61 : Keresahan Si Gadis Pendiam

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Aroma padi menyatu dengan wangi tanah basah sisa hujan semalam. Matahari pagi mulai menampakkan diri, disambut oleh nyanyian burung dan kokokan ayam yang bersahutan.

"Nad, gue tunggu di depan ya," ucap seorang wanita, teman KKN Nada, Dini namanya.

Wanita dengan rambut bondol berkaos hitam dibalut jaket denim itu mengangguk dan mengacungkan jempol andalannya sebagai respons jawaban.

Pagi ini merupakan pagi terakhir Nada dan kelompok KKN nya tinggal di desa. Kehadiran mereka selama beberapa bulan ini memberikan dampak positif bagi warga desa, dan sebagai bentuk apresiasi, warga mengadakan sarapan bersama sekaligus pesta perpisahan kecil-kecilan.

Selesai packing barang, Nada berjalan ke luar menuju lapangan kecil di mana warga desa dan teman-teman KKN nya berkumpul. Di tengah keramaian itu, matanya menangkap sosok seorang anak kecil yang duduk sendirian di sudut lapangan dengan wajah murung. Anak itu bernama Bima, satu-satunya anak panti yang paling dekat dengan Nada selama tinggal di desa ini. Dengan langkah pelan, Nada berjalan mendekati Bima.

Bima menatap Nada dengan mata berkaca-kaca. "Kakak cantik mau pergi, ya? Bima enggak mau Kak Nada pergi," ucapnya lirih, hampir menangis dengan bibir yang menari-nari gemetar.

Nada tersenyum dan berjongkok agar sejajar dengan anak itu. "Bimbim, Kak Nada harus pulang, tapi bukan berarti kita enggak bisa ketemu lagi. Kak Nada janji, suatu hari nanti Kak Nada main lagi ke sini, ya. Bima enggak boleh nakal pokoknya, harus terus semangat dan rajin belajar, oke? Biar nanti bisa cerita banyak hal ke Kak Nada."

Bima mengangguk pelan, meskipun wajahnya berlinang air mata. "Tapi jangan lama-lama, takutnya Bima lupa sama Kak Nada."

Dini datang menghampiri mereka, tak sengaja ia lewat dan menguping pembicaraan dua orang itu. "Loh, bukannya kamu mau nikah sama Kak Nada kalo udah gede? Masa ditinggal sebentar bisa lupa sih? Parah! Cowok letoy."

Nada mengusap kepala Bima dengan lembut sambil mengusap air matanya. "Enggak letoy kok, Bima enggak akan lupa kan, sama Kak Nada?"

Bima tersenyum kecil menatap Nada, meskipun masih tersisa kesedihan di matanya. "Iya, Kak Nada. Bima nanti tulis nama kita di kamar mandi sekolah, Kak Nada lope Bima, biar kalo Bima ee, Bima inget."

Rekan-rekan KKN dan juga warga yang mendengar ucapan bocah itu sontak tertawa dan meledeknya. Melihat momen itu, tawa Nada ikut membaur.

"Tapi jangan lupa cebok ya, Bimbim." Nada berdiri dan menggenggam tangan Bima. "Ayo, kita sarapan. Banyak makanan enak buat Bima."

Nada dan Bima berjalan bergandengan menuju kerumunan warga yang sudah menunggu. Aroma masakan tradisional desa semakin menguat, menyambut mereka dengan hangatnya kebersamaan.

Dengan dibumbui sedikit drama, akhirnya kelompok KKN Nada berpamitan dengan desa tempat mereka mengabdi. Pelukan hangat, air mata haru, dan janji untuk kembali suatu hari nanti mengiringi perpisahan mereka. Kini, mereka semua berada di kereta api menuju Yogyakarta, meninggalkan jejak kenangan di desa yang telah menjadi rumah sementara mereka selama empat bulan ini.

Nada duduk di dekat jendela, menatap keluar pada pemandangan yang berlalu dengan cepat. Suasana riuh rendah di dalam kereta terasa kontras dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Gadis itu merasa hampa, seperti ada sesuatu yang hilang setelah meninggalkan desa tersebut. Namun, yang paling mengganggunya adalah keresahannya perihal langkah berikutnya setelah KKN berakhir, yaitu skripsi.

'Aku bisa enggak, ya? Tugas-tugas KKN aja udah bikin pusing, padahal berkelompok, gimana skripsi coba yang sendirian?'

Nada menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus berputar. 'Aku belum siap ... rasanya baru kemarin aku jadi mahasiswa baru, sekarang udah harus berhadapan sama skripsi? Gimana kalo aku gagal? Gimana kalo penelitian yang aku jalanin nanti enggak sesuai harapan?'

Kekhawatiran demi kekhawatiran datang silih berganti, membuat hati Nada diterpa badai risau pemikirannya sendiri. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, tidak tahu bagaimana cara melompat dan terbang. Setiap kali ia mencoba berpikir positif, bayangan terjatuh kembali menghantui.

Menyadari raut getir di wajah Nada, Dini yang duduk di sebelah gadis itu pun bertanya. "Kamu kenapa, Nad? Kayak lagi banyak pikiran."

Nada menoleh, lalu tersenyum sambil memberikan respons berupa gelengan kepala. Namun, gadis bernama Dini itu merangkul Nada, mendekap kepala gadis pendiam itu bersandar di bahunya.

"Sini cerita," lanjut Dini, ia berusaha membuat Nada merasa nyaman.

"Orang aku enggak apa-apa," jawab Nada.

Namun, di balik kata enggak apa-apa akan selalu ada ... 'Aku takut ngecewain ayah sama bunda, takut enggak bisa lulus tepat waktu. Rasanya berat ... apa semua orang juga ngerasain hal yang sama?'

