64 : Resah dan Rindu
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Malam telah larut, hanya tersisa beberapa bintang di langit Mantra. Sang Jendral Dapur duduk di kursi favoritnya, memandangi ruangan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Mantra Coffee lebih dari sekadar kafe baginya, bagi Harits tempat ini adalah rumah.
Suara denting gelas dan piring terdengar sayup-sayup, seiring langkah kaki Nada yang sedang membereskan sisa-sisa keramaian hari ini. Harits menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan keresahan yang merayap di hatinya.
"Bentar lagi lulus, terus abis itu ... apa?" gumamnya lirih sambil bersandar di tembok dapur, tenggelam dalam lamunan tanpa dasar.
Ia menatap sekeliling, melihat setiap sisi dan sudut kafe yang penuh dengan bercak kenangan. Tempat di mana ia dan anak-anak Mantra sering menghabiskan waktu, bercanda, berdiskusi, bertengkar dan berbagi mimpi. Namun, seiring berjalannya waktu, datang pula pertanyaan besar tentang masa depan perihal nasib tempat ini.
"Harits," panggil Nada sambil mendekat membawa kursi, lalu duduk berhadapan dengan pria itu. "Kamu kenapa? Mikirin skripsi?"
"Skripsi ...." Harits menghela napas. "Banyak hal yang lebih runyam daripada begituan."
"Contohnya?" tanya Nada.
"Perasaan manusia," jawab Harits.
Nada mengernyitkan dahi. "Ngapain mikirin manusia?"
"Oh iya ya, ngapain ya? Itu kan tugas presiden," balas Harits.
"Oh iya?"
"Nyahahaha nih orang ngapa polos banget ya?" Harits menatap Nada. "Nad, minggir dikit dah."
Nada menggeser kursinya agak ke kanan. "Kenapa?"
"Jangan di depan aku kalo kamu bukan masa depanku nyahahaha."
"Tapi kan jodoh enggak ada yang tau, Rits," balas Nada. "Kalo tiba-tiba plot twistnya aku masa depan kamu gimana?"
Harits memicingkan mata. "Lu bukan Melodi, kan?"
Nada menggeleng dan memamerkan sarung tangan hitamnya.
"Ngomong-ngomong soal masa depan ... abis lulus kamu mau ngapain?" tanya Harits.
Nada berpikir, tetapi belum ada jawaban dalam kepalanya. "Entah. Kalo kamu?"
Ekspresi Harits berubah. "Di sini bagian rumitnya."
"Rumit kenapa?" tanya Nada bingung. "Ngomong sama kamu kayak nonton film misteri, Rits."
Keadaan mendadak hening. Harits terdiam sejenak, menatap lantai yang dingin. "Rumit karena ... aku enggak tau apa aku siap ninggalin Mantra, Nad. Tempat ini bukan cuma tempat kerja cari duit doang, tempat ini rumah. Tempat aku tumbuh ... tempat aku nemuin banyak hal ... tempat aku dapetin—keluarga baru. Mikirin semua bakal berakhir tuh kayak—kagak ikhlas."
Nada tersenyum tipis, lalu menatap Harits. "Aku juga ngerasa gitu, Rits. Tempat ini berharga buat aku, tapi hidup kan terus berjalan. Kadang kita harus ninggalin tempat yang kita cintai buat bisa maju."
"Ngerti, tapi tetep aja. Rasanya berat."
Tiba-tiba Nada teringat sosok anak kecil bernama Opi yang ia temui di Mantra Coffee Maguwo, bekas bangunan kafe lamanya sebelum pindah ke Kaliurang atas.
"Bukan cuma kita yang sedih, Rits, tempat ini juga sedih. Kehilangan kita semua di sini. Enggak ada lagi tawa, enggak ada lagi canda, enggak ada lagi kehadiran kita yang jadi nyawa bangunan ini."
"Ya gitu dah." Harits bangkit dan hendak pergi, tapi Nada melebarkan kakinya, menahan Harits agar tidak melangkah lebih jauh.
