63 : Konser Klasik
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
"Seperti cahaya yang kau padamkan, kau tinggalkan ku dengan kesepian. Terlintas di benak untuk melawan tuk hapus kesedihan."
Hilang Harapan dari Stand Here Alone mengudara di Mantra Coffee, dibawakan oleh dua gadis cantik Rekustik, Melodi dan Zara. Suara mereka teduh di telinga, diikuti petikan gitar yang menghangatkan malam dingin.
Selesai membawakan lagu terakhir, Melodi dan Zara turun dari panggung kecil di sudut Mantra. Mereka duduk di salah satu meja kosong sambil berbincang. Setelah beberapa saat, Melodi membuka laptopnya.
"Lu jadi mau ngulik apaan buat skripsi sama TA, Mel?" tanya Zara.
"Gue sih kepikiran buat riset seputaran rock atau metal, Ra. Tapi gue juga bingung, takutnya terlalu umum," kata Melodi sambil memijat pelipisnya. "Gue mau yang anti-klise."
Zara menatap Melodi dengan tampang serius. "Rock-metal? Emang apaan sih yang bikin lo tertarik sama genre gituan?"
"Apa ya? Mungkin energi sama pemberontakan dalam lirik-liriknya sih," jawab Melodi. "Maybe gue bakal riset tentang perkembangan musik rock dan metal di Indonesia, atau mungkin pengaruh budaya lokal dalam musik rock,"
Saat mereka asik berdiskusi, Nada datang membawa secangkir americano dingin untuk Zara dan juga milkshake vanilla untuk kembarannya, lalu meletakkannya di atas meja.
"Makasih, cantik," ucap Zara memuji Nada.
"Sama-sama. Makasih juga, Ra," celetuk Melodi yang wajahnya mirip dengan Nada.
"Bukan lo, tapi kembaran lo," balas Zara.
"Biarin, mirip," sahut Melodi.
Nada tersenyum membalas pujian Zara, lalu berjalan kembali menuju dapur. Perlahan senyumnya pudar menyendu, setiap langkah gadis itu penuh beban yang berat. Melodi yang sudah mencuri start perihal skripsinya membuat Nada gelisah. Bukannya tidak senang karena kembarannya lebih cepat, ia hanya gelisah dengan perasaan 'tertinggal' nya.
Bukan hanya Melodi, Deva dan Harits pun sesekali terlihat asik dengan laptopnya di tengah kesibukan mereka bekerja, meriset tipis-tipis untuk kebutuhan skripsi dan tugas akhir mereka. Di sisi lain, Nada belum memulai sama sekali.
Nada terlihat murung, ia menghela napas, lalu berjalan keluar dari dapur. "Aku cari angin dulu," ucap Nada pada rekan sedapurnya, Harits.
Harits memberikan jempolnya, ia sedang cosplay Nada. Pria itu duduk dengan fokus di kursi depan bar sambil membaca sebuah artikel.
Nada melepas apronnya dan melangkah keluar kafe, ia duduk di bangku taman yang ada di area outdoor Mantra Coffee. Daun-daun di pohon bergoyang dibelai angin sepoi, rasanya sejuk. Namun, rasa sejuk ini perlahan menjelma dingin yang menusuk, rasa dingin yang lahir dari rasa kesepian. Nada mengusap lengannya dengan tangan berbalut sarung tangan hitam.
Sejenak ia menatap langit gelap sambil menghela napas panjang. Suara gemerisik angin seolah mencoba menenangkan hatinya yang resah, takut ditinggalkan.
Dari dalam kafe, Cakra memandang gadis itu. Sedari tadi ia memperhatikan gelagat Nada yang aneh. Ia pun berjalan meninggalkan posisinya, mengingat malam ini tak begitu banyak pengunjung.
"Hei," sapa Cakra. "Are you okay?"
Nada menoleh, terkejut dengan kehadiran Cakra yang tiba-tiba muncul. "I'm fine," balas Nada, "cuma butuh udara seger aja."
Cakra duduk di samping gadis itu, ia diam sejenak sambil tersenyum. "Kamu pikir ... udah berapa lama kita kenal? Udah berapa lama kita sama-sama? Gini-gini, aku pernah jadi pemilik hati kamu. Kamu enggak bisa bohongin aku, Nad, aku bisa baca setiap puisi yang kamu tulis, dan saat ini puisi itu terdengar gundah."
Nada memasang senyum pilu, membuang tatapnya dari Cakra. "Aku cuma ngerasa agak tertinggal aja, Cak. Semua orang progressnya maju, tapi aku stuck di tempat. Aku paham aku bukan anak yang cerdas, tapi entah kenapa aku enggak terima sama kebodohan yang ada di dalam diri aku sendiri, rasanya ... berat nerima diri sendiri."