Empat bulan selalu bersama Nada membuat Dini mulai memahami tabiat gadis pendiam itu. Dini memilih tak melanjutkan pembicaraan untuk memberi ruang pada Nada. Kadang, momen hening adalah obat terbaik untuk kegelisahan.

Kereta perlahan memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta, derit roda besi yang menggesek rel mulai mereda. Pemandangan di luar jendela beralih dari hamparan sawah menjadi deretan bangunan padat. Nada menghela napas panjang, mengumpulkan kenangan KKN yang baru saja berlalu.

"Yuk, Nad." Dini beranjak dan berjalan keluar gerbong, Nada berjalan pelan mengikutinya. 

Gadis itu berjalan mengikuti arus penumpang yang bergerak menuju pintu keluar stasiun, menarik koper kecilnya dengan tatapan kosong, berjalan dalam lamunan panjang.

Kelompok KKN Nada berkumpul di depan stasiun, menunggu kedatangan anggota lain yang belum muncul batang hidungnya. Nada bergabung dengan mereka, sebelum berpisah untuk kembali ke kehidupan masing-masing. Ada tawa, senyum, dan juga air mata yang tumpah di antara mereka.

Di tengah momen haru itu, Nada mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Nad!"

Nada menoleh dan menemukan sosok Melodi. Kembarannya itu melambaikan tangan dengan wajah gembira. Melodi berlari kecil mendekat ke arah Nada, dan langsung memeluk Nada erat. 

"Apa kabar kamu? Gimana KKN? Seru?" tanya Melodi.

Nada tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan dengan hadirnya Melodi.  "Seru, tapi capek," balas Nada.

"Nanti malem cerita-cerita ya," ucap Melodi antusias ingin mendengar cerita Nada saat jauh darinya.

Nada mengangguk. "Oke."

Nada kemudian berbalik ke arah kelompok KKN-nya. "Aku pamit dulu, ya," ucapnya sambil melambaikan tangan.

"Nad, kapan-kapan kita kumpul lagi kalau ada waktu," kata Dini.

Nada mengangguk dengan senyum tipis. "Iya."

Setelah momen perpisahan dengan kelompok KKN, Nada dan Melodi pergi menuju parkiran. Di sana, sebuah mobil sudah menunggu mereka. Di jendela depan yang terbuka, Cakra melambaikan tangan pada Nada.

"Hey, apa kabar?" tanya Cakra pada Nada saat jarak mereka dekat.

"Baik, kamu?" tanya Nada balik.

"Baik juga kok," jawab Cakra, setelah itu suasana mendaak hening.

Nada mengalihkan pandangannya ke Kevin yang duduk di kursi kemudi. Kevin hanya mengangguk singkat tanpa mengatakan apapun. Pandangannya dingin, tetapi Nada tahu itu hanya luarannya saja. Ada masa di mana Kevin pernah menunjukkan ketertarikannya pada gadis itu, meski kini hubungan mereka lebih datar.

"Yuk," ajak Melodi, ia membuka bagasi dan membantu Nada memasukkan kopernya.

Setelah koper berada di dalam bagasi, mereka berdua masuk ke dalam mobil. Nada dan Melodi duduk di kursi belakang, sementara Cakra dan Kevin di depan.

Sepanjang perjalanan pulang, Nada lebih banyak diam. Gadis itu hanya memperhatikan jalanan kota Jogja yang sudah lama ia rindukan. Dalam diamnya, pikiran Nada kembali melayang pada kekhawatirannya tentang skripsi yang menunggu.

Di sisi lain, Cakra  sesekali melirik ke arah spion, memperhatikan Nada yang terlihat tenggelam dalam pikirannya. Ekspresi gadis itu mengingatkannya pada awal perkenalan mereka dulu, kala itu Nada adalah gadis pendiam yang disetubuhi oleh pikiran negatif tentang dirinya sendiri. Siapa yang sangka, waktu mampu merubahnya kembali ke setelan pabrik.

Cakra menyadari keresahan Nada, meskipun tak tahu secara detail apa yang gadis itu resahkan. "Nad."

Pecah sudah lamunan Nada, gadis itu kini menoleh ke depan. "Ya?"

"Pernah denger cerita tentang pohon bambu enggak?" tanya Cakra.

Nada mengerutkan kening sambil berusaha berpikir, tetapi tak ia temukan cerita seperti itu dalam ingatannya. "Belum pernah kayaknya, kenapa?"

Cakra tersenyum sambil menatap jalan di luar kaca, sambil sesekali melirik Nada dari spion depan.

"Pohon Bambu itu tanaman yang unik. Waktu baru ditanam, dia enggak langsung tumbuh tinggi. Butuh waktu lama banget buat akarnya berkembang di dalam tanah. Kadang orang yang enggak tahu, bisa berpikiran pohon bambu itu enggak akan tumbuh sama sekali, karena lama enggak kelihatan ada perubahan. Tapi begitu akar-akarnya kuat, pohon bambu bisa tumbuh tinggi dengan kecepatan yang enggak masuk akal."

Nada terdiam, mencoba mencerna kisah tentang pohon bambu yang diceritakan Cakra.

"Kalo dipikir-pikir, pohon bambu itu mirip manusia, ya," lanjut Cakra. "Sesekali kita stuck dan ngerasa enggak berkembang, padahal sebenarnya itu adalah bagian dari proses bertumbuh. Nanti kalo udah waktunya, semua akan baik-baik aja, semua akan baik-baik aja."

Mendengar ucapan Cakra, terbesit senyum tipis di bibir Nada. "Semua akan baik-baik aja."

Diam-diam, kekhawatiran Melodi terhadap Nada agak berkurang berkat Cakra, kini ia bisa sedikit bernapas lega. Ya, sebelum badai besar menerjang perahunya sendiri.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top