"Rits, udah malem, sekarang tinggal kita berdua di sini, yang lain udah pada balik ke kamar masing-masing," kata Nada.
"Terus?"
"Ini dapur belum beres, jangan kabur dulu. Aku udah cuci piring, kamu belum selesai bersihin mesin." Nada menepuk bahu Harits. "Tolong beresin dulu ya, aku duluan." Nada berjalan ke arah pintu keluar, sebelum pergi ia kembali menoleh. "Rits, hati-hati ya ... banyak setan hihihi."
Harits menatap Nada yang berjalan keluar dan melangkah ke rumah belakang. Ia menghela napas lalu menatap Hara dan Tomo yang duduk di depan bar.
"Kalo dua tuh banyak apa dikit?" tanya Harits pada kedua arwah itu.
"Banyak mungkin," jawab Tomo.
Harits berjalan ke mesin kopi, tetapi bukannya membersihkan, ia malah mengambil tiga gelas dan mulai membuat kopi. Tomo dan Hara mungkin bukan manusia, tapi mereka adalah teman-teman yang setia menemani Harits. Setelah kopi selesai dibuat, ia meletakkan tiga gelas tersebut di meja bar.
"Nih, kopi, biar tidur nyahahaha," ucap Harits.
"Andis, Ajay, Tama, sama Dirga pernah ngelewatin fase ini," sahut Tomo. "Mereka berpencar ke jalan mereka masing-masing. Berbeda sama kami yang mati, hidup itu terus berjalan. Kadang, kita harus merelakan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik."
"Duh, diceramahin mayat," celetuk Harits sambil mengorek telinga kirinya. "Enak ya jadi arwah, enggak usah mikirin masa depan nyahaha."
"Itu bedanya yang mati sama yang hidup. Yang mati enggak bisa ngelangkah ke depan, langkah mereka udah abis waktu nyawa tercabut dari raganya." Tomo tersenyum. "Kadang kita harus berani ngambil langkah besar, Rits. Tempat ini akan selalu jadi bagian dari kamu, ke mana pun kamu pergi."
Harits tersenyum sambil menghela napas. "Kenapa hidup itu harus ninggalin sesuatu dulu buat dapetin sesuatu yang baru?"
"Ibarat pohon yang menggugurkan daunnya di musim gugur supaya bisa menumbuhkan tunas baru di musim semi, terkadang kita juga perlu melepaskan hal-hal lama dalam hidup kita untuk memberi ruang bagi hal-hal baru yang lebih baik dan lebih segar. Tanpa perubahan dan pelepasan, pertumbuhan dan pembaruan enggak mungkin terjadi. Tanpa meninggalkan yang lama, enggak akan ada ruang buat yang baru," jawab Tomo.
Harits menatap kopi di depannya sambil merenungkan kata-kata Tomo. Ada kebenaran yang tak bisa ia pungkiri. Ia meneguk kopinya sampai habis, lalu bangun tanpa kata dan membereskan sisa-sisa minum serta mesin kopi.
Keeskokan harinya, matahari bersinar cerah, memeluk Jogja dengan sinarnya. Aroma kopi sangat kuat menghiasi Mantra Coffee. Cakra, Mbak Maya, dan Ippo yang berjaga hari ini.
"Kamu beneran mau resign bulan depan, Po?" tanya Mbak Maya.
Ippo tersenyum. "Sebetulnya masih mau di sini sih, Mbak, deket sama Melodi. Tapi, diajak ikut projek yang menggiurkan."
"Manusia kalo bicara harta, udah beda urusan," celetuk Cakra.
"Ada hati yang harus dipatenkan, Mas Cakra," balas Ippo. "Kemarin waktu ikut Melodi nonton konser klasik, udah nyampein sih ke dia kalo aku mau resign."
"Terus Melodi gimana?" tanya Maya.
"Aaaaaaa ... sedih sih, tapi mau gimana? Toh, dari dulu aku suka fotografi, jadi kebetulan ada kesempatan, aku mau coba ambil," jawab Ippo.
