itu, mereka sering bertukar senyum dan tawa kecil.

***

Setelah beres dengan urusan mereka, Deva dan Chica melangkah keluar dari perpustakaan dengan perut keroncongan.

"Makan yuk, aku belum makan dari pagi," ucap Deva.

"Yuk," balas Chica. "Sama nih, aku juga enggak sempet sarapan."

Di luar perpustakaan, matahari yang cerah mulai memudar digantikan oleh awan mendung. Langit yang tadinya tenang berubah gelap dan riuh, hujan deras turun dengan tiba-tiba.

"Yah, Cha, ujan."

Chica menatap langit yang sedang menangis. "Mau gimana lagi, kita neduh dulu aja."

Saat berdiri di depan perpus, mereka menatap ke sebrang jalan. Di sana ada sebuah kafe, cocok untuk menghabiskan waktu dan membunuh lapar.

"Di depan ada kafe sih, tapi ke sananya itu loh, ambyar," ucap Deva.

Chica tiba-tiba saja mengeluarkan payung dari tasnya dan membuka payung tersebut. Payung itu berwarna biru tua dengan pola bunga putih, cukup besar untuk melindungi mereka berdua dari hujan.

"Aku ada payung sebenernya, tapi cuma satu," kata Chica. "How?"

"Kamu pilih aja, mau neduh di sini apa mau ke sana." Deva menunjuk kafe di sebrang jalan.

Chica tersenyum. "Kamu yang pilih, Dev, aku ikut."

Deva meraih gagang payung milik Chica. "Kalo gitu, ayo kita ke sebrang sama-sama."

Chica merapatkan dirinya menempel pada Deva. "Satu."

Deva tersenyum. "Dua."

"Tiga," sambung Chica.

Setelah hitungan ketiga, mereka berjalan di bawah payung yang sama, menghindari cipratan air hujan dengan langkah senada. Saat berjalan, tak sengaja mereka saling beradu pandang. Waktu seolah melambat untuk Deva dan Chica.

Payung biru tua milik Chica menciptakan sebuah zona nyaman di tengah derasnya hujan. Gelak tawa kecil dan senyuman tipis menjadi bumbu tambahan dalam perjalanan singkat itu.

"Suka hujan, Dev?" tanya Chica sambil memandang ke arah hujan yang turun.

"Kadang suka, kadang enggak," jawab Deva sambil tersenyum. "Enggak suka karena kadang bikin repot kayak gini nih."

"Kalo sukanya?" tanya Chica.

"Sukanya karena ... romantis kayak gini juga," jawab Deva. "Kalo kamu? Suka hujan?"

Chica tertawa kecil. "Hmm, kadang suka, kadang enggak suka juga sih. Enggak sukanya kaalo lagi kebetulan di luar kayak gini nih."

Deva terkekeh. "Sukanya?"

"Sukanya kalo ada yang nemenin, kayak gini juga nih," jawab Chica.

Mereka terus berjalan. Setiap kali Deva mempercepat langkahnya untuk menghindari genangan air, Chica sedikit menempel pada dirinya, membuat keduanya semakin dekat. Begitu mereka tiba di depan kafe, mereka berhenti sejenak di bawah payung. Chica mengangkat pandangannya dan menatap Deva yang juga menatapnya.

Setelah beberapa detik beradu tatap, keduanya saling membuang tatap dengan cepat, wajah mereka memerah.

Deva meletakkan payung di teras kafe, lalu membukakan pintu untuk Chica. "Yuk masuk." Pria itu mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan mereka yang baru saja terjalin.

Chica mengangguk dengan senyum malu. "Ayo."

Aroma kopi dan kue langsung menyambut mereka. Kafe itu didekorasi dengan nuansa hangat dan minimalis. Dindingnya dipenuhi dengan panel kayu berwarna cokelat muda, sementara lampu-lampu gantungnya di desain modern memberikan cahaya lembut yang menyebar di seluruh ruangan. Meja-meja kayu gelap dengan kursi-kursi empuk yang nyaman menghiasi ruang utama kafe tersebut.

Chica dan Deva memilih meja di dekat jendela, mereka ingin menikmati pemandangan hujan yang turun perlahan. Kedua manusia itu duduk berhadapan.

Setelah memesan menu, mereka tak saling bicara seperti sebelumnya. Hanya memandang ke luar jendela sambil sesekali saling kejar-kejaran lirikan, menunggu pesanan mereka tiba. Suasana di dalam kafe terasa tenang, dengan suara mesin kopi yang berdengung lembut dan suara lirih hujan di luar. Keadaan seperti itu berlangsung sampai makanan mereka tiba.

Setelah beberapa saat menikmati makanan dan minuman, Deva menatap Chica. "Kamu ... hari ini lucu." Wajah Deva memerah. "Aku suka."