Cakra menghela napas, menatap langit yang sama dengan Nada. "Setiap orang itu, punya ritmenya sendiri. Kamu enggak bisa nge-compare pace kamu sama orang lain. Aku yakin, kamu bakal nemuin ide buat skripsi kamu. Tapi kamu juga harus sabar dalam prosesnya dan percaya sama diri kamu sendiri, Nad. Karena siapa lagi yang mau percaya sama kamu kalo diri kamu sendiri aja enggak percaya?"
Nada mengangguk pelan, merasa sedikit lebih baik mendengar kata-kata Cakra. "Makasih ya, Cak, selalu support aku meskipun aku banyak nyakitin kamu."
"Meskipun agak perih, tapi menyenangkan, dan aku enggak pernah menyesali apa pun yang berlalu." Cakra memberikan senyum ramahnya pada Nada. "Semangat, Nada."
"Kamu juga, Cak," balas Nada.
Keesokan harinya, Melodi berjalan dari parkiran motor ke gedung fakultasnya. Saat berjalan di koridor, tak sengaja matanya menangkap sosok Zara yang berdiri di depan mading.
"Liat apaan lo, Ra?"
Zara menoleh ke arah Melodi, lalu kembali menatap sebuah poster paling besar di sana. "Minggu ini ada acara HITH, nonton yuk?"
"Acara klasik, ya? Males ah, ngantuk," balas Melodi.
"Ih! Seru tau. Bukannya lo bisa main klasik ya, nona jenius?"
"Main sama nonton kan beda, Ra. Bisa sih main klasik, tapi enggak jago," jawab Melodi. "intinya gue males nonton acara klasik kalo bukan keluarga gua yang main."
"Ya elah, mentang-mentang emak lo musisi."
Heritage in Timeless Harmony merupakan sebuah acara tahunan Jogja yang menyuguhkan konser musik klasik.
"Ya abis gimana, kurang sexy sih konsernya," balas Melodi.
"Heh, ini tuh konser musik klasik terbesar di Jogja, pasti seru banget! Lo harus ikut nonton. Siapa tau bisa jadi inspirasi buat skripsi lo," kata Zara penuh semangat dengan mata berbinar.
"Bilang aja lo minta ditemenin, kan? Males kan lo nonton sendiri?" tanya Melodi dengan wajah datar. "Lo tau sendiri, hati gue kan rocker banget."
Zara mendekatkan wajahnya pada Melodi. "Ya? Ya? Ya? Ya?"
Melo melangkah agak mundur sambil menghela napas. "Ya udah, tapi beliin tiketnya."
"Oke! Gua yang beli, tapi pake duit sendiri-sendiri."
Melodi menatap poster itu dengan ekspresi datar. "Heritage in Timeless Harmony, heh? Padahal gua kan mau ambil rock-metal."
"Udah, coba aja dateng dulu. Enggak ada salahnya kan? Siapa tau lo dapet inspirasi baru," balas Zara sambil tersenyum. "Kayak Isyana Sarasvati album Lexicon lo nanti."
"Iya, iya, ya udah. Masuk kelas yuk ah, nanti lagi dibahas." Melodi berjalan meninggalkan mading, sementara Zara berjalan di belakangnya dengan senyum lebar.
Waktu berlalu begitu cepat, seperti embusan angin yang tak terlihat namun terasa. Setiap detik yang berlalu menyimpan janji-janji yang belum terucap. Waktu pun tak pernah berhenti, terus mengalir membawa kita pada arus kehidupan yang entah akan bermuara di mana.
Hari konser Heritage in Timeless Harmony akhirnya tiba. Langit di atas Taman Budaya Yogyakarta berwarna jingga sore ini.
Melodi dan Zara tiba lebih awal agar mendapatkan tempat duduk yang bagus. Melodi mengenakan gaun hitam simpel dengan motif bunga-bunga kecil, sementara Zara memilih rok merah marun yang dipadukan dengan atasan putih. Keduanya tampak anggun sore ini.
"Kak Ippo mana?" tanya Zara.
"Nanti nyusul," jawab Melo. "Betewe, enggak apa-apa kan gue ajak pacar gue?"
"Santai, udah terbiasa jadi nyamuk," balas Zara.
Setelah menemukan tempat yang nyaman, Melo dan Zara duduk dengan tenang. Tak lama kemudian, Ippo datang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Rambutnya yang panjang disisir rapi dengan gaya belah tengah, menutupi sebagian mata kirinya yang buta. Tangan kirinya yang palsu tertutup oleh sarung tangan hitam seperti Nada.