"Kalo nanti Ippo pergi, Rizwana tarik aja lagi, Cak," usul Maya.
"Coba nanti ditawarin, mau enggak dia gantiin Ippo. Soalnya kemarin kan dia cuma additional aja buat gantiin empat orang yang KKN," ucap Cakra.
Cring~
Di tengah percakapan itu, lonceng di pintu berbunyi. Tiga pasang bola mata itu menoleh ke arah pintu.
"Selamat datang di Mantra Coffee," sambut mereka ramah.
Pelanggan itu bergaya vintage dengan jaket jeans klasik, dipadu dengan kaus putih dan rok panjang berwarna krem. Rambutnya panjang diikat setengah. Sepatu kets berwarna putih melengkapi penampilannya yang tampak effortless namun penuh gaya. Pelanggan itu adalah Chica.
Chica menatap ke arah Maya dengan senyum tipis. "Mbak biasa ya."
"Oke, Citrus Coffee sama onion ring satu?" balas Maya sambil mencatat pesanan.
Chica tersenyum. "Nice."
Maya pun segera membuatkan pesanan tersebut.
Di sisi lain, Cakra melirik ke arah Chica yang duduk di sudut kafe. Dari gelagatnya, terbaca bahwa gadis itu sedang mencari seseorang. Celingak-celinguk sembarang arah, berharap menemukan sebongkah hadir.
'Sayangnya yang kamu cari enggak ada di sini, Mbak.' Batin Cakra.
Cakra menunggu momentum. Begitu pesanan selesai dibuat oleh Maya dan Ippo, Cakra segera mengantarkannya pada Chica.
"Ini pesanannya ya, Kak," ucap Cakra. "Ada tambahan?"
"Cukup, Mas, ini dulu aja," balas Chica.
"Oh iya hampir lupa, dapet salam dari Deva," ucap Cakra berbohong.
Chica memicing. "Kok bisa dapet salam?"
Cakra mengangkat bahu. "Entah, dia cuma bilang kalo ada cewek yang pesen citrus coffee, tolong kasih salam. Dan di sini menu itu bukan signature, jarang yang beli. Cuma kakak yang konsisten beli menu itu sih, jadi kemungkinan saya salah orang agak tipis."
Chica tersenyum. "Salam balik buat Deva."
Setelah itu Cakra berjalan pergi. Ia menatap ke arah Ippo, lalu berbicara agak kencang seolah sedang berbincang dengannya, padahal memberikan informasi perihal keberadaan Deva pada pelanggan manisnya.
"Heh, Po, baru inget sekarang. Kamu kan lagi nyari Deva, belakangan ini dia sering nongkrong di perpustakaan kota. Dia bilang lagi nyari inspirasi buat skripsinya," ucap Cakra dengan suara agak keras, cukup untuk didengar Chica.
Ippo memicing. "Aaaaaa ...."
Maya menyenggol pinggang Ippo dengan sikunya, wanita itu cukup peka dan menyadari kode Cakra. Maya pun sadar bahwa gadis itu sering ke sini hanya untuk memburu senyum Deva.
"Iya, katanya kamu lagi nyari Deva, Po? Kebetulan banget tuh," ucap Maya.
Ippo terbelalak, menyadari maksud dan tujuan kedua rekannya. "Se-serius? Wah nanti pulang kerja aku susul deh," jawab Ippo mengikuti permainan Cakra.
Chica tersenyum sesaat sebelum menyeruput kopi citrusnya. Seperti biasa, ia mengeluarkan tab dari tas kecilnya, lalu mulai menggambar dengan gelagat gembira.
Di sisi lain, Maya menghampiri Cakra. "Cak, kamu emang paling bisa ngebaca orang ya."
"Bukan karena bisa baca orang juga sih, tapi terkadang tuh ada beberapa kasus di mana tulisan itu emang muncul sendiri. Tanpa kita berusaha pun, tulisan itu jelas terbaca."
"Contoh kasusnya?" tanya Ippo yang juga penasaran.
Cakra tersenyum. "Saat seorang manusia merindukan manusia lainnya."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top