"Hah?!" Wajah Chica ikut memerah. "Su-suka gimana?"

"Eh, maksudnya--suka tone warna outfit kamu, lucu aja gitu, pas sama kamu," kata Deva canggung.

"Makasih, Dev," balas Chica malu-malu. "Kamu juga keren."

"Mungkin karena kamu anak seni dan suka ngomik kali ya, jadi pemilihan warna kamu emang bagus."

Chica tampak berpikir. "Mungkin."

Keadaan mendadak hening kembali. Deva menatap hujan di luar jendela sambil menghela napas.

"Kadang aku mikir, warna-warna yang kita pilih dalam keseharian kita, kayak misal berpakaian, itu bukan cuma sekadar pilihan atas dasar estetika aja," ucapnya sambil mengaduk kopi. "Tapi cerminan gimana kita ngerasa atau gimana kita mau dikenal."

Chica mengangguk pelan. "Setuju. Warna itu kayak bahasa non-verbal yang bisa ngungkapin banyak hal tanpa harus diucapin. Misalnya, warna biru yang aku pakai hari ini, bisa jadi nunjukin suasana hati yang tenang?"

Tiba-tiba terbesit wajah Cakra di pikiran Deva. 'Pantes dia bisa baca orang lewat aura. Aura juga punya warna, kan?'

"Eh iya, Dev, aku penasaran, menurut kamu penampilan aku hari ini gimana sih?" tanya Chica.

Deva yang sedang menatap hujan di luar jendela, seketika beralih pandang ke arah Chica. Matanya meneliti setiap detail penampilan gadis itu. "Hmm ... kalo aku perhatiin sih, warna biru laut yang kamu pake hari ini cocok sama kamu, enggak tau ya, kayak--lucu aja gitu, enak dipandangnya."

Chica tersenyum malu. "Pantes kamu liatin terus dari tadi."

Deva terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak merasa gatal. "Duh, ketauan ya. Abisnya ketangkep mulu sih sama mata kamu."

Chica ikut tertawa. "Padahal aku enggak cantik."

"Cantik kok, cantik," balas Deva. "Tapi enggak tau ya, hari ini kayak ada magnetnya gitu. Emang ya, warna biru itu sejuk dipandang kalo dipake sama orang yang tepat. Di Mantra ada yang suka pake warna biru juga, tapi gitu dah, orangnya agak absurd."

"Oh, yang barista itu, ya?"

Deva mengangguk. "Iya, namanya Harits."

"Kalo gitu, makasih pujiannya ya, Dev. Apa aku harus sering-sering pake warna biru? Biar diliatin sama se-o-rang Deva Martawangsa terus?" tanya Chica.

Deva hendak membalas, tetapi refleks ia terdiam dengan mulut setengah terbuka. Kedua matanya berkedut, menyaksikan tayangan masa depan yang tiba-tiba muncul di depannya, mengaburkan waktu yang seharusnya. Perlahan senyum pilunya muncul.

"Jangan," ucap Deva.

Chica memicing heran. "Jangan? Jangan apa?" tanya Chica.

"Takut suka nanti," balas Deva memaksakan senyumnya.

Chica tersenyum. "Kalo suka beneran juga enggak apa-apa."

"Enggak bisa." Deva bangkit dari duduknya. "Enggak boleh."

Chica berusaha berpikir. "Eh, apa abis KKN diem-diem kamu udah punya pacar, kah? Kalo gitu maaf ...."

"Enggak," jawab Deva. "Aku enggak punya pacar, dan enggak akan pacaran sama siapa-siapa."

Chica ikut bangun. "Dev ...."

"Aku bukan cowok yang bodoh, aku nangkep kode kamu, terserah kalo mau ngelak, it's oke." Deva memotong Chica yang hendak bicara.

"Kamu ... kenapa, Dev?" tanya Chica yang bingung dengan perubahan pria itu.

Deva kembali menampilkan senyum penuh getirnya sambil membayangkan senyum Melodi. "Aku belum dewasa, masih kekanak-kanakan dan karena itu aku kehilangan seseorang yang berharga." Deva memejamkan matanya dan menatap wajah Jashita dalam kegelapan. "Aku masih egois dan belum berubah, cuma bisa mikirin diri sendiri. Karena itu juga, lagi-lagi aku kehilangan orang yang penting buat aku."

"Dev, kalo kamu ada masalah cerita aja," ucap Chica yang mendekat dan hendak meraih lengan Deva.

Namun, Deva menarik tangannya dan menatap Chica dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Udah cukup aku nyakitin hati seorang gadis, Cha. Aku ini predator perasaan. Aku belum siap kehilangan lagi." Suara Deva bergetar, seolah setiap kata yang diucapkannya merupakan sebuah pengakuan yang menyakitkan.