"Ippo! Sini, sini, sini," ucap Melo sambil melambaikan tangan, memberikan sinyal kehadirannya pada Ippo.
Ippo yang menangkap hadir Melodi pun tersenyum dan berjalan ke arah wanitanya. "Selamat sore, Alunan," sapa Ippo. "sore juga temennya Alunan."
Zara membalas senyum Ippo, lalu menyenggol Melodi pelan. "Gue lupa, Emil enggak diajak?"
"Oh ... Jaya udah enggak kerja di Mantra, dia pindah keluar kota," balas Melodi.
"Hah? Serius? Kapan?"
"Enggak usah kaget, udah lumayan lama. Lupa persisnya, tapi yang jelas sebelum KKN pokoknya."
"Tapi masih di ISI?"
Melo menggeleng. "Enggak juga."
Zara terlihat kecewa. Pasalnya, wanita itu sedikit mengagumi Jaya. Melodi pun mengetahuinya, tetapi karena Jaya sudah memiliki pacar, ia sengaja menjauhkan kedua sahabatnya tersebut karena tak ingin ada yang terluka.
Pada satu titik lampu-lampu mulai meredup, suasana mendadak hening. Pembawa acara muncul di atas panggung, mengenakan setelan jas rapi. Ia menyapa penonton dengan suara yang lembut, tapi bersemangat, memperkenalkan konser malam ini sebagai salah satu yang terbesar di Jogja, menampilkan berbagai musisi klasik dari dalam dan luar negeri.
Setelah beberapa kata sambutan, penampilan pertama dimulai. Suara biola mengalun lembut, diiringi piano yang dimainkan dengan penuh perasaan. Melodi merinding mendengar alunannya, perlahan ia tenggelam dalam setiap nada yang lahir. Terbesit sebuah seringai di wajahnya.
Sebelumnya Melodi pernah menonton konser klasik saat SMA, kala itu penampil utamanya adalah Aqilla, saat itu juga Nada ikut menjadi penampil bersama Bunda mereka. Namun, vibes pada acara HITH ini jauh berbeda dengan konser kala itu, saat ini Melodi benar-benar terhanyut.
https://youtu.be/I03Hs6dwj7E
"Gila ...," lirih Melodi.
Zara melirik ke arah Melodi dan tersenyum. Wajah sahabatnya itu terlihat seperti orang yang penuh gairah.
'Gila! Ini keren banget. Apa gua ngambil musik klasik aja, ya? Kedengerannya teduh, tapi elegan. Di satu sisi, energinya juga dapet, powerfull!'
Setiap simfoni yang melebur bersama harmoni dan melodi bagaikan lukisan notasi musik yang mengisi kanvas kosong dan mencorat-coret imajinasi Melodi. Di dalam hati gadis itu, ia tak henti-hentinya mengumpat kegirangan. Saat sebuah orkestra memainkan simfoni yang megah, Melodi merasakan getarannya sampai ke tulang.
"Udah dapet ide, jenius?" tanya Zara meledek si gadis rocker.
Melodi tak merespons, ia terlalu dalam terhanyut pada pertunjukan musik klasiknya. Baginya, suara Zara hanya bagaikan nyamuk yang lewat, kecil, dan tak berarti. Setiap nada, setiap melodi, setiap harmoni menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya.
Ketika konser berakhir, Melodi tersenyum lebar ke arah Zara. "Nama lo nanti muncul di kredit karya gue deh, Ra."
"Bener, ya?!"
Melo mengangguk. "Ya udah, gue langsung pulang ya."
"Yakin langsung pulang? Gue sih enggak yakin," ledek Zara menatap tangan Melo dan Ippo yang bergandengan.
Melo tersenyum. "Pacaran dulu sebentar, gantian nemenin bebeb inyong."
"Gue tau sekarang lagi terangsang kan lo?" Zara terkekeh meledek Melodi, lalu menatap ke arah Ippo. "Sabar ya, Kak."
"Aaaaaa ...." Ippo tak bisa berkata-kata, ia melirik ke arah Melodi. "Aaaaa ... aku polos."
Zara menepuk pundak Ippo. "Pacaran sama orang jenius pasti nyebelin, kalo nemu inspirasi melimpah pasti terangsang buat berkarya," sambung Zara.
Melodi hanya diam saja tanpa komentar. Saat ini pikirannya jauh melayang, memperkosa setiap inspirasi dan mengurungnya di dalam pikiran.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top