"Tapi, Dev, kamu enggak harus nyimpen semua masa lalu kelam itu sendirian." Chica menggigit bibirnya, tak tahu harus berbuat apa. "Kadang, berbagi masalah itu bisa bikin beban terasa lebih ringan. Oke, aku ngaku, aku sering merhatiin kamu di Mantra, dan tanpa sadar tujuan ku ke sana berubah. Bukan lagi buat nyari suasana, atau inspirasi, tapi nyari kamu dan berharap bisa ngobrol. Aku suka waktu-waktu kita ngobrol bareng, tentang ide cerita komik, tentang cerita kamu, tentang guyonan kamu dan tentang segala hal, apapun itu."

Deva hanya bisa terdiam mendengar ucapan gadis itu. Bukannya tak ada rasa, Deva pun punya perasaan yang sama. Diam-diam ia mulai suka dengan Chica, entah sejak kapan, ia pun tak sadar. Namun, prekognisi yang barusan muncul adalah sebuah momen di mana wajah gadis itu sedang menangis tersedu-sedu, seolah terluka sangat dalam. Membayangkan air mata Chica yang tumpah membuat Deva merasa bersalah, meskipun saat ini kejadian tersebut belum terjadi.

 "Kalo kamu masih belum yakin, pelan-pelan aja. Kita cari sama-sama bahagia yang hilang itu. Aku tau kamu baik, dan percaya enggak akan nyakitin aku."

"Kamu juga baik, Cha," balas Deva. "Dan banyak pria yang sama baiknya, bahkan lebih. Seseorang yang lebih pantes ada di sisi kamu ketimbang se-o-rang Deva Martawangsa."

Deva berjalan cepat melewati Chica menuju ke arah pintu. Chica memutar tubuhnya untuk mengejar Deva, tetapi gelagar petir disertai kilatan cahaya membuatnya menutup mata karena takut. Saat matanya terbuka kembali, Deva sudah tak berada dalam radar pengelihatannya.

Chica berlari kecil keluar kafe, dan menatap sekeliling. Namun, tak ia temukan hadir pria itu di mana pun sepanjang mata memandang. Lututnya mendadak lemas hingga membuatnya terduduk di lantai kayu yang dingin.

Seorang barista dari kafe itu menghampiri Chica yang terduduk lemas di lantai dengan mata berkaca-kaca. "Mbak, tenang aja, udah dibayarin kok makanan dan minumannya sama masnya yang tadi, jangan nangis ya."

Chica memejamkan matanya menahan sesak, tak peduli dengan bajingan aneh yang menyampaikan informasi perihal pembayaran bill.

'Aku tau, Dev, aku tau. Setiap kali aku ngeliat kamu di Mantra, aku bisa ngerasain ada luka yang tertinggal dalam diri kamu. Meskipun kamu berusaha nutupin itu semua, aku bisa ngeliat betapa dalamnya luka itu lewat bola mata kamu.'

'Aku enggak bisa janji buat selalu memahami semua luka yang kamu rasain, tapi aku bisa janji jadi pendengar setia dan pendukung kamu setiap kamu butuh seseorang buat berbagi luka itu.'

'Kita baru kenal sebentar, tapi rasanya aku udah kenal kamu lama ... kalo kamu takut buat aku terluka, kamu udah terlanjur nancepin luka itu. Saat aku enggak berdaya atas perih kamu yang masih tertinggal.'

***

Di sisi lain, Deva berdiri di atap sebuah bangunan kecil tak jauh dari kafe barusan, dengan topeng Tumenggung yang terpasang di wajahnya.

'Lebih baik kita terluka sekarang, daripada nanti, waktu perasaan kita semakin bertumbuh. Aku mau kamu, tapi aku sadar, kehadiranku mengancam. Enggak banyak perempuan yang dominan nunjukin perasaannya dan berani ngungkapin rasa sukanya duluan, kamu baik, makanya orang sebaik kamu enggak pantes terluka.'

'Ada bagian dari masa laluku yang masih tertinggal, dan menghantui setiap langkah yang aku tapaki. Aku takut, aku takut bayangan-bayangan lama itu nyakitin kita berdua.'

'Aku enggak mau jadi alasan kamu ngerasain sakit. Aku masih terjebak di masa lalu itu, dan aku takut kamu terperangkap dalam kesedihan yang sama.'

Deva berdiri tegap meskipun dikeroyok rinai hujuan hingga seluruh pakaiannya basah kuyup. Kedua tangan pria itu bersembunyi di dalam kantong celananya. Perlahan ia mendongak ke arah langit mendung.

"Sial ...," gumamnya lirih. "Tas gua ketinggalan."

.

.

.

TBC

https://youtu.be/3LBViQkGjlg


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top